KOMPAS - Jumat, 20 Juli 2007
Pemenuhan 20 Persen Bukan Kuasa Pemerintah
Jakarta, Kompas - Realisasi anggaran pendidikan minimal 20 persen dari total Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, seperti diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, tampaknya belum akan terwujud dalam waktu dekat.
"Pemerintah tidak berkuasa memenuhi tuntutan tersebut mengingat pemerintah tidak bisa serta-merta mengatakan, APBN tahun ini sekian. Hak itu ada di DPR sebagai pemegang hak budget. Oleh karena itu, setiap tahun pemerintah dan DPR membicarakannya. Namun, semangat kita menuju ke sana. Saat ini anggaran terus meningkat dari tahun ke tahun hingga memenuhi itu," kata Menteri Sekretaris Negara Hatta Rajasa dalam jumpa pers di Kantor Sekretariat Negara, Jakarta, Kamis (19/7).
Jumpa pers tersebut diadakan setelah Hatta Rajasa bersama Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Andi Mattalatta menerima 13 wakil dari ribuan guru yang berunjuk rasa sepanjang hari di Gedung MPR/DPR dan Istana Negara. Salah seorang dari 13 guru yang diterima adalah Ketua Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Jawa Barat Dedi Effendi.
Hatta menjelaskan, pemerintah menangkap apa yang disampaikan para guru dalam beberapa kali unjuk rasa yang dilakukan di Jakarta. Oleh karena itu, Hatta mengimbau para guru untuk tidak perlu lagi beramai-ramai datang ke Jakarta. "Beberapa perwakilan nanti bisa menanyakan sejauh mana follow up dan bagaimana prosesnya. Sebab, prosesnya terus berjalan. Pemerintah telah mendengar apa yang menjadi kerisauan para guru," lanjutnya.
Kemarin hampir 30.000 guru yang tergabung dalam PGRI wilayah Jawa Barat dan Banten turun ke jalan dengan mengusung berbagai tuntutan.
Aksi unjuk rasa yang dilakukan di sejumlah tempat di Jakarta tersebut merupakan akumulasi dari bentuk kekecewaan kalangan guru terkait dengan berbagai kebijakan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla dalam menangani bidang pendidikan.
Selain mempertanyakan kembali kesungguhan pemerintah merealisasikan anggaran pendidikan minimal 20 persen dari total APBN—di luar gaji guru dan pendidikan kedinasan—mereka juga menggugat kelambanan pemerintah menerbitkan sejumlah peraturan pemerintah. Salah satu di antaranya adalah Peraturan Pemerintah (PP) tentang Guru sebagai implementasi dari Undang-Undang (UU) Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. PP ini dinilai penting karena, antara lain, akan menjadi landasan utama pelaksanaan program sertifikasi guru, yang pada akhirnya "berbuah" pada pemberian tunjangan profesi guru senilai satu kali gaji pokok.
Isu lain yang kembali diusung dalam demo kali ini terkait pemberlakuan ujian nasional (UN) sebagai standar penentu kelulusan. "UN itu harus ditinjau ulang. Sepandai apa pun anak, kalau gagal dalam satu mata pelajaran yang di-UN-kan, tetap gagal untuk melanjutkan sekolah," kata Burhaniawan, anggota PGRI dari Bekasi, seusai bersama rekan-rekannya diterima Ketua DPR Agung Laksono dan Ketua Dewan Perwakilan Daerah Ginandjar Kartasasmita.
Akumulasi kekecewaan
Aksi yang dilakukan para guru yang berangkat dari berbagai penjuru wilayah Jawa Barat dan Banten itu sempat memacetkan sejumlah ruas jalan utama di Ibu Kota. Di depan Gedung MPR/DPR, arus lalu lintas bahkan sempat dialihkan karena seluruh badan jalan dipenuhi para pengunjuk rasa. Di Jalan Medan Merdeka Utara, ribuan guru yang berpakaian batik putih-hitam tersebut memenuhi separuh ruas jalan.
Sejumlah guru menuturkan, aksi unjuk rasa ini merupakan akumulasi dari kekecewaan mereka terhadap janji-janji pemerintah, terutama terkait dengan masalah kesejahteraan para guru. Di antaranya menyangkut realisasi pemberian uang makan dan tunjangan fungsional. Sementara itu, terkait dengan pemenuhan anggaran pendidikan minimal 20 persen dari APBN, menurut mereka, hal tersebut sudah merupakan "perintah" dari Mahkamah Konstitusi kepada pemerintah yang memenangkan gugatan PGRI terkait masalah ini.
Ketua PGRI Jawa Barat Dedi Effendi seusai pertemuan dan jumpa pers mengatakan, "Tidak ada kejelasan. Dari dulu selalu mengambang. Kami belum puas atas penjelasan pemerintah. Seharusnya pemerintah tidak memberikan angan-angan. Kami harap menteri-menteri terkait cepat tanggap terhadap masalah guru. Itu kalau pemerintah tidak mau rekan-rekan kami dari daerah akan terus-menerus datang ke Jakarta."
Meskipun telah diminta oleh pemerintah untuk tidak lagi datang ke Jakarta, Dedi dan teman-temannya sepakat untuk terus mendesak pemerintah sampai tuntutan mereka dipenuhi.
Terkait dengan masih banyaknya PP yang belum diselesaikan oleh pemerintah sebagai turunan UU Guru dan Dosen, Ketua DPR Agung Laksono mengakui kenyataan tersebut. Namun, Agung menambahkan, berdasarkan pengecekan yang dilakukan pihak DPR, sejumlah PP dimaksud masih berada di Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Ketika ribuan guru yang tergabung dalam Pengurus Daerah PGRI Banten berangkat ke Jakarta untuk berunjuk rasa, ratusan guru bantu dari berbagai sekolah di Banten juga menggelar unjuk rasa di Serang, ibu kota Provinsi Banten. Para guru bantu yang tergabung dalam Forum Komunikasi Guru Bantu Indonesia Banten tersebut meminta agar mereka segera diangkat sebagai pegawai negeri sipil, sebagaimana dijanjikan oleh pemerintah.(sut/jos/inu/nta/nel)
Friday, July 20, 2007
Guru Kembali Turun ke Jalan
Posted by RaharjoSugengUtomo at 8:47 AM 0 comments
Labels: HeadlineNews: Kompas
Kesejahteraan: Hidup Guru yang Terus Pinjam Sana-sini
KOMPAS - Jumat, 20 Juli 2007
Terpujilah wahai engkau, ibu-bapak guru…. Namamu akan selalu hidup dalam sanubariku…. Engkau patriot pahlawan bangsa…, tanpa tanda jasa….
Syair lagu Himne Guru itu menggambarkan para guru untuk pasrah menerima nasib, bekerja tanpa berharap penghargaan yang layak. Padahal, nasib para guru kontrak dan guru bantu sekolah adalah yang paling mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan hidup layak.
Tak terkecuali nasib Lusi Rahmawati, seorang guru kontrak di Sekolah Dasar Negeri (SDN) Gelam I, Desa Karundang, Kecamatan Cipocok Jaya, Kabupaten Serang, Banten. Dalam satu bulan, perempuan berusia sekitar 32 tahun itu hanya menerima honor Rp 300.000.
Honor sebesar itu hanya cukup untuk ongkos dari rumah ke sekolah pergi pulang. Maklum, jarak rumah tinggal dengan tempat tugas guru kontrak itu sekitar 12 kilometer. Untuk menuju sekolah, ia harus tiga kali naik mobil angkutan umum dengan tarif Rp 6.000 untuk satu kali jalan. Jika dihitung, Lusi membutuhkan uang sekitar Rp 288.000 untuk ongkos transportasi per bulan (24 hari).
Agar lebih hemat, kadang-kadang guru lulusan madrasah aliyah negeri (MAN) itu menyewa tukang ojek untuk mengantar dan menjemputnya dari sekolah. Rata-rata tarif yang diminta tukang ojek Rp 7.000 per hari. Atau jika dibayar borongan selama satu bulan sekaligus, tarif antar-jemput ojek yang harus dibayar sekitar Rp 150.000.
Sisa uang honor milik ibu dua anak ini paling banyak hanya Rp 150.000 per bulan. Uang sebesar itu tetap saja tidak cukup menambah penghasilan suami, apalagi untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Sihabudin, sang suami, juga bekerja sebagai guru. Saat ini ia mengajar di SDN Banjarsari III, Kecamatan Cipocok Jaya, Serang. Dengan status guru bantu sekolah, sejak tahun 2007 ia mendapatkan honor Rp 710.000 per bulan.
Namun, sebelumnya, sejak diangkat sebagai guru bantu pada tahun 2003, ia hanya menerima honor Rp 460.000 per bulan. Bahkan saat masih menjadi guru kontrak dari tahun 1995-2003, pria lulusan sekolah menengah atas (SMA) itu hanya menerima Rp 100.000 per bulan.
"Gaji saya dengan gaji istri hanya pas-pasan untuk hidup sehari-hari. Bahkan akhir-akhir ini, setelah harga-harga naik, kami kekurangan. Beberapa barang saya gadaikan ke orang lain, tanpa tempo," tutur Sihabudin.
Dalam satu hari pasangan guru tersebut harus mengeluarkan uang minimal Rp 20.000 atau Rp 600.000 untuk membeli beras, sayur, dan lauk-pauk sekadarnya. Itu belum termasuk untuk membayar listrik yang rata-rata Rp 50.000 per bulan serta kebutuhan lain, yaitu minyak tanah, minyak sayur, sabun, pasta gigi, dan kebutuhan rumah tangga lain.
Pada tahun ajaran baru seperti sekarang, Sihabudin dan Lusi hanya mampu membelikan satu setel baju seragam merah putih dan satu setel seragam Pramuka untuk anak bungsunya, Edi yang masuk sekolah dasar.
"Edi sampai ngambek karena cuma dibelikan satu setel seragam. Dia tidak bisa ganti baju selama empat hari berturut-turut," kata Sihabudin.
Untuk menambah penghasilan, guru kelas VI SDN Banjarsari III itu menjadi tukang pijat. Dia rela dipanggil untuk memijat meski harus menempuh jarak hingga belasan kilometer di daerah pantai utara Banten. Biasanya, Sihabudin mendapat upah Rp 20.000 untuk satu pasien pijat dan setiap minggu ia mendapat 3-4 pasien.
Sejak menikah pada tahun 1997, pasangan guru itu pun belum memiliki rumah sendiri. Selama 1997-2005 mereka tinggal di rumah dinas SDN Gelam I. Adapun sejak 2005 hingga sekarang mereka tinggal di rumah dinas guru SDN Banjarsari III.
Luas rumah dinas guru sekitar 2,5 meter x 5 meter, yang terbagi menjadi dua ruangan. Ruangan depan yang seharusnya untuk ruang tamu dijadikan kamar tidur. Di rumah ini hanya ada satu tempat tidur untuk empat anggota keluarga. Ruang belakang dimanfaatkan sebagai dapur.
Tetap kurang
Nasib Kasniah, guru bantu SDN Kragilan VI, Serang, juga tak berbeda dengan pasangan Sihabudin dan Lusi. Sejak suaminya terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) pada 1990, guru lulusan sekolah pendidikan guru (SPG) itu menjadi tulang punggung keluarga. Dengan mengandalkan gaji guru, ia harus menghidupi suami dan tiga anak. Suaminya hanya bisa bekerja serabutan.
"Waktu suami terkena PHK saya masih guru kontrak di TK, dengan gaji cuma Rp 10.000-Rp 20.000 per bulan. Baru tahun 2003 saya diangkat sebagai guru bantu di SDN Kragilan VI dengan gaji Rp 460.000. Pada 2007 gaji naik menjadi Rp 710.000," tutur perempuan yang menjadi guru sejak 1985 tersebut.
Dalam sehari ia harus mengeluarkan uang minimal Rp 30.000 untuk uang transpor mengajar dan uang transpor kedua anaknya ke sekolah. Itu belum ditambah untuk kebutuhan makan dan minum, listrik, dan kebutuhan lainnya.
Bahkan untuk membayar uang daftar ulang sekolah kedua anaknya, ia terpaksa meminjam kepada orang lain. Namun, tetap saja kurang untuk bayar sekolah. "Anak saya yang pertama hanya sekolah sampai SMA. Kemarin anak saya yang ketiga masuk SMP harus bayar Rp 315.000, sedangkan anak yang di SMK Rp 650.000. Terpaksa pinjam sana-sini untuk menutupi karena kebutuhan sekolah, seperti alat tulis dan sepatu, juga masih harus dipikirkan," katanya.
Sihabudin, Lusi, dan Kasniah hanyalah tiga dari puluhan ribu guru berstatus kontrak dan guru bantu sekolah di Banten. Mereka sama-sama kesulitan memenuhi kebutuhan hidup, hanya mengandalkan uang honor mengajar yang jauh di bawah nilai upah minimum kabupaten Serang, sebesar Rp 869.000 per bulan. (anita yossihara)
Posted by RaharjoSugengUtomo at 8:45 AM 0 comments
Labels: HeadlineNews: Kompas
Transportasi: Kabel Dibakar, KA Lumpuh
KOMPAS - Jumat, 20 Juli 2007
Jakarta, Kompas - Kabel sinyal di dekat Stasiun Cikini, antara Stasiun Gambir dan Stasiun Manggarai di Jakarta Pusat, diduga dibakar orang tak dikenal, Kamis (19/7) dini hari. Sebanyak 156 perjalanan kereta api di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi, termasuk dari dan ke Cirebon, Bandung, Semarang, Yogyakarta, dan Malang, terganggu. Dari jumlah itu, 100 di antaranya merupakan perjalanan KRL.
Perjalanan KA tetap bisa berlangsung, tetapi mengalami keterlambatan karena sinyal tidak berfungsi sesuai dengan standar yang ada. Sinyal blok tidak berfungsi sehingga terpaksa digunakan sistem petak jalan, yakni sistem di antara dua stasiun yang memiliki peralatan persinyalan untuk memindah jalur.
Sinyal blok otomatis tidak bisa berfungsi dan baru selesai diperbaiki pukul 16.15. "Kami menduga terjadi sabotase. Ini berdasarkan bukti dari kabel yang terbakar. Kalau tidak disengaja dibakar, tak mungkin terjadi karena kabel tidak berfungsi sebagai pengantar arus listrik. Hari Jumat kasus ini dilaporkan ke polisi," kata Kepala Humas PT KA Daerah Operasi I Akhmad Sujadi.
Direktur Reserse Kriminal Umum Kepolisian Daerah Metro Jaya Komisaris Besar Carlo Brix Tewu menyatakan, polisi masih menyelidiki kasus itu. "Untuk menyebut ini sabotase, harus ada penyelidikan dulu. PT KA menyelesaikan kasus ini secara internal dulu," kata Carlo Tewu.
Insiden itu menyebabkan ribuan calon penumpang KA telantar di Stasiun Gambir, Cikini, Tebet, Jatinegara, dan Manggarai, serta di sejumlah stasiun ke arah Bogor dan Bekasi.
Di Stasiun Gambir, penumpukan penumpang KA Cirebon Express, misalnya, terjadi sejak Kamis pukul 07.00 hingga sore.
Kemunduran jadwal kedatangan dan keberangkatan setiap KA terjadi antara 10 menit dan lebih dari satu jam. "Saya biasanya tiba di Gambir pukul 05.00. Namun, KA terhenti lama menjelang Jakarta dan masuk Gambir pukul 07.00. Di Gambir, sudah menumpuk calon penumpang yang menunggu KA, juga pengantar dan penjemput," kata M Sholihin (28) penumpang KA Argo Dwipangga dari Yogyakarta.
Pembakaran kabel sinyal diketahui petugas jaga PT KA pukul 05.00. Monitor di Stasiun Gambir tidak bisa mendeteksi posisi KA ada di blok mana. Seharusnya nomor-nomor KA terlihat di layar monitor. "Monitor di Stasiun Gambir blank. Petugas tak bisa membaca nomor KA. Jaringan kabel data pengirim informasi perjalanan terputus," katanya.
"Kabel sinyal yang terbakar sempat diperbaiki dan berfungsi pukul 10.50. Namun, Kamis tengah hari, terjadi gangguan lagi. Perbaikan awal, dengan memotong bagian yang rusak dan menyambungkannya kembali, ternyata belum mampu mengatasi kerusakan," ujar Sujadi.
Pengaturan perjalanan KA dilakukan dengan menunggu KA masuk Stasiun Gambir terlebih dahulu, baru kemudian Stasiun Manggarai memberangkatkan KA berikutnya.
Pada Kamis malam layar pendeteksi lokasi KA di Stasiun Gambir sudah beroperasi, tetapi masih ada gangguan pada blok sinyal di Stasiun Cikini.
Menurut Sujadi, pembakaran kabel sinyal baru kali pertama terjadi saat ini. Juni lalu, di lokasi sama terjadi pencurian kabel data persinyalan yang menyebabkan 320 perjalanan KA terhambat.
Pencurian peralatan dan sarana PT KA sepanjang 2006 tercatat 54 kali, sedangkan sejak Januari 2007 hingga awal Juli sudah 9 kali. Peralatan yang dicuri adalah penghitung roda, kabel data persinyalan dan telekomunikasi, serta lampu penerangan. "Sebaiknya perusak prasarana KA digolongkan sebagai pelaku sabotase, bukan pelaku kriminal biasa karena berpotensi menyebabkan tabrakan KA," kata Sujadi. (NEL/KSP)
Posted by RaharjoSugengUtomo at 8:42 AM 0 comments
Labels: HeadlineNews: Kompas
APBN: Anggaran Pusat Bakal Dipangkas untuk Daerah
KOMPAS - Jumat, 20 Juli 2007
Jakarta, Kompas - Wakil Presiden Jusuf Kalla menyatakan, belanja barang pemerintah pusat akan dipangkas untuk dialokasikan menjadi belanja modal di daerah.
Langkah efisiensi ini bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi tahun mendatang dengan mengonsentrasikan pembangunan di daerah. Belanja barang pemerintah pusat tahun 2008 yang dapat dialihkan ke daerah mencapai Rp 30 triliun.
"Salah satu syarat perekonomian tumbuh adalah akumulasi pengeluaran modalnya harus lebih tinggi. Ini tadi sudah dibicarakan dengan menteri-menteri," kata Jusuf Kalla kepada wartawan seusai rapat tertutup dengan belasan menteri di Departemen Keuangan, Kamis (19/7) malam, di Jakarta.
Menurut Wapres, peningkatan belanja modal daerah adalah untuk pembangunan infrastruktur, seperti pengairan untuk pertanian, jalan, listrik, dan rel kereta api. "Konsekuensi dari peningkatan belanja modal di daerah tersebut, belanja barang untuk departemen di Jakarta diturunkan," katanya.
Penghematan yang dilakukan, ujarnya, antara lain pemotongan biaya operasional untuk perjalanan, biaya seminar, pembelian peralatan kantor, serta pembangunan gedung. Namun, upaya itu tak berdampak pada pengurangan defisit APBN 2007 atau 2008.
Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Paskah Suzetta menjelaskan, pengalihan anggaran itu akan melalui mekanisme perubahan APBN. Belanja pemerintah pusat yang akan dikurangi tidak termasuk belanja untuk pegawai. Untuk tahun 2008, jumlah belanja barang pemerintah pusat yang bisa dialihkan untuk belanja modal di daerah, menurut Paskah, nilainya bisa mencapai Rp 30 triliun. Untuk nilai tahun 2007, lanjutnya, hal itu belum bisa dihitung sebab sudah banyak kontrak yang berjalan.
Menurut Paskah, besarnya belanja barang pemerintah pusat untuk tahun 2008 mencapai Rp 82 triliun. Adapun belanja modal daerah nilainya juga Rp 82 triliun. "Jadi ini semacam revolusi fiskal di negara kita. Mudah-mudahan DPR bisa diajak bicara mengenai ini," katanya.
Pada siang harinya dalam seminar yang diselenggarakan Citibank, Wapres menyatakan optimistis perekonomian akan bertumbuh sedikitnya 7 persen pada tahun 2008 dan 8 persen pada 2009. Pemerintah akan mengupayakan agar berbagai persoalan yang menghambat investasi dan pertumbuhan ekonomi dapat diselesaikan tahun ini. Persoalan paling utama antara lain ketidaksiapan infrastruktur serta tingginya tingkat bunga.
Banyak masalah struktural
Sepuluh tahun setelah krisis masih banyak masalah struktural pada perekonomian nasional. Ini yang kemudian menyebabkan pendapatan nasional bertumbuh di bawah rata-ratanya di era sebelum krisis. Disparitas pendapatan yang semakin melebar, kualitas pembangunan manusia yang menurun, dan informalitas tanpa proteksi sosial dalam pasar tenaga kerja yang meningkat.
"Itu adalah beberapa saja dari ekses-ekses tersebut," kata Ketua Umum Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Dr Burhanuddin Abdullah, pada pembukaan Sidang Pleno ISEI Ke-12 di Balikpapan, kemarin, dengan tema "Kebangkitan Ekonomi Indonesia: 10 Tahun Pascakrisis".
Menurut Burhanuddin, yang juga Gubernur Bank Indonesia, dampak lanjutan yang merisaukan saat ini adalah produktivitas total faktor produksi yang masih melemah, pasar domestik yang mulai menciut, dan minat pengusaha untuk meningkatkan kapasitas melalui penyerapan tenaga kerja dan pembentukan modal yang belum pulih.
"Kita kemudian merasakan daya saing perekonomian, baik dari sisi produktivitas kapital, tenaga kerja, maupun dari sisi kualitas produk barang dan jasa yang kita tawarkan, menjadi menurun," ujar Burhanuddin.
Di tengah semua itu, katanya, terdapat pula kemampuan yang asimetris pada kedua kelompok dalam piramida sosial ekonomi dalam menyikapi kejutan dalam perekonomian. "Kerentanan terhadap shocks menyebabkan si miskin yang lemah menjadi semakin lemah, sementara si kaya yang memiliki banyak cushion dapat dengan mudah melakukan penyesuaian," ujarnya.
Situasi kontras itu, tutur Burhanuddin, di ujungnya berpotensi menjadi umpan balik negatif pada kesinambungan pemulihan pertumbuhan ekonomi seiring munculnya gejala jebakan kemiskinan dan efek menetes ke atas dalam perekonomian (a trickle up economy). (TAV/DAY/gun)
Posted by RaharjoSugengUtomo at 8:41 AM 0 comments
Labels: HeadlineNews: Kompas
Tim Depdagri ke Garut
KOMPAS - Jumat, 20 Juli 2007
Unjuk Rasa Desak Bupati Mundur
Garut, Kompas - Sebuah tim dari Departemen Dalam Negeri, Kamis (19/7), datang ke Kabupaten Garut untuk mengumpulkan informasi tentang kemelut yang tengah berlangsung di kabupaten tersebut. Namun, tim yang terdiri dari empat anggota itu belum berkomentar banyak tentang masalah tersebut.
"Kami datang untuk mendengarkan pernyataan secara langsung seperti apa masalah yang terjadi di Garut. Berdasarkan informasi yang kami serap, Bupati telah keluar jalur, baik secara politis maupun hukum. Ini akan segera kami sampaikan ke pusat," kata Asih Kurniasih, salah seorang anggota tim Depdagri dari Direktorat Pejabat Negara Depdagri.
Kisruh Garut sudah berlangsung sejak tiga pekan akibat kekecewaan berbagai elemen masyarakat terhadap perilaku Bupati Garut Agus Supriadi, terutama masalah dugaan korupsi APBD. Hampir setiap hari mereka berunjuk rasa menuntut Bupati mundur dari jabatannya.
Di Garut, tim Depdagri bertemu beberapa pihak, yaitu Kepala Badan Koordinasi Wilayah (Bakorwil) Priangan, Wakil Bupati Garut, Kepala Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD), pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Garut, dan sejumlah elemen gerakan antikorupsi. Pertemuan dengan Kepala SKPD dan perwakilan gerakan antikorupsi berlangsung di ruangan Wakil Bupati Garut.
Kepala Bakorwil Priangan Deddy Gurnadi menambahkan, pertemuan ini hendak mempercepat jalan bagi adanya solusi dari para pimpinan, termasuk Presiden, Mendagri, dan Gubernur sebagai pembina aparatur negara.
Sekjen Garut Governance Watch Agus Sugandhi menyatakan, hal yang disampaikan dalam pertemuan itu antara lain manajemen pemerintahan Bupati, perilaku Bupati, dan indikasi korupsi Bupati.
Ketua Forum Guru Garut Dadang Johar Arifin menambahkan, kemelut di Garut merupakan akumulasi kekecewaan birokrasi dan masyarakat atas perilaku kepala daerah. Karena itu, ia berharap Bupati Garut diberhentikan.
Menurut Deddy, berbagai elemen gerakan antikorupsi sudah lelah setiap hari berunjuk rasa mendesak Bupati Garut Agus Supriadi mundur. Oleh karena itu, penon-aktifan sementara Bupati Garut diharapkan mampu meredam situasi.
Sekretaris Daerah Kabupaten Garut Achmad Muttaqien, yang melakukan inspeksi mendadak ke sejumlah instansi pemerintah daerah, mengakui, aktivitas instansi di lingkungan Sekretariat Daerah terganggu. Namun, di luar itu aktivitas pemerintahan di kantor yang tidak berada di kompleks Setda tetap berjalan normal.
Ia mengimbau pegawai negeri sipil agar tidak terpengaruh pada situasi yang tengah terjadi. Saat pertemuan tim Depdagri dengan berbagai pihak berlangsung, di luar Kantor Bupati unjuk rasa mendesak Bupati mundur masih berjalan. Pengunjuk rasa berasal dari berbagai elemen pergerakan antikorupsi dan massa dari beberapa partai politik. (ADH)
Posted by RaharjoSugengUtomo at 8:39 AM 0 comments
Labels: HeadlineNews: Kompas
Menlu: Terlalu Dini Lakukan Penolakan
KOMPAS - Jumat, 20 Juli 2007
SOLO, KOMPAS - Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda menegaskan, terlalu dini bagi Dewan Perwakilan Rakyat untuk menolak Perjanjian Kerja Sama Pertahanan (Defence Cooperation Agreement/DCA) RI dengan Singapura. Pasalnya, hingga kini pembahasan rencana kerja sama pertahanan tersebut baru pada bab pendahuluan dan naskahnya belum diserahkan kepada DPR.
Hassan menyampaikan hal itu kepada pers di Solo, Kamis (19/7). "Kedua perjanjian, ekstradisi dan DCA, itu belum disampaikan kepada DPR. Hak DPR itu meratifikasi. Kalau pemerintah belum menyerahkan dan belum dibicarakan antara pemerintah dan DPR, itu belum dapat dikatakan sudah ada penolakan," ujarnya sambil menambahkan, dalam rapat kerja dengan Komisi I beberapa waktu lalu, DPR menyarankan agar pemerintah merampungkan naskah perjanjian itu sendiri. "Yang saya maksud bukan DCA, tetapi peraturan pelaksanaan yang sampai sekarang belum ada satu pun," katanya.
Di Magelang, Panglima TNI Marsekal Djoko Suyanto menyatakan, TNI telah menyiapkan 16-17 lembar aturan teknis untuk setiap daerah latihan militer yang akan dipakai oleh Singapura, seperti tertuang dalam DCA. Aturan tersebut kini baru disepakati berlaku di empat daerah latihan saja.
"Saat ini kami masih perlu merundingkan aturan teknis di satu daerah latihan militer," ujarnya merujuk pada Area Bravo.
Empat daerah lainnya, seperti Alpha 1, Alpha 2, dan Pulau Kayu Arang, aturan teknisnya sudah disepakati RI dan Singapura.
Sekolah Staf dan Komando Tentara Nasional Indonesia (Sesko TNI) siap mengajarkan materi mengenai DCA bila perjanjian itu disetujui. Kepala Staf Sesko TNI Marsekal Madya Basri Sidehabi di Bandung mengatakan, pendidikan seperti itu bisa menjadikan peserta didik sebagai tulang punggung bagi Indonesia dalam melakukan hubungan bilateral dengan negara lain.(CHE/SON/EGI/BEN)
Posted by RaharjoSugengUtomo at 8:37 AM 0 comments
Labels: HeadlineNews: Kompas
BAHASA: Warna Orang-orang
KOMPAS - Jumat, 20 Juli 2007
Belajar nama-nama warna dalam bahasa asing tidaklah selalu terlalu mudah dan sering menimbulkan kesalahan kebahasaan yang bersifat kekanak-kanakan. Terkadang bunyi suatu nama warna terasa lebih pas dengan warna yang tidak sebenarnya. Sebagai contoh, saya dulu merasa bahwa nama biru lebih cocok dengan warna hijau, dan oleh karena itu saya sering mencampurkannya.
Cukup malu juga minta sekilogram apel biru di pasar. Itu bisa dianalogikan dengan keponakan saya di Blora yang waktu berumur empat tahun teriak-teriak, "Aku lapar! Aku lapar!" Padahal, maksudnya, "Aku (sudah) kenyang!" Tak aneh jika ia marah kalau setiap kali mengatakan bahwa ia kenyang (sebagaimana ia memahami bahasanya), ia malah diberi makanan!
Kembali ke nama warna. Sekarang ada dua warna yang bunyinya sangat keren dalam bahasa Indonesia: ping dan orinj. Dengan kata lain, pink dan orange. Atau dengan kata lain lagi: merah muda dan oranye. Atau: merah jambon dan kuning kebakaran. Ah, yang terakhir itu terlalu bahasa Swendonesia. Namun, warna itu juga disebut (warna) layung atau lembayung. Mambang kuning dan merah jingga pun tercantum dalam Tesaurus Bahasa Indonesia.
Anak saya yang lima tahun sedang kesusahan mengucapkan oranye. Jadinya selalu orang-orang. Maka tidak aneh kalau terlontar kalimat seperti ini di rumah kami: "Aku mau pakai celana warna orang-orang itu, lo!" Saya kira dia tidak salah sebab sekarang pas musim panas di Swedia, orang-orang cenderung tidak berwarna kulit putih. Setiap kali matahari muncul di langit, orang-orang berbondong- bondong ke tempat tak berteduh guna dijilati sang kuning besar. Maka, orang sekarang memang berwarna kulit oranye atau mungkin merah muda. Tunggu sebulan lagi, orang kelihatan seperti kepiting. Itu berarti warna orang-orang bakal berubah sesuai dengan musim. Lagi pula, warna orang-orang itu tidak akan sama di semua benua. Mungkin akan lebih baik jika dia kami ajari kata lembayung saja sebagai pengganti warna orang-orang. Hanya takutnya tidak ada anak lain yang bisa memahami maksudnya nanti kalau dia pakai kata itu di Indonesia.
Berbicara mengenai warna kulit, yang merupakan salah satu topik kesukaan khalayak ramai di Indonesia, perlu saya umumkan bahwa anak kami yang kedua yang baru lahir pada bulan Juni kemarin kami beri nama Albin. Nama ini berasal dari kata bahasa Latin Albinus, dan kata ini terbentuk dari kata albus yang berarti ’putih’. Ini juga asalnya kata albino dan bulai (bulé), seperti pernah saya bahas dalam rubrik ini dua tahun lalu. Jadi, baru Albinlah di keluarga kami yang bisa mengaku benar-benar orang bulé, karena namanya saja Albin. Bahwasanya ibunya orang Indonesia tidak perlu dihiraukan, dan warna kulitnya pun tidak berperan dalam masalah ini. Namanyalah yang menentukan. (Tidak mungkin Pak Soleh tidak saleh.)
Kembali ke ping dan orinj. Mengapa dua warna ini, dan bukan warna-warna lain, yang cenderung diucapkan dengan bahasa asing? Apakah mungkin karena kedua warna ini merupakan warna campuran? (Warna campuran melahirkan bahasa campuran?) Ataukah, karena bahasa Indonesia untuk kedua warna ini lebih banyak suku katanya? (Kepanjangan kata melahirkan kebosanan berbicara?) Ataukah, karena dikira tidak ada bahasa Indonesianya yang tepat?
André Möller Pengamat Bahasa, Tinggal di Swedia
Posted by RaharjoSugengUtomo at 8:35 AM 0 comments
Labels: HeadlineNews: Kompas