Saturday, August 04, 2007

Jakarta Damai, tapi Macet Total

KOMPAS - Sabtu, 04 Agustus 2007

Kampanye Terbuka Tidak Penting, tetapi Bangkitkan Solidaritas

Jakarta, Kompas - Kampanye hari terakhir pasangan kandidat gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta Adang Daradjatun-Dani Anwar serta Fauzi Bowo-Prijanto, Jumat (3/8), berlangsung damai dan semarak. Namun, kemacetan arus lalu lintas berjam-jam di berbagai ruas jalan di kawasan Jakarta tak terelakkan.
Para pengamat malah menilai kampanye terbuka semacam itu sudah tidak diperlukan lagi.
Berdasarkan pantauan Kompas—termasuk dari udara—diperkirakan ratusan ribu orang hadir memadati dua lokasi kampanye, Parkir Timur Senayan dan Lapangan Soemantri Brodjonegoro, Kuningan, tempat masing-masing pasangan calon gubernur dan wakil gubernur unjuk pendukung.
Massa pendukung Adang-Dani seusai shalat Jumat langsung mengalir ke kawasan Parkir Timur Senayan. Lokasi itu menjadi pusat kampanye pasangan yang diusung oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS) tersebut.
Kampanye hari terakhir Adang-Dani juga menghadirkan juru kampanye di antaranya Ketua MPR Hidayat Nur Wahid, Ketua Majelis Syuro PKS KH Hilmi Aminuddin, Presiden PKS Tifatul Sembiring, tokoh Betawi Ridwan Saidi, anggota DPD asal Jakarta Biem Benyamin, Ketua Umum Partai Demokrasi Pembaruan Roy BB Janis, Ketua Umum Forum Betawi Rempug KH Fadholi, mantan Komandan Puspom Jasri Marin, mantan Kepala Puspen ABRI Abdul Wahab Mokodongan, mantan Panglima Kodam Jaya Slamet Kirbiantoro, dan sejumlah tokoh ormas kepemudaan.
Jasri mengaku, ia dan dua rekannya adalah tiga jenderal yang tertipu saat pencalonan gubernur oleh parpol tertentu. Ia mengajak massa memilih kandidat gubernur yang dicalonkan partai yang tak suka menipu. "Pilihlah Adang," ujarnya.
Adapun Dani kembali mengulang komitmennya untuk menggratiskan pendidikan di sekolah negeri di Jakarta dan pemberian asuransi kesehatan bagi warga Jakarta. "APBD Jakarta itu sangat cukup untuk membiayai pendidikan warganya," ujarnya.
Adang juga menegaskan komitmen untuk tidak korupsi, kolusi dan nepotisme selama masa kepemimpinannya. "Jika saya terpilih, Anda semua menjadi saksi bahwa saya tak akan korupsi. Anda semua juga akan menjadi pengawas bahwa saya bekerja untuk warga Jakarta," ujarnya.
Kemacetan terjadi merata di beberapa wilayah Jakarta Pusat serta perbatasan Jakarta Pusat dengan Jakarta Barat dan Jakarta Selatan. Massa dengan bermacam atribut menggunakan sepeda motor, kendaraan pribadi, hingga metromini dan kopaja.
Saat pulang, massa Adang- Dani bertemu dengan massa Fauzi-Prijanto. Meski demikian, mereka berkampanye dengan tetap bersahabat, tertib, dan damai.
Pasangan Fauzi-Prijanto berkampanye di Lapangan Sepak Bola Stadion Soemantri Brodjonegoro, Kuningan, Jakarta Selatan. Kampanye itu juga dihadiri Wakil Ketua Umum DPP Partai Golkar Agung Laksono, Ketua Umum DPP PBR Bursah Zarnubi, Sekjen PDI-P Pramono Anung, dan Taufik Kiemas.
Massa menyemut dan memacetkan jalan-jalan utama Jakarta. Pengguna kendaraan pun harus rela mengalami kemacetan hingga berjam-jam karena tidak ada jalur lain yang dapat dilewati.
Para pendukung Fauzi-Prijanto memadati Jalan HR Rasuna Said dari dua sisi jalan. Massa lebih senang berpawai di jalanan daripada mendengarkan kampanye di lapangan.
Pramono Anung dalam orasinya meminta para pendukung Fauzi-Prijanto untuk tidak terpancing dengan berbagai aksi provokasi yang ada. Dengan didukung 20 partai politik, Pramono meyakinkan bahwa koalisi mereka paling kuat. Taufik juga menyatakan hal serupa.
Sementara itu, Fauzi menegaskan, dirinya bersama Prijanto memiliki solusi atas berbagai permasalahan Jakarta. Jika terpilih, ia berjanji akan bekerja lebih keras lagi untuk membangun Jakarta yang nyaman dan sejahtera bagi semua.
"Jika menang pada 8 Agustus nanti, semua bendera partai politik pendukung kami akan kami kibarkan di Balaikota," kata Fauzi Bowo.
Kemacetan akibat kampanye besar-besaran dua calon gubernur itu disesalkan banyak kalangan masyarakat. "Toh, siapa pun yang terpilih, rakyat kecil bakal dilupakan. Ngapain orang pada repot-repot ikut kampanye," kata Rahmat, sopir taksi yang terperangkap kemacetan.
"Belum terpilih sudah nyusahin warga, padahal janjinya mau membenahi kemacetan. Cara kampanye seperti ini kenapa masih dibiarkan," kata Waskita, warga Serpong yang terjebak dua jam di Jalan Tol Jakarta-Merak.
Tidak efektif
Menurut Rektor Universitas Paramadina, Jakarta, Anis Baswedan, kampanye besar-besaran calon gubernur DKI itu tidak efektif untuk menarik pemilih baru. Sebab, dari penelitian selama ini, kampanye yang paling efektif adalah lewat televisi, lalu tatap muka, dan melalui pemberitaan di media. "Namun, bagi setiap calon, kampanye besar-besaran yang diiringi arak-arakan tetap dibutuhkan untuk membangkitkan solidaritas atau semangat kelompok di antara massa mereka sendiri," papar Anis.
Bagi para calon, lanjut Anis, dampak positif dari solidaritas kelompok itu jauh lebih berharga dibandingkan dengan kejengkelan orang karena kampanye besar-besaran itu menyebabkan sejumlah hal, seperti kemacetan yang parah.
Pakar komunikasi politik Effendi Ghazali berpendapat, kampanye terbuka seperti itu tak penting bagi masyarakat. "Yang ada, banyak yang marah. Ada yang bilang kampanye aja bikin macet, apalagi kalau memerintah nanti," katanya.
Ia menyayangkan kampanye terbuka yang dilakukan di ibu kota negara. Jakarta semestinya jadi puncak kemampuan berpolitik sehingga kampanye terbuka dengan mengerahkan ribuan orang tidak perlu dilakukan.(SIE/NWO/**/MZW/ECA/ ARN/CAL/ONG)

BaCa SeLeNgKaPnYa disini...

Dana Kesehatan: PT Askes Belum Bayar Klaim yang Dianggap Mencurigakan

KOMPAS - Sabtu, 04 Agustus 2007

Jakarta, Kompas - PT Askes belum membayar klaim tagihan obat yang nilainya sangat besar dan mencurigakan. Kasus penggelembungan klaim Asuransi Kesehatan untuk Keluarga Miskin di beberapa rumah sakit ini sedang diperiksa oleh Inspektur Jenderal Departemen Kesehatan.
"Yang menemukan kasus di RSUD Bau-Bau itu verifikator PT Askes karena ada lonjakan tagihan klaim," kata Sekretaris Perusahaan PT Askes Fajriadinur, Jumat (3/8) di Jakarta.
Tagihan klaim obat dari RSUD Bau-Bau, Sulawesi Tenggara, yang nilainya wajar sudah dibayar PT Askes. "Setiap pengajuan klaim selalu diverifikasi," katanya.
Sejak ditemukan penggelembungan klaim di Bau-Bau, Kantor Regional IX PT Askes di Makassar, Sulawesi Selatan, dan PT Askes Cabang Buton di Bau-Bau berkoordinasi dengan forum konsultasi Askeskin kabupaten/kota yang terdiri atas Direktur RSUD Bau-Bau, Dinas Kesehatan Bau-Bau, dan Wali Kota Bau-Bau.
Ketua Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia Marius Widjajarta menyatakan, rata-rata tagihan obat per bulan dari Apotek Kimia Farma Bau-Bau Rp 200 juta-Rp 300 juta. Namun, pada Desember 2006 menjadi Rp 900 juta, Januari 2007 menjadi Rp 1,7 miliar, Februari Rp 1 miliar, Maret Rp 1,4 miliar, dan April Rp 1,2 miliar.
Kecurigaan muncul pada Januari 2007 ketika verifikator PT Askes menemukan adanya peningkatan biaya, di antaranya penggunaan obat Gammaras seharga Rp 2,3 juta per vial dan obat Globulin Rp 1,7 juta per vial dalam jumlah yang banyak.
Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia menduga ada oknum dokter spesialis yang bekerja sama dengan oknum pabrik obat.
"Ada informasi oknum dokter itu melakukan intimidasi kepada pihak-pihak terkait yang tak memenuhi keinginannya," tutur Marius. Program Askeskin merupakan embrio Sistem Jaminan Sosial Nasional.
Kimia Farma mendukung
Presiden Direktur Kimia Farma Gunawan Pranoto menyatakan, pihaknya menurunkan tim satuan pengawasan internal ke beberapa daerah untuk memeriksa kemungkinan penyimpangan prosedur, seperti melayani obat tanpa resep serta sesuai tidaknya jumlah obat dan harganya.
Beberapa apotek yang diaudit berada di Bau-Bau, Manado, Banda Aceh, dan Klaten. Sejumlah apotek memiliki tunggakan klaim tagihan obat sangat besar dan bermasalah.
Tagihan Kimia Farma yang belum dapat dicairkan Rp 48,05 miliar untuk 25 apotek. Apotek menyerahkan obat dari resep sesuai daftar plafon harga obat (DPHO) dari PT Askes kepada pasien setelah disetujui tim atau petugas pengendali yang ditetapkan PT Askes.
Untuk obat di luar DPHO, Apotek Kimia Farma menyerahkan obat dilengkapi protokol terapi. Ini dilakukan setelah resep ditandatangani dokter penulis resep, penanggung jawab departemen terkait, direktur rumah sakit, dan tim pengendali yang ditunjuk PT Askes.
Sementara itu, belasan warga miskin dari sejumlah daerah di Kabupaten Serang, Banten, kemarin mendatangi Kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Serang. Mereka mengeluhkan RSUD Serang yang tetap memungut biaya bagi pasien kelas III meskipun pasien-pasien itu memiliki Askeskin. (EVY/LOK/NTA)

BaCa SeLeNgKaPnYa disini...

Perseorangan: Calon Harus Didukung 15 Persen Pemilih

KOMPAS - Sabtu, 04 Agustus 2007

Jakarta, Kompas - Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Andi Mattalatta menyatakan, calon perseorangan dalam pemilihan kepala daerah atau pilkada seharusnya diperlakukan sama dengan calon dari partai politik. Karena itu, calon perseorangan juga harus didukung 15 persen dari jumlah pemilih.
Menurut Andi, Jumat (3/8) di Jakarta, persyaratan dukungan 15 persen dari jumlah pemilih itu belum tentu diatur dalam revisi Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Meski Dephuk dan HAM menjadi pusat hukum, pemerintah menanti usulan DPR yang berinisiatif merevisi UU itu.
"Dephuk dan HAM mempersiapkan daftar inventarisasi masalah. Saya belum tahu apa yang diusulkan DPR. Namun, seharusnya ada persamaan di depan hukum. Calon independen harus dicalonkan rakyat dan bukan cari tanda tangan rakyat," katanya.
Saat ditanyakan apakah usulan persyaratannya itu tidak mempersulit calon perseorangan, Andi menjawab, "Memang melahirkan seorang pemimpin memerlukan syarat yang kuat. Jangan menggadaikan kepentingan rakyat."
Pengamat politik dari Universitas Indonesia, Arbi Sanit, mendukung apabila syarat calon perseorangan sama dengan syarat calon dari partai. Ia percaya calon perseorangan dapat memperoleh dukungan hingga 15 persen dari jumlah pemilih.
Arbi juga mengingatkan, calon perseorangan harus beda dengan calon dari partai. Misalnya, calon perseorangan harus lima tahun sudah mundur dari partai.
Tak takut digugat
Di Jakarta, Jumat, Wakil Presiden M Jusuf Kalla menegaskan, pemerintah tak takut digugat pihak yang merasa dirugikan karena dalam waktu dekat belum bisa mengatur calon perseorangan pilkada, sesuai putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Menurut Wapres, siapa yang dapat digugat, karena belum diaturnya pencalonan perseorangan dalam pilkada, tidaklah jelas. Siapa yang berhak menggugat juga tidak jelas. "Jika belum ada ketentuan hukumnya, apa landasannya?" ujar Kalla.
Seperti diberitakan sebelumnya, anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) asal DKI Jakarta, Sarwono Kusumaatmadja dan Biem Benyamin, Kamis, mendaftarkan gugatan terhadap Komisi Pemilihan Umum (KPU) DKI Jakarta di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Mereka, bersama dua penggugat lainnya, minta pengadilan memutuskan KPU Jakarta menghentikan proses pilkada karena belum memberi kesempatan kepada calon perseorangan sesuai putusan MK (Kompas, 3/8).
Menurut Kalla, calon perseorangan belum tentu ada dalam pilkada yang akan digelar di sejumlah daerah dalam waktu dekat ini. Semuanya harus diatur dalam dalam UU atau revisi terhadap UU No 32/2004.
Jika belum ada aturannya, lanjut Wapres, tetapi ada yang memaksakan calon perseorangan dalam sebuah pilkada, negara dan sistem demokrasi bisa kacau balau. "Kita tunggu pembahasan pemerintah dan DPR," katanya.
Cukup tiga bulan
Di Denpasar, Bali, guru besar hukum tata negara Universitas Udayana, Yohanes Usfunan, menilai, merevisi secara terbatas UU No 32/2004 adalah rujukan paling sesuai untuk menampung persyaratan calon perseorangan dalam pilkada. Namun, pembahasannya harus dengan batas waktu tidak lebih dari tiga bulan. Ini bisa terlaksana jika ada itikad baik dari pemerintah dan DPR.
"Cepat atau lambat revisi terbatas UU No 32/2004 bergantung pada political will Presiden dan DPR. Bila dikerjakan dengan serius dan dilandasi kemauan baik, bisa diselesaikan dalam waktu paling lama tiga bulan. Jika tidak, pembahasannya bisa panjang, bahkan buntu," tutur Usfunan.
Tuntutan supaya revisi UU Pemerintahan Daerah dipercepat justru datang dari fungsionaris Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) dan Partai Golkar Bali sehingga calon perseorangan bisa segera mengikuti pilkada. Meski begitu, revisi UU itu harus berbobot, tidak asal jadi, sehingga tak menyulitkan pelaksanaannya di lapangan.
Menurut Ketua DPD PDI-P Bali AA Ngurah Oka Ratmadi dan Ketua DPD Partai Golkar Bali Cokorda Gede Budi Suryawan, meski kecewa dengan putusan MK, pengaturan calon perseorangan harus segera sehingga masyarakat punya banyak pilihan dalam pilkada. Apalagi, rakyat sudah pintar untuk memilih dan memilah calon yang berkompeten dan tak hanya populer.
Ketua Dewan Perwakilan Daerah Ginandjar Kartasasmita di Bandung, Jumat, juga minta DPR dan pemerintah menetapkan pengaturan calon perseorangan untuk menenteramkan masyarakat. Pemerintah dan DPR juga harus bersikap adil dan menghargai asas kepastian hukum.
Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat Jeirry Sumampow menilai, sikap pemerintah dan DPR yang menginginkan revisi UU Pemerintahan Daerah untuk mengatur pencalonan perseorangan adalah upaya mengulur-ulur waktu saja. (vin/har/ays/ans/jon/mhf/dik/wsi/che/ina/sah/doe/hln/who/why)

BaCa SeLeNgKaPnYa disini...

Festival Film"Crossing the Dust", Kabar Buruk dari Teluk

KOMPAS - Sabtu, 04 Agustus 2007

Putu Fajar Arcana

Keberhasilan film Crossing the Dust meraih Golden Hanoman Award dalam 2nd Jogja-Netpac Asian Film Festival atau JAFF di Yogyakarta seperti kabar buruk dari Teluk bagi industri perfilman nasional. Setidaknya, makin membayang di langit betapa film-film nasional kita tak juga beranjak dari gejala inferior akut.
Kesuraman itu diperparah lagi karena kecemerlangan film-film Malaysia yang notabene diproduksi dengan dana terbatas, tetapi menghasilkan karya yang sederhana, cerdas, dan bersikap!
Crossing the Dust digarap oleh Shawkat Amin Korki, seorang Kurdi yang terusir dari tanahnya di Irak, dalam serba keterbatasan. Hebatnya lagi, film ini dibikin oleh satu suku bangsa yang sama sekali tidak mengenal kultur bioskop. Korki berhasil menerobos ke dalam inti berbagai lapisan persoalan yang sedang berkecamuk di kawasan Teluk. Ia kemudian menyodorkan estetika (film) sebagai pintu keluar dari segala belitan persoalan, yang dipicu oleh kehausan akan kekuasaan.
Korki memusatkan segala titik perhatiannya kepada manusia dalam berbagai relasi humanitasnya yang bersifat universal. Dan, karena itu, sebagai seorang Kurdi yang terusir dan sejak kecil menetap di Iran, ia sama sekali tidak memperlihatkan dendam terhadap rezim Saddam Hussein. Eforia berlebihan pun tidak ia tunjukkan ketika tentara Amerika memasuki wilayah Irak dan menangkap Saddam. Korki tidak mau mencederai pandangan universalitas kemanusiaannya dengan sekadar dendam yang hitam-putih.
Dewan juri yang di antaranya terdiri atas St Sunardi dan Arya Gunawan mencatat, film ini dikemas sederhana secara teknis sinematografis untuk mengangkat persoalan besar yang aktual dan relevan. "Hubungan antarmanusia yang tadinya diwarnai oleh sekat pembatas toh akhirnya mencair karena sentuhan kemanusiaan. Orang yang benci bisa berubah karena di hadapannya menganga problem kemanusiaan yang mesti dihadapi dengan kedamaian," ujar Sunardi yang ahli tentang Arab itu.
Multikultural
Film Mukhsin garapan sutradara Malaysia, Yasmin Ahmad, berhasil meraih Silver Hanoman Award dalam perhelatan yang berlangsung 29 Juli-2 Agustus 2007 di Gedung Societeit Taman Budaya, Yogyakarta. Film ini diproduksi dengan anggaran Rp 250 juta-Rp 300 juta.
Film ini sangat sederhana dan sangat naturalistik. Namun, secara tanpa sadar kita disodori lanskap multikultural yang "dialami" oleh para tokohnya. Multikultural bukanlah sebuah wacana yang perlu diperdebatkan, tetapi sebuah kenyataan yang diterima dengan rasa persaudaraan dan kekerabatan yang kental. Hebatnya, Yasmin tidak menyorongkan pengalaman itu sebagai sebuah pelajaran yang patut ditiru. Ia bercerita tanpa tendensi, mengalir apa adanya. Dan, pada akhir cerita, kita tersadarkan sendiri bahwa rasa persaudaraan yang sublim menjadi persoalan yang kian mengendur di masyarakat kita sekarang ini.
Dua film asing ini sama sekali tidak menyodorkan problematika yang asing di negeri kita. Persoalan yang mereka angkat sangat universal, bisa terjadi kapan dan di mana pun di belahan Bumi ini. Bahkan, persoalan multikultural di Tanah Air berhenti di tataran wacana politik negara yang sebenarnya retak pada bagian-bagiannya. Sekali terjadi getaran, dengan sangat mudah pecah konflik antar-etnis dan agama.
Mengapa tidak lahir film-film sekaliber Crossing the Dust dan Mukhsin di negara yang kaya berbagai drama kemanusiaan ini? Dua film nasional yang ikut berkompetisi dalam JAFF, Kala dan 3 Hari untuk Selamanya, sekadar mengartikulasikan gagasan secara sederhana dan jernih pun tidak sampai. Padahal, kedua film itu dibuat dengan biaya di atas Rp 1 miliar. "Ya... adanya cuma dua film ini yang layak kompetisi," ujar Presiden JAFF Garin Nugroho.
Kedua film nasional ini seperti tak mampu mengatakan secara cerdas atas berbagai realitas sosial yang berhamburan di sekitarnya. Pernyataan ini tidaklah ingin membenarkan secara absolut bahwa film sebaiknya menjadi "juru bicara" atas ketimpangan sosial di sekitarnya karena ia akan mengingkari film juga sebagai ekspresi yang personal. Namun, setidaknya sebagai produk budaya, film adalah representasi dari realitas sosial dan personal yang tengah berkecamuk di sekelilingnya. Sebab, hanya dengan begitu ia terbebas dari sekadar jatuh menjadi pelipur lara semata.
Korki dan Yasmin jelas sekali tidak menjadikan film sebagai media yang menghibur an sich. Di luar kemampuan bercerita yang sangat menonjol pada Korki, film ini seperti dilahirkan untuk mengubah stereotip yang berkembang selama ini terhadap Irak dan Kurdi. Irak tidaklah sesadis seperti yang selama ini digembar-gemborkan media Barat. Seorang Kurdi yang teraniaya pun memperlihatkan keagungannya, bahwa menuju jalan damai bukanlah dengan mengobarkan perang baru.
Mukhsin di satu sisi berangkat dari persoalan sehari-hari yang remeh-temeh, yakni persahabatan dua remaja tanggung yang masih suka bermain layang-layang, tetapi jelas sekali film ini mengabarkan tentang cinta, persaudaraan, dan penerimaan terhadap perbedaan dengan cara yang tidak tendensius, apalagi saling mencurigai.
Film-film kita sejauh ini sama sekali tidak terbebaskan dari meledaknya dunia sinetron di televisi. Jenis-jenis kisahannya tidaklah penting, yang terpenting mempertunjukkan kemewahan.
Memang terlalu jauh dan mungkin naif berharap film menjadi medium alternatif "pencerahan" setelah gagalnya berbagai instrumen ekonomi dan politik untuk membawa bangsa ini keluar dari benang kusut persoalan. Namun, sekali waktu bolehlah kita berharap akan lahir film-film dengan kecerdasan moral yang langsung menerobos ke inti persoalan bangsa.
Sebab, tanpa begitu, film akan berhenti sebagai barang dagangan industri. Film seperti Crossing the Dust dan Mukhsin saya kira layak jadi pelajaran bagaimana seharusnya bersikap, mengambil jarak, dan meneropong segala sesuatu sampai pada yang paling hakikat: kemanusiaan yang universal!

BaCa SeLeNgKaPnYa disini...

Amandemen Belum Pas

KOMPAS - Sabtu, 04 Agustus 2007

Parpol Besar Cenderung Tak Mendukung

Jakarta, Kompas - Langkah Partai Amanat Nasional yang mencabut dukungannya atas upaya perubahan UUD 1945 perlu diusung oleh partai politik lainnya. Upaya perubahan konstitusi dinilai belum waktunya karena masih banyak aturan konstitusi hasil amandemen sebelumnya yang belum diterapkan.
Peneliti senior CSIS, J Kristiadi, mengemukakan hal itu pada Jumat (3/8). "Jangan lagi diulangi kesalahan sebelumnya, di mana langkah amandemen terjadi karena terlalu reaktif terhadap suatu kejadian, misalnya Pasal 13 Ayat (2) UUD 1945 soal penerimaan duta besar asing harus disetujui DPR. Hal itu kan muncul karena Pak Mantiri ditolak di Australia," ujar Kristiadi.
Kristiadi juga menilai keinginan amandemen Pasal 22 UUD 1945 kali ini, terkait dengan penguatan Dewan Perwakilan Daerah (DPD), lebih dimotivasi kepentingan subyektif dan agenda pihak-pihak di DPD sendiri.
Secara terpisah, Gubernur Lemhannas Muladi menyatakan telah memberi masukan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terkait hal itu. Menurut kajian Lemhannas, amandemen sebaiknya dilakukan setelah Pemilihan Umum 2009.
"Kita masih punya banyak masalah pelik yang harus diselesaikan lebih dahulu. Setiap kali sidang MPR biasanya menimbulkan implikasi politik dan sosial yang meluas," ujar Muladi.
DPD optimistis
Berdasarkan rekapitulasi terakhir, anggota MPR yang memberi dukungan pada Perubahan Pasal 22D UUD berjumlah 216 orang. Kekurangan ini terjadi karena sepuluh anggota F-PAN menarik dukungannya. Penarikan dukungan sebelumnya juga dilakukan Fraksi Partai Demokrat, Fraksi Partai Golkar, dan Fraksi Partai Persatuan Pembangunan.
Sekjen Partai Amanat Nasional Zulkifli Hasan yang juga Ketua F-PAN di DPR menegaskan, fraksinya sejak awal mendukung penguatan DPD. F-PAN menarik dukungan karena melihat peta politik. "Kami sudah hitung-hitung. F-PG tidak dukung, F-PDIP juga tidak, F-PPP juga tidak, F-PD juga tidak. Kalau sidang pun, tidak akan ada putusan," ujarnya.
Pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas, Saldi Isra, merasa prihatin dengan kondisi ini. Menurutnya, kondisi ini menunjukkan partai tidak otonom dan cenderung melihat gerak partai lain dalam menentukan sikap. "Partai dan fraksi mengooptasi kebebasan individu di persidangan," ujarnya.
Lembaga Survei Indonesia (LSI) mengungkapkan, mayoritas rakyat menghendaki penguatan DPD. "Rasionalitas elite berbeda dengan rasionalitas publik," ujar peneliti LSI, Isra Ramli. Ia mengatakan, bila mengingkari aspirasi rakyat, partai bisa mengalami delegitimasi. (SUT/DWA/mam)

BaCa SeLeNgKaPnYa disini...

