Monday, July 23, 2007

Air Waduk Mulai Menyusut

KOMPAS - Senin, 23 Juli 2007

Pemerintah Diminta Lakukan Hujan Buatan untuk Atasi Kekeringan

Cilacap, Kompas - Menjelang akhir Juli ini sejumlah wilayah di Kalimantan, Sumatera, dan Sulawesi masih sering diguyur hujan, bahkan terjadi banjir. Sebaliknya, di Pulau Jawa mulai terjadi kekeringan. Di sejumlah waduk air mulai menyusut, sementara sumber-sumber air bersih juga mulai kering.
Menurut Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Badan Meteorologi dan Geofisika Mezak Arnold Ratag, Minggu (22/7), kondisi itu disebabkan anomali iklim berupa kenaikan suhu 1-1,5 derajat Celsius di utara Afrika dari suhu rata-rata 27-28 derajat Celsius. Akibatnya, massa udara kering dari Australia bergerak ke utara Afrika sehingga memperparah kekeringan di wilayah selatan ekuator, termasuk di Jawa, Bali, Nusa Tenggara, dan sebagian wilayah selatan Sumatera.
Dari pemantauan Kompas, cadangan air di Waduk Sempor, Kebumen, Jawa Tengah, terus menyusut. Saat ini cadangan air di waduk tersebut kurang dari 18 juta meter kubik atau hanya dapat memenuhi kebutuhan pengairan lahan sawah untuk 50 hari.
Kepala Bidang Irigasi Dinas Sumber Daya Air Pertambangan dan Energi Kebumen Muhtarom, Minggu, menyatakan, pihaknya saat ini hanya dapat berharap agar teknologi modifikasi cuaca berupa hujan buatan dapat segera dilakukan. Hal tersebut mengingat kondisi awan saat ini masih cukup baik untuk membuat hujan buatan.
"Pengalaman bulan Mei lalu, hujan buatan dapat menambah cadangan air di waduk hingga 12 juta meter kubik. Oleh karena itu, upaya hujan buatan itu cukup baik untuk menambah cadangan air di waduk," katanya.
Kondisi Waduk Cirata di Cianjur, Jawa Barat, juga tak jauh berbeda. Ketinggian air saat ini menyusut dari 217 meter di atas permukaan laut (mdpl) menjadi 214,98 mdpl. Debit air yang masuk ke waduk juga berkurang, dari yang normalnya 203 meter kubik per detik (m/dtk) menjadi 158 m/dtk. Ini terjadi karena pasokan air dari Waduk Saguling di Kabupaten Bandung dan subdaerah aliran sungai lainnya berkurang.
Pasokan air ke Waduk Saguling saat ini juga berkurang, dari 250 m/dtk menjadi 5 m/dtk.
Kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan Jawa Barat Asep Abdie mengaku, sekitar 8.000 hektar sawah di provinsi itu terancam kekeringan. Angka ini meningkat dibandingkan dengan Juni lalu yang baru 2.800 hektar. Meski demikian, katanya, kekeringan yang terjadi masih dalam skala ringan. Sebagian sawah juga sudah dipanen sehingga target produksi padi Jawa Barat 10 juta ton masih bisa tercapai.
Di Jawa Tengah, berkurangnya pasokan air dari Waduk Sempor juga tidak begitu mengkhawatirkan karena pasokan dari Waduk Wadaslintang di Kabupaten Wonosobo masih cukup, terutama untuk wilayah Kebumen bagian timur.
Kepala Divisi Jasa Air Sumber Air Bengawan Solo pada Perum Jasa Tirta I Suwartono juga menegaskan, hingga kini pasokan air dari Waduk Gajah Mungkur masih aman, baik untuk pertanian maupun pembangkit listrik.
Patungan beli air irigasi
Berbeda dengan sawah irigasi yang belum mengkhawatirkan, sawah tadah hujan di berbagai daerah mulai dilanda kekeringan sehingga petani harus pandai-pandai menyiasati.
Di Kabupaten Ngawi, Jawa Timur, misalnya, lebih dari 8.000 hektar sawah tadah hujan kini dilanda kekeringan. Di Desa Kwadungan, Kecamatan Kwadungan, para petani terpaksa membeli air dari penjaga fasilitas sumur pompa dalam.
Hari Minggu terlihat ratusan petani yang lahan sawahnya terhubung dengan saluran irigasi utama menerapkan sistem antre air. Petani yang memiliki lahan sawah tadah hujan tidak mendapatkan air dari fasilitas pengairan dari Waduk Notopuro.
Sumur pompa dangkal atau sumur pantek yang selama ini digunakan untuk mengairi sawah sudah tidak mengeluarkan air. Menurut Sunarto (45), petani setempat, satu-satunya alternatif pengairan selama musim kemarau adalah menggunakan sumur pompa dalam.
Menurut Kepala Bidang Pembangunan dan Pemeliharaan Sarana Dinas Pengairan Kabupaten Ngawi Setiyono, kekeringan sudah terjadi di tujuh kecamatan, di antaranya Kedungsarju, Mangunharjo, Kwadungan, Geneng, dan Kedunggalar.
Di Jawa Timur, kekeringan juga mulai melanda wilayah Kabupaten Madiun.
Sementara itu, di Desa Kawengen, Ungaran Timur, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, sekitar 100 hektar sawah terancam puso karena tidak cukup terairi.
Di Kabupaten dan Kota Tegal, untuk mengantisipasi kekeringan pada musim kemarau ini, sejumlah petani memanfaatkan sumur bor atau sumur pantek. Tolani (28), petani di Desa Randusari, Kecamatan Pagerbarang, Kabupaten Tegal, mengatakan, pemanfaatan sumur bor mulai dilakukan sejak akhir Juni lalu.
Untuk itu, petani harus menggunakan mesin pompa air dan mengeluarkan biaya tambahan, berupa biaya pembelian bahan bakar, yaitu bensin. Untuk lahan seluas setengah hektar, Tolani mengaku mengeluarkan biaya pembelian bensin Rp 30.000 setiap menyedot air.
Agar biaya yang dikeluarkan tidak terlalu banyak dan sebanding dengan hasil yang diperoleh, petani tidak lagi menanam padi, melainkan palawija dan buah-buahan.
Ketua Kelompok Tani Tri Mulya II Kelurahan Kalinyamat Kulon, Kecamatan Margadana, Kota Tegal, Asmawi Aziz mengatakan, saat ini ketersediaan air di wilayahnya mulai berkurang. Karena itu, petani yang sebagian besar menanam bawang merah terpaksa mengatur jadwal irigasi.
Air bersih juga sulit
Selain untuk pertanian, air bersih untuk kebutuhan sehari-hari warga juga mulai sulit didapatkan di sejumlah daerah. Di Kabupaten Gresik, Jawa Timur, kesulitan air setidaknya dialami warga Kecamatan Balongpanggang, Wringinanom, Benjeng, dan Driyorejo.
Selama ini kebutuhan air warga terpenuhi oleh air sumur telaga, tetapi sekarang telaga itu menyusut airnya sehingga mereka terpaksa membeli air dengan harga Rp 7.000 untuk satu gerobak. Hal yang sama juga terjadi di Semarang dan sebagian wilayah Cilacap.(GAL/WIE/MDN/ONI/ACI/ NAW/BAY/SON)

BaCa SeLeNgKaPnYa disini...

Kampanye Pilkada: Adang Ajak Benahi Jakarta, Fauzi Ingin Rombak Manajemen

KOMPAS - Senin, 23 Juli 2007

Jakarta, Kompas - Kampanye Pilkada Jakarta dimulai hari Minggu (22/7) dengan agenda penyampaian visi, misi, dan program setiap pasangan calon dalam Rapat Paripurna Istimewa DPRD DKI Jakarta.
Walau tidak ada dialog dengan anggota DPRD ataupun publik, ribuan pendukung pasangan calon memadati Gedung DPRD hingga jalan di depannya.
Setiap pasangan calon diberikan waktu 45 menit untuk menyampaikan visi, misi, dan program. Namun, semua pasangan calon tidak memanfaatkan secara penuh waktu yang diberikan.
Pasangan Adang Daradjatun-Dani Anwar, yang memperoleh kesempatan pertama, hanya 18 menit saat memaparkan program mereka: "Ayo Benahi Jakarta Menuju Jakarta sebagai Kota Jasa yang Modern, Aman, dan Sejahtera".
Dalam pemaparannya, Adang menyampaikan konsep, arah, dan kebijakan dasar membenahi Jakarta. Dani menyampaikan program aksi yang akan dilakukan jika terpilih nanti. "Jakarta ke depan membutuhkan paradigma pembangunan perkotaan dari paradigma pembangunan infrastruktur terpadu ke paradigma pembangunan perkotaan," kata Adang.
Fauzi Bowo, tanpa disertai Prijanto, menyampaikan visi, misi, dan programnya selama 32 menit. Dengan konsep "Membangun Jakarta yang Nyaman dan Sejahtera untuk Semua", Fauzi menonjolkan pengalamannya sebagai pejabat di Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Pengalaman itu dinilai penting untuk bisa menyelesaikan masalah rakyat Jakarta dengan lebih cepat.
"Kehadiran saya bersama Saudara Prijanto bukan sekadar mengembangkan program pembenahan, tetapi akan secara langsung merombak sistem manajemen pemerintahan, menata ulang rekrutmen dan promosi pejabat, serta menyegarkan sistem kepemimpinan untuk mengoptimalkan daya kerja birokrasi," kata Fauzi.
Ketua DPRD DKI Jakarta M Ade Surapriatna menegaskan, visi, misi, dan program yang disampaikan pasangan calon gubernur dan wakil gubernur itu akan menjadi dokumen resmi daerah dan menjadi acuan pembangunan Jakarta ke depan.
Kampanye damai
Pendukung kedua pasangan calon yang memadati Gedung DPRD di Jalan Kebon Sirih, Jakarta Pusat, menggunakan berbagai atribut, mulai dari bendera, kaus, hingga pernak-pernik. Selama tiga jam para pendukung kedua kubu "bertemu" di jalan di depan Gedung DPRD, tetapi tidak ada insiden yang terjadi. Pendukung kedua kubu bahkan nyaris bergabung.
Selama berkumpul di Kebon Sirih, kubu pendukung sibuk dengan aktivitas masing-masing. Ada yang sibuk mencari makan dan ngobrol bersama, sekadar duduk-duduk, mendengarkan orasi, bahkan ada yang bernyanyi bersama.
"Suasana damai itu awal dan bukti bahwa warga Jakarta tidak menginginkan konflik dalam pilkada kali ini," kata Ketua Kelompok Kerja Kampanye Komisi Pemilihan Umum DKI Jakarta Muhamad Taufik. (MZW/NWO/KSP)

BaCa SeLeNgKaPnYa disini...

Tanggung Jawab Sosial Korporasi

KOMPAS - Senin, 23 Juli 2007

Salah satu pasal yang membuat kegaduhan dalam Rancangan Undang-Undang Perseroan Terbatas yang pekan lalu disetujui untuk disahkan DPR menjadi Undang-Undang adalah Pasal 74 yang mengatur prinsip tanggung jawab sosial korporasi (corporate social responsibility/CSR).
Sesungguhnya, ketentuan yang erat berkait dengan hal ini telah diatur sebelumnya dalam Undang-Undang Penanaman Modal Nomor 25 Tahun 2007, terutama melalui Pasal 15 dan Pasal 34, yang memberikan sanksi administratif berupa peringatan tertulis, pembatalan kegiatan usaha, pembekuan kegiatan usaha, sampai pencabutan kegiatan usaha.
Pertautan antara kedua UU tersebut telah membuat dunia usaha menjerit karena dunia usaha merasa terjepit dengan terjadinya kemerosotan daya saing, biaya ekonomi tinggi, dan segala masalah lain, seperti reformasi pajak, undang-undang perburuhan, reformasi birokrasi, dan penguatan kelembagaan hukum yang belum mendapat perhatian yang saksama.
Soal itu jugalah yang menjadi perhatian Bruce L Hay, Robert N Stavins, dan Richard HK Vietor. Bagi guru besar Harvard Law School ini, pertanyaan mendasar bukan apakah korporasi wajib tunduk dan patuh kepada hukum karena pertanyaan tersebut tak lagi membutuhkan jawaban.
Yang menjadi soal penting adalah pertanyaan tentang tata cara apakah yang dapat mendorong korporasi bersedia untuk mengorbankan keuntungannya guna kepentingan sosial? Apakah mereka mampu melakukan hal itu mengingat mereka memiliki apa yang disebut sebagai fiduciary responsibilities terhadap para pemegang saham? (Environmental Protection and the Social Responsibility of Firms, Perspective from Law, Economic and Business, RFF Press, 2005).
Serangkaian pertanyaan seperti itu akan terus datang bergelombang jika pertanyaan dasar tentang mengapa perseroan harus punya tanggung jawab sosial tak ditemukan jawabannya. Padahal, menemukan jawaban itu tidaklah terlalu sukar karena pada dasarnya kepentingan perseroan tidak lagi boleh bergerak terbatas hanya pada kepentingan pemegang saham ataupun karyawan yang terlibat di dalamnya.
Definisi luas seperti itulah yang pada saat ini banyak dianut dengan meninggalkan apa yang di Amerika dikenal sebagai model philanthropic yang memperbolehkan korporasi untuk mendapatkan laba sebesar-besarnya dan kemudian diharapkan memberikan donasi sebagai bagian dari tanggung jawab korporasi.
Model "belas kasihan" seperti ini sudah banyak ditinggalkan oleh banyak negara karena apa yang disebut sebagai CSR berhubungan erat dengan soal akuntabilitas terhadap dampak yang ditimbulkan oleh keberadaan korporasi.
Dengan kata lain, yang dipersoalkan adalah menghilangkan seluruh dampak negatif dalam berbagai aspek kehidupan sosial, ekonomi, dan lingkungan yang dirasakan oleh seluruh masyarakat. Singkatnya, CSR lebih banyak berhubungan dengan terciptanya keseimbangan antara biaya rasional yang dikeluarkan dalam proses produksi dan laba operasional yang diperoleh korporasi dengan memperhitungkan seberapa besar dampak sosial, lingkungan, dan ekonomi yang ditimbulkan.
Itulah sebabnya agak mengherankan jika dunia usaha di Indonesia menjerit ketika RUU tentang PT disetujui untuk disahkan dan di dalamnya diatur tentang CSR ini. Seolah dunia usaha di Tanah Air menutup mata terhadap serangkaian kerusakan sosial, budaya, alam, dan ekonomi yang dihasilkan oleh kegiatan produksi korporasi.
Agak mengejutkan juga ketika disebutkan bahwa tak ada negara lain yang merumuskan soal CSR ini di dalam UU perseroan. Seolah terlupakan ketika Inggris memasukkan soal ini ke dalam UU PT dan mengaturnya di dalam ketentuan umum dan bahkan menetapkan adanya kewajiban pelaporan bagi seluruh perusahaan berkaitan dengan soal CSR yang telah tercatat di bursa saham. Semua persyaratan ini tercatat di dalam CODEX hukum di Inggris meskipun negara ini menganut sistem common law.
Tentu saja, sekelumit contoh tadi dapat bergerak secara jauh lebih dramatis jika dipahami bahwa pergerakan terhadap CSR ini sudah menjadi bagian yang dianggap fundamental bagi kehidupan manusia dan lingkungan tempat korporasi menjalankan aktivitas produksinya.
Gerakan sosial
Salah satu di antaranya diungkap oleh Jennifer A Zerk yang melukiskan bahwa gerakan sosial terbesar dalam periode saat ini adalah gerakan CSR yang memberikan tekanan terhadap multinasional, negara, dan bahkan hukum internasional yang dipandangnya terlalu banyak mengabaikan, jika tidak mau dikatakan sangat miskin, dalam memerhatikan persoalan globalisasi (Multinationals and Corporate Social Responsibility, Limitations and Opportunities in International Law, Cambridge Studies in International Law, No 48, Cambridge University Press, 2007).
Ia berkata, penerimaan terhadap prinsip CSR pada dasarnya bukan terletak pada persoalan hukum, tetapi lebih pada perlawanan ekonomi dan politik.
Tak mengherankan ketika RUU PT disetujui untuk disahkan, yang menjadi fokus hanya kegiatan usaha di bidang sumber daya alam, seolah kegiatan usaha di luar itu tidak memberikan dampak sosial, budaya, politik, dan ekonomi. Seolah kegiatan usaha yang mengambil bahan baku produksi dari alam, seperti furnitur, kosmetik, dan rokok, tak berkaitan dengan kerusakan lingkungan dan sosial budaya ketika begitu banyak perusahaan yang memanfaatkan tenaga kerja dengan upah yang teramat murah.
Yang mengherankan adalah ketika banyak negara sudah menganggap CSR sebagai bagian yang melekat dari dinamika korporasi, dunia usaha di Indonesia terus menjerit dan menganggap seolah CSR sebagai beban, bukan soal tanggung jawab.
Inti persoalan kemudian digeser dari masalah prinsip kehidupan manusia dan lingkungannya ke persoalan yang bersifat teknis perusahaan, yang berakhir pada masalah perhitungan antara untung dan rugi. Padahal, CSR berkaitan juga dengan kelangsungan kehidupan setiap korporasi.
Meskipun demikian, patut dicatat, memahami persoalan dunia usaha di Indonesia memang membutuhkan pendekatan lebih khusus. Jangan berharap berbicara tentang CSR di belahan Bumi yang lain akan sama nikmatnya jika berbicara soal yang sama dalam konteks Indonesia.
Di belahan Bumi yang lain, ketika korupsi dibabat habis dan seluruh mata rantai birokrasi dibereskan dengan memberikan tekanan kepada pemberesan kelembagaan hukum, reformasi birokrasi, remunerasi, dan reformasi hukum berjalan, dunia usaha mulai bergerak pasti dan siap bicara soal CSR dalam konotasi yang pahit sekalipun.
Sementara itu, di wilayah Nusantara, pengusaha harus berhadapan dengan semua urusan yang berkonotasi uang, birokrasi yang panjang dan melelahkan, kepastian hukum yang masih menjadi angan-angan, merosotnya daya saing, seretnya kredit dari perbankan, relatif tingginya pajak badan yang dikenakan negara, dan serentetan masalah lainnya yang membuat dunia usaha bagaikan hidup segan mati tak hendak.
Dalam situasi seperti itu, sangat masuk akal jika adopsi terhadap semua prinsip-prinsip yang berlaku di negara yang faktor kelembagaan ekonomi, sosial, budaya, hukum, dan politiknya sudah tertata dengan baik menjadi tak dapat bekerja dengan baik ketika dicoba untuk diterapkan di Indonesia.
Masalahnya tidak terletak pada adanya UU PT yang baru, tetapi lebih terletak pada bagaimana pemerintah memberikan ruang yang luas pada kenyamanan berusaha dengan memerhatikan faktor kelembagaan sebagai faktor yang dominan sebelum adopsi terhadap konsep apa pun hendak dijalankan.
Bantahan terhadap kelemahan ini dapat dilakukan, tetapi tetap saja akan sia-sia. Sebab, bukankah angin tak dapat ditutupi dan asap tak dapat digenggam?

BaCa SeLeNgKaPnYa disini...

Kekeringan: Berharap Dapat Kecukupan Air dari Seratus Rupiah

KOMPAS - Senin, 23 Juli 2007

HENDRIYO WIDI

Suarjo (50) duduk di lincak atau kursi panjang dari bambu untuk menunggu giliran mengambil air pekan lalu. Sembari bersandar di papan gardu itu, sesekali ia mengipas-ngipaskan caping kusam dan menyeka peluh yang membasahi dahinya.
"Antrenya lama, Mas. Ngantre sekarang, baru besok paginya dapat air," kata lelaki tengah baya yang sudah mengantre sejak Selasa sore itu.
Suarjo pernah merasa sangat jengkel ketika jeriken dan embernya dipindah orang tanpa sepengetahuannya. Meski demikian, ia diam dan tidak mau mencari perkara.
Sudah empat bulan Kampung Kalialang Baru, Kelurahan Sukorejo, Kecamatan Gunungpati, Semarang, Jawa Tengah, kekeringan. Debit air Sendang Gayam yang merupakan satu-satunya sumber air bersih di tempat itu sudah turun. Akibatnya, pasokan air yang dialirkan melalui pipa-pipa paralon terkadang mengalir kecil, bahkan sering pula tidak mengalir sama sekali. Keadaan ini sudah dialami warga Kampung Kalialang dalam beberapa tahun terakhir.
Jika air sendang yang mengaliri Kampung Kalialang Baru dan Deliksari benar-benar sudah tinggal di dasarnya saja dan mengeruh, warga terpaksa membeli air. Membeli air tentu berarti pengeluaran tambahan. Mereka lalu bertekad mengatasi secara swadaya, tetapi ternyata masih terbentur biaya.
"Dua tahun lalu kami membuat kesepakatan membangun bak penampung air berkapasitas sekitar 4.000 liter dengan menggunakan sebagian besar uang jimpitan," kata Suarjo, warga Kalialang Baru RT 3 RW 7.
Uang jimpitan senilai Rp 100 yang dikumpulkan setiap hari dari 34 keluarga itu terkumpul sekitar Rp 1.200.000. Dengan uang itu, warga mulai membangun fondasi dan dasaran untuk meletakkan bak penampung.
Sayang, bak penampung itu belum selesai, sementara kekeringan mulai mengancam. Pekan lalu bak itu masih berupa fondasi yang terletak di dekat keran yang mengalirkan air dari Sendang Gayam. Adapun bak penampung berwarna biru masih tergeletak di pojok kampung.
Suarjo mengaku masih memerlukan sekitar Rp 500.000 untuk menyelesaikan bak penampung air itu. Maka jimpitan pun digalakkan kembali.
Menurut dia, bak penampung itu akan digunakan sebagai penampung air Sendang Gayam sebelum musim kering tiba. Bak itu juga berguna untuk menampung air ketika Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) dan Pemerintah Kota Semarang memberi bantuan air.
"Bak penampung yang dibangun dari rezeki yang kami kumpulkan sendiri itu kami harap bisa memberikan rezeki baru, yaitu ketersediaan air pada saat-saat air tidak lagi mengalir.
Tidak patah semangat
Belum selesainya bak penampung air itu tidak membuat warga Kaliarang Baru patah semangat. Seperti biasa, para penduduk masih mengandalkan pikulan dan dua ember yang mampu menampung sekitar 20 liter air untuk mengambil air langsung dari Sendang Gayam.
Gayah (46), misalnya, orangtua tunggal yang memiliki lima anak ini setiap hari empat kali mengangsu, mengambil air, ke Sendang Gayam. Ia sepertinya tidak lelah meski harus menempuh jarak 2,5 kilometer lewat jalan mendaki di sekitar hutan jati dan rumput lalang.
Perempuan yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Perumahan IKIP Semarang ini mengangsu air sekitar pukul 05.00 dan setelah pulang kerja atau sekitar pukul 13.00. Sambil mengangsu, tiga hari sekali ia juga mencuci pakaian-pakaian kotor di Sendang Gayam.
Beberapa hari yang lalu, Gayah ikut mengantre air pasokan PDAM Kota Semarang. Namun, ia tidak bisa mendapatkan air bersih yang cukup. "Saya hanya punya dua ember, sedangkan tetangga saya punya jeriken dan tong-tong besar yang bisa menampung banyak," kata dia.
Yang sering membuatnya kesal ketika antre air justru semangat gotong royong dan saling membantu di antara warga sering sirna. Beberapa hari lalu, misalnya, ia harus menahan marah dan kekesalan. Air yang sudah ditampung susah payah di embernya diciduki tetangganya.
"Penduduk Kalialang memang sering membantu dan bergotong royong satu sama lain. Namun, ketika musim kemarau tiba, tidak jarang bentrok dan perang mulut antarwarga terjadi gara-gara merebutkan air. Malah ada yang pernah pukul-pukulan dengan gayung air," kisah Gayah, yang mengharapkan bak penampung itu bisa cepat selesai.
Kesulitan air bersih ternyata menjadi berkah bagi para penganggur di Kampung Kalialang Baru. Dengan pikulan dan menjaga antrean air ketika malam hari, para penganggur tersebut bisa mendapat uang.
Susilo (19), misalnya, biasa membantu tetangga-tetangganya mengangsu air ke Sendang Gayam. Bermodal pikulan dan dua ember, ia bisa mendapat Rp 5.000 per hari. Pada malam hari ia menjaga antrean air bersama empat temannya dan berhak memperoleh satu pikul air.
Hanya janji
Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat Kota Semarang Sujitno mengatakan, saat ini sudah ada tiga kecamatan di Kota Semarang yang perlu mendapat perhatian, yakni Kecamatan Gunungpati, Tembalang, dan Tugu.
Ia juga mencatat ada lima kecamatan lain yang menjadi langganan kekeringan, yaitu Kecamatan Mijen, Banyumanik, Candisari, Pedurungan, dan Gajahmungkur, yang akan mendapat perhatian berikutnya.
Untuk pengadaan bantuan air bersih, Sujitno mengaku sudah berkoordinasi dengan PDAM Kota Semarang. "Tiap kelurahan tinggal menyampaikan laporan dan surat permohonan langsung ke PDAM. Air akan dikirim," katanya.

BaCa SeLeNgKaPnYa disini...

Presiden Ajak Selamatkan Bumi

KOMPAS - Senin, 23 Juli 2007

Minta Pramuka Tunjukkan Jati Diri Bangsa yang Terhormat

Jakarta, Kompas - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengajak masyarakat dunia untuk memiliki tanggung jawab, komitmen, dan aksi bersama untuk menyelamatkan Bumi dari ancaman pemanasan global dan perubahan iklim.
Komitmen dan tanggung jawab bersama tersebut harus diikuti dengan aksi nyata seluruh umat manusia sejagat. Ajakan Presiden Yudhoyono itu disampaikan saat memberikan amanat untuk melepas kontingen Gerakan Pramuka Indonesia ke Jambore Dunia XXI di Inggris di halaman Istana, Jakarta, Minggu (22/7) siang.
"Saya senang dan mendukung penuh jika kontingen Jambore Pramuka Dunia kita mengangkat tema pemanasan global dan perubahan iklim untuk bersama- sama mengajak masyarakat sedunia memiliki tanggung jawab, komitmen, serta aksi bersama untuk menyelamatkan Bumi kita dari global warming dan perubahan iklim," ujar Presiden Yudhoyono.
Presiden meminta kontingen Gerakan Pramuka Indonesia menyampaikan bahwa umat manusia sedunia sendirilah yang bisa menyelamatkan Bumi yang dihuninya.
"Tema jambore ’One World, One Promise’ harus dilanjutkan dengan satu dunia satu komitmen serta satu dunia dan satu tindakan. Bagaimana semua bangsa di dunia ini menyelamatkan Bumi-nya? Melakukan aksi nyata di seluruh jagat untuk menyelamatkan kehidupan dan Bumi kita," katanya.
Sore harinya, saat menerima peserta lokakarya dan pertemuan gerakan lingkungan hidup Pengurus Besar Nahdlatul Ulama di Istana Negara, Presiden Yudhoyono meminta seluruh komponen bangsa menghentikan penebangan hutan dan pencurian kayu secara ilegal agar kerusakan lingkungan hidup manusia di Bumi tidak terus berlanjut.
"Demi kita semua, demi anak cucu kita dan generasi kita di masa depan. Dalam kaitan itulah, saya berikan apresiasi kepada keluarga NU atas tekadnya untuk gerakan nyata dan gerakan ibadah untuk membantu pemerintah, membantu masyarakat, untuk mengatasi lingkungan hidup yang bisa memberikan pengaruh," tutur Presiden Yudhoyono.
Jambore Pramuka Dunia
Sementara itu, di hadapan 350 anggota kontingen Gerakan Pramuka Indonesia, Presiden mengingatkan mereka yang akan mengikuti Jambore Dunia XXI di Hylands Park, Essex, Inggris, 27 Juli hingga 8 Agustus, dapat menunjukkan jati diri sebagai bangsa yang terhormat, memiliki sejarah, peradaban, dan kebudayaan yang tinggi.
Yudhoyono yakin kontingen Indonesia di tengah-tengah pergaulan dunia tidak akan kalah sikap profesionalismenya dengan kontingen Pramuka lainnya.
Presiden Yudhoyono yang mengenakan seragam Pramuka itu didampingi Ketua Kwartir Nasional Gerakan Pramuka Azrul Azwar dan sejumlah menteri lainnya serta kakak-kakak yang ikut mendampingi ke Inggris.
Presiden meminta anggota kontingen Pramuka Indonesia jangan terpengaruh pada gaya dan kepribadian bangsa lain mengingat masing-masing bangsa memiliki ciri khas sendiri-sendiri. "Tunjukkan bahwa bangsa kita terhormat. Bangsa yang memiliki sejarah, peradaban, dan kebudayaan tinggi. Tunjukkan profesionalitas seorang Pramuka, cara berpakaian, sikap, disiplin, kreativitas, kerja sama, serta kepemimpinan," ujarnya.
Menurut Presiden, kontingen Gerakan Pramuka Indonesia juga harus menjaga dan menjunjung tinggi kehormatan bangsa agar bendera Merah Putih dan panji-panji Pramuka Indonesia yang berkibar dapat dihormati dan dibanggakan siapa pun.
Sebagai bagian dari masyarakat dunia, Presiden Yudhoyono meminta kontingen Gerakan Pramuka Indonesia menyampaikan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang cinta damai dan tidak mengabaikan persoalan global masyarakat dunia. (har)

BaCa SeLeNgKaPnYa disini...

Mahasiswa IPDN Diduga Keroyok Warga Jatinangor

KOMPAS - Senin, 23 Juli 2007

Bandung, Kompas - Wendi Budiman bin Rohman (21), warga Dusun Ciawi RT 3 RW 4, Desa Cikeruh, Kecamatan Jatinangor, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, Minggu (22/7), tewas setelah dikeroyok sekitar 10 orang yang diduga mahasiswa Institut Pemerintahan Dalam Negeri atau IPDN. Korban menderita luka di kepala belakang, rahang, pelipis kiri, dan memar pada tubuh.
Menurut paman korban, Ii Ja’i (40), pengeroyokan terjadi Sabtu sekitar pukul 23.00. Ketika itu Wendi bersama dua temannya, Adik dan Denny, mengunjungi lokasi permainan biliar (bola sodok) Pooltime di Pusat Perbelanjaan Jatinangor Town. Di sana rokok yang diisap Wendi diambil oleh salah seorang yang diduga praja IPDN berinisial CHR.
Saat itu sempat terjadi perang mulut. Korban dipukul dan tubuhnya dihantamkan ke tembok. Tak puas, CHR memanggil sejumlah temannya, dan datanglah sembilan orang. Mereka kemudian bersama-sama memukuli Wendi hingga pingsan. Para pelaku kemudian menghilang, sementara Wendi dibawa pulang oleh karyawan biliar.
"Informasi yang kami dapat, pelakunya adalah praja IPDN. Itu saya dengar dari petugas satpam dan saksi di Pooltime. Sampai saat ini saya masih yakin pelaku adalah praja IPDN, apalagi pelaku disebut-sebut berambut cepak," kata Ii.
Saat diantarkan karyawan biliar pada Sabtu malam, keluarga korban tidak menaruh kecurigaan sebab tidak ada luka serius pada tubuh korban. Kecurigaan baru muncul setelah pada Minggu pukul 11.00 korban tak bisa bangun, bahkan tampak bercak darah di kepalanya.
Keluarga lalu membawa korban ke Puskesmas Jatinangor yang selanjutnya merujuk ke Rumah Sakit Sumedang. Pukul 17.30 Wendi meninggal. "Kami langsung berkoordinasi dengan Polsek Jatinangor. Selanjutnya, jenazah dibawa ke Rumah Sakit Hasan Sadikin untuk proses visum," kata Ii.
Tujuh orang diperiksa
Hingga Minggu malam, polisi masih memeriksa tujuh saksi terkait pengeroyokan terhadap Wendi. "Untuk sementara, penyelidikan baru mengarah kepada dugaan keterlibatan praja IPDN sebagai pelaku pengeroyokan," kata Kepala Polres Sumedang Ajun Komisaris Besar Budi Setiawan.
Pelaksana Tugas Rektor IPDN Johanis Kaloh menyebutkan belum ada laporan bahwa praja IPDN terlibat.
Ketua Komisi Disiplin IPDN Burhanuddin Dalil yang ditemui di sekitar Kantor Polsek Jatinangor menegaskan, dia baru mendengar keterlibatan praja dalam kematian Wendi. Namun yang pasti, semua praja harus berada di asrama sebelum pukul 21.00 dan harus mengenakan seragam saat berada di luar.
"Apakah benar itu praja? Lebih baik diserahkan kepada hasil penyelidikan polisi," ujar Burhanuddin. (CHE/ELD)

BaCa SeLeNgKaPnYa disini...