KOMPAS - Sabtu, 16 Juni 2007
Nama Ross Perot sering disebut sebagai contoh ideal "calon independen" di Amerika Serikat. Orang terkaya nomor 57 di AS—sekitar Rp 38,7 triliun—itu, Februari 1992, mengumumkan niatnya menjadi calon presiden.
Ia menawarkan program anggaran berimbang, pro aborsi, anti outsourcing, dan berbagai gagasan segar lainnya. Ia "memberontak" dari program dua partai dominan, Republik dan Demokrat.
Ia mengeluarkan puluhan juta dollar AS untuk membentuk berbagai organisasi akar rumput, seperti Perot ’88 dan Perot ’92. Beberapa ormas, orpol, dan parpol ikut mendukung.
Setiap warga berhak mencalonkan diri menjadi pejabat publik setelah mengisi formulir pernyataan pencalonan. Ada kolom Afiliasi Partai, Komite Utama Kampanye, dan Komite yang wajib diisi.
Lalu, calon dimintai alamat kantor komite, nomor rekening bank, deposit, dan kelengkapan administratif lain. Ada formulir pernyataan organisasi yang menanyai program kerja, organisasi, dan seterusnya.
Dibentuklah Komite Petisi Perot, wahana yang menampung petisi rakyat yang mendukung pencalonan. Masing-masing negara bagian mensyaratkan jumlah minimal tanda tangan yang berbeda-beda.
Rakyat muak kepada sistem dua partai, butuh "partai ketiga". Berbagai jajak pendapat menunjukkan, popularitas Perot pernah mencapai 39 persen dibandingkan dengan capres George WH Bush dari Republik (31 persen) dan Bill Clinton dari Demokrat (25 persen).
Menurut undang-undang, ia layak ikut debat, membuat popularitasnya makin meroket. Banyak capres dari parpol-parpol lain iri karena tak mendapat peluang emas itu.
Ia menolak saat ditawari ikut pencalonan Konvensi Nasional Demokrat. Namun, medio Juli 1992, ia malah bilang mau pikir-pikir dulu maju atau tidak setelah konvensi itu resmi mencalonkan Clinton.
Ia membentuk United We Stand America (UWSA) untuk mengorganisasi kampanye yang per September sukses mendaftarkan dia (on the ballot) di 50 negara bagian sesuai syarat. Ia resmi jadi capres, kampanye di 16 negara bagian, dan menghabiskan sekitar 65 juta dollar AS.
Perot mendirikan Partai Reformasi tahun 1995 dan setahun kemudian menjadi capres partai itu. Partai Reformasi sukses menjadikan mantan pegulat smackdown, Jesse Ventura, sebagai Gubernur Minnesota 1999-2003.
Tahun 1992, Perot ditulis sebagai capres dari "Independen" pada kolom Afiliasi Partai di formulir pernyataan pencalonan dan juga di kertas suara. Kata Independen ("I" dengan huruf besar) merujuk pada sikap mbalelo dari Republik dan Demokrat.
Namun, sebagai capres ia perlu dukungan petisi, komite, ormas, orpol, parpol atau badan-badan hukum sejenis. Di AS tak mungkin ujug-ujug menyebut diri sebagai calon independen atau perseorangan tanpa dukungan organisasi.
Ada belasan parpol yang mencalonkan presiden, termasuk Partai Hukum Alam, Komunis, Kemerdekaan, dan Dixiecrat. Dua parpol ingin mewujudkan legalisasi ganja, yakni Partai Mariyuana dan Partai Ganja yang sama-sama memakai daun ganja sebagai lambang.
Di kertas suara pilpres di beberapa negara bagian, di bagian paling bawah ada pilihan bertuliskan "None of the Above" (Bukan Capres-capres di Atas). Ini untuk menampung aspirasi rakyat yang ogah memilih capres-capres yang terdaftar.
Di beberapa negara bagian, surat suara ditambahi stiker putih yang bisa diisi nama capres yang tak terdaftar yang didukung parpol. Namun, pemilih juga boleh mengisi nama fiktif, seperti Mickey Mouse atau Darth Vader.
Demokrasi di AS "tiada hari tanpa parpol". Di sini belakangan ini terjadi "tiada hari tanpa calon independen".
Bukan tak mungkin Mahkamah Konstitusi mengesahkan calon independen boleh ikut pilgub DKI Jakarta 8 Agustus. Keputusan itu bisa jadi preseden bagi anggota DPRD, DPR Pusat, atau presiden dipilih lewat "jalan tol" itu tahun 2009.
Maka, Si Anu jadi gubernur independen yang dihadang parpol-parpol di DPRD, Si Badu jadi presiden yang menghadapi aneka parpol di DPR Pusat. Ini soal pelik yang perlu dicari solusinya terlebih dulu.
Soal pelik lainnya, bagaimana jika rakyat pemilih gubernur dan presiden hendak menyalurkan aspirasi? Solusinya jangan bersifat vox populi vox nihili (suara rakyat tak perlu didengar).
Depolitisasi pernah terjadi. Bung Karno membuka peluang bagi utusan daerah dan golongan untuk menjadi anggota parlemen, Pak Harto memberlakukan fusi tahun 1973.
Pengesahan calon independen membuat citra parpol makin terpuruk. Di lain pihak mereka takkan berpangku tangan karena, misalnya, Partai Golkar sudah lebih dari setengah abad mengabdi pada bangsa dan negara ini dan "nenek moyang" PDI-P, yakni PNI, berdiri tahun 1927.
Tak mustahil terjadi krisis. Sekarang ini KPU pusat membutuhkan perhatian besar karena anggotanya tinggal tiga dan pekerjaan mereka menumpuk menghadapi persiapan menjelang Pemilu/Pilpres 2009.
Amandemen atau perubahan UUD ’45 dan berbagai UU merupakan kebutuhan zaman. Namun, lama-kelamaan banyak warga yang menilai berbagai tuntutan perubahan itu terkesan "main-main."
Saya ingat waktu TK senang kalau ramai-ramai main Ular Naga saat istirahat. Ular naga panjangnya bukan kepalang/ Menjalar-jalar selalu kian kemari/Umpan yang lezat itulah yang dicari/Ini dianya yang terbelaaaa....kang!
Saya malas sinau ketika harus masuk kelas. Maklum, main Ular Naga asyik sih.
Saturday, June 16, 2007
Ular Naga
Posted by RaharjoSugengUtomo at 3:15 PM
Labels: HeadlineNews: Kompas
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment