KOMPAS - Sabtu, 04 Agustus 2007
Putu Fajar Arcana
Keberhasilan film Crossing the Dust meraih Golden Hanoman Award dalam 2nd Jogja-Netpac Asian Film Festival atau JAFF di Yogyakarta seperti kabar buruk dari Teluk bagi industri perfilman nasional. Setidaknya, makin membayang di langit betapa film-film nasional kita tak juga beranjak dari gejala inferior akut.
Kesuraman itu diperparah lagi karena kecemerlangan film-film Malaysia yang notabene diproduksi dengan dana terbatas, tetapi menghasilkan karya yang sederhana, cerdas, dan bersikap!
Crossing the Dust digarap oleh Shawkat Amin Korki, seorang Kurdi yang terusir dari tanahnya di Irak, dalam serba keterbatasan. Hebatnya lagi, film ini dibikin oleh satu suku bangsa yang sama sekali tidak mengenal kultur bioskop. Korki berhasil menerobos ke dalam inti berbagai lapisan persoalan yang sedang berkecamuk di kawasan Teluk. Ia kemudian menyodorkan estetika (film) sebagai pintu keluar dari segala belitan persoalan, yang dipicu oleh kehausan akan kekuasaan.
Korki memusatkan segala titik perhatiannya kepada manusia dalam berbagai relasi humanitasnya yang bersifat universal. Dan, karena itu, sebagai seorang Kurdi yang terusir dan sejak kecil menetap di Iran, ia sama sekali tidak memperlihatkan dendam terhadap rezim Saddam Hussein. Eforia berlebihan pun tidak ia tunjukkan ketika tentara Amerika memasuki wilayah Irak dan menangkap Saddam. Korki tidak mau mencederai pandangan universalitas kemanusiaannya dengan sekadar dendam yang hitam-putih.
Dewan juri yang di antaranya terdiri atas St Sunardi dan Arya Gunawan mencatat, film ini dikemas sederhana secara teknis sinematografis untuk mengangkat persoalan besar yang aktual dan relevan. "Hubungan antarmanusia yang tadinya diwarnai oleh sekat pembatas toh akhirnya mencair karena sentuhan kemanusiaan. Orang yang benci bisa berubah karena di hadapannya menganga problem kemanusiaan yang mesti dihadapi dengan kedamaian," ujar Sunardi yang ahli tentang Arab itu.
Multikultural
Film Mukhsin garapan sutradara Malaysia, Yasmin Ahmad, berhasil meraih Silver Hanoman Award dalam perhelatan yang berlangsung 29 Juli-2 Agustus 2007 di Gedung Societeit Taman Budaya, Yogyakarta. Film ini diproduksi dengan anggaran Rp 250 juta-Rp 300 juta.
Film ini sangat sederhana dan sangat naturalistik. Namun, secara tanpa sadar kita disodori lanskap multikultural yang "dialami" oleh para tokohnya. Multikultural bukanlah sebuah wacana yang perlu diperdebatkan, tetapi sebuah kenyataan yang diterima dengan rasa persaudaraan dan kekerabatan yang kental. Hebatnya, Yasmin tidak menyorongkan pengalaman itu sebagai sebuah pelajaran yang patut ditiru. Ia bercerita tanpa tendensi, mengalir apa adanya. Dan, pada akhir cerita, kita tersadarkan sendiri bahwa rasa persaudaraan yang sublim menjadi persoalan yang kian mengendur di masyarakat kita sekarang ini.
Dua film asing ini sama sekali tidak menyodorkan problematika yang asing di negeri kita. Persoalan yang mereka angkat sangat universal, bisa terjadi kapan dan di mana pun di belahan Bumi ini. Bahkan, persoalan multikultural di Tanah Air berhenti di tataran wacana politik negara yang sebenarnya retak pada bagian-bagiannya. Sekali terjadi getaran, dengan sangat mudah pecah konflik antar-etnis dan agama.
Mengapa tidak lahir film-film sekaliber Crossing the Dust dan Mukhsin di negara yang kaya berbagai drama kemanusiaan ini? Dua film nasional yang ikut berkompetisi dalam JAFF, Kala dan 3 Hari untuk Selamanya, sekadar mengartikulasikan gagasan secara sederhana dan jernih pun tidak sampai. Padahal, kedua film itu dibuat dengan biaya di atas Rp 1 miliar. "Ya... adanya cuma dua film ini yang layak kompetisi," ujar Presiden JAFF Garin Nugroho.
Kedua film nasional ini seperti tak mampu mengatakan secara cerdas atas berbagai realitas sosial yang berhamburan di sekitarnya. Pernyataan ini tidaklah ingin membenarkan secara absolut bahwa film sebaiknya menjadi "juru bicara" atas ketimpangan sosial di sekitarnya karena ia akan mengingkari film juga sebagai ekspresi yang personal. Namun, setidaknya sebagai produk budaya, film adalah representasi dari realitas sosial dan personal yang tengah berkecamuk di sekelilingnya. Sebab, hanya dengan begitu ia terbebas dari sekadar jatuh menjadi pelipur lara semata.
Korki dan Yasmin jelas sekali tidak menjadikan film sebagai media yang menghibur an sich. Di luar kemampuan bercerita yang sangat menonjol pada Korki, film ini seperti dilahirkan untuk mengubah stereotip yang berkembang selama ini terhadap Irak dan Kurdi. Irak tidaklah sesadis seperti yang selama ini digembar-gemborkan media Barat. Seorang Kurdi yang teraniaya pun memperlihatkan keagungannya, bahwa menuju jalan damai bukanlah dengan mengobarkan perang baru.
Mukhsin di satu sisi berangkat dari persoalan sehari-hari yang remeh-temeh, yakni persahabatan dua remaja tanggung yang masih suka bermain layang-layang, tetapi jelas sekali film ini mengabarkan tentang cinta, persaudaraan, dan penerimaan terhadap perbedaan dengan cara yang tidak tendensius, apalagi saling mencurigai.
Film-film kita sejauh ini sama sekali tidak terbebaskan dari meledaknya dunia sinetron di televisi. Jenis-jenis kisahannya tidaklah penting, yang terpenting mempertunjukkan kemewahan.
Memang terlalu jauh dan mungkin naif berharap film menjadi medium alternatif "pencerahan" setelah gagalnya berbagai instrumen ekonomi dan politik untuk membawa bangsa ini keluar dari benang kusut persoalan. Namun, sekali waktu bolehlah kita berharap akan lahir film-film dengan kecerdasan moral yang langsung menerobos ke inti persoalan bangsa.
Sebab, tanpa begitu, film akan berhenti sebagai barang dagangan industri. Film seperti Crossing the Dust dan Mukhsin saya kira layak jadi pelajaran bagaimana seharusnya bersikap, mengambil jarak, dan meneropong segala sesuatu sampai pada yang paling hakikat: kemanusiaan yang universal!
Saturday, August 04, 2007
Festival Film"Crossing the Dust", Kabar Buruk dari Teluk
Posted by RaharjoSugengUtomo at 10:36 AM
Labels: HeadlineNews: Kompas
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment