BISNIS - Selasa, 22/05/2007
JAKARTA: Industri manufaktur nasional pada kuartal I/2007 hanya tumbuh rerata 5,83% atau di bawah angka pertumbuhan ekonomi periode yang sama yang tercatat 5,97%. Bahkan jika dibandingkan dengan pertumbuhan manufaktur nasional kuartal IV/2006, terjadi penurunan 0,5%. Padahal Menperin Fahmi Idris pernah menyatakan bahwa pertumbuhan sektor manufaktur idealnya harus berada di atas pertumbuhan ekonomi nasional sehingga akselerasi pergerakan sektor riil bisa lebih cepat.
Meskipun demikian, Sekjen Departemen Perindustrian Agus Tjahajana mengatakan kontribusi industri manufaktur nasional terhadap total produk domestik bruto (PDB) yang mencapai 22,81% merupakan yang terbesar dibandingkan sumbangan sektor lainnya selama kuartal I/2007."Laju pertumbuhan industri manufaktur nasional pada 2006 memang menurun dibandingkan tahun sebelumnya akibat sejumlah masalah krusial. Tapi dengan berbagai upaya yang tengah dan akan dijalankan, pertumbuhan tahun ini akan lebih tinggi," tuturnya seusai rapat kerja sekjen Depperin dan sekjen Depdag dengan Komisi VI DPR di Jakarta, kemarin. Agus menjelaskan kinerja industri pada 2006 hanya mampu mencatat pertumbuhan 5,27% atau lebih rendah dibandingkan 2005 yang mencapai 5,86%. Penurunan pertumbuhan industri nasional ini disebabkan masih banyak permasalahan yang dihadapi seperti biaya energi (bahan bakar minyak, listrik, dan gas) yang tinggi, kelangkaan pasokan gas, dan penyelundupan yang marak. Selain itu, tingkat suku bunga kredit yang belum kompetitif, ketergantungan impor bahan baku, bahan penolong, dan komponen yang cukup tinggi, serta layanan birokrasi yang belum memadai ikut menghambat laju pertumbuhan industri manufaktur. Pemerintah, kata Agus,? menargetkan pertumbuhan industri tahun ini naik menjadi 7,9% dan 2008? sebesar 8,4%.
yusuf.waluyo@bisnis.co.id
Oleh Yusuf Waluyo Jati
Bisnis Indonesia
Tuesday, May 22, 2007
Industri hanya tumbuh 5,83% pada kuartal I
Posted by RaharjoSugengUtomo at 8:57 AM 0 comments
Labels: HeadlineNews: Bisnis
Kredit valas cenderung meningkat
BISNIS - Selasa, 22/05/2007
JAKARTA: Pertumbuhan kredit yang mencapai 16,6% selama triwulan pertama 2007 (year-on-year) ternyata lebih dipicu dari kredit valas yang cenderung meningkat tiap bulan.Gubernur Bank Indonesia Burhanuddin Abdullah mengatakan fungsi intermediasi perbankan masih belum seperti yang diharapkan, meskipun pada Januari-Maret 2007 kredit tumbuh 1,2% menjadi Rp843 triliun.
"Secara year-on-year pertumbuhan kredit mencapai 16,6% di mana kenaikan itu dipicu dari kredit valas yang cenderung meningkat setiap bulannya," tuturnya pada rapat kerja dengan Komisi XI DPR, kemarin.Data bank sentral menunjukkan total kredit valas (termasuk kredit penerusan) per Maret 2007 sebesar Rp184,6 triliun atau naik sekitar Rp9 triliun dari posisi Desember 2006 sementara kredit dalam rupiah hanya naik Rp1 triliun dalam tiga bulan pertama 2007 jadi Rp658,5 triliun.Burhanuddin mengingatkan besarnya outstanding kredit valas yang disalurkan akan membuat bank menghadapi sejumlah risiko seperti risiko nilai tukar. "Tapi tentu ada pertimbangan dari bank sendiri untuk mengambil keputusan itu." Dia menyebutkan bank sentral tidak akan membuat batasan dalam eksposur kredit valas tersebut dan menyerahkan bank-bank untuk menyesuaikan perhitungan besaran posisi devisa neto (PDN).Deputi Gubernur BI Muliaman Hadad mengatakan nominal kredit valas yang besar itu naik, namun secara total belum menyamai kredit valas. "Itu bisa saja digunakan bank untuk pembiayaan ekspor impor atau trade financing. Sekarang banyak bank yang menyediakan trade financing," ujarnya.Bank persero tercatat menyalurkan kredit valas Rp59,63 triliun per Maret 2007 atau naik Rp3 triliun dari posisi Desember 2006. Bank swasta yang berstatus bank devisa mencatatkan kenaikan kredit valas sebesar Rp1,5 triliun menjadi Rp39,9 triliun dalam tiga bulan pertama tahun ini.Muliaman menepis perkiraan dana valas yang disalurkan perbankan digunakan debitor untuk mencari keuntungan pada volatilitas nilai tukar rupiah.Cadangan devisaDi sisi lain, Burhanuddin menambahkan cadangan devisa awal Mei mencapai US$50,3 miliar atau naik US$1 miliar dari posisi April 2007. Angka itu, ungkapnya, setara dengan 5,3 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri.Gubernur BI menjelaskan naiknya cadangan devisa dikarenakan kinerja neraca pembayaran Indonesia yang surplus US$4,6 miliar serta didukung surplus transaksi berjalan sebesar US$3,2 miliar.Sementara itu Miranda Swaray Goeltom, Deputi Senior Gubernur BI, mengatakan apresiasi nilai tukar rupiah membawa pengaruh pada pertumbuhan ekonomi dan inflasi. "Tiap kenaikan 1% apresiasi rupiah menyebabkan 0,05% pertumbuhan ekonomi dan mengurangi tekanan inflasi 0,7%. Jadi secara jangka pendek, posisi rupiah bagus," kata Miranda.
(fahmi.achmad@bisnis. co.id)
Oleh Fahmi Achmad
Bisnis Indonesia
Posted by RaharjoSugengUtomo at 8:54 AM 0 comments
Labels: HeadlineNews: Bisnis
4 PTPN tolak ikut pasok CPO
BISNIS - Selasa, 22/05/2007
JAKARTA: Program stabilisasi harga (PSH) minyak goreng terancam gagal pada akhir Mei karena empat PTPN dan enam perusahaan swasta asing menangguhkan realisasi komitmen pasok minyak sawit mentah (CPO) dengan dalih menunggu payung hukum dari pemerintah.
"Realisasi komitmen 10 perusahaan itu ditangguhkan. Mereka menunggu payung hukum dari pemerintah. Oleh karena itu, rencana intensifikasi penggelontoran 5.000 ton per hari, hasil rapat evaluasi PSH siang kemarin, tak dapat direalisasikan," kata Derom Bangun, Ketua Harian Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), seusai rapat teknis pembagian alokasi distribusi minyak goreng di Depperin tadi malam.Sumber Bisnis mengatakan penangguhan realisasi pasok PT Perkebunan Nusantara itu sangat mengherankan, karena keempat perusahaan itu merupakan BUMN perkebunan. "Saya heran, keempat PTPN itu lebih mementingkan kontrak ekspornya ketimbang membantu menurunkan harga minyak goreng di dalam negeri. Apalagi dengan berdalih perlunya payung hukum yang belum rampung," tambah sumber itu.Padahal, kata Derom, PTPN telah menambah komitmen pasok minyak goreng menjadi 23.000 ton, dari kesepakatan awal 20.000 ton.Pemerintah sebelumnya menerima komitmen dari produsen kelapa sawit dan industri minyak goreng untuk melancarkan operasi pasar minyak goreng terutama di Jawa agar harga kembali pada kisaran Rp6.500-Rp6.800 per kg hingga akhir Mei. "Dari hasil evaluasi ternyata penurunan harga yang tidak signifikan karena pasokan minyak goreng belum sebesar yang diharapkan. Oleh karena itu, penggelontoran minyak goreng diintensifkan. Tapi teknisnya ditentukan Depperin," kata Gunaryo, Direktur Bina Pasar dan Distribusi, Ditjen Perdagangan Dalam Negeri, Depdag, seusai rapat evaluasi PSH minyak goreng di Depdag, kemarin.Hasil evaluasi PSH minyak goreng pada 21 Mei mengklaim masih sekitar 35.000 ton minyak goreng-dari komitmen tambahan pasokan 100.000 ton per bulan-belum terdistribusi.? Karena itu, untuk jangka pendek PSH tetap dilanjutkan dengan menambah pasok? minyak goreng 5.000 ton-6.000 ton per hari.Jumlah minyak goreng yang belum terdistribusi itu rencananya disalurkan dengan tiga mekanisme yaitu 80% melalui PSH, 15% disalurkan ke industri makanan dan minuman kelas UKM, sisanya 5% langsung dijual ke pasar seperti operasi pasar beras.Dirjen Industri Agro dan Kimia Departemen Perindustrian Benny Wahyudi mengatakan minyak goreng yang terdistribusi baru sekitar 25.000 ton sejak 'gong' PSH ditabuh awal Mei.? "Harga di pasar memang masih tinggi karena minyak goreng yang disalurkan belum sesuai dengan komitmennya.? Salah satu alasannya produsen dan prosesor itu ingin kepastian payung hukumnya," katanya.Empat PTPN-yakni PTPN III, IV, V, XIII-tidak hadir dalam rapat evaluasi di Departemen Perdagangan kemarin, sehingga pembagian pasok untuk ketiga mekanisme itu tidak melibatkan BUMN tersebut. Padahal dalam rapat-rapat sebelumnya, direksi PTPN selalu ada yang mewakili.Derom berdalih sejumlah PTPN memang tidak diundang, melainkan hanya asosiasinya. "Mereka masuk Gapki, jadi asosiasinya yang datang."Namun, saat dikonfirmasi bahwa PTPN juga diundang dalam rapat tersebut, Derom mengaku tidak tahu. Siapkan DMOSementara itu, kata Benny Wahyudi, pemerintah menyiapkan rancangan domestic market obligation (DMO) bagi eksportir crude palm oil (CPO) untuk menjamin pasokan di dalam negeri dengan harga tertentu. DMO bersanding dengan rencana kebijakan lain seperti peningkatan tarif pungutan ekspor (PE) dan penambahan dua jenis produk turunan CPO yang akan dikenai PE.Sejumlah skenario itu akan dipilih menjadi kebijakan yang diharapkan menghindari guncangan harga minyak goreng di dalam negeri menyusul penguatan harga CPO di luar negeri seperti yang terjadi sejak awal 2007.DMO dan rancangan kebijakan lainnya baru diambil jika kebijakan jangka pendek berupa PSH minyak goreng tidak mampu menurunkan harga. "Mau ada PE atau DMO akan dilihat sebulan ini [Mei].? Kalau berlangsung terus, kemungkinan semacam DMO untuk seluruh prosesor.? Kalau sekarang [melalui PSH] baru anggota Gapki." Benny menilai perlu kebijakan yang lebih mengikat. Jika DMO dipilih, produsen CPO dan industri terkait diwajibkan memasok beberapa persen dari jumlah produksinya dengan harga yang diputuskan pemerintah.? Pemerintah juga masih mencari bentuk hukum yang mengatur DMO itu di antaranya melalui surat keputusan menteri atau surat keputusan bersama karena mencakup sejumlah wewenang di beberapa menteri.Sejumlah wewenang itu a.l. kewajiban memasok di dalam negeri dengan kuota yang diputuskan Depdag atas rekomendasi Depperin, perpajakan di wilayah Depkeu karena produsen menjual di bawah harga pasar, dan penetapan batas harga pembelian produksi petani di tangan Deptan.
m02/K9/Master Sihotang/ Yusran Yunus)
(lutfi.zaenudin@bisnis. co.id/neneng.herbawati@bisnis.co.id)
Oleh Lutfi Zaenudin & Neneng Herbawati
Bisnis Indonesia
Posted by RaharjoSugengUtomo at 8:51 AM 0 comments
Labels: HeadlineNews: Bisnis
Hartati Adukan Penyitaan Sepatu ke Presiden
KORAN TEMPO - Selasa, 22 Mei 2007
Langkah Bea-Cukai dinilai tepat karena merupakan pengetatan pengawasan arus barang.
JAKARTA - Bos Central Murdaya Group, Hartati Murdaya, mengaku telah mengadukan kasus penyitaan kontainer berisi sepatu miliknya oleh aparat Bea-Cukai Bandar Udara Soekarno-Hatta kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
"Karena jengkel, saya tulis surat kepada Menteri Keuangan dan saya tembuskan ke Presiden," kata Hartati setelah melaporkan persiapan perayaan Waisak di kantor kepresidenan, Jakarta, kemarin.
Ihwal penyitaan itu diberitakan majalah Tempo pekan ini. Disebutkan, aparat Bea-Cukai akhir Maret lalu menyita 36 ribu pasang sepatu merek Yonex, produksi PT Nagasakti Paramashoes Industry, salah satu perusahaan milik Hartati di Tangerang, Banten. Sepatu yang seharusnya diekspor itu dikeluarkan dari kawasan berikat tanpa izin Bea-Cukai. Nagasakti dianggap telah melanggar Undang-Undang Kepabeanan.
Menurut ketentuan yang berkaitan dengan kawasan berikat, perusahaan di kawasan berikat berhak mendapat pembebasan atau penangguhan pembayaran bea masuk untuk bahan baku. Syaratnya adalah bahan baku itu untuk diolah menjadi produk ekspor.
Hartati membantah jika dikatakan perusahaannya berniat mengemplang pajak. Menurut dia, justru polisi menangkap truk kontainer setelah mendapat laporan anggota satuan pengamanan pabrik. Petugas satpam mencurigai sepatu yang rencananya akan diekspor itu dicuri. Kontainer kemudian dikembalikan ke pabrik untuk dilengkapi dokumennya, tapi Bea-Cukai malah menyitanya. Walau begitu, Hartati mengakui karyawannya melakukan kecerobohan dengan mengeluarkan sepatu itu sebelum dokumen ekspor lengkap.
Hartati berniat mengajukan gugatan praperadilan. Alasannya, kasus itu telah mencemarkan nama baiknya. Perusahaan sepatu miliknya pun terganggu akibat kasus itu.
"Kalau terjadi guncangan karena ulah Bea-Cukai, ekspor senilai US$ 100 juta akan terhenti. Karyawan 14 ribu orang itu mau dikemanakan? Kalau ada apa-apa, saya mau minta Bea-Cukai tanggung jawab," katanya.
Ketika dimintai konfirmasi, Direktur Jenderal Bea-Cukai Anwar Suprijadi tidak mau berkomentar. Menurut dia, sebelumnya sudah ada komitmen di antara penegak hukum untuk tidak mengekspos kasus itu. "Kasus tetap diselesaikan, tapi tidak diekspos ke publik," ujar Anwar di Departemen Keuangan kemarin.
Anwar juga menampik adanya tekanan tertentu untuk tidak terbuka kepada wartawan tentang kasus itu.
Wakil Ketua Komisi Industri dan Perdagangan Dewan Perwakilan Rakyat Lili Asdjudiredja mendukung langkah Bea-Cukai menyita sepatu-sepatu perusahaan milik Hartati itu. Bahkan dia meminta Bea-Cukai tetap harus mempertahankan barang sitaan itu meski mendapat tekanan dari pemiliknya. "Kalau tiba-tiba dikeluarkan, orang malah akan bertanya-tanya ada apa," kata Lili kepada Tempo.
Lili menilai langkah penyitaan Bea-Cukai itu sudah tepat karena merupakan tindak lanjut dari pengetatan pengawasan arus barang ekspor-impor. "Kami minta pengetatan itu terus dilakukan, karena dampaknya terhadap ekonomi besar," ujarnya.
SUTARTO RR ARIYANI HARUN MAHBUB
Posted by RaharjoSugengUtomo at 8:48 AM 0 comments
Labels: HeadlineNews:KoranTempo
KPK Periksa Rekanan Pengadaan Alat Pemadam
KORAN TEMPO - Selasa, 22 Mei 2007
Spesifikasi mobil dan alat pemadam tipe V-80 ASM, yang dianjurkan Departemen Dalam Negeri, memang hanya disalurkan oleh PT Istana Sarana Jaya sebagai agen tunggal di Indonesia.
JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi kemarin memeriksa Direktur PT Istana Sarana Raya Henky Samuel Daud. Pemeriksaan berlangsung hampir sepuluh jam, pada pukul 10.00-19.30 WIB, di lantai 3 kantor KPK.
Juru bicara KPK, Johan Budi S.P., mengatakan Direktur PT Istana Sarana Raya itu diperiksa sebagai saksi dalam kasus dugaan korupsi pengadaan alat pemadam kebakaran di sejumlah daerah. "Dia merupakan pemasok," ujar Johan saat dihubungi kemarin.
KPK menduga pengadaan alat pemadam bagi pemerintah daerah, pada kurun 2002-2005, dilakukan tanpa tender dan tidak mengikuti prosedur pengadaan barang.
Berdasarkan informasi yang diperoleh Tempo, pengadaan alat pemadam kebakaran di berbagai provinsi itu dilakukan dengan penunjukan langsung oleh Departemen Dalam Negeri. Melalui radiogram yang ditandatangani oleh salah seorang direktur jenderal, Departemen menentukan spesifikasi dan harga serta rekanan yang menyediakan alat pemadam kebakaran, yakni PT Istana Sarana Raya dan spesifikasi alat yang dimaksud adalah V-80 ASM.
Dalam kasus ini, KPK telah memanggil beberapa pemimpin daerah. Sekretaris Provinsi Kalimantan Timur Syaiful Tateng yang diperiksa KPK pada 18 April lalu mengatakan harga dan rekanan sudah ditetapkan Departemen Dalam Negeri. "Harga patokan per unitnya pun ditentukan oleh radiogram dari Departemen," kata Syaiful seusai pemeriksaan.
KPK juga pernah meminta keterangan mantan Wali Kota Makassar Amiruddin Maula pada Januari lalu. Tempo pernah mewawancarai Amiruddin melalui telepon pada 13 Mei lalu. Ketika itu dia mengakui telah menunjuk langsung pemasok mobil dan alat pemadam kebakaran pada 2003 dan 2004. Ia menjelaskan bahwa spesifikasi mobil dan alat pemadam tipe V-80 ASM, yang dianjurkan Departemen Dalam Negeri, memang hanya disalurkan oleh PT Istana Sarana Jaya sebagai agen tunggal di Indonesia.
Menurut dia, dalam radiogram memang tak secara tegas disebutkan barang-barang itu harus dipesan di PT Istana. "Tapi surat itu menyebut harga dan nama perusahaannya," ujarnya. "Sehingga mau tidak mau harus dipesan di perusahaan itu," ucap Asisten II Gubernur Sulawesi Selatan itu.
TITO SIANIPAR IRMAWATI
Posted by RaharjoSugengUtomo at 8:46 AM 0 comments
Labels: HeadlineNews:KoranTempo
Ujian Nasional Harus Ditinjau Ulang
KORAN TEMPO - Selasa, 22 Mei 2007
Pemerintah dinilai melawan hukum.
JAKARTA - Majelis hakim mengabulkan gugatan Tim Advokasi Ujian Nasional (Tekun) dalam sidang citizen law suit terhadap ujian nasional di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat kemarin.
Dalam putusan yang dibacakan hakim Andi Makasau, majelis memerintahkan pemerintah sebagai tergugat meninjau kembali pelaksanaan ujian nasional.
Majelis hakim menilai para tergugat, yakni Presiden, Wakil Presiden, Menteri Pendidikan Nasional, dan Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan, lalai dalam meningkatkan kualitas guru, sarana dan prasarana pendidikan, serta informasi, khususnya di daerah pedesaan.
Karena itu, menurut majelis, pemerintah harus meningkatkan kualitas guru, sarana dan prasarana sekolah, serta akses informasi yang lengkap ke seluruh daerah sebelum melaksanakan ujian nasional lebih lanjut.
Para tergugat juga harus mengambil langkah konkret menangani gangguan psikologis dan mental para siswa akibat ujian nasional.
Majelis pun memerintahkan para tergugat membuat kebijakan yang lebih memperhatikan pemenuhan hak asasi manusia di bidang pendidikan.
Hakim menyatakan para tergugat telah mengabaikan implikasi ujian nasional karena faktanya terdapat berbagai kecurangan, baik oleh guru maupun siswa, supaya lulus ujian.
Menurut majelis, para tergugat telah melalaikan Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 tentang Hak Asasi Manusia, UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dan UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. "Karena pada prakteknya ujian nasional menjadi satu-satunya syarat penentu kelulusan tanpa mempertimbangkan nilai-nilai mata pelajaran lainnya," kata hakim Andi.
Para tergugat, menurut hakim, telah memenuhi unsur melawan hukum karena telah terbukti menimbulkan kerugian materiil dan imateriil bagi para siswa yang tidak lulus ujian nasional.
Kerugian materiil berupa biaya pendidikan selama tiga tahun, sedangkan kerugian imateriil adalah tekanan psikologis dan kehilangan kesempatan untuk melanjutkan ke perguruan tinggi.
Mendengar putusan itu, puluhan siswa dan guru yang memadati ruang sidang kontan bersorak. Lima orang guru yang duduk di barisan depan langsung melakukan sujud syukur dan sebagian lainnya menyanyikan lagu Indonesia Raya.
Asfinawati, anggota Tekun, puas terhadap putusan itu. Namun, kuasa hukum tergugat, Nur Khamam, mengatakan akan mengajukan permohonan banding terhadap putusan itu. Menurut dia, majelis hakim menyatakan para tergugat melakukan perbuatan melawan hukum. "Padahal kami melaksanakan undang-undang," ujarnya.
Seorang korban ujian nasional, Melati Murti Pertiwi, juga puas atas putusan pengadilan. "Kami kan nggak salah," ucap mantan siswa Sekolah Menengah Atas 6 Jakarta Selatan, yang kini duduk di semester II Jurusan Teknologi Informasi Universitas Atma Jaya itu.
Dulu Melati dianggap tak lulus ujian nasional hanya karena nilai matematikanya di bawah standar, yakni 3,33. Padahal mata pelajaran lainnya, yakni bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, mendapat nilai 8. RINI KUSTIANI
Posted by RaharjoSugengUtomo at 8:44 AM 0 comments
Labels: HeadlineNews:KoranTempo
Kejaksaan Buka Lagi Kasus BPPC
KORAN TEMPO - Selasa, 22 Mei 2007
"Tommy bisa dijadikan tersangka."
JAKARTA - Kejaksaan Agung akan menyidik lagi kasus dugaan korupsi Badan Penyelenggara dan Pemasaran Cengkeh (BPPC) yang melibatkan Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto. Penyidikan kasus ini menjadi prioritas kejaksaan karena dinilai paling cepat proses pembuktiannya ketimbang kasus Tommy yang lain. "Surat perintah dimulainya penyidikan sudah keluar pada 7 Mei," kata Direktur Penyidikan Tindak Pidana Khusus Muhammad Salim kemarin.
Salim menjelaskan indikasi tindak pidana korupsi dalam kasus BPPC sangat kuat. Di antaranya, kata dia, persyaratan yang tidak dilaksanakan BPPC sebagaimana diatur Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1992. Tapi dia tak bersedia menjelaskan lebih terperinci.
Salim juga menegaskan akan memeriksa semua pihak yang terkait dengan BPPC, termasuk mantan Ketua Induk Koperasi Unit Desa Nurdin Khalid. Tim kejaksaan, kata dia, sedang merumuskan peranan ketua Induk Koperasi tersebut.
Direktur Perdata Kejaksaan Agung Yoseph Suardi Sabda menambahkan dugaan korupsi dalam BPPC dapat dijadikan sarana pencairan uang Tommy Soeharto di Banque Nationale de Paris (BNP) Paribas cabang Guernsey oleh pemerintah Indonesia. Apabila hasil penyidikan menyatakan uang Tommy harus disita, menurut Yoseph, uang yang di Guernsey bisa dipakai untuk membayar ganti rugi. Pencairan bisa dilakukan lewat jalur perdata dan pidana.
Surat perintah penyidikan kasus BPPC itu juga dibawa jaksa pidana khusus Baringin Sianturi ke pengadilan Guernsey pekan lalu. Surat itu ditunjukkan kepada hakim untuk menjawab argumentasi pengacara Garnet Investment Limited, Christopher Edward, yang menyatakan tidak ada tindakan hukum pemerintah Indonesia terhadap Tommy.
Surat itu sekaligus membantah surat yang dikeluarkan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (waktu itu) Hamid Awaludin pada 5 April 2005. Di sana dinyatakan Tommy tidak terlibat perkara apa pun di Indonesia. Untuk memperkuat argumentasi, kejaksaan juga menunjukkan bukti laporan Indonesia Corruption Watch (ICW) mengenai kerugian pemerintah RI dalam proyek BPPC.
Garnet menggugat BNP karena menolak mencairkan uang Tommy yang diklaim berasal dari penjualan saham Lamborghini senilai US$ 48 juta dan penjualan perusahaan Motorbike senilai US$ 18,5 juta. Angka ini tercantum dalam keterangan tertulis (affidavit) yang dikeluarkan Direktur Garnet Abdurrahman Abdul Kadir.
Kuasa hukum Tommy, O.C. Kaligis, menilai langkah kejaksaan hanya rekayasa dan terkesan dipaksakan. "Tujuan utamanya hanya untuk pembuktian di persidangan Guernsey," ujar Kaligis saat dihubungi Tempo.
Menurut Kaligis, deretan perkara yang dibeberkan kejaksaan merupakan kasus lama yang sudah diproses hukum. Dia yakin upaya kejaksaan tidak berpengaruh terhadap proses pengadilan Guernsey, yang besok akan memutuskan nasib uang kliennya itu.
Anggota badan pekerja ICW, Adnan Topan, optimistis atas skenario kejaksaan itu. "Perkara ini tidak kedaluwarsa. Bahkan kejaksaan bisa menjadikan Tommy sebagai tersangka," katanya.
FANNY FEBIANA SANDY INDRA BUDI SAIFUL
Bunga Cengkeh Sang Pangeran
Kasus penyelewengan dana Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh (BPPC) kembali akan dibuka. Langkah ini, menurut pihak Kejaksaan Agung, diharapkan menjadi titik penting dalam proses persidangan kasus pencairan uang Tommy Soeharto di pengadilan Guernsey, Inggris.
BPPC sendiri dibentuk oleh Presiden Soeharto, dengan Keputusan Presiden Nomor 20 disambung dengan Instruksi Presiden Nomor 1 yang dirilis pada 1992. Lembaga ini mengantongi berbagai hak istimewa yang menguntungkan.
Berikut ini sepintas gambaran tentang BPPC.
Unsur-unsur pendukung:
Koperasi: Induk Koperasi Unit Desa
BUMN: PT Kerta Niaga
Swasta: PT Kembang Cengkeh Nasional (milik Tommy Soeharto)
Monopoli Cengkeh:
BPPC memonopoli penuh pembelian dan penjualan hasil produksi cengkeh nasional. Seluruh cengkeh yang dihasilkan oleh petani harus dibeli BPPC dengan harga yang telah ditentukan. Pabrik rokok kretek pun harus membeli cengkeh dari BPPC dengan harga yang telah ditentukan.
Keuntungan BPPC
Keuntungan yang didapat BPPC, melalui hak monopoli, diperkirakan mencapai Rp 1,4 triliun.
Tanggungan BPPC
BPPC sebenarnya dibubarkan pada 1998. Namun, Indonesia Corruption Watch menilai badan itu masih punya utang. Pertanggungjawaban pengelolaan dana milik dan hak petani cengkeh selama tata niaga cengkeh berlangsung belum dilakukan BPPC, yakni meliputi:
Sumbangan Diversifikasi Tanaman Cengkeh: Rp 67 miliar
Sumbangan Wajib Khusus Petani: Rp 670 miliar
Dana Konversi: Rp 74 miliar
Dana Penyertaan Modal: Rp 1,1 triliun
Total Rp 1,9 triliun ini seluruhnya dipungut dari petani cengkeh dan pabrik rokok.
Jejak-jejak Tommy
Tommy Soeharto memang "sakti". Pada berbagai kasus, putra penguasa Orde Baru ini biasa menang di tingkat akhir, misalnya pada saat peninjauan kembali oleh Mahkamah Agung.
Berikut ini sejumlah jejak yang ditinggalkan Tommy.
Kasus tukar guling antara Goro dan Badan Urusan Logistik (Bulog) senilai Rp 94 miliar. Kasasi MA, pada 2000, memvonis Tommy dan Ricardo Gelael 18 bulan. Namun, Tommy bebas pada peninjauan kembali. Padahal, selain Ricardo, mantan Kepala Bulog Beddu Amang dinyatakan bersalah dan divonis empat tahun.
PT Sempati Air berutang Rp 40 miliar kepada pemerintah. Sebagai pemilik saham, Tommy harus bertanggung jawab atas soal ini.
PT Timor Putra Nasional dianggap berutang kepada Bank Bumi Daya dan pajak yang belum dibayar senilai Rp 3,2 triliun. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memenangkan Tommy. Departemen Keuangan dan Bank Mandiri (yang mengambil alih BBD) meminta banding.
Pada kasus dana Tommy di BNP Paribas, pemerintah Indonesia mengajukan bukti bahwa dana Tommy tersebut adalah hasil penjualan saham Lamborghini senilai Rp 630 miliar yang dianggap bermasalah dan karena itu harus dibekukan.
Tommy membeli saham Petral-Pertamina yang beroperasi di Blok Cepu. Audit PricewaterhouseCoopers memperkirakan pejabat Pertamina mengantongi US$ 128 juta sebagai komisi jual-beli saham itu.
SANDY INDRA PRATAMA
Posted by RaharjoSugengUtomo at 8:40 AM 0 comments
Labels: HeadlineNews:KoranTempo
KJRI Konfirmasi Penangkapan 49 Nelayan
Republika - Selasa, 22 Mei 2007
JAKARTA -- Pemerintah Indonesia melalui Konsulat Jenderal RI (KJRI) di Darwin, Departemen Luar Negeri (Deplu) akhirnya melakukan konfirmasi langsung tentang penangkapan 49 nelayan oleh otoritas Australia. Juru Bicara Departemen Luar Negeri (Deplu), Kristiarto Legowo, mengungkapkan, mereka ditangkap di Australia, pada Kamis (17/5) lalu (bukan 16 Mei seperti diberitakan sebelumnya).
''Kami konfirmasikan bahwa sebanyak 49 ditangkap di Australia dan sekarang mereka ditahan di Darwin Detention Center,'' kata Kristiarto di Jakarta, Senin (21/5).
Sebelumnya, Menteri Kehakiman Australia, Dabid Johnson, menyatakan, 49 nelayan Indonesia dengan enam kapal ditangkap di perairan utara Australia, dekat Taman Laut Ashmore di Laut Timor. Mereka dibawa ke Darwin dengan menggunakan kapal ACV Triton yang memiliki sel penahanan yang biasa digunakan bagi para nelayan atau pencari suaka yang masuk secara ilegal.
Menurut Kristiarto, penangkapan dilakukan karena mereka melakukan penangkapan tripang. Padahal, berdasarkan hukum yang berlaku di Australia, tripang merupakan salah satu spesies yang mendapatkan perlindungan.
Ahad (20/5), pejabat KJRI di Darwin -- setelah mengaku tidak menerima pemberitahuan resmi tentang penangkapan (notification of aprehension) dari otoritas Australia -- telah melakukan kunjungan ke Darwin Detention Center. Di sana bertemu dengan salah satu nahkoda kapal, namun Deplu belum mengetahui hasil pembicaraan di antara mereka.
Nama-nama para nelayan dan berasal dari daerah mana juga belum diketahui. Namun, sebagai langkah awal, kunjungan itu untuk memastikan hak-hak mereka dipenuhi selama berada di pusat penahanan. Dengan demikian, menurut Kristiarto, KJRI telah menjalankan fungsinya di sana.
Deplu masih harus menunggu proses yang dilakukan otoritas Australia, apakah mereka akan menghadapi proses hukum atau dipulangkan (deportasi) ke Indonesia. Berdasarkan pengalaman sebelumnya, diharapkan mereka dideportasi.
''Namun ada kemungkinan pula mereka menghadapi proses peradilan. Bila itu terjadi, maka pihak perwakilan akan melakukan pendampingan hukum,'' tandas Kristiarto. (fer )
Posted by RaharjoSugengUtomo at 8:39 AM 0 comments
Labels: HeadlineNews: Republika
Gugatan 'Korban UN' Menang
REPUBLIKA - Selasa, 22 Mei 2007
Presiden, Wapres, Mendiknas, dan Ketua BSNP terbukti lalai.
JAKARTA -- Sidang gugatan 58 orang 'korban Ujian Nasional (UN)' yang tergabung dalam Citizen Law Suit (CLS), setelah berlangsung sejak September 2006, Senin (21/5) berakhir dengan kekalahan pemerintah. Namun, majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat yang dipimpin Andriani Nurdin SH, hanya mengabulkan gugatan subsider.
Tergugat Presiden Susilo Bambang Yudoyono, Wapres M Yusuf Kalla, Mendiknas Bambang Sudibyo, dan Ketua Badan Standarisasi Pendidikan Nasional (BSNP) Bambang Suhendro, oleh majelis hakim dianggap terbukti lalai dalam memberikan pemenuhan dan perlindungan hak asasi manusia (HAM) terhadap warga negara. Khususnya hak atas pendidikan dan hak anak yang tidak lulus UN 2006.
Para tergugat juga dianggap merugikan hak subjektif para siswa yang tidak lulus UN. Lalu, menyebabkan mereka mengalami kerugian materiil serta imateriil berupa hilangnya kesempatan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
Karena itu para tergugat harus segera mengambil langkah-langkah konkret untuk mengatasi ganguan psikologis dan mental para peserta didik akibat penyelenggaraan UN yang ditandai kecurangan dan kebocoran soal.
Majelis memerintahkan para tergugat untuk meninjau ulang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), meningkatkan kualitas guru, sarana dan prasarana sekolah, serta akses informasi yang lengkap di seluruh daerah, sebelum melaksanakan kebijakan UN berikutnya. Terakhir, para tergugat diharuskan membayar biaya perkara sebesar Rp 374 ribu.
Namun, meski menyatakan para tergugat terbukti melakukan perbuatan melawan hukum, tuntutan permohonan maaf dan meminta UN ulangan bagi para siswa yang tidak lulus, oleh majelis hakim tidak dikabulkan. Meski begitu, keputusan majelis hakim tersebut langsung disambut tepuk tangan para siswa SMU yang memenuhi ruang sidang. Mereka bahkan menyanyikan potongan lagu Indonesia Raya sebelum hakim menutup sidang.
Jangan bandingTim Advokasi Korban Ujian Nasional sebagai kuasa hukum para penggugat, juga menyatakan, meski kebijakan UN tidak dibatalkan, putusan majelis hakim cukup menampung keinginan para penggugat untuk memperbaiki Sisdiknas. Juga mengharapkan para tergugat untuk tidak melakukan banding.
''Kalau mengajukan banding, berarti semakin melalaikan warga negara dalam memenuhi hak atas pendidikan dan hak anak,'' kuasa hukum penggugat dari LBH Jakarta, Asfinawati.
Federasi Guru Independen Indonesia (FGII) yang sebagian pengurusnya menjadi penggugat, menyampaikan rasa syukur atas kemenangan ini. ''Ini adalah kemenangan siswa, guru, dan masyarakat Indonesia yang menggugat kebijakan pemerintah yang dinilai tidak adil dan merugikan,'' kata Sekjen FGII, Iwan Hermawan.
Kepala Pusat Informasi dan Humas Depdiknas, Bambang Wasito Adi, mengatakan, sampai tadi malam masih berdiskusi dengan Mendiknas Bambang Sudibyo. ''Ini sekarang saya masih berdiskusi dengan Pak Menteri soal putusan itu. Nanti kita pelajari dulu (Depdiknas) posisinya bagaimana,'' ujarnya kepada Republika. ( zam/ant/ade )
Posted by RaharjoSugengUtomo at 8:37 AM 0 comments
Labels: HeadlineNews: Republika
Pesan Penting dari Perkins
REPUBLIKA - Selasa, 22 Mei 2007
Skenario jahat telah dijalankan kapitalis untuk menguasai dunia. Lewat buku The Confession of an Economic Hit Man, John Perkins mengungkap skenario itu. Berikut adalah bagian terakhir dari dua tulisan tentang proyek lanjutan pengungkapan kejahatan tersebut.
Salah seorang menteri ekonomi di Kabinet Indonesia Bersatu pernah berkomentar perihal economic hit man (EHM). Menurut dia, analisis soal EHM itu penuh dengan tudingan konspiratif yang justru tidak berefek apa-apa terhadap negara korbannya. ''Hari gini mereka masih ngomong ada EHM, ada antek IMF. Lebih baik energinya disalurkan untuk kerja yang nyata, membangun negeri,'' kata dia dalam suatu forum. Boleh jadi apa yang dikatakan si menteri itu betul. Memang, bekerja nyata membangun negeri itu harus dilakukan seluruh komponen bangsa Indonesia. Namun, keberadaan EHM tidak bisa dinafikan begitu saja. Buku The Confession of an Economic Hit Man, karya John Perkins menjelaskannya dengan begitu meyakinkan.
Kini sudah tiga tahun buku tersebut beredar di pasaran. Perkins mengaku banyak mendapat tanggapan, baik pro maupun kontra. Ia mengklaim lebih banyak yang pro. Karena itu, ia menerbitkan buku barunya yang berjudul A Game As Old As Empire.
Pekan lalu, Republika mencoba mengirim pertanyaan kepada Perkins untuk mengetahui latar belakang usahanya membongkar praktik jahat bisnis kapitalis. Di tengah kesibukannya, pria yang pernah selama 15 tahun menjadi EHM dan sempat bertugas di Indonesia ini bersedia memberi jawaban. Lewat surat elektronik, dia berpesan agar negara berkembang bisa mandiri tanpa bantuan asing. Berikut petikan wawancaranya.
The Confession of an Economic Hit Man sudah beredar selama tiga tahun, banyak tanggapan yang masuk, apa saja tanggapan itu?
E-mail yang masuk ke saya justru lebih banyak yang pro. Banyak pembaca yang mengaku mendapat pelajaran, terinspirasi, dan termotivasi setelah membacanya. Mereka bahkan menjadi berani mengambil sejumlah tindakan membuat dunia ini menjadi lebih baik. Tapi, tentu saja saya mendapat banyak hadangan, terutama dari perusahaan yang mengontrol media atau keuangan lewat iklan yang mereka gencar siarkan. Namun, tindakan ini justru membuat buku saya menjadi lebih terkenal.
Pesan apa yang Anda ingin sampaikan ke EHM lain lewat buku itu?
Hentikan pekerjaan Anda, mengakulah ke masyarakat luas, gunakan keahlian dan kemampuan Anda untuk membuat dunia lebih baik.
Anda percaya, buku ini akan mengubah dunia, atau paling tidak yang membacanya?
Ya tentu, selain ini akan terbit sejumlah buku lainnya, dan film.
Pesan apa yang ingin disampaikan oleh buku ini terhadap negara-negara berkembang atau miskin yang menjadi mangsa EHM?
Bangkitlah, lawan mereka, lawan EHM, pemerintah, atau korporasi yang ingin membuat negara Anda dieksploitasi. Banyak orang di AS dan negara-negara maju yang tergabung di dalam G-8 akan mendengar Anda.
Apakah Anda ingin sarankan bahwa kami harus mandiri terhadap bantuan asing?
Negera seperti Indonesia harus menggunakan seluruh sumber dayanya dan keuntungan dari sumber daya itu untuk rakyatnya sendiri. Indonesia tidak membutuhkan bantuan asing. Itu hanya jebakan.
Sewaktu menjadi EHM Anda pernah ke Indonesia pada 1970-an, apa yang Anda lakukan di sini?
Saya ke Indonesia sebagai EHM, apa yang saya lakukan tercantum di buku pertama saya, rincian lebih lanjutnya akan saya ungkap di buku terbaru saya, yang berjudul The Secret History of the American Empire.
Apakah Anda merasa bersalah pernah menjadi EHM?
Ya, tapi saya selalu saja dibujuk oleh pejabat Bank Dunia, termasuk presidennya dan sejumlah profesor dari Harvard, bahwa apa yang saya lakukan adalah hal yang baik dan benar. Sangat mudah, pada saat itu, untuk membenarkan aksi yang saya lakukan.
Buku terbaru Anda akan segera keluar, apa inti dari buku itu?
Intinya adalah kelanjutan dari buku sebelumnya. Ia menggambarkan lebih lanjut operasi EHM yang saya lakukan. Termasuk di Indonesia. Buku itu juga berkonsentrasi tentang langkah apa yang bisa kita lakukan untuk mengubahnya.
Dalam buku itu, saya juga melakukan wawancara dengan EHM lain, termasuk pasukan pembunuh CIA, Jackal, serta sejumlah pejabat negara, dan aktivis politik untuk membahas masalah geopolitik belakangan ini. Saat ini dunia menjadi tempat yang berbahaya dan sangat rentan. Mengapa kita bisa sampai ke tahap ini, siapa yang bertanggung jawab, apa yang bisa kita lakukan, inilah yang akan diungkap dalam The Secret History of the American Empire
Buku Perkins masuk dalam daftar buku terlaris. Buku tersebut telah terjual lebih dari 500 ribu eksemplar. Dalam daftar buku laris The New York Times, The Confession of an EHM bertahan selama 29 pekan. Ia sudah diterjemahkan ke dalam 26 bahasa, termasuk Indonesia, meski untuk ukuran masyarakat pada umumnya hasil terjemahannya kurang memuaskan.
Tapi yang menarik, kata Perkins, bukunya itu terjual justru tidak lewat promosi gencar, melainkan dari mulut ke mulut dan di media alternatif sempalan. Oleh beberapa pihak, buku EHM juga disandingkan dengan karya-karya besar lainnya seperti Globalization and Its Discontents yang ditulis oleh Joseph Stiglitz, When Corporations Rule the World yang disusun David Korten, hingga Hegemony or Survival karya ahli linguistik yang banyak bicara soal kebijakan bejat AS, Noam Chomsky.
Terungkapnya praktik EHM tentu mengejutkan publik karena selama ini mereka menjalankan operasinya secara terselubung. (evy )
Posted by RaharjoSugengUtomo at 8:32 AM 0 comments
Labels: HeadlineNews: Republika
BI Minta Pemda Cairkan Dana Nganggur
REPUBLIKA - Selasa, 22 Mei 2007
JAKARTA -- Dana pemerintah daerah (pemda) yang disimpan di perbankan kembali disorot. Bank Indonesia (BI) meminta pemda membuat jadwal pencairan yang lebih teratur agar tidak membebani keuangan negara. ''Catatan kami menunjukkan bahwa dana pemda, kabupaten, dan provinsi yang tersimpan di bank --bukan hanya di BPD-- dalam bentuk tabungan, giro, dan deposito berjumlah Rp 90 triliun,'' kata Gubernur BI, Burhanuddin Abdullah, Senin (21/5) di Jakarta.
Dana pemda yang menganggur itu, menurut Burhanuddin, semestinya bisa digunakan untuk menggerakkan perekonomian di daerah. ''Ini suatu jumlah yang sangat besar. Jika dimanfaatkan, bisa menjadi motor ekonomi yang sangat berarti di daerah,'' katanya.
Beban bank sentral pun bisa lebih ringan karena pembayaran bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) --tempat dana-dana pemda itu disimpan-- berkurang. Agar dana ngendon Rp 90 triliun per April 2007 itu tidak terus menggerogoti keuangan negara, Burhanuddin berharap pemda membuat perencanaan pencairan dana yang lebih matang. ''Kalau terencana dengan baik, akhirnya tidak membebani negara,'' paparnya.
Sejauh ini, pertambahan jumlah dana pemda itu tak terlalu berarti. ''Kelihatannya stabil sekitar itu. Itu disimpan di tabungan, giro untuk kebutuhan operasional pemda,'' jelasnya.
Isu tak digelontorkannya dana pemda untuk belanja modal dan barang, menghangat pertengahan tahun lalu. Kala itu, Menkeu, Sri Mulyani, mengungkap ada Rp 43 triliun dana pemda disimpan dalam bentuk SBI.
Kepala Ekonom BNI, Toni Prasetyantono, melihat ada dua permasalahan terkait hal ini. Pertama, banyak pemda yang memang memilih membiakkan uangnya di bank, terutama di BPD, ketimbang untuk menggerakkan sektor riil. Kedua, BPD masih kesulitan menyalurkan dana.
''Persoalannya, apakah ini karena menunggu jadwal pelaksanaan proyek, ataukah memang mereka kurang kreatif menggulirkan dana itu menjadi proyek,'' terang Toni.
Menurut anggota Komisi XI DPR, Dradjad Wibowo, ada sejumlah penyebab pemda lebih suka menyimpan dananya di bank. Selain untuk menjaga likuiditas guna keperluan operasional pemda, ungkap Dradjad, realisasi program dan proyek di daerah memang rendah.(evy )
Posted by RaharjoSugengUtomo at 8:31 AM 0 comments
Labels: HeadlineNews: Republika
Percepat Proses Hukum Meruya
REPUBLIKA - Selasa, 22 Mei 2007 8:02:00
JAKARTA -- Mahkamah Agung (MA) diminta mempercepat proses hukum sengketa tanah di Meruya Selatan, Jakarta Barat (Jakbar). Warga Meruya Selatan membutuhkan kejelasan hukum agar tidak terhimpit dalam ketidakpastian.
''Saya sangat mengharapkan bantuan dewan untuk menyegerakan proses hukum,'' kata Wali Kota Jakbar, Fadjar Panjaitan, ketika melakukan rapat dengar pendapat dengan Komisi A DPRD DKI Jakarta, Senin (21/5).
Untuk mempercepat proses hukum ini, Fadjar meminta DPRD DKI melayangkan surat dimaksud ke MA. ''Pemprov dan masyarakat tidak ingin status hukum tanahnya terkatung-katung,'' tambah Fadjar.
Berkaca dari pengalaman, penyelesaian proses hukum biasanya butuh waktu tak sebentar. Dia mencontohkan sengketa antara H Juhri dan PT Portanigra yang diajukan ke PN Jakbar pada 1997, baru rampung 10 tahun kemudian.
Menurut Fadjar, pelepasan hak warga ke PT Portanigra tidak jelas. Ini diperkuat putusan Pengadilan Tinggi DKI yang tak mengabulkan pengajuan sita jaminan PT Portanigra. ''Karena tak dikabulkan, sita jaminan itu gugur.'' Menanggapi desakan mempercepat proses hukum, Ketua Komisi A DPRD DKI, Ahmad Suaedy, akan memenuhinya. Sesegera mungkin, pihaknya akan mengirim rekomendasi ke MA. ''Keputusan MA yang kami inginkan adalah perbaikan atau pembatalan putusan,'' kata dia.
Apabila MA tidak mengubah putusannya, menurut Ahmad, berarti lembaga peradilan tertinggi itu tak menghargai produk hukum Badan Pertanahan Nasional (BPN). Jika demikian yang terjadi, tegasnya, akan berdampak sangat luas. Putusan MA lain yang ada kaitannya dengan produk hukum BPN, harus ditinjau kembali supaya adil.
''Kita tidak menghendaki itu,'' lanjut Ahmad. Dalam kesempatan yang sama, Camat Kebon Jeruk periode 1969-1979, Zainudin, mengungkapkan, sewaktu menjabat, dia tak pernah memberi izin Juhri menjual tanah yang sekarang bersengketa. ''Juhri memang mengajukan pembebasan tanah, tapi saya tolak,'' kata Zainudin.
Seingat dia, Pemprov DKI juga tak membeli tanah dari Juhri, melainkan langsung dari warga dengan bukti-bukti surat yang lengkap.
Kepala BPN Jakbar, Roli Irawan, menambahkan, PT Portanigra tidak memiliki Surat Izin Penunjukan dan Penggunaan Tanah (SIPPT) dan Surat Persetujuan Prinsip Pembebasan Lahan (SP3L). Tak dimilikinya dua dokumen itu, menjadikan PT Portanigra tidak tercatat dalam daftar pengembang di Jakbar. ''Portanigra telah melanggar hukum administrasi negara,'' kata Roli.
Girik yang dimiliki PT Portanigra, menurutnya, bukan bukti hak kepemilikan atas tanah. ''Girik cuma bukti telah membayar pajak bumi dan bangunan,'' jelasnya.
Sementara itu, pengacara PT Portanigra, Yan Juanda Saputra, menilai surat pernyataan Kepala PN Jakbar, Haryanto, yang menegaskan tak pernah membuat surat pelaksanaan eksekusi, tidak sah. ''Substansinya tak masalah, tapi caranya tidak pantas,'' kata Yan Juanda.
Dia berkeras agar PN Jakbar tegas melakukan eksekusi. ''Kita hanya sebagai pemohon. Pihak termohon, yaitu pengadilan negeri sudah siap belum melakukan eksekusi?''
Kemarin, Gubernur DKI, Sutiyoso, bertatap muka dengan warga Meruya Selatan. ''Sejak awal saya yakin eksekusi tak akan terjadi,'' katanya. Dia meyakinkan warga, hukum masih bisa ditegakkan di negeri ini. ''Bukti kepemilikan berupa sertifikat itu yang paling tinggi, tak mungkin sertifikat dikalahkan girik,'' katanya. ( ind/c53/zak )
Posted by RaharjoSugengUtomo at 8:29 AM 0 comments
Labels: HeadlineNews: Republika
Anu, Polan, Badu, Oyot?
KOMPAS - Selasa, 22 Mei 2007
Kebetulan menarik Pak Harto lengser ing keprabon sehari setelah Harkitnas (Hari Kebangkitan Nasional) 20 Mei 1998. Pak Harto mundur sembilan tahun lalu, perayaan Harkitnas tahun ini pas yang ke-99 tahun.
Angka "999" menarik bagi yang gemar jampi-jampi, meski saya hafalnya ia nama restoran China. Apapun, 999 masih lebih baik daripada "666" si "angka setan" menurut versi film The Omen (1976).
Setiap Harkitnas siapa pun terpaksa ngelamun tentang apa makna kata bangkit? Bagi si Anu ia bisa berarti bangun dari tidur, sadar bahwa hidup tak seindah mimpi, dan kerja banting tulang agar tak tertidur lagi.
Tentu saja ada orang seperti si Polan yang betah tinggal di "Pulau Kapuk" walau Matahari sudah parkir di ubun-ubun. Ia gemar dihanyutkan mimpi yang full colour dan senang jadi penganggur.
Namun, ada Badu yang terpaksa tidur melulu karena penyakitnya tak kunjung sembuh. Jangankan ngantor, ke kamar mandi saja harus dipapah.
Terakhir ada si Oyot yang dikira tertidur pulas. Selidik punya selidik ternyata ia sudah telanjur jadi almarhum karena tutup usia dalam tidurnya—kematian yang konon paling nikmat.
Indonesia pernah mendapat peluang bangkit setelah Pak Harto tumbang sembilan tahun lalu lewat hingar-bingar reformasi. Tetapi yang bangkit malah sisa-sisa Orde Baru—ingat sisa-sisa G30S/PKI?
Kebangkitan lain sempat pula datang menyusul tumbangnya Orde Lama. Namun, kata "orde" tak ubahnya nama sedan buatan Jepang yang diimbuhi kata "new" tiap beberapa tahun meski kualitasnya mirip.
Kebangkitan yang paling terkenal terjadi 17 Agustus 1945. Bangsa dan negara besar untuk pertama kali merdeka di bawah kepemimpinan tokoh-tokoh pandai, sederhana, dan tanpa pamrih.
Namun, "ibu dari segala kebangkitan" tak pelak lagi Harkitnas—bayi nasionalisme yang lahir lewat rahim Budi Utomo (Budut) tahun 1908. Budut itu adalah babak akhir perjuangan pra-nasionalistis di berbagai daerah sekaligus mengawali ke-Bhinneka Tunggal Ika-an.
Peristiwa itu penting bukan hanya karena mengorganisasi perjuangan, tetapi juga mengukuhkan keberagaman dan menyalurkan berbagai aliran politik tradisional untuk belajar mengelola negara modern.
Oke Budut didirikan kaum priyayi Jawa dan Madura, tapi tokoh-tokoh daerah berdatangan juga. Wahidin Sudirohusodo sebagai bidan memaksa tiap peserta berbicara dalam bahasa Indonesia sebagai lingua franca.
Tak lama lahirlah Sarekat Islam 1912 pimpinan HOS Cokroaminoto yang anggotanya lebih dari 400.000 tahun 1919. Di tahun yang sama Muhammadiyah berdiri—NU tahun 1926—dan Douwes Dekker membentuk Indische Partij.
Dua tahun kemudian Hendricus Sneevliet membentuk ISDV yang menjadi cikal-bakal PKI yang terbentuk 1924. Mereka memberontak di Silungkang (Sumatera Barat) tahun 1927 antara lain karena menentang parlemen Volksraad (1918-1921) yang boneka Belanda.
Budut jadi inspirator bagi Bung Karno memulai perjuangan lewat Bandung Studie-Club dan Sutono di Surabaya melalui Indonesische Studieclub. Hatta-Sjahrir pulang membidani Perhimpunan Indonesia, dari Timur Tengah berdatangan para pelajar yang bermodalkan pemikiran Islam modernis.
Pembentukan Budut juga diinspirasi Kongres Nasional India 1885, perjuangan bangsa Filipino melawan Spanyol-Amerika Serikat 1898-1902, kemenangan Jepang dari Rusia tahun 1904-1905, dan sukses Kemal Ataturk menjadikan Turki negara sekuler.
Pada masa Budut muncul slogan-slogan kemerdekaan seperti "los van Nederland" (merdeka dari Belanda) atau "nationale bevrijding" (pembebasan nasional). Soewardi Suryaningrat pun berani menulis artikel "Als Ik Nederlander Was" (Seandainya Saya Seorang Belanda), sindiran pedas untuk Belanda.
Fakta menunjukkan segenap aliran politik multi-agama dan etnis berjuang bersama. Ini hal pokok yang harus digarisbawahi agar generasi anak-anak kita paham, tak ada yang berhak mengklaim golongan mereka sendirilah yang berjuang.
Anak-anak kita juga perlu diajari bahwa kebangkitan Orde Baru 1965 dan reformasi 1998 melenceng jauh dari cita-cita Harkitnas. Dulu emas sekarang loyang, dulu intan mutu manikam kini mutiara palsu.
Warisan pertama Harkitnas adalah semangat anti-penjajahan dan betapa enggak enaknya dijajah bangsa sendiri. Mendingan dijajah Belanda sampai tahun 1970-an, siapa tahu timnas PSSI lolos ke Piala Dunia 1974.
Nasionalisme ala Indonesia merupakan warisan kedua Harkitnas. Sekarang yang merebak justru kepicikan suku atau etnis yang jadi permainan licik untuk mengangkat saudara sekampung sebagai orang lingkar dalam.
Warisan ketiga Harkitnas jelas keberagaman, bukan "kesegaraman". Entah sudah berapa puluh kali terjadi serangan fisik terhadap agama lain yang dibiarkan saja oleh aparat.
Warisan keempat Harkitnas adalah kepemimpinan yang jujur. Saya cuma berani mengatakan, suka atau tidak Pak Amien Rais paling tidak telah jujur mengakui salah dan siap masuk bui karena menerima dana nonbudgeter dari Departamen Kelautan dan Perikanan.
Warisan kelima Harkitnas adalah pendidikan yang berbudi luhur. Jika masih ada, Budut mungkin akan mengajari Kejaksaan Agung bahwa sumber radikalisme di negara ini adalah kemiskinan, bukan buku-buku pelajaran SD dan SMP.
Jadi apa makna bangkit tadi? Menurut Anda Indonesia pasca reformasi adalah Anu, Polan, Badu, atau Oyot?
Posted by RaharjoSugengUtomo at 8:27 AM 0 comments
Labels: HeadlineNews: Kompas
Pemerintah Tidak Cari Bantuan untuk Lapindo
KOMPAS - Selasa, 22 Mei 2007
BPLS Tuding Ada Rekayasa Isu Nasi Basi
Palembang, Kompas - Wakil Presiden Jusuf Kalla menegaskan, pemerintah sama sekali tidak berniat mencari bantuan dari pihak asing untuk menangani kasus lumpur panas Lapindo. Alasannya, sesuai keputusan presiden, penyelesaian kasus lumpur panas adalah tanggungjawab PT Lapindo.
"Jadi kalau membutuhkan bantuan dari pihak mana pun juga, yang harus mencari adalah Lapindo. Kita sudah meminta pihak Lapindo untuk mencari teknologi yang bisa mengatasi kasus Lapindo," kata Wapres di Palembang, Senin (21/5).
Wapres juga memastikan bahwa kunjungannya ke Jepang yang dimulai hari Selasa (22/5) ini, sama sekali tidak akan membicarakan tawaran bantuan Jepang dalam kasus lumpur panas, melainkan mengenai hubungan Indonesia-Jepang dalam bidang ekonomi.
Sebelumnya, Japan International Cooperation Agency (JICA) dan Japan Bank for International Cooperation (JBIC) menawarkan pinjaman untuk membiayai pembangunan penahan lumpur bernilai Rp 1 triliun.
Di Jakarta, Kepala Divisi Pemasaran BP Migas Budi Indianto menyatakan, belum jelasnya rencana relokasi pipa gas Pertamina ke lokasi yang benar-benar aman, akan mengacaukan keseluruhan rencana penyaluran gas di wilayah Jawa Timur.
"Relokasi pipa yang sedang dikerjakan Badan Penganganan Lumpur Sidoarjo (BPLS) belum jelas jadwalnya. Ini yang membuat kita khawatir karena banyak pasokan gas baru yang akan masuk dari lapangan di sekitar Jawa Timur," katanya.
Rekayasa
Di Surabaya, Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo mencurigai adanya rekayasa berkait dengan ditemukannya makanan basi untuk para pengungsi. "Saya lihat ada hal yang kurang pas. Kalau kurang nyaman di pengungsian, diberi uang kontrak juga tidak mau," kata Deputi BPLS Bidang Sosial Sutjahjono Sujitno.
Fakta ditemukannya beberapa kali nasi basi mendorong para pengungsi minta diberi uang tunai Rp 15.000 per orang per hari untuk makan. Bahkan, sebagian pengungsi melakukan mogok makan untuk menolak ransum yang disediakan pihak Lapindo. Namun, tuntutan pengungsi itu sulit dikabulkan. (LKT/BOY/INA/DOT)
Posted by RaharjoSugengUtomo at 8:26 AM 0 comments
Labels: HeadlineNews: Kompas
nasib Calon TKI: Harapan Itu Pupus Sudah…
KOMPAS - Selasa, 22 Mei 2007
BONI D PRAMUDYANTO
Merasa tertipu, 50 orang yang mewakili 400-an calon tenaga kerja Indonesia, Senin (21/5), kembali mendatangi Kantor Kepolisian Wilayah Madiun. Mereka menanyakan nasib laporan mereka sebelumnya.
Pupus sudah impian Samiyadi (30), warga Desa Tanjunggunung, Kecamatan Badegan, Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur, untuk bekerja di Korea Selatan demi memperbaiki ekonomi keluarga. Uang sebesar Rp 45 juta hasil menggadaikan surat tanah almarhum bapaknya bahkan raib dibawa oknum direktur PJTKI nakal di Kabupaten Madiun.
Sekarang, Samiyadi hanya bisa membantu ibunya di sawah. Belum terbayang bagaimana ia harus menebus gadai yang sudah satu tahun berlalu itu.
Ditemui di Polwil Madiun, Samiyadi berkisah, setahun lalu ia ditawari bekerja di Korea Selatan oleh Hermin Armedi, Direktur PT Arsih Cahaya Abadi yang berkantor di sebuah ruko di Jalan Soekarno Hatta, Madiun.
Atas tawaran itu, orangtuanya pun mendukung. Untuk membayar pendaftaran dan berbagai keperluan lain, ia diwajibkan membayar Rp 45 juta. Karena tak punya uang, sertifikat rumah orangtuanya pun digadaikan.
Setahun berlalu, ternyata Samiyadi tak kunjung diberangkatkan. "Setelah tahu saya tertipu, bapak langsung sakit-sakitan. Ia meninggal dunia tak lama setelah itu," kenang Samiyadi.
Inug Eko (23) bahkan tidak berani pulang ke rumahnya di Kediri setelah sadar tertipu. "Saya telah membayar Rp 40 juta untuk membayar proses pembuatan KTP baru, asuransi, tempat tinggal di Jakarta, dan biaya awal setelah sampai di Korsel nanti," kata Inug yang kini memilih tinggal di Magetan, juga di Jawa Timur.
Kepada Inug, Direktur PT Arsih Cahaya Abadi waktu itu menjanjikan gaji minimal Rp 14 juta per bulan. "Saya percaya karena sudah ada saudara yang berangkat melalui perusahaan itu," katanya.
Tak lama setelah membayar, Inug kemudian mendapatkan kursus bahasa Inggris dan bahasa Korea selama dua bulan. Setelah dinyatakan lulus, Inug langsung diberangkatkan ke Jakarta. Di Ibu Kota, dia tinggal di sebuah mes yang disebutkan sebagai milik perusahaan.
"Namun, saat waktunya hampir tiba, saya bersama ratusan calon TKI lainnya tidak bisa berangkat karena semua KTP dan asuransi kami palsu. Waktu itu, saya merasa dunia kiamat. Saya sadar sudah ditipu," kata Inug yang bersama Samiyadi dan 400-an calon TKI dari Kabupaten Madiun, Ponorogo, Ngawi, Pacitan, dan Kediri menjadi korban penipuan PT Arsih Cahaya Abadi, yang mengaku sebagai perusahaan pengerah dan penyalur TKI.
Senin siang kemarin, sekitar 50 perwakilan mereka mendatangi markas Polwil Madiun untuk menanyakan kelanjutan penyelidikan kasus tersebut. Setelah itu, mereka mendatangi kantor PT Arsih Cahaya Abadi. Ternyata kantor tertutup.
Tidak tercatat
Menurut Edi W, Ketua Paralegal Jaringan Kerja Perlindungan Sosial Tenaga Kerja Indonesia dan Anggota Keluarga "Cahaya" yang selama ini mengadvokasi para calon TKI itu, kerugian materiil yang ditanggung calon TKI akibat penipuan tersebut diperkirakan lebih dari Rp 15 miliar. Ini karena seorang calon TKI sudah telanjur membayar Rp 30 juta-Rp 45 juta.
Berkait dengan dugaan penipuan itu, pihaknya juga sudah mengirim surat ke Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi serta Mabes Polri. Surat itu, lanjut Edi, bahkan juga ditembuskan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Dari hasil konfirmasi balik, Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi menyatakan, PT Arsih Cahaya Abadi bukan perusahaan pengerah dan penyalur jasa TKI. Perusahaan itu juga tidak memiliki izin dan badan hukum sebagai PJTKI, melainkan hanya perusahaan yang menggelar kursus bahasa asing.
Berdasarkan surat edaran Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi yang diperoleh Kompas, penempatan calon TKI ke Korsel hanya dilakukan dengan sistem G to G (pemerintah ke pemerintah).
Polisi juga sudah menetapkan Direktur PT Arsih Cahaya Abadi sebagai buronan.
Sejauh ini belum diperoleh konfirmasi dari pihak PT Arsih Cahaya Abadi, tetapi kuasa hukumnya, Rudi Simanjuntak, dalam suratnya kepada polisi menyatakan bahwa kliennya juga menjadi korban penipuan. Soal uang para calon TKI, Rudi menyatakan sedang diusahakan untuk dikembalikan.
Posted by RaharjoSugengUtomo at 8:24 AM 0 comments
Labels: HeadlineNews: Kompas
Kambing Hitam Itu Bernama UUD 1945
KOMPAS - Selasa, 22 Mei 2007
Reformasi berjalan sembilan tahun, tetapi rakyat semakin sulit menyiasati hidup. Kekuasaan memang sudah tidak didominasi penguasa otoritarian, tetapi era reformasi di mata rakyat tak ubahnya sekadar arena pertarungan kepentingan kalangan atas yang sengit. Panggung politik dipenuhi janji indah, pidato saling menyalahkan dengan mengatasnamakan rakyat. Masa transisi benar-benar ujian berat bagi rakyat.
Dalam situasi yang memprihatinkan, alih-alih elite memfokuskan agenda dengan prioritas yang tinggi, mereka justru melemparkan gagasan mengenai perubahan kelima UUD 1945. Seakan-akan kekacaubalauan yang terjadi hanya disebabkan oleh konstitusi yang memang belum sempurna. Padahal, UUD di negara mana pun tidak ada yang sempurna. UUD hanya dijadikan kambing hitam untuk menutupi perilaku elite yang tidak peduli dengan kesengsaraan masyarakat.
Gagasan mengusung perubahan kelima UUD semakin kurang relevansinya karena hanya bersifat parsial, ditujukan untuk penguatan Pasal 22D tentang penambahan kewenangan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Dalam iklim politik yang berorientasi pada kekuasaan, usul itu dicurigai merupakan bagian dari permainan politik yang hanya berkiblat kepada kekuasaan. Penguatan peran DPD justru akan menambah keruwetan dalam pengambilan kebijakan. Pemerintah mungkin dapat kehabisan energi, selain rapat kabinet yang berlangsung berjam-jam, masih harus melayani DPR dan DPD.
Gagasan perubahan kelima merangsang sementara kalangan menuntut kembali ke UUD 1945. Mereka berpendapat empat kali perubahan telah memorakporandakan negara dan bangsa. Kalau mau selamat, bangsa Indonesia harus kembali ke UUD yang asli. Usul kembali ke UUD 1945 ahistoris mengingat salah satu penyusunnya (Bung Karno) mengatakan bahwa UUD 1945 sebagai undang-undang dasar kilat, dan harus dilakukan perubahan yang substansial. Bung Karno sebagai pemimpin rapat dalam rapat besar Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, 18 Agustus 1945 di Gedung Tyuoo Sangi-in, antara lain dengan tegas mengatakan "bahwa ini (undang-undang dasar) adalah sekadar undang-undang dasar sementara, undang-undang dasar kilat, bahwa barangkali boleh dikatakan pula, inilah revolutiegrondet".
Selanjutnya ia mengatakan, "Nanti kalau kita telah bernegara di dalam suasana yang lebih tenteram, kita tentu akan mengumpulkan kembali Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dapat membuat undang-undang dasar yang lebih lengkap dan lebih sempurna." Dengan demikian, gagasan kembali ke UUD 1945 adalah mengingkari sejarah.
Mencermati perkembangan sembilan tahun reformasi, agar konsolidasi demokrasi dapat secara gradual diwujudkan, sekiranya UUD 1945 akan diubah, harus dilakukan dengan pemikiran jernih, mendalam, dan melibatkan masyarakat karena konstitusi bukan undang-undang biasa.
Ia merupakan suatu perangkat aturan yang memuat prinsip dasar dan impian bangsa mewujudkan masa depan. Oleh sebab itu, perubahan terhadap konstitusi memerlukan paradigma yang jelas sesuai dengan prinsip konstitusionalisme yang antara lain adalah: (1) pembatasan wilayah kekuasaan negara, (2) pengaturan cabang kekuasaan yang seimbang, (3) jaminan terhadap hak asasi manusia, (4) prinsip kedudukan politik yang demokratis, (5) independensi peradilan, (6) kontrol sipil terhadap militer, (7) prinsip desentralisasi, (8) jaminan melakukan perubahan konstitusi, serta (9) melibatkan masyarakat.
Berbagai prinsip tersebut harus dijabarkan lebih rinci melalui perdebatan mendalam, jernih, dan komprehensif agar pasal yang dituangkan dalam UUD yang baru mempunyai dasar dan akar alasan yang kuat sehingga hasilnya tidak tambal sulam.
Prosedur merupakan hal yang penting pula karena dimaksudkan agar perubahan dapat menghasilkan suatu kualitas perubahan sesuai dengan kehendak masyarakat. Beberapa tahapan yang mungkin dapat dipertimbangkan sebagai berikut.
Pertama, MPR menetapkan Komisi Reformasi Konstitusi independen dan diberi tugas menyusun draf konstitusi dalam jangka waktu tertentu.
Kedua, keanggotaan Komisi terdiri dari berbagai tokoh yang memiliki berbagai keahlian, terutama ahli tata negara, ilmu politik, pemerintahan, administrasi, dan ahli perumus konstitusi serta perwakilan dari tokoh daerah. Tugas setiap anggota Komisi dari provinsi adalah menampung aspirasi daerah mengenai hal yang ingin dimasukkan dalam konstitusi, dan memperdebatkan rancangan konstitusi.
Ketiga, sebelum menyusun rancangan Komisi terlebih dahulu mengidentifikasi permasalahan mendasar sesuai dengan paradigma yang telah disetujui bersama.
Keempat, setelah Komisi berhasil menyusun draf konstitusi, konstitusi tersebut disosialisasikan dan masyarakat diberi kesempatan memperdebatkan rancangan konstitusi.
Kelima, hasil perdebatan masyarakat itu kemudian diakomodasi dalam rancangan konstitusi.
Keenam, Komisi Konstitusi melaporkan hasil kerja draf final konstitusi kepada MPR.
Pengalaman sembilan tahun reformasi memberikan pelajaran bahwa bisa saja orang mengatakan bahwa ketidakjelasan arah reformasi antara lain disebabkan ketidaksempurnaan UUD 1945. Tetapi jelas bahwa ia bukan harus dijadikan kambing hitam. Dalam perspektif perilaku politik, sangat gamblang bahwa kekaburan arah reformasi lebih disebabkan defisitnya sikap kenegarawanan elite politik, tidak sensitifnya anggota lembaga perwakilan, serta rusaknya perilaku birokrat. Oleh sebab itu, prioritas penanganan harus dilakukan terhadap peningkatan kapasitas lembaga politik. Kalau situasi sudah lebih memungkinkan, perubahan perlu dilakukan, tetapi tidak hanya melayani kepentingan parsial dan sesaat.
Belajar dari empat kali perubahan, perubahan UUD 1945 yang kelima harus dilakukan dengan paradigma yang jelas dan prosedur yang melibatkan masyarakat. Komitmen dan kenegarawanan elite diharapkan dapat mengisi ketidaksempurnaan konstitusi.
J Kristiadi Peneliti CSIS
Posted by RaharjoSugengUtomo at 8:22 AM 0 comments
Labels: HeadlineNews: Kompas
Persidangan UN: Pemerintah Kalah, Dinilai Lalai Penuhi Hak Asasi
KOMPAS - Selasa, 22 Mei 2007
Jakarta, Kompas - Gugatan warga negara terhadap pemerintah atau citizen law suit terkait kebijakan Ujian Nasional atau UN Tahun 2006 oleh 58 orang yang mewakili berbagai komponen masyarakat, dimenangkan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam sidang putusan akhir di Jakarta, Senin (21/5). Pemerintah dinilai lalai dalam memenuhi dan melindungi hak asasi warga negara yang menjadi korban kebijakan UN yang ditetapkan pemerintah.
Ketika Hakim Ketua Adriani Nurdin selesai membaca keputusan, puluhan siswa SMA, siswa dan orangtua korban UN, serta masyarakat peduli pendidikan menyambut gembira dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya. Usai sidang ditutup, secara spontan sejumlah orangtua dan guru bersujud syukur di ruang sidang.
Dalam keputusannya, Majelis Hakim mengabulkan gugatan subsider para penggugat yang memohon hakim untuk memutuskan kasus ini seadil-adilnya. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Wakil Presiden Yusuf Kalla, Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo, dan (mantan) Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan Bambang Suhendro selaku tergugat I-IV dalam kasus ini dinyatakan telah lalai dalam memberikan pemenuhan dan perlindungan hak asasi manusia (HAM) terhadap warga negara, khususnya hak atas pendidikan dan hak anak.
Mengenai pelaksanaan UN selanjutnya, majelis hakim memerintahkan para tergugat untuk meningkatkan kualitas guru, sarana dan prasarana sekolah, serta akses informasi yang lengkap di seluruh daerah sebelum melaksanakan kebijakan UN. Sistem pendidikan juga perlu ditinjau.
Adapun untuk siswa yang telah menjadi korban UN, kepada para tergugat diminta untuk segera mengambil langkah-langkah konkret guna mengatasi gangguan psikologis dan mental para perserta didik usia anak akibat penyelenggaraan UN. Dalam kasus ini, para tergugat diharuskan membayar biaya perkara sebesar Rp 374.000.
Wolter Siringo-ringo, salah satu kuasa hukum tergugat (pemerintah), akan melaporkan keputusan hakim tentang UN ini kepada pimpinan mereka. "Jika ditanya, puas apa tidak, ini kan proses hukum. Saya harus melaporkan ini ke pimpinan dulu."
Suasana haru menyambut kemenangan masyarakat yang berupaya agar UN tak dijadikan penentu kelulusan. Orangtua dan anaknya yang menjadi korban UN saling berpelukan dan bertangisan karena penderitaan mereka akibat kebijakan UN akhirnya "didengar". (ELN/WIN)
Posted by RaharjoSugengUtomo at 8:21 AM 0 comments
Labels: HeadlineNews: Kompas
1.366 Perda Tidak Dilaporkan
KOMPAS - Selasa, 22 Mei 2007
DPR Mengusulkan Daerah yang Nakal Diberi Sanksi Lebih Keras
Jakarta, Kompas - Sedikitnya 1.366 peraturan daerah tentang pajak dan retribusi diduga disembunyikan pemerintah daerah dan tidak dilaporkan ke Departemen Keuangan karena menghindari sanksi pembatalan terhadap perda tersebut. Kondisi itu memperlambat perbaikan iklim investasi karena menyebabkan ekonomi biaya tinggi.
Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Departemen Keuangan Mardiasmo di Jakarta, Senin (21/5) menyebutkan, hingga 21 Mei 2007, perda tentang pajak dan retribusi yang telah dilaporkan kepada pemerintah pusat baru mencapai 9.634 peraturan. Padahal, potensi perda yang dapat diterbitkan adalah 11.000 peraturan.
"Dengan demikian, perda yang belum dilaporkan mencapai 10 persen (sekitar 1.366 perda) dari total potensi penerbitannya. Hal ini terjadi karena ketidaktahuan daerah bahwa ada kewajiban menyerahkan perda. Tidak ada penerbitan perda baru, atau ada penerbitan baru namun sengaja tidak melaporkannya kepada kami," katanya.
Daerah, ujar Mardiasmo, cenderung bersikap malas-malasan dalam menyerahkan perda pajak dan retribusi. Hal itu disebabkan tidak ada sanksi bagi daerah yang tidak menyerahkan perda.
Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) menyebutkan, daerah bebas menerbitkan perda dan tidak mengatur sanksi apa pun.
"Atas dasar itu, kami mengusulkan agar sanksi bagi daerah yang tidak melaporkan perda dimasukan dalam Rancangan Undang-undang PDRD, yang masih dibahas di DPR," ujar Mardiasmo.
Departemen Keuangan telah menerbitkan surat permintaan penyerahan perda pajak dan retribusi paling lambat 15 hari setelah pengesahannya. Surat itu disampaikan kepada seluruh pemda pada 28 November 2006. Namun, hingga saat ini, masih ada 71 daerah yang belum menyerahkan perdanya.
Penangguhan DAU
Direktur Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Budi Sitepu mengatakan, sanksi bagi daerah yang tidak menyerahkan perda diusulkan berupa penangguhan Dana Alokasi Umum (DAU). Adapun, beberapa fraksi di DPR mengusulkan sanksi yang lebih keras, berupa kewajiban pengembalian seluruh dana masyarakat yang dipungut. Hal itu dilakukan jika dasar pungutannya adalah perda yang membebani dunia usaha secara tidak wajar sehingga dibatalkan pemerintah.
"Itu diusulkan agar memberi efek jera kepada daerah agar tidak dengan mudah membuat perda pajak dan retribusi," katanya.
Sebelumnya, Depkeu menetapkan penangguhan pembayaran DAU bagi lima kabupaten yang tidak mampu menyelesaikan APBD hingga tenggat waktu 11 Mei 2007. Satu provinsi dan tiga kabupaten lainnya masih diberi kesempatan hingga akhir Mei, sebelum dikenakan sanksi yang sama.
Adapun total perda pajak dan retribusi yang dibatalkan pemerintah pusat hingga saat ini mencapai 963 peraturan atau 9,99 persen dari total perda yang telah dilaporkan. Pembatalan itu dilakukan karena terbukti menyebabkan iklim investasi di daerah tidak kondusif.
Jumlah itu belum memperhitungkan pungutan lain yang diterbitkan melalui Surat Keputusan Kepala Daerah (SKKDH). SKKDH diterbitkan secara sepihak oleh pemerintah daerah (pemda), tanpa pembahasan dengan DPRD-nya.
"Mereka ini daerah yang nakal. Kami sulit memantaunya karena pemerintah pusat tidak memiliki kewenangan untuk mengatur SKKDH," kata Mardiasmo.
Tak mampu bersaing
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia Sofjan Wanandi menegaskan, perda pajak dan retribusi mengakibatkan dunia usaha tidak mampu bersaing di dalam dan di luar negeri.
"Untuk apa menambah perda, jika hasil pungutannya tidak banyak yang digunakan untuk pembangunan daerah, malah masuk ke Sertifikat Bank Indonesia," ujarnya.
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah, Agung Pambudhi mengatakan, besarnya jumlah perda tentang pungutan itu disebabkan kecilnya basis pajak yang dimiliki pemda. Disamping itu, komitmen untuk membangun ekonomi dalam jangka panjang masih sangat lemah.
"Sangat ideal jika pemda daerah menerbitkan aturan tentang insentif," katanya.
Penasihat Asosiasi Pemerintah Kabupaten dan Kota, Alfitra Salamm menegaskan, Pendapatan Asli Daerah yang ideal untuk menyokong kebutuhan biaya pembangunan daerah adalah 40 persen dari total APBD. Hal itu menyebabkan daerah berupaya dengan segala cara mencari peluang menambah pungutan.
"Perlu kejujuran Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda) agar penerimaan yang masuk itu riil. Selain itu perlu inovasi agar cara memungutnya tidak meresahkan pengusaha," katanya.
Sementara itu, Bank Indonesia melaporkan dana pemerintah daerah yang disimpan di perbankan hingga akhir April 2007 mencapai Rp 90 triliun. "Dana itu disimpan dalam bentuk tabungan, giro dan deposito. Ini suatu jumlah yang sangat besar," kata Gubernur BI Burhanuddin Abdullah.
Menurut Burhanddin, jika dana tersebut bisa dimanfaatkan untuk pembangunan, maka roda perekonomian di daerah akan bergerak cepat. Pemanfaatan dana juga akan membuat perbankan mengurangi penempatan di Sertifikat Bank Indonesia, yang saat ini jumlahnya cukup besar. (OIN/FAJ)
Posted by RaharjoSugengUtomo at 8:18 AM 0 comments
Labels: HeadlineNews: Kompas