Wednesday, May 30, 2007

Dalam Setahun Hidup tak Pasti

REPUBLIKA - Rabu, 30 Mei 2007

Lumpur Lapindo membuat kehidupan Hanafi kian berjarak dengan dunia pendidikan. Bocah 15 tahun itu, sekarang hanya bisa bermain layang-layang di tempat penampungan Pasar Baru Porong (PBP), Sidoarjo, Jatim. Bangku sekolah dia tinggalkan karena orangtuanya tak bisa bekerja lagi sebagai petani.
Siswa sekolah swasta di Permisan, Kec Jabon itu tak bergairah lagi bersekolah. Dulunya, ia bersemangat mengayuh sepeda dari rumahnya di Desa Renokenongo RT I RW I Porong ke sekolah yang berjarak 2 km. Namun, sejak lumpur panas Lapindo meluberi kampung halamannnya, ia harus mengungsi ke tempat penampungan.
Segala harta benda orang tuanya ludes disapu lumpur. Lumpur Lapindo telah merusak segalanya. Tak hanya infrastruktur seperti gedung sekolah, rumah, sawah, serta fasilitas umum, kultur masyarakat setempat pun ikut hancur digerus luapan lumpur Lapindo. Saat ini kehidupan Hanafi berubah total. Sejak lumpur menenggelamkan kampung halamannya. ia tak lagi bersekolah karena jarak sekolahnya dengan pengungsian cukup jauh (kurang lebih 7 km). Biasanya ia hanya memerlukan waktu 15 menit untuk pergi ke sekolah. Namun, kini dia harus menempuh perjalanan hampir satu jam. Belum lagi ia harus berboncengan dengan adik perempuannya yang sama-sama bersekolah di MTs Syabilil Khoir di Permisan Jabon.
Karena jauhnya jarak itu ia sering mengeluh merasa pegal-pegal. Bahkan ia sering sakit akibat kelelahan. ''Sekarang mau sekolah malas, karena jaraknya jauh. Apalagi, sepeda sering dipakai adik,'' ujarnya saat ditemui di tempat penampungan. Orangtuanya sudah memaksa dia kembali ke sekolah. Namun Hanafi tak menggubris perintah orangtua, karena jauhnya jarak sekolah. Pemda Sidoarjo sebenarnya sudah berupaya memberikan fasilitas transportasi gratis bagi anak sekolah. Tapi angkutan itu hanya dipakai untuk siswa yang bersekolah di SMP 2 Porong, sementara untuk SMP swasta belum dijangkau.
Djito, ayah Hanafi, pasrah menerima suratan takdir. ''Hidup kian susah. Setahun terombang-ambing tak ada kepastian. Cari kerjaan juga sulit,'' ujarnya memelas. Pria paruh baya itu sekarang menjalani hidup sebagai pekerja kasar di Pasar Porong. Dari jasanya itu, ia bisa membawa pulang Rp 15 ribu untuk anak dan istrinya. Dulu, Djito dan keluarga kecilnya hidup tenang dengan lahan pertanian yang dimilikinya. Namun, sejak lumpur Lapindo merambah perkampungannya, perekonomian Hanafi menjadi buram.
Ganti rugi lahan pertaniannya juga belum tuntas. Hingga kini hanya 20 bidang sawah seluas sekitar 12 hektare milik 13 warga Desa Jatirejo dan Kel Siring, Kec Porong, yang baru teratasi. Itu pun sebatas areal sawah, bukan pekarangan, dan rumah. Proses ganti rugi itu menurut warga tidak sesuai keputusan awal. Semestinya setiap pencairan mencakup minimal 150 bidang sawah. Warga berharap yang bisa menjadi prioritas ganti rugi adalah untuk pekarangan dan rumah, bukan sawah yang hanya menerima ganti rugi Rp 120 ribu per meter.
Musibah lumpur juga dirasakan ribuan keluarga lain yang bermukim di kawasan Porong. Warga di Perumahan Tanggulangin Anggun Sejahtera (TAS) I, Muhammad Mirdasy, mengaku tiap hari gelisah karena musibah lumpur ini amat luar biasa. ''Tapi sikap pemerintah dan Lapindo menganggapnya biasa-biasa saja. Padahal lumpur itu telah memundurkan peradaban di Porong 30 tahun ke belakang, karena seluruh infrastruktur dan lahan seluas 680 hektare telah hilang,'' kata Mirdasy yang juga anggota DPRD Jatim ini.
Penghuni rumah di Perum TAS I Blok G-5/4 Porong yang telah ditenggelamkan lumpur ini mengaku sedih karena bencana itu telah mencabut akar budaya di sekitar tempat tinggalnya. Mirdasy mengaku 17 anggota keluarganya turut menjadi korban lumpur.
Suami Ilmin Nasifah Hamy dan ayah lima anak ini pernah menangis tersedu-sedu ketika ditanya seorang rekannya di Yogyakarta yang juga korban gempa bumi. Rekannya, kata Mirdasy, lebih beruntung nasibnya, karena setelah rumahnya diluluhlantakkan gempa, saat ini telah menempati rumah baru. "Saya menangis karena yakin tidak akan pernah kembali pulang ke rumah di Perum TAS. Meski lumpur itu bisa dihentikan atau berhenti sendirinya, rumah saya telah tenggelam,'' ujar dia.
Bagi MIrdasy, lumpur ini disebutnya sebagai ironi pembangunan. Pembangunan seharusnya membuat orang menjadi sejahtera dan makmur, tapi kali ini malah menjadi malapetaka yang mengenaskan. Itu terjadi karena kesalahan manajemen pembangunan di Porong, Sidoarjo.Tentang ganti rugi sawah yang diawali dengan pembayaran uang muka 20 persen ternyata juga tidak banyak membantu kehidupan warga kembali normal. Warga justru berharap ganti rugi pekarangan senilai Rp 1 juta per meter yang diprioritaskan. Karena dari ganti rugi itu, setidaknya bisa untuk membeli rumah dan memulai kehidupan baru. Ibarat orang sakit, warga korban lumpur kondisinya sudah kronis, karena mereka telah kehilangan segalanya, dan hidup serba darurat.
Belum lagi harapan pada cash and carry juga tak kunjung datang. Pakar Hukum Lingkungan dari Universitas Airlangga, Suparto Wijoyo, menilai ganti rugi model cash and carry termasuk kebohongan publik. Menurut dia, ganti rugi itu berbeda dengan jual beli. ''Ini merupakan kesengajaan dari Lapindo untuk memperluas lahan tambangnya. Kalau ganti rugi kenapa prosesnya seperti orang jual beli,'' ujar Suparto dalam diskusi setahun korban lumpur di kampus Ubaya, Selasa (29/5). Dia pun menyamakan kasus Lapindo ini dengan kejahatan terorisme, karena korban yang ditimbulkannya bersifat massal. tok

0 comments: