Sunday, December 30, 2007

Sentani, the new frontier

Kolom BISNIS MINGGU
Jumat, 11/05/2007 09:34 WIB

oleh : Y. W. Junardy
President Indonesia Marketing Association (IMA)

Sentani adalah nama sebuah suku di Papua. Tapi Sentani juga dikenal sebagai nama sebuah danau tempat suku Sentani berdiam. Dalam perang dunia kedua, Sentani menjadi markas besar dan basis kekuatan tentara sekutu di Pasifik Selatan yang dipimpin Jendral Douglas McArthur.

Saat mengunjungi Sentani pertama kalinya, baru-baru ini, saya sangat terkesan dengan panorama yang begitu indah dari danau alam yang luasnya 9,36 hektare ini. Sejauh mata memandang tampak hamparan air biru yang tenang dan dikelilingi deretan gunung. Menambah keindahannya, terdapat pulau-pulau yang berbukit di tengah danau. Sungguh tempat yang eksotik, asri, dan memukau.




(... Catatan saya: Di atas merupakan foto-foto keindahanan danau Sentani yang sempat saya jepret dari kabin Garuda ketika saya berkunjung ke Jayapura beberapa tahun lalu. Komentar saya atas keindahan Sentani... Wow...amazing ...)

Tetapi, saya tidak melihat orang bersampan, mengail ikan atau sekadar rekreasi menikmati alam. Apalagi bermain ski air. Hotel, restoran, ataupun fasilitas pantai di mana orang bisa berenang atau berjemur pun tidak tampak. Tidak ada gemerlap lampu di malam hari. Danau Sentani sepi. Alam yang sunyi senyap. Bak putri yang tidak pernah dikunjungi sang Pangeran. Alangkah sayangnya.

Padahal, Sentani pantas menjadi kawasan wisata yang tak kalah dengan kawasan wisata lain di dunia. Dengan perkampungan dan rumah panggung khas penduduk di sekitarnya, Sentani dan daerah Jayapura punya keunikan untuk dijual sebagai destinasi wisata alam, bahari, dan budaya. Tapi, kenapa tidak ada investor yang meliriknya?

Lalu saya teringat Marina Bay di Singapura, Victoria Bay di Hong Kong, De Bund di Shanghai, dan Phuket di Thailand. Daerah pantai dan sepanjang sungai pada umumnya menjadi pusat kawasan perdagangan atau wisata.

Akhir tahun yang lalu saya sempat bertandang ke Zhangjiajie, cagar alam nasional di utara Provinsi Hunan, Tiongkok Barat yang sebetulnya baru ditemukan 25 tahun lalu. Menyadari keunikan hutan dan alamnya yang termasuk langka di dunia, daerah yang semula pertanian tradisionil itu dikembangkan dengan industri turisme sebagai pilar pembangunan ekonomi.

Sebagai kawasan turis dengan katagori AAAA, mereka membangun infrastruktur secara terpadu antarkabupaten menjadi mega resor kelas dunia seluas 500 kilometer persegi. Lebih dari 20 scenic spots dan 30 rute tur telah terbentuk dan ditunjang jalan akses sepanjang lebih dari 500 km.

Pada 1992, Unesco menetapkan kawasan itu sebagai World Natural Heritage dan kini menjadi salah satu destinasi ecotourism yang terkenal di dunia. Pertanyaannya, apa sih yang dijual? Tidak lain barisan gunung-gunung terjal dan gua-gua stalactite dan stalagmite yang memang spektakuler, anggun dan berukuran serba raksasa yang dikemas dengan budaya tradisionil suku minoritas yang tinggal di kawasan itu.

Layak jual

Kalau Zhangjiajie menjual gunung dan gua, kenapa kita tidak bisa menjual danau dan pantai yang indah yang juga dikelilingi gunung yang tidak kalah uniknya? Sudah tentu Danau Sentani bukan satu-satunya yang bisa kita kembangkan untuk objek pariwisata. Jayapura mempunyai banyak objek wisata yang bisa dikemas dan dipasarkan. Turisme seharusnya menjadi salah satu pilar untuk mencapai visi Pemkot Jayapura: Warga kota yang maju, mandiri, sejahtera, beriman, bersih.

Bahkan, keinginan untuk membangun secara terpadu juga telah dituangkan dalam kesepakatan Mansiman antara Provinsi Papua (Barnabas Suebu) dan Papua Barat (Abraham Ataruri) pada butir lima yang berbunyi: Satu konsep pembangunan terpadu di tanah Papua yang meliputi tata ruang termasuk pembangunan infrastruktur terpadu, strategi pengembangan ekonomi sosial budaya dan pengembangan sumber daya manusia.

Untuk itu, Gubernur Suebu telah mengalokasikan anggaran APBD 2007 untuk pembangunan infrastruktur sebesar Rp1,3 triliun atau sekitar 28% untuk sistem transportasi terpadu mulai dari darat, laut, dan udara.

Lalu, bagaimana dengan Sentani? Apa yang telah dilakukan oleh Pemprov Hunan di Zhangjiajie menarik untuk dipetik sebagai acuan yang menurut saya pragmatis, fokus dan konsisten:

• Ada keputusan strategis untuk membangun kawasan, dalam hal ini menetapkan Sentani sebagai daerah wisata. Keputusan ini sekaligus mempertimbangkan repositioning Sentani sebagai kawasan resor dan rekreasi (Sentani beach resort and recreation park)

• Ada master plan untuk pembangunan sarana selaras dengan positioning di atas disertai paket investasi yang atraktif untuk investor dalam negeri maupun asing.

• Ada rencana kerja dan prioritas pembangunan oleh Pemprov dengan menggunakan anggaran APBD yang telah dialokasikan. Perlu ada terobosan dalam pelaksanaannya mengingat lambannya proses pelaksanaan proyek dewasa ini, karena takut dituduh korupsi.

• Ada marketing plan yang jelas untuk memasarkan Sentani. Untuk itu dukungan jasa konsultan kaliber internasional mungkin diperlukan. Kalau Fritz Simanjuntak belum lama ini menulis tentang Reposisi Papua dari Provinsi Siaga menjadi Provinsi Niaga, saya juga mengusulkan untuk rebranding Kabupaten Jayapura menjadi Kabupaten Sentani. Dengan demikian tidak rancu dalam program komunikasi dengan kota Jayapura.

• Ada socio-engineering dan peningkatan sumber daya untuk meningkatkan layanan masyarakat maupun turis. Ini diperlukan baik di kalangan aparat pemerintah, transportasi, telekomunikasi, perbankan, hotel, restoran dan bisnis jasa yang bersangkutan dengan pariwisata.

Saya percaya Sentani adalah peluang emas sebagaimana Papua adalah The new frontier bagi Indonesia. Saya memimpikan suatu hari Sentani dikenal sebagai salah satu world tourist destination dan menjadi pilar kesejahteraan bagi masyarakat Papua. Dengan semboyan Papua: Izakid bekai izakod kai (satu hati satu tekad), semoga cita-cita ini terwujud.

BaCa SeLeNgKaPnYa disini...