POLITIKA: "Glitterati" Buka-bukaan

KOMPAS - Sabtu, 04 Agustus 2007

BUDIARTO SHAMBAZY

Menurut BPS, penduduk RI 206 juta (2000) dan per 2007 yang bekerja 97,5 juta orang. Pepatah bilang 97 persen rakyat banting tulang tiap hari tanpa bosan.
Alhasil, di negeri ini ada 94,5 juta orang yang kerja pontang-panting sejak matahari terbit sampai tenggelam. Bagi Anda, "bekerja adalah kemuliaan".
Nah, sisa 3 persen jumlahnya 2,9 juta orang. Mereka tak perlu kerja sampai keringatan seperti orang habis mandi uap karena kaya berkat warisan.
Namun, dari 2,9 juta itu 10 persen, atau 290.000, jadi anggota the ruling elite alias pengendali kekuasaan. Mereka menguasai lebih dari 70 persen uang sampai saham, mal sampai hotel, dan tambang minyak sampai hak pengusahaan hutan.
Mereka ingin terlihat sibuk seperti bajaj kosong muatan. Kalau ke mana-mana mereka dikawal "kutukupret" setia yang jumlahnya mencapai puluhan.
Mereka gemar memamerkan simbol-simbol kekuasaan. Pelat nomor mobil mereka pun dipasangi lambang kehormatan DPR supaya enggak ditilang polisi setiap kali masuk ke jalur three in one.
Mereka suka busung dada karena waktu balita kurang mendapat perhatian. Oleh sebab itu, ketika berkuasa, mereka tetap seperti anak balita yang suka melompat-lompat di Istana Hoya sambil menggenggam mainan.
Ketika remaja, mereka tak mau kalah dari "Ali Topan Anak Jalanan". Saat menginjak usia muda, mereka telanjur "jadi tua sebelum matang"; dan waktu jadi pejabat, mereka jadi "dewasa yang kekanak-kanakan".
Tak mengherankan mereka doyan mengarang cerita yang bukan-bukan alias penuh "perkibulan". Mereka masuk golongan "kolektor dongeng" yang sering lupa membedakan mana yang bohong dan mana yang cerita beneran.
Setelah berkuasa mereka kayak Tarzan keluar dari hutan yang tergiur kemewahan hidup ala kota metropolitan. Makanya mereka jadi manusia yang tak tahan godaan.
Dulu, dengan modal koneksi, mereka "menerobos" masuk ke sekolah-sekolah top walaupun tak lulus ujian. Oleh sebab itu, jika ditanyai KPK kenapa jumlah hartanya naik drastis setelah jadi pejabat, mereka menjawab dengan gelagapan.
Mereka the wrong man in the right place karena, kalau bekerja, enggak pernah betahan. Jadi sarjana, tetapi tak suka buku; jadi pejabat, tetapi enggan melayani rakyat. Jadi penyanyi pun gagal karena suara macam kaleng rombengan.
Maka, satu-satunya pilihan, ya, jadi politisi, pekerjaan yang sebetulnya menuntut pengabdian. Sayangnya, tugas mulia itu bagi mereka, ya, lebih kurang mirip dengan profesi dramawan.
Mereka terkatrol ke puncak-puncak kekuasaan seperti halnya mobil yang lagi didongkrak sehabis mengalami pecah ban. Ketika kampanye, mereka terbiasa mengeluarkan ilmu "akan" ini dan itu yang jelas-jelas enggak mungkin diterapkan.
Supaya tampak pintar, mereka dibantu para ilmuwan oplosan. Dana kampanye tak berhenti mengalir bukan dari kocek sendiri, melainkan hasil pengemisan dari kiri dan kanan.
Ketika kampanye, mereka berjanji mau memperbaiki nasib rakyat pedesaan. Setelah terpilih, yang dikerjakan malah yang bukan-bukan, misalnya mau membuat gratis biaya pendidikan.
Itulah akibat dari hobi mereka doyan tebar pesona "kapan saja, di mana saja, dan siapa saja" yang didengang-dengungkan iklan sebuah merek minuman ringan. Mereka bahkan mendadak nonton pertandingan timnas PSSI hanya karena takut kalah saingan.
Itulah profil politisi kelas murahan. Dalam bahasa Latin poli artinya ’banyak’ dan tics artinya ’serangga pengisap darah’ yang berwajah mengerikan.
Politisi di sini tak ubahnya bintang film Hollywood yang ulahnya suka menghebohkan. Misalnya saja artis cantik, seksi, dan muda belia yang bernama Lindsay Lohan. Ia ditangkap polisi karena menyetir mobil sembari bermabuk-mabukan. Padahal, ia baru saja keluar dari pusat rehabilitasi untuk para alkoholik kambuhan.
Politisi di sini pun tak ubahnya berkelakuan mirip Nona Lohan. Kok enggak kapok melakukan studi banding ke luar negeri walaupun sering ketahuan mereka cuma sekadar jalan-jalan?
Rossi O’Donnel dan Donald Trump selama berhari-hari bertikai di media seperti kucing sedang cakar-cakaran. Di sini mereka tak sampai seperti kucing, tetapi saling lapor ke kepolisian.
Mereka meributkan masa lalu, bukannya merancang masa depan. Mereka lupa ada banjir di Morowali, malah terlibat blame game alias permainan saling menyalahkan.
Paris Hilton bilang, "Setiap perempuan harus punya empat binatang peliharaan. Sebuah mantel bulu cerpelai di lemarinya, sebuah mobil Jaguar di garasinya, seekor ’macan’ di tempat tidurnya, dan seorang ’serigala’ yang membayar semua tagihannya."
Di sini politisi "harus punya Jaguar dan, kalau marah, seperti macan". Saya enggak tahu persis apakah mereka bayar sendiri tagihannya atau punya binatang peliharaan.
Banyak bintang Hollywood yang kawin-cerai. Politisi di sini... ah, Anda lebih tahu kan?
Rakyat Amerika Serikat (AS) tak bosan disuguhi video Britney Spears, Paris Hilton, atau Pamela Anderson yang beradegan "menyeramkan". Anda ingat video politisi Golkar yang "menegangkan"?
Video-video itu makanan empuk rakyat AS yang haus hiburan. Di sini video begituan jadi komoditas yang menguak kebohongan publik atau alat untuk menjatuhkan.
Bintang Hollywood memang glitterati alias "kaum gemerlapan" yang suka "buka-bukaan". Ayo, beranikah Anda ikut buka-bukaan?
Ih, mana tahan....

BaCa SeLeNgKaPnYa disini...