Wednesday, May 30, 2007

Deng, Morales dan pasar modal Indonesia

BISNIS - Rabu, 30/05/2007

Sejak kemarin, Indonesia Investor Forum ke-2 (IIF) dimulai. Forum pertama digelar pada akhir Juli 2006. Masih jelas dalam ingatan, dari tengah forum pertama, para otoritas keuangan dan pasar modal saat itu bertekad mengangkat bursa saham nasional agar bisa bersaing di kawasan Asia Tenggara. Tak kurang, mereka mencoba mengurai bagaimana merealisasi tekad itu, yaitu mendorong semakin banyak perusahaan Indonesia masuk bursa, dan pada saat bersamaan menggalang semakin banyak pemodal lokal terlibat dalam transaksi saham. Karena tak ada cetak biru yang dibuat, kita tak pernah tahu langkah-langkah apa yang ditempuh untuk mencapai tekad itu. Ada letupan rencana di sana sini seperti memberi insentif pajak dan fiskal kepada perusahaan yang akan go public, mengeluarkan instrumen investasi baru, dan sebagainya. Sayang, rencana-rencana itu tidak komprehensif dan tidak pernah dipadukan dalam kesatuan langkah secara nasional. Tetapi lupakan dulu kelemahan otoritas kita. Persoalan serupa jamak terjadi di negeri ini. Sekarang, mari kita berterima kasih kepada mereka yang berkehendak baik menyelenggarakan lagi forum kedua bagi investor pasar modal. Mengapa berterima kasih?Seremoni ini minimal datang pada saat yang tepat. Pertama, forum ini diselenggarakan saat indeks Bursa Efek Jakarta menembus level di atas 2.000-an. Pada posisi terakhir kemarin, indeks berada di level 2.058. Kedua, forum diselenggarakan saat wacana tentang bahaya uang panas (hot money) baru saja berlangsung. Kenaikan indeks yang fantastis itu pun tak terlepas dari derasnya aliran uang panas tersebut. Inti yang berkembang dalam wacana tersebut adalah bangsa ini mesti berhati-hati, karena jumlah uang jangka pendek milik asing itu sudah berkelimpahan. Menurut ekonom Faisal Basri, jumlah uang panas tercatat Rp130 triliun (sekitar US$15 miliar).Kekhawatiran Dengan jumlah sebesar itu, mereka yang khawatir berpikir bukan mustahil jurus banting Soros pada 1997 bisa terulang lagi. Jika dana-dana tersebut serta-merta ditarik keluar, maka terulang lagi krisis finansial di negeri ini.
Tetapi mereka yang optimistis mengatakan kondisi sekarang berbeda dari satu dekade lalu. Cadangan devisa sekitar US$51 miliar cukup kuat dan institusi perbankan jauh lebih sehat. Lagi pula utang korporasi dalam dolar AS tidak sebanyak pada 1997. Kalau pun ada, banyak yang melakukan lindung nilai (hedging) terhadap utang tersebut. Kendati perdebatan tentang uang panas itu kemudian berangsur-angsur dingin, ada satu persoalan yang belum dijawab secara gamblang. Apa sikap bangsa ini terhadap uang panas yang terus berkeliaran di seantero dunia? Uang panas adalah bagian aliran dana swasta (private capital flows)-yang total hingga akhir 2006 mencapai US$780 miliar-yang ditaruh dalam keranjang portofolio jangka pendek. Karena bagian dari produk keuangan sistem kapitalis, jawaban atas pertanyaan di atas mesti diperiksa lebih jauh pada sikap ideologis kita terhadap sistem kapitalisme. Sepertinya sedikit mengada-ada, rujukan ideologis akan menentukan cara kita berelasi dengan uang panas. Untuk itu, kepada kita diminta ketegasan untuk menjawab, masuk ke keluarga manakah kita. Keluarga Mister Kapitalisme atau Komrad Sosialisme? Atau kita masih berani mengakui sebagai keturunan Ibu Pancasila yang tidak berkerabat, baik dengan mister atau komrad itu tadi?Mengapa kita perlu menyinggung persoalan ideologis ini? Pasalnya, belum lama ini banyak yang tergoda untuk mengagumi ide Evo Morales yang mengusung kebencian terhadap kapitalisme. Padahal, belum jelas benar ke arah mana Morales membawa Bolivia? Gerakan Morales masih awal untuk bisa dipastikan apakah gerakan itu merupakan berkat atau kutukan. Wakil Morales, Alvaro Garcia Linera, yang jauh lebih? marxis sebenarnya tidak seberapa peduli dengan identitas ideologis yang disandangnya. Menurut dia, mereka hanya berupaya keluar dari skema ekonomi neoliberal yang dijalankan pendahulunya, Presiden Carlos Mesa. Dengan mengambil dukungan masyarakat asli Indian yang mendiami pegunungan Andes untuk mengoptimalkan potensi kekayaan alam dalam negeri-sembari menjalin aliansi yang ekletik dengan pihak luar, termasuk perusahaan multinasional dan modal asing-pasangan Morales-Linera berjuang meningkatkan kesejahteraan rakyat Bolivia. Nama terhadap gerakan pembangunan itu bisa bermacam-macam, seperti Post-neo-liberal, New Socialism (Sosialisme Baru), Kapitalisme Normal, Kapitalisme ala Andes, atau Sosialisme ala Andes.Para investor yang menghadiri IIF ke-2-orang-orang kapitalis karena menikmati keuntungan dari tata dunia model ini-tentu saja tidak akan membuang tempo berdiskusi tentang Morales. Bagi mereka, investasi di saham adalah realitas, sementara gerakan Morales adalah inspirasi semata. Jangankan melirik paham seheroik itu, mereka pun bakal enggan memberikan dukungan bila pemerintah negeri ini membatasi portofolio asing ala junta militer Thailand. Karena mereka tahu, membatasi portofolio asing berarti mengancam likuiditas perdagangan saham dalam negeri. Ide yang bisa melayukan gairah pasar nasional. Para pemodal saham yang hadir dalam forum-kalau boleh menangkap aspirasi mereka-cuma berharap agar Wapres Jusuf Kalla atau Menkeu Sri Mulyani dan dalam sambutannya bisa meneguhkan kepercayaan mereka dalam berinvestasi di pasar modal. Mirip seruan Deng Xiaoping pada 1992 yang menjadi pegangan masyarakat China hingga sekarang. Namun, harapan itu tidak tercapai. Kalla dan Sri Mulyani memang bukan Deng.Bakar semangatSaat itu, di tengah keraguan masyarakat China terhadap pasar modal, Deng mendorong mereka untuk bersemangat meraih kekayaan dengan transaksi saham. "Menjadi kaya itu mulia (to get rich is glorious)," kata Deng saat itu.Carld E. Walter dan Fraser J.T. Howie dalam buku mereka: Privatizing China (The Stock Markets and Their Role in Corporate Reform), 2003, melukiskan bahwa di tengah kebingungan para pemimpin China tentang saham, Deng tampil dan berujar: Surat berharga dan pasar modal, apakah mereka baik atau buruk, apakah mereka berbahaya, apakah mereka hanya boleh dijalankan di dunia kapitalisme dan tidak berlaku bagi sosialisme? Biarlah, kita mencoba dulu, tapi harus dilakukan dengan determinasi. Jika mereka berfungsi dan berjalan baik dalam satu atau dua tahun, lalu kita membesarkannya; bila mereka ternyata keliru kita perbaiki, atau kita menutup pasar.... Seruan Deng itu membakar semangat masyarakat China untuk terlibat bermain saham. Sejak itu demam saham (share fever) menulari masyarakat Negeri Tirai Bambu itu.


0 comments: