Tuesday, July 24, 2007

Antara pilihan kerja atau Keluarga?

Anthony Dio Martin
Managing Director HR Excellency

Tanya:
Salam antusias,
Pak Dio Martin. Baru kali ini saya mengirimkan e-mail kepada Bapak. Terakhir saya mengikuti seminar Bapak tentang How to Be a Star Employee yang sangat menarik.
Saya mempunyai pertanyaan yang cukup menjadi renungan saya beberapa waktu belakangan ini. Ketika sedang berada di toilet hotel, ada bersama saya beberapa ibu yang rupanya juga mengikuti seminar lain di hotel yang sama yang sedang mengobrol.
Topik yang mereka obrolkan cukup menarik dan ada hubungannya dengan How To be a Star Employee tadi. Yang satu sedang menceritakan isi email yang ia terima tentang prioritas hidup melalui perumpamaan satu ember yang diisi pasir, batu dan air.
Ia menyatakan setelah membaca e-mail tersebut ia mengubah prioritasnya, yakni ia harus punya waktu lebih banyak buat keluarga ketimbang untuk kantor, sebab bila terjadi apa-apa dengan keluarganya, kantor tak akan melakukan apapun untuk menolong.
Jauh lebih penting baginya 'mengayakan' keluarganya daripada 'mengayakan' perusahaan. Investasi jangka panjang istilahnya.
Namun karena ia masih perlu uang, maka ia akan tetap bekerja, walau tak sengoyo dulu. Nah Pak Dio Martin, saya jadi berpikir panjang. Bila si ibu itu mengubah prioritasnya, maka akan sukar baginya menjadi karyawan yang Star, sebab sumberdaya yang ia berikan tidak optimal.
Salah satunya, ia tak bisa pulang di atas jam lima sore. Menurut Bapak, bisakah orang memiliki keduanya, yaitu waktu untuk keluarga dan waktu untuk kantor sama baiknya? Atau memang harus memilih?

Novi F. Lasi
HRD Manager sebuah perusahaan distribusi farmasi


Jawaban
Ibu Novi. Masalah memilih antara keluarga atau kerja memang isu dilematis yang klasik. Banyak orang merasa terjebak, khususnya karyawan. Masalahnya, jika ia memilih pekerjaan maka ia harus mengorbankan prioritas bagi keluarganya. Tetapi jika ia memilih keluarga, maka waktunya untuk kerja menjadi tidak maksimal.
Saran saya. Langkah terbaik sebenarnya bukan memilih A atau B, tetapi A dan B. Untuk itu, solusinya tidak terletak pada cara bekerja dan pola pikir yang sekarang dipakai. Einstein mengatakan, "Suatu masalah tidak bisa dipecahkan pada level di mana masalah itu tercipta". Dengan kata lain, kita harus menggunakan level berpikir lain untuk melihat permasalahan ini.
Level berpikir yang dimaksud termasuk memetakan kembali pola kerja kita dalam memprioritaskan waktu untuk tugas kita. Bisa jadi, selama ini teknik pengaturan waktu di kantor begitu inefektif, sehingga menghabiskan banyak waktu. Akibatnya, kita jadi tidak punya waktu untuk keluarga lagi.
Perlu bagi kita untuk melihat ulang secara total, mana waktu yang seringkali tersia-siakan sehingga jadi kehilangan waktu bagi keluarga.
Sama seperti ilustrasi mengenai wadah yang diisi pasir (masalah kecil) dan batu (masalah besar). Kita harus menata ulang. Intinya, harus dimulai dari awal lagi.
Sebagai ilustrasi, pernah terjadi seorang manager wanita yang cukup sukses, setelah menikah masih tetap saja bekerja hingga larut malam. Suatu hari suaminya memberikan ultimatum, "Bekerja hanya boleh sampai jam enam atau keluar saja dari perusahaan untuk mengurusi keluarga".
Dengan ultimatum ini, akhirnya si manager bercerita bagaimana ia terpaksa menata ulang semua pekerjaannya. Toh akhirnya, sudah setahun lebih ternyata ia bisa pulang tepat jam enam. Tetapi semua pekerjaannya bisa selesai. Salah satunya ia cerita, terlalu banyak waktu dihabiskan dengan mencari arsip file-nya yang berantakan, dan ada pekerjaan yang bisa delegasikan.


BaCa SeLeNgKaPnYa disini...

Perseorangan Bisa Ikut Pilkada

KOMPAS - Selasa, 24 Juli 2007

KPU Jakarta Tolak Pencalonan Independen untuk Pilkada 2007

Jakarta, Kompas - Pemilihan kepala daerah atau pilkada memasuki era baru setelah hari Senin (23/7) Mahkamah Konstitusi atau MK memutuskan tidak hanya partai politik yang bisa mengajukan calon, tetapi perseorangan juga dapat mengajukan diri menjadi calon kepala daerah.
Menurut MK, ketentuan Undang-undang (UU) Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang menyatakan hanya partai atau gabungan parpol yang dapat mengajukan pasangan calon kepala daerah, bertentangan dengan Undang-undang Dasar 1945. Ketentuan itu menutup hak konstitusional seseorang.
Uji materi terhadap UU No. 32/2004 diajukan anggota DPRD Kabupaten Lombok Tengah (Nusa Tenggara Barat) Lalu Ranggalawe. Dari sembilan hakim konstitusi, tiga hakim mengemukakan pendapat berbeda (dissenting opinion). Putusan MK disambut elemen warga sipil dengan langsung menyanyikan lagu perjuangan selepas penyerahan putusan. Aktivis Gerakan Jakarta Merdeka M Fadjroel Rachman menegaskan, putusan MK itu bahkan bisa menjadi modal untuk memperjuangkan calon perseorangan dalam pemilihan presiden.
Sebelumnya, kesempatan majunya calon perseorangan hanya dibuka untuk Nanggroe Aceh Darussalam, sesuai UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Tetapi, itu pun berlaku untuk sekali pilkada saja.
Merujuk putusan MK, kesempatan serupa mesti diberikan di daerah lain agar tidak terjadi dualisme hukum yang mengakibatkan ketiadaan kedudukan yang sama antarwarga negara. Persamaan hak diterapkan dengan mengharuskan UU No. 32/2004 menyesuaikan dengan perkembangan baru, yaitu memberi hak kepada perseorangan untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah tanpa melalui parpol.
Tiga hakim yang menyatakan pendapat berbeda adalah Achmad Roestandi, I Dewa Gede Palguna, dan HAS Natabaya. Natabaya dan Roestandi berpendapat, hak calon perseorangan tidak ditutup, tetapi dibatasi. Pembatasan itu tidak inkonstitusional.
MK berpendapat, perseorangan tetap dibebani kewajiban jumlah dukungan minimal untuk pencalonan. Tetapi, syarat itu tak boleh lebih berat ketimbang syarat parpol yang bisa mengajukan calon. Dalam UU 32/2004, parpol atau gabungan parpol dengan minimal 15 persen kursi atau perolehan suara sah pemilu DPRD bisa mengajukan calon.
Ketentuan syarat minimal dukungan adalah kewenangan pembentuk UU. Tetapi, MK berpendapat, Komisi Pemilihan Umum (KPU) berwenang mengadakan pengaturan untuk menghindari kekosongan hukum, sebelum pembentuk UU mengatur syarat dukungan bagi perorangan.
KPU Jakarta menolak
Ketua Partai Golkar Priyo Budi Santoso menilai, MK seperti meninggalkan "bom waktu". DPR dan pemerintah dipaksa menerima apapun putusan MK atas nama konstitusi.
Sebaliknya, Ketua Partai Demokrat Anas Urbaningrum justru menilai putusan MK patut diapresiasi sebagai ikhtiar membuka ruang demokrasi di tingkat lokal. Kesempatan bagi calon perseorangan juga memberi tantangan bagi parpol untuk memperbaiki dan membenahi diri.
Yang jelas, putusan MK itu berimplikasi teknis yang tak mudah, terutama bagi daerah yang pilkadanya dilaksanakan setelah putusan itu. Ketua Partai Persatuan Pembangunan Lukman Hakim Saifuddin maupun Wakil Ketua Fraksi Partai Golkar DPR Ferry Mursyidan Baldan mengingatkan, putusan MK tidak bisa ditindaklanjuti hanya dengan keputusan KPU.
"Meski amat risih, jalan keluar dari putusan MK yang kurang arif itu adalah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu). Tanpa Perpu, bangsa ini berada dalam ketakpastian hukum," sebut Lukman.
Sementara Wakil Ketua KPU Ramlan Surbakti menyebutkan, KPU tentu harus menunggu DPR dan pemerintah mengatur persyaratan perseorangan menjadi calon kepala daerah dan wakil kepala daerah, misalnya, soal jumlah dukungan minimal pemilih di suatu daerah.
Refli Harun, staf ahli MK pun menegaskan, jangan sampai ada kekosongan hukum, setelah putusan MK itu.
Di sisi lain, KPU Provinsi DKI Jakarta memutuskan menolak calon perorangan ikut dalam pilkada, 8 Agustus 2007. Anggota KPU Jakarta, Hamdan Rasyid dan Muflizar, Senin, menegaskan, putusan MK itu tak menyebutkan pilkada DKI harus diulang, karena putusan itu.
"Dengan kata lain, Pilkada DKI 2007 kali ini belum diikuti calon perorangan," ujar Hamdan lagi.
Muflizar menambahkan, KPU Jakarta menolak calon perorangan ikut dalam Pilkada DKI 2007, karena putusan MK belum bisa direalisasikan. Putusan itu belum memiliki aturan pelaksanaan. (dik/mam/bdm/win)

BaCa SeLeNgKaPnYa disini...

Kekeringan: Menteri Pertanian Optimistis Produksi Beras 2007 Tidak Terganggu

KOMPAS - Selasa, 24 Juli 2007

Magelang, Kompas - Menteri Pertanian Anton Apriyantono optimistis target peningkatan produksi beras nasional sebesar dua juta ton tidak akan terganggu meski dari beberapa daerah dilaporkan terjadi kekeringan. Sebab, katanya, kekeringan yang terjadi sekarang ini masih dalam kategori wajar, apalagi pada musim kemarau ini masih terjadi hujan meski tidak besar.
"Produksi beras baru akan terganggu jika kekeringan terus berlanjut hingga musim hujan," katanya seusai rapat koordinasi Program Pemberdayaan Petani melalui Teknologi dan Informasi Pertanian (P3TIP) di Magelang, Jawa Tengah, Senin (23/7).
Di Jakarta, Direktur Jenderal Sumber Daya Air Departemen Pekerjaan Umum Iwan Nursyirwan Diar menyatakan, pihaknya saat ini sedang mengevaluasi kondisi waduk di seluruh Indonesia. Evaluasi dilakukan menyusul laporan dari daerah-daerah tentang ancaman kekeringan.
Jika memang dibutuhkan, pihaknya akan menyusun rencana modifikasi cuaca berupa hujan buatan untuk mengisi waduk.
Sejauh ini, kata dia, waduk yang harus diwaspadai hanyalah Kedungombo di Jawa Tengah. Waduk lain yang banyak disebut mengalami penyusutan air, seperti Jatiluhur, Cirata, Sempor, Gajah Mungkur, katanya, masih aman.
Namun, berdasarkan pemantauan di lapangan, cadangan air di Kedungombo saat ini sudah di bawah angka normal. Bahkan, seperti disebut Kepala Unit Waduk Kedungombo, Jawa Tengah, Bambang Harianto, kondisinya merupakan yang paling parah dalam 15 tahun terakhir.
Sementara itu, di Waduk Sempor, air juga sudah menyusut (Kompas, 23/7).
Petani berebut air
Dari Madiun dilaporkan, berkurangnya pasokan air irigasi dari Waduk Notopuro di Kecamatan Pilangkenceng telah memicu konflik antarpetani serta antara petani dan penjaga pintu air. Ini terjadi karena petani di wilayah hulu yang memiliki sawah tadah hujan menyerobot air untuk jatah sawah irigasi teknis di hilir.
Menurut Wiyartono (45), petani asal Desa Bulu, sudah sepekan ini sawahnya, juga 100 hektar sawah lainnya, tidak mendapat pasokan air. Setelah ditelusuri, ternyata aliran air irigasi di hulu telah dibelokkan ke sawah lain.
Bersama puluhan petani, Wiyartono kemudian mendatangi petugas penjaga pintu air Waduk Notopuro, tetapi penjaga pintu tak bisa berbuat apa-apa.
Kepala Dinas Pengairan Kabupaten Madiun Budijono mengakui, perebutan air irigasi selalu terjadi pada setiap musim kemarau.
Menurut dia, tiga waduk besar di Kabupaten Madiun, yakni Waduk Dawuhan, Waduk Saradan, dan Waduk Notopuro, telah mengalami penyusutan volume air yang cukup tajam.
Bupati Magelang Singgih Sanyoto mengatakan, selain penurunan debit air, kesulitan air di lahan pertanian juga disebabkan kebocoran pada saluran irigasi.
Hematlah air
Terhadap berbagai keluhan petani pada musim kemarau ini, Menteri Pertanian menyatakan tidak banyak yang bisa dilakukan. "Upaya yang paling mungkin adalah mendorong masyarakat agar berhemat air," katanya.
Petani di Jawa Barat menyiasati kekeringan dengan menanam varietas padi yang tahan kekeringan dan serangan hama, seperti Ciherang dan IR 64. Cara lain adalah menanam hortikultura. (EGI/MAS/RYO/SON/ ONI/MKN/WER)

BaCa SeLeNgKaPnYa disini...

Pilkada DKI: Karnaval Disambut Dingin, Kaus Jadi Rebutan

KOMPAS - Selasa, 24 Juli 2007

Senin (23/7), kampanye pasangan calon gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta mulai digelar. Karnaval kampanye timpang karena hanya diikuti massa dari salah satu pasangan calon. Masyarakat tidak tampak antusias. Namun, kaus dan pin tetap jadi rebutan.
Pukul 10.00 tepat mobil hias lengkap dengan Tugu Monas kecil merangkak keluar dari lapangan parkir Monas. Karnaval kampanye yang diselenggarakan Komisi Pemilihan Umum DKI Jakarta, tetapi diprotes keras oleh Panitia Pengawas Pemilihan Kepala Daerah DKI Jakarta, tetap dilangsungkan. Hal ini ibarat peribahasa "anjing menggonggong kafilah tetap berlalu".
Terdapat 20 mobil hias sesuai dengan jumlah partai pendukung Fauzi Bowo-Prijanto. Menembus jalan protokol Sudirman-Thamrin, karnaval tampak meriah dengan konvoi ribuan sepeda motor.
"Wah, pawainya kok aneh, seperti pawai taman kanak- kanak? Memang menarik perhatian, tetapi aneh. Kalau bisa sih, jangan mengganggu lalu lintas," kata Alvin Yunata (30), yang berkantor di kawasan Thamrin.
Agni Pratistha (19), Putri Indonesia 2006, yang juga karyawati swasta yang berkantor di kawasan Sudirman, mengaku tidak melihat pawai. "Kampanye dalam bentuk pawai sudah tidak menarik perhatian lagi. Masyarakat kita sudah pintar. Jadi sudah enggak kena kalau mencari simpati seperti itu. Pawai seperti itu tidak penting," kata Agni.
Paramita Arumdhani (20), yang tinggal di Cipete, Jakarta Selatan, jengkel dengan kondisi lalu lintas yang padat. "Biasanya dari rumah ke kantor di Sudirman hanya setengah jam. Hari ini satu setengah jam di jalan. Ini menyebalkan. Siapa pun yang terpilih, tolong kurangi kemacetan," ujar Paramita.
Dewi Metyasari, yang berkantor di Jalan Thamrin, mengaku tak tahu ada pawai. "Emangnya ada pawai apaan?" kata Mety, yang mengaku tak terganggu macet karena sudah tiba di kantor pukul 09.00 pagi.
Musik tradisional
Warna-warni konvoi kemarin bak pelangi di tengah hari. Artis Ibu Kota serta musik tradisional turut memeriahkan konvoi itu.
"Kami sudah berjaga di sepanjang jalan rute karnaval sejak pukul 07.00. Syukurlah, karnaval dimulai pukul 10.00, setelah waktu macet pagi hari lewat," kata petugas Satuan Polisi Pamong Praja Karnadi.
Karnadi berdiri di belokan Jalan Sudirman-Kebon Sirih. Hanya ada beberapa orang yang berdiri menonton karnaval. Muka-muka puluhan pengendara sepeda motor dan mobil yang terpaksa dihentikan di mulut Jalan Kebon Sirih sebagian terlihat merengut.
"Saya sengaja janjian dengan klien setelah jam-jam sibuk pagi lewat, biar lancar. Ternyata, sekarang terhambat gara-gara kampanye. Susahnya lagi, sampai dua minggu ke depan pasti sering kena macet, selama masa kampanye ini, kan?" kata Agnesia (22), karyawati sebuah perusahaan di Jalan Sudirman.
Karnaval ini boleh dikata sepi penonton. Sebagian besar orang yang bergerombol di tepi jalan adalah sesama simpatisan yang sengaja berdiri menyambut karnaval dengan teriakan yel-yel maupun kibaran bendara serta spanduk.
Kemeriahan hanya terlihat di beberapa lokasi, seperti di bawah jembatan layang Sudirman dan Bendungan Hilir.
Di dua lokasi ini, sekelompok tukang ojek, pemulung, dan pengemis sibuk berteriak-teriak. Tangan mereka melambai-lambai dengan mengacungkan jari sesuai nomor urut pasangan calon. "Kaus, kausnya dong!" teriak mereka.
Simpatisan di atas sepeda motor dan mobil hias segera membalas lambaian mereka seraya melemparkan kaus berlembar-lembar. Seorang simpatisan pengendara sepeda motor berhenti dan membagi pin.
Ibu-ibu pengemis tertawa sambil mengenakan kaus melapisi daster lusuhnya. Beberapa tukang ojek tampak mengoleksi dua kaus berlainan warna.
Usai bagi-bagi atribut kampanye, rombongan karnaval terus melaju menembus Jalan Sudirman hingga ke Bundaran Patung Api Nan Tak Kunjung Padam.
Walaupun aturannya peserta kampanye harus menggunakan kendaraan roda empat atau lebih, sepeda motor tetap mendominasi kampanye kali ini.
Meski tak sampai terhenti karena macet, pengguna kendaraan pribadi dan angkutan umum terpaksa berdesak-desakan merayap di jalur lambat.
Akhirnya, tepat pukul 11.25, karnaval kampanye berakhir. (NEL/MZW/**/KSP)

BaCa SeLeNgKaPnYa disini...

Mengelola Golput Jakarta

KOMPAS - Selasa, 24 Juli 2007

Potensi golput dalam Pilkada Jakarta 2007 bisa mencapai 65 persen! Inilah salah satu hasil survei Lembaga Survei Indonesia yang dilansir akhir pekan lalu. Ada baiknya kita tak serta-merta terkejut dengan angka yang dahsyat ini.
Angka itu dihasilkan dari penggabungan tiga kantong golput potensial di Jakarta. Mereka yang pada saat survei diadakan (14-16 Juli 2007) tidak terdaftar sebagai pemilih, 33 persen. Mereka yang terdaftar tapi ragu-ragu bahwa pilkada akan memperbaiki keadaan, 13 persen. Mereka yang tak tahu apakah terdaftar atau tidak serta tak yakin bahwa pilkada akan memperbaiki keadaan, 19 persen.
Walhasil, angka itu hanya menggambarkan "potensi golput" secara kasar dan sangat awal. Pengayaan informasi selama masa kampanye—yang dimulai enam hari setelah survei diadakan—bisa saja mengubah keyakinan 32 persen calon pemilih.
Karena itu, sangat boleh jadi, jumlah golput tak sebesar ramalan Lembaga Survei Indonesia. Tetapi, bagaimanapun, persoalan golput Jakarta tetap memerlukan perlakuan layak. Kelayakan inilah yang kerap terganggu oleh dua kemungkinan sikap ekstrem: patriotisasi berlebihan dan pengabaian semena-mena.
Menjadi hak
Di masa Orde Baru, memilih adalah kewajiban. Pengingkaran atas kewajiban ini kerap kali mesti berhadapan dengan koersi dan represi. Menjadi golput pun merupakan patriotisme politik. Sebuah perlawanan bermakna.
Selepas Orde Baru, memilih tak lagi menjadi kewajiban, melainkan hak. Dalam konteks ini, menjadi golput pun menjadi hal biasa. Memilih atau tak memilih sama nilainya manakala dilakukan secara bertanggung jawab. Patriotisasi golput menjadi tak lagi relevan.
Celakanya, patriotisasi berlebihan inilah yang masih kerap ditemui. Golput digeneralisasi sebagai perlawanan-padu. Golput disemati identitas politik bahkan ideologi yang patriotik: pelawan kezaliman.
Patriotisasi berlebihan semacam ini mengidap masalah. Golput tidaklah mewakili sebuah kalangan atau kelompok politik homogen. Dalam konteks "memilih sebagai hak", golput mewakili sebuah spektrum luas dan beragam.
Ada golput teknis, yakni mereka yang karena sebab-sebab teknis tertentu (keluarga meninggal, ketiduran, dan lain-lain) berhalangan hadir ke tempat pemungutan suara, atau mereka yang keliru mencoblos sehingga suaranya dinyatakan tak sah.
Ada juga golput teknis-politis, seperti mereka yang tidak terdaftar sebagai pemilih karena kesalahan dirinya atau pihak lain (lembaga statistik, penyelenggara pemilu).
Ada pula golput politis, yakni mereka yang merasa tak punya pilihan dari kandidat yang tersedia atau tak percaya bahwa pilkada akan membawa perubahan dan perbaikan.
Sekalipun jumlahnya terbatas, ada pula golput ideologis, yakni mereka yang tak percaya pada mekanisme demokrasi (liberal) dan tak mau terlibat di dalamnya entah karena alasan fundamentalisme agama atau alasan politik-ideologi lain.
Maka, memosisikannya sebagai sebuah gerakan politik yang homogen dan padu adalah berlebihan. Sikap ini hanya menggelar panggung bagi para pahlawan kesiangan.
Bersikap sebaliknya, mengabaikan golput seolah sama sekali bukan faktor politik, juga sama bermasalahnya. Menggeneralisasi golput semata sebagai kegenitan politik dan mengabaikannya bukanlah tindakan bijak. Menyeragamkannya sebagai ekspresi kalangan tak berkesadaran politik juga sama tak layaknya.
Gejala penting
Bagaimanapun, golput tak jatuh dari langit. Dalam batas tertentu, golput mewakili sebuah gejala politik penting (turunnya kepercayaan masyarakat pada demokrasi, pemilu, partai, atau tokoh/kandidat), atau menggarisbawahi terjadinya kekeliruan penting seperti ketidakmampuan lembaga statistik, pemerintah, dan komisi pemilu dalam melakukan pendataan pemilih dan/atau sosialisasi tentang hal-ihwal pemilihan.
Kehadiran dan penguatan golput, apalagi jika jumlahnya makin signifikan, selayaknya diperlakukan sebagai alarm.
Dalam rentang waktu 2005-2007, umumnya pilkada di tingkat provinsi, kabupaten, dan kota memang ditandai oleh tingkat partisipasi yang relatif lebih rendah dibandingkan pemilu 2004 (legislatif dan presiden).
Angka rata-rata golput pilkada mencapai 27 persen. Dalam pilkada kabupaten, rata-rata golput 25 persen. Dalam pilkada kota dan provinsi rata-ratanya mencapai 34-35 persen.
Ancaman golput yang relatif tinggi semacam itu menjadi salah satu tantangan Pilkada Jakarta 2007.
KPUD, partai-partai, para kandidat dan kalangan lembaga swadaya masyarakat selayaknya menyikapinya sebagai salah satu tantangan yang perlu jawaban layak dan segera. Ancaman golput yang tinggi semestinya mendorong berbagai kalangan itu untuk melipatgandakan kerja.
KPUD mesti memperbaiki kerjanya untuk mempersempit kemungkinan kebocoran dan pencederaan hak-hak pemilih. Partai dan kandidat mesti mendekatkan isu dan program yang mereka tawarkan pada persoalan sehari-hari masyarakat dan pada pembelaan konkret hajat hidup orang banyak.
Kalangan LSM juga selayaknya tergerak ikut memfasilitasi terbangunnya pemilih maupun golput yang bertanggung jawab.
Yang penting disadari para pemilih dan calon golput Jakarta, ketika pencoblosan dilakukan pada 8 Agustus, pekerjaan sebagai warga Jakarta bukannya berakhir, tapi baru saja dimulai.
Terlepas dari besaran golput kelak, yang justru kerap absen dalam proses selepas pilkada adalah warga negara yang terus terjaga. Selayaknya hal ini tak terjadi di Jakarta.
EEP SAEFULLOH FATAH Direktur Eksekutif Sekolah Demokrasi Indonesia

BaCa SeLeNgKaPnYa disini...

KPK Jangan Berhenti

KOMPAS - Selasa, 24 Juli 2007

Rokhmin Dahuri Divonis Tujuh Tahun Penjara

Jakarta, Kompas - Putusan majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang menyatakan mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Rokhmin Dahuri terbukti korupsi, sehingga divonis tujuh tahun penjara, hendaknya menjadi dasar pengusutan lebih lanjut bagi Komisi Pemberantasan Korupsi.
Siapa saja yang ikut menerima dana nonbudgeter Departemen Kelautan dan Perikanan, termasuk para politisi, baik atas nama pribadi maupun partai politik, harus diusut.
Demikian ditegaskan Koordinator Program Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch Ibrahim Zuhdi Fahmi Badoh yang dihubungi Kompas, Senin (23/7). Ia menanggapi vonis yang dijatuhkan hakim Pengadilan Tipikor kepada Rokhmin.
"KPK jangan hanya berhenti pada Andin H Taryoto (mantan Sekjen DKP) atau Rokhmin. Perkara ini sudah menjadi isu publik. Putusan ini sudah cukup menjadi bekal bagi KPK menelusuri lebih lanjut ke mana saja dana nonbudgeter DKP mengalir," kata Fahmi.
Dalam sidang sekitar tiga jam, majelis hakim yang diketuai Mansyurdin Chaniago memvonis Rokhmin tujuh tahun penjara dan denda Rp 200 juta, yang jika tidak dibayar diganti dengan enam bulan kurungan.
Barang bukti uang tunai Rp 1,323 miliar, tanah dan tambak di Lampung atas nama Pigoselpi Anas (istri Rokhmin), serta satu mobil Toyota Camry, dirampas untuk negara. Putusan itu lebih berat daripada tuntutan jaksa Suwarji, yakni enam tahun penjara dan denda Rp 200 juta.
Sambil bersandar di kursinya, Rokhmin menggeleng-gelengkan kepala saat putusan dibacakan. "Saya berkeyakinan, saya tidak salah secara hukum. Ini bukti majelis hakim ditunggangi," kata Rokhmin.
Setelah sidang ditutup, pendukung Rokhmin di ruang sidang berteriak-teriak dan beberapa perempuan menangis histeris. Istri Rokhmin dan dua anaknya menangis. Salah satu di antaranya malah pingsan di ruang sidang, yang kemudian digotong ke ruang tunggu terdakwa.
Hadir mengikuti sidang di antaranya Presiden Partai Keadilan Sejahtera Tifatul Sembiring, Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin, dan mantan Menteri Keuangan Fuad Bawazier.
Putusan majelis yang beranggotakan lima hakim diwarnai dissenting opinion atau beda pendapat dua hakim karier, yakni Mansyurdin Chaniago dan Moerdiono, dengan tiga hakim nonkarier, yakni Dudu Duswara, I Made Hendra, dan Andi Bachtiar.
Seusai sidang, Rokhmin Dahuri menggelar jumpa pers didampingi istri serta pengacaranya, Mohammad Assegaf. "Saya akan banding, bahkan kasasi," kata Rokhmin.
Anggota DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Gayus Lumbuun, berpendapat, vonis hakim terlalu berat. "Putusan hakim adalah putusan populer untuk menyenangkan masyarakat saja dan tidak memerhatikan legal justice. Ini berbahaya untuk kepastian hukum di masa depan," ujarnya.
Vonis itu juga diprotes ratusan nelayan di Cirebon dengan membakar perahu dan menutup jalan raya pantai utara. Protes serupa juga terjadi di Lamongan, Jawa Tengah. (IDR/ACI/NIT)

BaCa SeLeNgKaPnYa disini...

"Six Feet Under"

KOMPAS - Selasa, 24 Juli 2007

Wajar para ilmuwan di Komisi Pemilihan Umum mengaku berjasa dan minta keringanan hukuman dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Penyelenggaraan Pemilu/Pilpres 2004 tak gampang karena undang-undangnya rumit, melibatkan logistik bagi lebih dari 100 juta pemilih, dan prosesnya lama.
Permintaan itu bukan hal aneh karena setiap orang berhak melakukannya. Wakil Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Ramlan Surbakti dan dua anggota KPU, Chusnul Mar’iyah dan Valina Singka, menemui Presiden Yudhoyono; Juni lalu mereka menemui Wakil Presiden Jusuf Kalla.
Betapa beruntungnya mereka punya akses ke ring satu, tak seperti narapidana lain. Status mereka sederajat dengan terpidana Tommy Soeharto, yang juga minta keringanan dan "diganjar" remisi demi remisi.
Berbeda misalnya dengan Badu atau Polan yang dipenjara karena mencuri ayam tetangga. Jangankan minta keringanan, mimpi bertemu RI-1 dan RI-2 pun mereka tak akan berani.
Ilmuwan KPU yang dipenjara karena korupsi, Ketua Nazaruddin Sjamsuddin dan para anggota Mulyana W Kusumah, Daan Dimara, Rusadi Kantaprawira, serta Safder Yusaac. Ramlan, Chusnul, Valina, dan puluhan karyawan KPU jelas tak korupsi.
Makanya aneh mengapa KPU sebagai lembaga—bukan terpidana—yang minta keringanan hukuman? Ramlan menjawab, "Yang berhak teman-teman kami di tahanan. Tetapi, karena ada kendala, antara lain soal waktu, kami memberikan bantuan dan dukungan."
Alasan itu masuk akal walau soal waktu bukanlah dalih yang tepat dalam proses hukum di sini yang biasa bertele-tele. Namun, ia secara tak langsung bisa ditafsirkan semua orang KPU ternyata ikut korupsi.
Praktik korupsi yang melibatkan pejabat belakangan ini makin tak beradab, makin tak masuk akal sehat, dan makin merajalela. Jika diibaratkan penyakit, korupsi bagai pasien yang sudah berbulan-bulan dirawat intensif di unit gawat darurat.
Pemberantasan korupsi juga terbukti tebang pilih. Jadi, siapa pun tak pantas lagi bermain di wilayah abu-abu dengan alasan konyol yang tak kenal logika hukum, terlalu mengada-ada, dan terkesan dicari-cari.
Ramlan, Valina, dan Chusnul tak perlu mencampuri urusan hukuman penjara Nazaruddin dan rekan-rekannya. Pemilu/Pilpres 2009 semakin dekat, lebih baik mereka konsentrasi mempersiapkan gawe nasional itu.
Jantung rakyat sempat deg-degan ketika persiapan logistik Pemilu 2004 kacau-balau sehingga pelaksanaannya nyaris tertunda. KPU sebaiknya belajar agar berbagai kesalahan tak terulang lagi daripada menepuk dada merasa berjasa.
Ramlan, Valina, dan Chusnul tak perlu ikut merasa berdosa gara-gara ulah Nazaruddin dan yang lain-lain. Solider kepada teman boleh, tapi bukan untuk hal-hal yang buruk.
Ambil perumpamaan Pemerintah RI mau ikut-ikutan berperan aktif dalam konflik internal di Irak setelah Presiden AS George W Bush berkunjung ke sini. Sejak awal RI menentang serbuan AS ke negara yang berdaulat itu, lalu kenapa mau kecipratan kesalahan Bush?
"Pengakuan dosa" KPU ini juga mengandung bahaya. Misalnya mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Rokhmin Dahuri divonis penjara karena aliran dana Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP). Lalu DKP sebagai lembaga juga minta keringanan dari Kepala Negara.
Maka, Departemen X tak mau kalah mau membela menterinya, begitu juga Komisi Y yang solider kepada ketuanya, atau Badan Z yang mau membela kepala badan. Tujuannya minta keringanan, yang terjadi malah peristiwa "ringan dan lucu" yang membuat rakyat terbahak-bahak.
Lebih lucu lagi rakyat bengong menyaksikan logika yang tak lagi menghargai hukum sebab-akibat ini. Seorang pejabat tak perlu takut vonis berat pengadilan karena korupsi, toh ia akan dibela mati-matian oleh instansi tempatnya bekerja.
Instansinya akan mencatat jasa-jasa sang pejabat. Itu pekerjaan mudah karena setiap pejabat merasa sudah berjasa kepada bangsa dan negara ini. Dengan modal itu ia bisa minta keringanan hukuman dari pejabat yang lebih tinggi.
Ia diberikan keringanan dan hitung punya hitung hukuman penjaranya tak berat dibandingkan hasil korupsi yang dipetiknya. "Ah, kalau untung banyak kayak begini, ya saya korupsi saja lagi," pikir si pejabat.
Sekarang saja sudah ada permintaan "perlakuan khusus" terhadap kepala daerah dalam pemeriksaan kasus korupsi. Salah satu perlakuan khusus, jika gubernur dimintai keterangan, aparat penegak hukum harus minta izin khusus dari Kepala Negara.
Di republik ini memang banyak orang berjasa. Mau mengurus KTP atau SIM, Anda mesti siapkan uang jasa.
Ingin bisnis lancar, tanam jasa dulu untuk keluarga penguasa.
Saking besar jasanya, anak dan istri penguasa Orde Baru menerima Mahaputra.
Mereka yang berjasa malah meninggalkan wasiat, kalau meninggal jangan dimakamkan di Kalibata. Berjasa atau tak berjasa, semua tak ada gunanya setelah manusia dikebumikan di bawah tanah.
Di bawah tanah, six feet under. Di bawah tanah tak ada keringanan hukuman, tak ada grasi, tak ada remisi.
Bahkan tak ada siapa-siapa. Semua gelap gulita.

BaCa SeLeNgKaPnYa disini...