KOMPAS - Sabtu, 16 Juni 2007
Penangkapan Tidak Tuntaskan Masalah Terorisme
Jakarta, Kompas - Pemimpin tertinggi atau amir darurat kelompok Jemaah Islamiyah, Zarkasih alias Mbah (45), telah diringkus tim polisi antiteror di Daerah Istimewa Yogyakarta, selang sekitar enam jam sesudah penangkapan Abu Dujana (37) di Banyumas, Jawa Tengah, tanggal 9 Juni lalu.
Akan tetapi, penangkapan Zarkasih serta Abu Dujana tidak membuat kekuatan kelompok Jemaah Islamiyah (JI), yang disebut polisi terlibat berbagai aksi teror, melemah, apalagi salah satu kekuatan JI yang utama adalah eratnya solidaritas. "Zarkasih alias Mbah (yang sebelumnya pernah disebut Zulkarnaen), selaku amir darurat atau mashul JI yang menggantikan Adung, sudah ditangkap," kata Kepala Tim Polisi Antiteror Markas Besar Polri Brigadir Jenderal (Pol) Suryadarma Salim, Jumat (15/6).
Zarkasih adalah pengganti Adung, yang ditangkap polisi di Sukoharjo, Jawa Tengah, tahun 2004. Adung menjabat semacam pelaksana harian organisasi JI pada kurun waktu 2003-2005. Sebelumnya, Amir JI, Abu Rusdan, ditangkap polisi pada tahun 2003 di Kudus, Jawa Tengah.
Pascapenangkapan Adung, para petinggi JI yang tergabung dalam Lajnah Ikhtiar Linasbil Amir (LILA) atau komisi para petinggi JI memilih Zarkasih sebagai amir darurat. Zarkasih dalam struktur JI dahulu merupakan Ketua Mantiqi II.
Dalam pernyataannya yang tertuang dalam rekaman video Polri, Zarkasih mengaku dipilih sebagai amir darurat untuk mengisi kekosongan posisi amir dalam tubuh JI. Secara resmi, Zarkasih menjabat sebagai mashul sejak tahun 2005 hingga sekarang.
Sebelumnya, polisi beberapa kali sempat menyebut sosok bernama Mbah, yang kerap disebut-sebut tujuh tersangka teroris yang ditangkap Maret 2007.
Informasi yang dihimpun di kepolisian menyebutkan, tim polisi antiteror baru mengetahui siapa sebenarnya Zarkasih dalam struktur JI setelah penangkapan dan pemeriksaan awal.
Salah satu bekas anggota JI sekaligus mantan Ketua Mantiqi III JI, Nasir Abbas, warga negara Malaysia, dalam perjalanan di pesawat udara antara Jakarta dan Yogyakarta, kemarin, mengatakan, tertangkapnya Zarkasih menjawab sebagian teka-teki selama ini soal sosok pemimpin tertinggi di JI saat ini.
Menurut Nasir, Zarkasih adalah teman satu angkatan dirinya saat mengikuti pendidikan militer angkatan ke-5 di Kamp Saddah milik mujahidin Afganistan di perbatasan Pakistan.
Zarkasih juga pernah mengajar di Kamp Hudaibiyah JI di Mindanao, Filipina, tahun 1998. Dia memiliki nama lain, yaitu Zuhroni, Zainudin, atau Oni. Dia lahir di Pekalongan, Jateng, 28 Desember 1962, dan alamat terakhir di Ngaglik, Sleman, Yogyakarta.
Pendekatan personal
Nasir menambahkan, dengan tertangkapnya mashul JI (Zarkasih), pemimpin gugus militer JI (Dujana) serta anggota lain, tidak berarti organisasi JI melemah.
Pemerintah Indonesia perlu memikirkan suatu solusi untuk menangani persoalan ideologi yang diyakini para anggota JI. Penanganan itu membutuhkan upaya soft power serta pendekatan personal sangat serius. Pemerintah pun perlu mencoba aktif bekerja sama dengan Filipina untuk mengatasi kamp pelatihan militer di Mindanao yang masih aktif, Kamp Jabal Quba.
Suryadarma menambahkan, Zarkasih selama ini diduga mengontrol operasi pelatihan militer JI di kamp di Jabal Quba. Zarkasih juga bertanggung jawab mengirim peserta latihan militer, menerima dan menempatkan anggota JI setelah pendidikan, mengirim uang kebutuhan, dan mengirim anggota ke Kamp Jabal Quba. Zarkasih diduga terlibat pula dalam kasus teror di Poso, Sulawesi Tengah.
Sementara itu, identitas lengkap enam tersangka teroris yang ditangkap selain Abu Dujana adalah Nur Afidudin alias Suharto alias Haryanto, Aziz alias Mustofa alias Ari, Aris Widodo alias Tri, Arif Saefudin, Isa Ansyori Muchaironi, dan Nur Fauzan. Mereka ditangkap di sejumlah tempat di Yogyakarta, Jateng, dan Surabaya, 9-10 Juni lalu.
Pengacara delapan tersangka, Asluddin Hajani, mengatakan, Isa masih berusia 16 tahun dan Fauzan 17 tahun. Sebab itu, pihaknya akan memohon agar keduanya tidak ditahan karena masih anak-anak. Keduanya ditangkap di suatu bengkel di Yogyakarta.
Berkaitan dengan buronan teroris nomor satu, Noordin M Top, menurut Suryadarma, kelompok Dujana, termasuk Zarkasih, kerap melindunginya.
Di Jakarta, Wakil Presiden Jusuf Kalla menilai penjelasan dini Perdana Menteri Australia Alexander Downer mengenai informasi penangkapan Dujana oleh aparat Polri kurang pantas karena informasi itu belum diumumkan di Indonesia. Padahal, penjagaan kerahasiaan diperlukan untuk operasi polisi. (SF/INU)
Saturday, June 16, 2007
Amir Darurat JI Ditangkap
Posted by RaharjoSugengUtomo at 3:24 PM 0 comments
Labels: HeadlineNews: Kompas
Dana Negara: Pembukaan Rekening Harus Disetujui Menkeu
KOMPAS - Sabtu, 16 Juni 2007
Jakarta, Kompas - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Jumat (15/6), menginstruksikan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati untuk menertibkan rekening dana negara.
Pengelola atau penanggung jawab keuangan negara harus terlebih dahulu meminta persetujuan Menteri Keuangan (Menkeu) jika hendak membuka rekening baru. Bank dan kantor pos diwajibkan menolak permohonan pembukaan rekening tanpa persetujuan tertulis Menkeu.
Dalam hal penertiban rekening tersebut, Departemen Keuangan (Depkeu) diberi waktu tiga bulan, sedangkan departemen dan lembaga lain lebih longgar, yakni enam bulan. Untuk keperluan ini, Presiden akan menggelar sidang kabinet khusus, pekan depan.
Instruksi Presiden itu diungkapkan Menkeu bersama Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Anwar Nasution seusai diterima Presiden Yudhoyono di Kantor Presiden, Kompleks Istana, Jakarta, Jumat (15/6).
Didampingi hampir seluruh anggota BPK, Anwar Nasution melaporkan hasil audit Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) tahun 2006 yang juga mendapat status disclaimer (auditor menolak berpendapat).
Status tersebut masih melekat karena LKPP tetap bertaburan kelemahan dalam sistem pengendalian internal, satuan akuntansi pemerintah, sumber daya manusia, serta sejumlah ketentuan perpajakan yang harus disempurnakan. LKPP juga mengungkapkan banyaknya rekening tersembunyi atau belum masuk LKPP.
Anwar Nasution menilai, tindak lanjut Presiden untuk menggelar sidang kabinet khusus menunjukkan keseriusan pemerintah menertibkan laporan keuangan dan rekening yang belum dilaporkan selama ini.
"Kepada DPR, BPK juga akan menyarankan untuk membentuk komisi atau panitia tersendiri yang akan membicarakan tindak lanjut temuan BPK atas rekening-rekening tersebut. Ini akan memperkuat fungsi pengawasan DPR," tambah Anwar.
Lemahnya laporan keuangan pemerintah juga karena belum diterapkan sistem perbendaharaan tunggal atau treassury single account sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Perbendaharaan Negara. Akibatnya, rekening pemerintah tak dapat dikendalikan. Rekening tersebar di berbagai bank dan atas nama pribadi individu lebih dari ribuan pejabat negara.
Sudah ditutup
Menurut Sri Mulyani, sebagai tindak lanjut dari temuan BPK tahun 2004-2005, pemerintah menemukan tambahan rekening sebanyak 1.892 dengan nilai Rp 9,08 triliun. Rekening tersebut telah ditutup. Dananya digunakan untuk pembiayaan APBN 2006 sebesar Rp 5,05 triliun. Namun, temuan baru BPK atas 2.114 rekening senilai Rp 2,6 triliun serta 260 rekening giro milik pemerintah senilai Rp 144 miliar di luar LKPP 2006, Depkeu akan menertibkannya sesuai rekomendasi tim penertiban.
Menkeu menambahkan, beberapa menteri bukannya tidak mau melaporkan rekening tersebut. Ada yang tidak tahu soal rekening tersebut karena warisan masa lalu.
Ada juga rekening yang memang dibuka untuk tujuan pengelolaan keuangan negara, namun mereka belum paham aturannya. "Walaupun sifatnya darurat dan sementara, rekening itu harus dilaporkan ke Depkeu," ujarnya. (HAR/TAV)
Posted by RaharjoSugengUtomo at 3:24 PM 0 comments
Labels: HeadlineNews: Kompas
Timur Tengah: Palestina Terpecah Dua
KOMPAS - Sabtu, 16 Juni 2007
Gaza, Jumat - Pertikaian antarfaksi di Palestina berakhir tragis. Wilayah yang hingga kini masih berstatus sebagai daerah pendudukan Israel harus terpecah dua lagi. Jalur Gaza dikuasai Hamas, sedangkan Tepi Barat dikuasai Fatah.
Namun, kedua pihak tetap menyatakan diri sebagai pemerintah sah di dua wilayah itu. Ini merupakan salah satu klimaks pertikaian Hamas-Fatah yang berlangsung sejak tahun 2006, ketika Hamas menang dalam pemilu.
Awalnya pertikaian hanya terjadi di beberapa titik. Sejak Sabtu pekan lalu pertikaian meluas ke seluruh Jalur Gaza dan meningkat ke perebutan markas. Perdana Menteri (PM) Palestina Ismail Haniya (Hamas) mengatakan, perebutan kekuasaan dilakukan karena Fatah merupakan infidels (pengkhianat Islam) dan antek-antek Amerika Serikat (AS).
Hari Jumat (15/6), Hamas menguasai Jalur Gaza secara penuh. Mereka menduduki seluruh markas utama militer Fatah. Pasukan Fatah di Gaza pun tercerai-berai. Sebagian menyerah, sebagian terbunuh, dan sisanya melarikan diri ke Mesir.
Pasukan Hamas juga menduduki kompleks kepresidenan di Gaza City, di mana Hamas menancapkan bendera hijau. Anggota Hamas masuk ke kediaman Presiden Mahmoud Abbas (Fatah). Mereka duduk di meja kerja dan di ruang tidur Abbas sambil berfoto. Mereka juga mencampakkan foto Abbas dan pemimpin Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) yang dia gantikan oleh Abbas, Yasser Arafat (Alm).
Selain itu, beberapa orang mengambil mobil, komputer, senjata, dan sejumlah dokumen di kompleks kepresidenan.
Penjarahan juga terjadi di rumah mantan orang kuat Fatah di Gaza, Mohammed Dahlan. Para saksi mengatakan, puluhan orang mengambil semua yang ada di rumah itu mulai mebel, pot bunga, daun jendela, hingga tempat cuci piring berikut keran air.
PM Haniya meminta warga menghentikan penjarahan dan menawarkan dialog nasional, namun kekacauan sudah telanjur makin parah.
Pemerintahan baru
Perkembangan terbaru ini makin menjauhkan cita-cita bangsa Palestina untuk mendirikan sebuah negara yang bebas dari pendudukan Israel, seperti impian Arafat. Pemerintahan persatuan Palestina (Hamas bersama Fatah) tiga bulan lalu telah berantakan.
Menyusul kemenangan Hamas di Gaza, Abbas menyatakan negara dalam keadaan darurat di seluruh Palestina. Dia membubarkan pemerintahan koalisi pimpinan Hamas sekaligus memecat Haniya sebagai PM. Abbas menuduh Hamas melancarkan kudeta. Abbas menugaskan Salam Fayyad, politisi independen Palestina, membentuk pemerintahan baru menggantikan pemerintahan koalisi Hamas-Fatah, dengan markas di Tepi Barat.
Haniya menolak deklarasi Abbas yang dianggap tergesa-gesa. Abbas, lanjutnya, tidak bisa mengeluarkan keputusan sepihak dalam situasi seperti ini. Dia menuduh Abbas telah menyalahgunakan kekuasaan dan berupaya menyingkirkan Hamas dengan membentuk pemerintahan baru.
Ia menegaskan, Hamas akan mempertahankan pemerintahan persatuan Palestina yang sah. Ditambahkan, Hamas akan menjalankan hukum dan memerintah secara tegas. Haniya juga menolak ide pendirian negara Palestina pimpinan Hamas dengan wilayah terbatas di Jalur Gaza.
Pemimpin Hamas Moussa Abu Marzouk mengatakan, "Gaza dan masa depannya tidak akan berubah dan akan terus terkait dengan Tepi Barat."
Barat dukung Abbas
Pemerintah AS dan Israel yang selama ini berpihak kepada Fatah juga langsung mendukung Abbas secara penuh. AS dan Israel menyatakan akan mencabut embargo di Tepi Barat untuk memperkuat Abbas. Israel juga berjanji akan mencairkan uang pajak milik bangsa Palestina yang mereka tahan. Negara-negara Uni Eropa juga menyatakan mendukung Abbas.
Negara-negara Barat sejak awal tidak menyukai pemerintahan Hamas. Hamas tak pernah bersedia mengakui Israel, tak mau menghentikan serangan ke Israel, dan tak mau mengakui perjanjian Israel-PLO. (AP/AFP/REUTERS/BSW)
Posted by RaharjoSugengUtomo at 3:20 PM 0 comments
Labels: HeadlineNews: Kompas
Kaum Marjinal: Saat Warga Tak Mampu
KOMPAS - Sabtu, 16 Juni 2007
Indira Permanasari
Yana (39) seperti tercekat. Warga Bambu Apus, Kabupaten Tangerang, Banten, ini bagai kehilangan perbendaharaan kata-kata begitu diajak berbicara soal pendidikan dan masa depan anak-anaknya.
Nuraini (14), putri keduanya yang sudah menyelesaikan pendidikan setara SD di sebuah madrasah ibtidaiyah atau MI setahun lalu, hingga kini belum juga bisa melanjutkan ke sekolah menengah pertama atau sederajat.
"Saya ngeri mendaftarkannya ke sekolah. Takut," kata Yana.
Jangankan bisa mendaftarkan anaknya, ijazah tanda kelulusan Nuraini dari sebuah madrasah pun hingga kini masih tertahan di sana. Yana dan suaminya, yang saat ini bekerja sebagai penyapu jalan, belum juga mampu menebus ijazah anaknya. Uang Rp 150.000 masih terlalu besar bagi keluarga ini.
Tahun lalu, Yana sebetulnya sempat bertanya ke satu SMP swasta tak jauh dari tempat tinggal mereka terkait biaya masuk. Ketika mendengar angka Rp 580.000 dan hanya dapat dicicil empat kali, Yana pun mundur teratur.
"Astagfirullah ... duitnya dari mana? Tabungan? Untuk hidup sehari-hari saja sulit, bagaimana mungkin punya tabungan," kata Yana tanpa ekspresi.
Ia dan suaminya bukan tak sadar arti penting pendidikan, yang oleh para pakar di negeri selalu didengung-dengungkan sebagai sarana utama terjadinya mobilitas sosial. Buktinya, putri pertama mereka, Nuryani, sempat menamatkan sekolah menengah kejuruan (SMK) jurusan akuntansi. Itu dimungkinkan karena waktu itu sang ayah masih kerap diminta menjadi kernet truk dengan pendapatan Rp 50.000 sekali jalan. Saat ini, seiring usianya yang kian menua, sang ayah yang menjadi tonggak ekonomi keluarga itu cuma menjadi penyapu jalan.
"Honor dari pemerintah per bulan sekitar Rp 450.000," kata Yana, yang kini kian risau karena Nuryani pun tak kunjung dapat pekerjaan.
Lain lagi kisah Minatin (41). Wanita beranak lima ini nekat memasukkan anak-anaknya ke satu SMP swasta. Padahal, ia hanya mengandalkan penghasilan dari berjualan minuman dan kue-kue di rumah kontrakan mereka, sementara sang suami menjadi pengamen. Penghasilan mereka praktis hanya cukup untuk bertahan hidup sehari-hari. Tak ada yang bisa ditabung.
Akan tetapi, karena kenekatan Minatin, tiga anaknya—dalam rentang waktu berbeda—pernah menikmati bangku SMP. Namun, ketika tidak bisa mencicil uang gedung dan menunggak iuran bulanan, anak-anak itu pun satu per satu keluar dari sekolah. Bahkan, anak keempatnya hanya bisa sampai di bangku kelas V SD. Adapun anak kelima mereka, yang telah berusia 6,5 tahun, hingga kini belum juga didaftarkan ke SD. Lupakan TK.
Di wilayah pinggiran DKI Jakarta, institusi pendidikan dasar (SD/SMP sederajat) memang belum sepenuhnya membebaskan biaya pendidikan. Bahkan, banyak sekolah masih memungut iuran bulanan (baca: sumbangan pembinaan pendidikan alias SPP), sekalipun mereka telah mendapat dana bantuan operasional sekolah (BOS) dari pemerintah pusat. Dana BOS yang digulirkan pemerintah sejak dua tahun lalu tersebut besarannya masing-masing Rp 254.000 per tahun bagi siswa SD dan Rp 354.000 per tahun bagi siswa SMP.
Di sejumlah sekolah, seperti SD Negeri Pondok Cabe Udik 03 Tangerang dan SD Negeri 03 Depok—untuk sekadar menyebut sedikit contoh—siswa baru masih dikenai "sumbangan sukarela" sebesar Rp 200.000 hingga Rp 300.000. Adapun di tingkat SMP, lebih besar lagi. SMP Negeri 1 Pamulang, misalnya, tahun lalu saja memungut sumbangan awal sekitar Rp 2 juta. Dan, itu semua belum termasuk iuran bulanan, uang buku paket, dan aneka kebutuhan mendadak lainnya.
Negeri jadi tumpuan
Sementara di Ibu Kota, meski Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah menggelontorkan dana tambahan untuk mendampingi BOS, yakni apa yang mereka namakan bantuan operasional pendidikan (BOP) untuk tiap siswa SD Rp 600.000 per tahun dan siswa SMP Rp 1,2 juta per tahun, namun tak berarti semua sekolah akan meniadakan sama sekali berbagai pungutan.
Kendati demikian, bagi mereka yang bisa masuk sekolah negeri, paling tidak—kecuali di sekolah unggulan—biaya pendaftaran, pungutan awal tahun, dan iuran bulanan alias SPP dipastikan tidak ada.
Oleh karena itu, Haryanti (35) amat berharap putrinya, Hanifah (12), bisa diterima di SMP negeri. "Kalo die bisa sekolah dan terus hingga ke jenjang nyang lebih tinggi, entar die bisa dapat pekerjaan yang lebih bagus," kata Haryanti, warga Betawi asli yang tinggal di rumah kontrakan di kawasan Gandaria, Jakarta Selatan.
Padahal, bagi warga miskin, pendidikan masih diyakini menjadi tumpuan harapan bagi mereka untuk keluar dari lembah kemiskinan. Agar kelak mereka hidup tidak hanya untuk hari ini saja.
Jika harapan itu kandas, pendidikan yang seharusnya bisa mengangkat status sosial anak tidak mampu setara dengan anak dari keluarga berkecukupan, atau anak buruh asongan setara anak bankir, cuma ada dalam konsep-konsep muluk yang jauh dari realitas sehari-hari.
Pada kenyataannya, anak-anak kelas pekerja tetaplah anak-anak pekerja dan kelak akan menjadi pekerja, anak buruh akan menjadi buruh, dan anak penganggur sangat boleh jadi kelak menjadi penganggur pula. Sungguh menyedihkan!
Posted by RaharjoSugengUtomo at 3:18 PM 1 comments
Labels: HeadlineNews: Kompas
Ular Naga
KOMPAS - Sabtu, 16 Juni 2007
Nama Ross Perot sering disebut sebagai contoh ideal "calon independen" di Amerika Serikat. Orang terkaya nomor 57 di AS—sekitar Rp 38,7 triliun—itu, Februari 1992, mengumumkan niatnya menjadi calon presiden.
Ia menawarkan program anggaran berimbang, pro aborsi, anti outsourcing, dan berbagai gagasan segar lainnya. Ia "memberontak" dari program dua partai dominan, Republik dan Demokrat.
Ia mengeluarkan puluhan juta dollar AS untuk membentuk berbagai organisasi akar rumput, seperti Perot ’88 dan Perot ’92. Beberapa ormas, orpol, dan parpol ikut mendukung.
Setiap warga berhak mencalonkan diri menjadi pejabat publik setelah mengisi formulir pernyataan pencalonan. Ada kolom Afiliasi Partai, Komite Utama Kampanye, dan Komite yang wajib diisi.
Lalu, calon dimintai alamat kantor komite, nomor rekening bank, deposit, dan kelengkapan administratif lain. Ada formulir pernyataan organisasi yang menanyai program kerja, organisasi, dan seterusnya.
Dibentuklah Komite Petisi Perot, wahana yang menampung petisi rakyat yang mendukung pencalonan. Masing-masing negara bagian mensyaratkan jumlah minimal tanda tangan yang berbeda-beda.
Rakyat muak kepada sistem dua partai, butuh "partai ketiga". Berbagai jajak pendapat menunjukkan, popularitas Perot pernah mencapai 39 persen dibandingkan dengan capres George WH Bush dari Republik (31 persen) dan Bill Clinton dari Demokrat (25 persen).
Menurut undang-undang, ia layak ikut debat, membuat popularitasnya makin meroket. Banyak capres dari parpol-parpol lain iri karena tak mendapat peluang emas itu.
Ia menolak saat ditawari ikut pencalonan Konvensi Nasional Demokrat. Namun, medio Juli 1992, ia malah bilang mau pikir-pikir dulu maju atau tidak setelah konvensi itu resmi mencalonkan Clinton.
Ia membentuk United We Stand America (UWSA) untuk mengorganisasi kampanye yang per September sukses mendaftarkan dia (on the ballot) di 50 negara bagian sesuai syarat. Ia resmi jadi capres, kampanye di 16 negara bagian, dan menghabiskan sekitar 65 juta dollar AS.
Perot mendirikan Partai Reformasi tahun 1995 dan setahun kemudian menjadi capres partai itu. Partai Reformasi sukses menjadikan mantan pegulat smackdown, Jesse Ventura, sebagai Gubernur Minnesota 1999-2003.
Tahun 1992, Perot ditulis sebagai capres dari "Independen" pada kolom Afiliasi Partai di formulir pernyataan pencalonan dan juga di kertas suara. Kata Independen ("I" dengan huruf besar) merujuk pada sikap mbalelo dari Republik dan Demokrat.
Namun, sebagai capres ia perlu dukungan petisi, komite, ormas, orpol, parpol atau badan-badan hukum sejenis. Di AS tak mungkin ujug-ujug menyebut diri sebagai calon independen atau perseorangan tanpa dukungan organisasi.
Ada belasan parpol yang mencalonkan presiden, termasuk Partai Hukum Alam, Komunis, Kemerdekaan, dan Dixiecrat. Dua parpol ingin mewujudkan legalisasi ganja, yakni Partai Mariyuana dan Partai Ganja yang sama-sama memakai daun ganja sebagai lambang.
Di kertas suara pilpres di beberapa negara bagian, di bagian paling bawah ada pilihan bertuliskan "None of the Above" (Bukan Capres-capres di Atas). Ini untuk menampung aspirasi rakyat yang ogah memilih capres-capres yang terdaftar.
Di beberapa negara bagian, surat suara ditambahi stiker putih yang bisa diisi nama capres yang tak terdaftar yang didukung parpol. Namun, pemilih juga boleh mengisi nama fiktif, seperti Mickey Mouse atau Darth Vader.
Demokrasi di AS "tiada hari tanpa parpol". Di sini belakangan ini terjadi "tiada hari tanpa calon independen".
Bukan tak mungkin Mahkamah Konstitusi mengesahkan calon independen boleh ikut pilgub DKI Jakarta 8 Agustus. Keputusan itu bisa jadi preseden bagi anggota DPRD, DPR Pusat, atau presiden dipilih lewat "jalan tol" itu tahun 2009.
Maka, Si Anu jadi gubernur independen yang dihadang parpol-parpol di DPRD, Si Badu jadi presiden yang menghadapi aneka parpol di DPR Pusat. Ini soal pelik yang perlu dicari solusinya terlebih dulu.
Soal pelik lainnya, bagaimana jika rakyat pemilih gubernur dan presiden hendak menyalurkan aspirasi? Solusinya jangan bersifat vox populi vox nihili (suara rakyat tak perlu didengar).
Depolitisasi pernah terjadi. Bung Karno membuka peluang bagi utusan daerah dan golongan untuk menjadi anggota parlemen, Pak Harto memberlakukan fusi tahun 1973.
Pengesahan calon independen membuat citra parpol makin terpuruk. Di lain pihak mereka takkan berpangku tangan karena, misalnya, Partai Golkar sudah lebih dari setengah abad mengabdi pada bangsa dan negara ini dan "nenek moyang" PDI-P, yakni PNI, berdiri tahun 1927.
Tak mustahil terjadi krisis. Sekarang ini KPU pusat membutuhkan perhatian besar karena anggotanya tinggal tiga dan pekerjaan mereka menumpuk menghadapi persiapan menjelang Pemilu/Pilpres 2009.
Amandemen atau perubahan UUD ’45 dan berbagai UU merupakan kebutuhan zaman. Namun, lama-kelamaan banyak warga yang menilai berbagai tuntutan perubahan itu terkesan "main-main."
Saya ingat waktu TK senang kalau ramai-ramai main Ular Naga saat istirahat. Ular naga panjangnya bukan kepalang/ Menjalar-jalar selalu kian kemari/Umpan yang lezat itulah yang dicari/Ini dianya yang terbelaaaa....kang!
Saya malas sinau ketika harus masuk kelas. Maklum, main Ular Naga asyik sih.
Posted by RaharjoSugengUtomo at 3:15 PM 0 comments
Labels: HeadlineNews: Kompas