KOMPAS - Senin, 13 Agustus 2007
BI: Tak Perlu Cara Khusus Menahan Keluarnya Uang Panas
Ubud, Kompas - Bukti-bukti memperlihatkan bahwa di banyak negara berkembang, liberalisasi modal, pasar keuangan, tidak menjadi sumber pertumbuhan ekonomi, bahkan menciptakan ketidakstabilan. India dan China yang pertumbuhan ekonominya tinggi terhindar dari krisis Asia tahun 1997 tanpa melakukan liberalisasi.
Demikian dikatakan Joseph Stiglitz, pemenang Nobel Ekonomi tahun 2001, dalam percakapan dengan Kompas di Ubud, Bali, Minggu (12/8) siang. Kepada Stiglitz yang didampingi istrinya, Anya Schiffrin, ditanyakan sistem mana yang lebih baik untuk Indonesia, apakah sistem pasar keuangan terbuka atau tertutup.
Situasi Indonesia lebih mirip China dan India. "Dan, menurut saya, argumen untuk melakukan pembatasan-pembatasan terhadap sistem perbankan, untuk melindungi regulasi yang berdasarkan kehati-hatian, adalah cara terbaik," kata Stiglitz.
Ia menjelaskan, liberalisasi modal, pasar keuangan, merupakan hal yang problematis bagi banyak negara berkembang. Akan tetapi, China dan India menjadi contoh negara yang tidak menjalankan liberalisasi tersebut. Belakangan Dana Moneter Internasional mengakui bukti-bukti yang menunjukkan liberalisasi modal tidak menjadi sumber pertumbuhan ekonomi.
Di sektor keuangan, Indonesia menganut sistem yang liberal, seperti rezim devisa bebas, di mana lalu lintas modal keluar-masuk tanpa batasan. Uang-uang panas (hot money) yang hanya berjangka pendek bisa dialirkan pemiliknya masuk untuk mencari imbal hasil yang tinggi, dan bebas keluar lagi jika tidak lagi memberi hasil memadai. Pihak asing juga bebas membeli saham bank, yang merupakan jantung perekonomian. Sistem nilai tukar pun mengambang bebas sehingga nilai tukar bisa berfluktuasi tanpa batas.
Selama beberapa hari terakhir, nilai rupiah terus melemah terhadap mata uang asing karena terjadi guncangan di pasar keuangan Amerika Serikat yang kemudian merambat ke Eropa dan negara-negara Asia. Kondisi itu juga meluas ke pasar saham.
Guncangan pasar keuangan AS dan Eropa memaksa bank-bank sentralnya mengucurkan dana ke pasar uang sampai ratusan miliar dollar AS, hanya dalam dua hari pekan lalu.
"Jika Anda memasuki pasar keuangan yang lebih besar dan lebih kompleks seperti Amerika Serikat, sulit untuk meregulasi pasar. Begitu juga pada negara yang menjadi pusat keuangan seperti Singapura. Tetapi, situasi Indonesia berbeda, lebih mirip India dan China," kata Stiglitz.
Tanggung jawab negara
Mengenai globalisasi dan kemiskinan, Stiglitz mengingatkan bahwa globalisasi tidak otomatis memberikan manfaat ekonomi pada orang miskin. Negara harus mencari tahu kelompok warga negara yang paling terkena dampak negatif globalisasi dan mencari jalan mengatasi dampak itu. Banyak jawaban atas pertanyaan itu, tergantung situasi yang berbeda. Misalnya, kasus petani beras.
Menurut Stiglitz, sangat jelas, petani Indonesia tidak mungkin bersaing dengan Washington (Pemerintah AS yang memberikan kebijakan subsidi). Untuk menangani isu subsidi ini, ada counterfeiling duties (antidumping), menaikkan pajak untuk mengatasi efek subsidi. Jadi, jika AS menyubsidi 50 sen untuk petaninya, Indonesia memberi pajak impor 50 sen, sehingga petani Indonesia dan AS berada pada posisi yang setara.
Kewajiban utama untuk mengurangi kemiskinan, katanya, haruslah ada pada pemerintah. Pemerintah bisa mendorong sektor bisnis untuk ikut mengurangi kemiskinan dengan menciptakan lapangan kerja. Satu contoh, salah satu sumber penciptaan lapangan kerja di banyak negara adalah usaha kecil dan menengah. Mereka biasanya sulit mendapatkan modal atau pinjaman. Pemerintah harus memerhatikan kesulitannya sehingga mereka bisa tumbuh dan menciptakan lapangan kerja.
Di banyak negara, katanya, kita tidak dapat melepaskan sistem kesehatan dan pendidikan kepada swasta. Pemerintah harus mendanai kesehatan dan pendidikan.
Masalah pada kemiskinan adalah tiap orang tidak punya uang. Jadi, pendidikan dan kesehatan untuk orang miskin harus dilakukan negara. Caranya, membuat asuransi untuk orang paling miskin dengan membagi iurannya, mendirikan klinik kesehatan (puskesmas) untuk imunisasi, memperbanyak paramedis, dan memperluas pemakaian obat generik agar tidak dieksploitasi oleh perusahaan multinasional, dan mewajibkan lisensi obat. "Kalau Anda miskin, tentu harus lebih efisien dalam menggunakan uang Anda, tetapi Anda tidak dapat mengasumsikan bahwa orang miskin tidak dapat membayar layanan kesehatan itu," katanya.
Selain itu, juga penting melihat koperasi dan kewirausahaan. Di banyak negara banyak koperasi diambil alih pemerintah dan tidak independen. "Tetapi, ke depan, pengalaman itu jangan membuat kita tidak mau membangun koperasi. Di AS, koperasi pertanian sangat kuat dan perusahaan mentega terbesar di sana dimiliki koperasi," kata Stiglitz.
Untuk masyarakat demokratis, koperasi dapat menjadi sangat penting. Koperasi di Indonesia, misalnya, bisa bekerja sama dengan koperasi internasional sehingga tidak perlu bergantung pada pemerintah.
Tidak ada gunanya
Meskipun gejolak pasar keuangan global telah menyulut larinya dana asing jangka pendek dari Indonesia, menekan indeks harga saham dan nilai tukar rupiah, Bank Indonesia tetap tidak khawatir perekonomian nasional akan terpengaruh signifikan. Bahkan, bank sentral cenderung membiarkan dana asing jangka pendek keluar karena memang relatif banyak bermanfaat.
"Karena itu, kami tidak melihat diperlukan cara-cara khusus untuk menahan dana asing jangka pendek atau hot money tersebut. Yang kami antisipasi bagaimana nilai tukar rupiah tidak terlalu bergejolak akibat pembalikan hot money, yakni dengan melakukan intervensi selama diperlukan. Cadangan devisa kita cukup kuat, saat ini sebesar 52,3 miliar dollar AS," kata Deputi Gubernur Bank Indonesia Aslim Tadjuddin, Minggu di Jakarta.
Uang panas, katanya, memang membuat rupiah terapresiasi sehingga inflasi yang timbul dari transaksi impor berkurang. Namun di sisi lain, apresiasi rupiah membuat eksportir menjerit. Pada dasarnya, masuknya uang panas yang memanfaatkan tingginya suku bunga di Indonesia hanya menguntungkan investornya sendiri. "Yang kita perlukan dari asing ialah dana jangka panjang dalam bentuk investasi langsung ke sektor riil," kata Aslim.
Aslim juga meyakini kejatuhan harga surat utang yang terjadi di AS, Eropa, dan Jepang tidak akan merembet ke pasar obligasi Indonesia. Alasannya, harga obligasi di negara-negara maju jatuh karena bank-banknya berinvestasi surat utang perumahan di AS yang berisiko tinggi (subprime mortgage securities). "Berdasarkan data, tak ada bank di Indonesia yang memiliki subprime mortgage securities. Jadi kondisinya berbeda," ujar Aslim. (NMP/MH/FAJ)
Monday, August 13, 2007
Liberalisasi Modal Bukan Solusi
Posted by RaharjoSugengUtomo at 9:58 AM 0 comments
Labels: HeadlineNews: Kompas
Prasarana Pendidikan: Ratusan Ribu Ruang Kelas Rusak
KOMPAS - Senin, 13 Agustus 2007
Bandung, Kompas - Ratusan ribu ruang kelas, khususnya di sekolah dasar atau SD, kini dalam kondisi rusak berat. Data yang dihimpun pekan lalu dari sejumlah daerah di Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, dan Sumatera Selatan saja menunjukkan setidaknya 88.000 ruang kelas dalam kondisi rusak.
Di Jawa Barat, misalnya, terdapat 58.511 ruang kelas yang rusak dan perlu diperbaiki segera. Jika semua diperbaiki, setidaknya diperlukan biaya Rp 2,8 triliun.
Di Jawa Tengah, kondisinya tidak jauh berbeda. Puluhan ribu ruang kelas dalam kondisi rusak. Di Kabupaten Pati, misalnya, 50 persen dari gedung SD yang jumlahnya 702 kini rusak berat. Jika satu sekolah terdiri enam kelas, ruang kelas yang rusak lebih dari 2.000. Kondisi yang hampir sama juga ditemukan di Brebes.
Terkait dengan itu, Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Jateng Gatot Bambang Hastowo yakin pada akhir tahun 2008 tidak akan ada lagi sekolah rusak. "Sekolah-sekolah yang rusak itu akan diperbaiki dengan dana 50 persen dari pusat, 30 persen dari provinsi, dan 20 persen pemerintah/kota," kata Gatot, Sabtu (11/8).
Setiap ruang, kata Gatot, mendapat dana Rp 35 juta, sedangkan untuk SMP Rp 40 juta.
Akan tetapi, target itu kemungkinan sulit terwujud. Sebab, di Pati saja paling tidak dibutuhkan waktu tiga tahun lagi untuk menyelesaikan rehabilitasi semua sekolah yang rusak. "Tahun 2007 Pati memperoleh DAK dari APBN untuk 92 sekolah," kata Bambang Santoso, salah satu kepala seksi di Kantor Dinas Pendidikan Kabupaten Pati.
Jika setiap tahun anggaran yang diterima sama, kata Bambang, itu artinya diperlukan waktu tiga tahun untuk memperbaiki sekolah yang rusak.
Perbaikan sekolah rusak sebenarnya mendapat dana dari pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota, tetapi pelaksanaan di lapangan tak selalu mulus.
Di Jawa Barat, umpamanya, tahun lalu, para bupati/wali kota bersama gubernur dan Menteri Pendidikan Nasional telah membuat nota kesepahaman pembagian peran (role sharing) dalam pembangunan sekolah.
Dalam kesepakatan itu, pemerintah pusat akan menganggarkan Rp 1,42 triliun, provinsi Rp 851,6 miliar, dan kabupaten/kota Rp 567,8 miliar. "Tapi sekitar dua bulan lalu kami mendapat kabar bahwa dana role sharing dari pusat belum jelas," kata anggota Komisi D Bidang Pendidikan DPRD Kabupaten Bandung, Dadang Rusdiana. Kabupaten Bandung merupakan kabupaten di Jabar dengan jumlah ruang rusak paling banyak, 6.285 ruang.
Karena ketidakjelasan itu, DPRD dan Pemerintah Kabupaten Bandung kini sedang memetakan kembali sekolah mana yang akan diprioritaskan. (YNT/HEN/SUP/MDN/ WIE/FUL/DOE)
Posted by RaharjoSugengUtomo at 9:57 AM 0 comments
Labels: HeadlineNews: Kompas
Kekeringan dan Keterlambatan Adaptasi
KOMPAS - Senin, 13 Agustus 2007
Di ruang tunggu Bandar Udara Soekarno-Hatta, pekan lalu, saya berjumpa teman sekelas yang saat ini menjadi pejabat eselon satu di sebuah lembaga negara. Setelah berbincang hal-hal ringan, ia mulai "sedikit mengeluh" bahwa kebijakan negara yang mensyaratkan koordinasi pasti sulit dilaksanakan di negeri ini. Koordinasi kebijakan merupakan barang mahal di Indonesia.
Walau para ahli klimatologi telah mengingatkan, kemungkinan memburuknya pemanasan global pada tahun ini, pemerintah terkesan lamban sekali bertindak. Tidak tampak langkah antisipasi, apalagi adaptasi secara sistematis. Setelah kekeringan melanda dan mengancam penurunan produksi pangan, barulah para aktor mulai saling menyalahkan. Pertanian merasa dirugikan oleh besarnya laju penggundulan hutan, yang mencapai lima lapangan bola per menit.
Kehutanan tidak senang dengan laju konversi hutan menjadi perkebunan karena berkurangnya yurisdiksi yang menjadi kewenangannya. Pekerjaan Umum merasa tak mampu berbuat apa-apa ketika kekeringan melanda (Kompas 7/8/2007) walau telah berupaya membangun (dan memelihara) infrastruktur irigasi. Daftar saling tuding bisa diperpanjang lagi karena lemahnya saling percaya antarpemangku kepentingan.
Dampak pemanasan global
Pemanasan global telah menimbulkan periode musim hujan dan musim kemarau yang makin kacau sehingga pola tanam dan estimasi produksi pertanian, serta persediaan pangan, menjadi sulit diprediksi secara baik.
Menurut laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), setiap kenaikan suhu udara 2 derajat Celsius akan menurunkan produksi pertanian China dan Banglades 30 persen pada tahun 2050.
Dalam laporan berjudul "Stern Review on the Economic of Climate Change", Nicholas Stern mengemukakan risiko ekonomi, sosial, dan lingkungan tentang dampak pemanasan global. Singkatnya, langkah untuk melaksanakan adaptasi pemanasan global saat ini pasti lebih murah daripada melakukan rehabilitasi dan menanggulangi bencana yang sesungguhnya.
Bagi Indonesia, fenomena kekeringan—terlepas apakah karena pemanasan global atau karena fenomena rutin tahunan— pasti akan berdampak pada produksi pangan, bahkan tingkat ketahanan pangan. Angka ramalan produksi 55,1 juta ton gabah kering giling (GKG) hanya menjadi pemanis belaka jika Indonesia tidak mampu meningkatkan efisiensi sistem produksi. Minimal mengantisipasi dan mengadaptasi pemanasan global.
Berita banjir di sentra produksi beras China perlu diwaspadai karena mengakibatkan penurunan volume persediaan beras di pasar global dan melonjaknya harga beras. Berdasarkan data Bank Dunia per Agustus 2007, harga beras dunia kualitas medium (Thailand patahan 25 persen) telah menembus 307 dollar AS per ton. Data ini merupakan suatu ancaman serius, jika Indonesia masih harus mengandalkan pemenuhan stok pangan dari pasar internasional.
Butuh banyak air
Sektor produksi pangan memang telah dikenal sebagai aktivitas ekonomi yang sangat banyak mengonsumsi air. Studi Lundqvist dan Falkenmark (2007) menyebutkan, untuk menghasilkan 1.000 kilokalori (kkal) pangan dari tanaman, diperlukan sekitar 0,5 meter kubik air. Untuk memproduksi 1.000 kkal pangan dari hewan, diperlukan rata-rata 4 meter kubik air, walaupun angka ini bervariasi menurut wilayah dan jenis produk yang dihasilkan.
Di sisi lain, sistem dan jaringan irigasi di Indonesia mengalami kendala serius karena kapasitas simpan air menurun drastis dan sangat mengkhawatirkan. Praktik kebiasaan pascapanen dengan membakar jerami dan sisa tanaman, penggunaan bahan kimia yang berlebihan turut memengaruhi kandungan bahan organik tanah. Kekeringan sedikit saja telah membuat tanah mudah pecah dan kerontang. Ditambah kualitas wilayah hulu sungai atau daerah tangkapan air yang kian buruk karena deforestasi, lengkaplah fenomena kekeringan sekarang ini.
Defisit air di beberapa waduk strategis dan bahkan di hampir segenap lahan pertanian yang ada memang akan sangat serius.
Dalam jangka pendek, upaya-upaya konkret seperti penyiapan dan pemberian bantuan darurat bahan pangan dan air minum/air bersih harus menjadi prioritas pemerintah.
Dalam jangka menengah-panjang, langkah adaptasi kekeringan dan pemanasan global, perbaikan manajemen sistem irigasi, rehabilitasi sumber-sumber air secara berkelanjutan menjadi sangat penting. Langkah aksi yang lebih sistematis untuk mengurangi luas, intensitas, dan durasi musim kemarau di Indonesia masih diperlukan.
Pada masa lalu, Indonesia pernah menjadi role model negara-negara berkembang lain karena mampu mengembangkan padi gogo rancah, atau tanaman padi di lahan kering yang mengandalkan tadah hujan. Dengan teknologi dan pengembangan varietas baru yang lebih tahan musim kering dan tahan gangguan hama-penyakit tanaman, memang tidak mustahil bahwa suatu waktu, padi gogo akan menjadi alternatif.
Langkah adaptasi kekeringan seperti ini pasti lebih bermanfaat dibandingkan dengan, misalnya, mengandalkan keberhasilan benih padi hibrida impor asal China secara berlebihan.
Posted by RaharjoSugengUtomo at 9:56 AM 0 comments
Labels: HeadlineNews: Kompas
Suvenir Binu-Ananda: Kemerdekaan dengan Lagu Perjuangan
KOMPAS - Senin, 13 Agustus 2007
Ninok Leksono
Generasi awal Republik pastilah tak asing dengan penggalan lirik di atas. Ya, itulah petikan lagu Melati di Tapal Batas ciptaan komponis pahlawan nasional Ismail Marzuki.
Mendengarnya bersama dengan lagu Gugur Bunga, atau Sepasang Mata Bola, ingatan orang pun akan dibawa terbang ke periode revolusi fisik mempertahankan kemerdekaan pada paruh kedua tahun 1940-an.
Itulah era heroisme, dan itulah era lagu-lagu perjuangan Ismail Marzuki. Setelah banyak dinyanyikan oleh penyanyi dengan berbagai latar belakang, pada awal Agustus ini tiba giliran soprano Binu D Sukaman, yang bersama pianis ternama Ananda Sukarlan, menghadirkan melodi indah era perjuangan dalam sebuah album CD yang nostalgik.
Diantar oleh mantan wartawan Linda Djalil, album Tembang Puitik Indonesia ini diluncurkan secara sederhana di Financial Club Jakarta, 6 Agustus petang, dan kemudian sejumlah lagunya diperdengarkan secara hidup di depan publik dalam konser di Erasmus Huis Jakarta, 8 Agustus malam. Binu dan Andy—panggilan akrab Ananda— sudah setahun terakhir memikirkan untuk mendokumentasikan musik "langka" Indonesia ini. Ketika munculnya berbareng dengan Bulan Kemerdekaan, hasilnya adalah suvenir yang menggugah rasa cinta Tanah Air.
Album ini dapat dipandang sebagai penghormatan untuk dua unsur penting. Pertama untuk musik seni, nyanyian, atau lagu seni khas Indonesia, dan kedua untuk para penciptanya. Kedua seniman melalui alunan vokal dan denting piano menyampaikan hormat kepada Ismail Marzuki, Mochtar Embut, dan dari era lebih kemudian juga Trisutji Kamal. Seiring dengan itu, mereka juga tidak melupakan Usmar Ismail, WS Rendra, dan Ilham Malayu yang menuliskan lirik lagu yang mereka rekam.
Musik nasional
Terngiang pertanyaan wartawan yang hadir Senin petang itu, album Binu-Andy ini sekilas membawa pertanyaan tentang apakah lagu-lagu yang ada di dalamnya merupakan musik Indonesia?
Andy menyinggung bahwa di bagian dunia lain ada komposer Sibelius yang menghasilkan musik nasional Finlandia, atau Smetana dengan Moldau (nama sungai besar yang melewati Praha) yang menghadirkan Bohemia (yang kemudian menjadi Cekoslovakia). Bisa pula ditambahkan Tchaikovsky yang menghadirkan suasana khas Rusia, atau Verdi yang Italia.
Memang lagu-lagu di album Binu sebagian besar menggunakan simbol dan notasi musik diatonik Barat. Akan tetapi, kalau menyimak lirik Melati di Tapal Batas di atas, tak diragukan lagi itu merupakan musik nasional Indonesia.
Kedua artis sendiri, tanpa banyak merisaukan masalah kenasionalan, menilai karya oleh komposer Indonesia yang mereka rekam bermutu tinggi. Selain musiknya, mereka juga ingin memperkenalkan puisinya.
"Itu sebabnya lagu-lagu ini harus dinyanyikan oleh penyanyi Indonesia," ujar Andy. Ia menambahkan, "Kalau oleh penyanyi Barat, pastilah efek bunyi yang diharapkan dari pelafalan oleh lidah asli sulit dicapai."
Ekspresi oleh pemusik/komposer lokal ini pula yang dicapai mendiang Yazeed Djamin tatkala ia menggubah variasi Sepasang Mata Bola. Lagu asli ciptaan Ismail Marzuki yang menggunakan notasi Barat itu dapat dihadirkan kembali oleh Yazeed sebagai karya musik Indonesia berlatar belakang epik kuat.
Dewasa ini, perihal apakah satu musik memancarkan aura nasional atau tidak sudah tidak lagi terlalu dipermasalahkan di era globalisasi (Michael Beckerman, "Music and Nationality in the Global Age", IHT, 11/8/2004) Meski demikian, sentimen kebangsaan juga terbukti tak mudah lekang.
Selain karakter tersebut bisa lahir tanpa pretensi, seperti bahwa karya Bartok serta-merta menghadirkan Hongaria, Vaughn Williams Inggris, dan Aaron Copland Amerika Serikat, ternyata karakter itu sendiri bisa bertumbuh.
Bagi Ananda, puisi karya Ilham Malayu yang ia angkat dalam komposisi—misalnya Kama—telah menantangnya ke ranah baru. Seperti diakuinya, sebelum bertemu dengan puisi Ilham, ia hanya mendasarkan komposisinya pada puisi Walt Whitman, Robert Frost, atau Lord Byron. Namun, melalui karya Ilham, Andy bisa "menemukan" karakter musik baru yang mengandung unsur "kejawaan". Ananda yang sudah 20 tahun tinggal di Eropa mengakui keindonesiaannya jarang terkomunikasikan. Namun, melalui karya Ilham, dan berikutnya melalui karya-karya puncak Sapardi Djoko Damono, ia dapat mengekspresikan lagi keindonesiaan yang ada dalam dirinya.
Karakter keindonesiaan lewat musik membesarkan hati karena—seperti diusulkan oleh seorang wartawan yang hadir petang itu—album Binu-Ananda ini juga bisa dibawa ke mancanegara, didengarkan oleh warga asing.
Bobot keindonesiaan melalui musik tadi juga cocok dengan tradisi yang diyakini oleh komposer besar Italia, Giuseppe Verdi, yang mengatakan, "Tiada hal yang dapat membungkam suara bangsa." (Verdi with a Vengeance, W Berger, 2000).
Binu dan Ananda memang belum sempat menggali karya musik yang selama ini dinilai berkarakter Indonesia dan yang beraura perjuangan seperti yang banyak diekspresikan melalui karya-karya dalam khazanah musik seriosa Indonesia.
Namun, sebagai prakarsa awal, Binu dan Ananda—yang masing-masing telah mengembara jauh dalam repertoar musik vokal dan piano—telah mengirimkan pesan kuat akan komitmen mereka terhadap musik Indonesia.
Terhadap tafsiran atau pendekatan Suvernir Tembang Puitik Indonesia atas karya pencipta tahun 1940-an, 1960-an, dan 1980-an yang mungkin dirasa tidak konvensional, misalnya terhadap lagu Gugur Bunga, hal itu kembali terpulang kepada kedua seniman dan para pendengarnya, karena di dalamnya ada soal cita rasa, dan tentang selera—kata peribahasa non est disputandum (tidak untuk diperdebatkan). Toh, di luar Gugur Bunga masih ada Cita Ria dan Melati di Tapal Batas.
Posted by RaharjoSugengUtomo at 9:55 AM 0 comments
Labels: HeadlineNews: Kompas
Tidak Terkait Terorisme
KOMPAS - Senin, 13 Agustus 2007
Ledakan di Pasuruan Dipastikan dari Bom Ikan
Pasuruan, Kompas - Berdasarkan penyelidikan di tempat kejadian dan pemeriksaan saksi-saksi, polisi akhirnya menyimpulkan bahwa ledakan di Pasuruan, Jawa Timur, Sabtu (11/8), berasal dari bom ikan. Polisi juga menyatakan bahwa kecil kemungkinan ledakan itu terkait dengan terorisme.
Dalam konferensi pers di Kantor Kepolisian Resor Kota Pasuruan, Minggu sore, Kepala Kepolisian Daerah Jawa Timur Irjen Herman Suryadi Sumawiredja juga menyatakan, lima orang telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus peledakan ini. Mereka adalah Ilham (pemilik rumah), Marsiti (61, kakak Ilham), Nadir (menantu Marsiti), Yusuf (47, adik Ilham), dan Mansur (23, anak Ilham).
Mengutip keterangan para saksi, Herman menyatakan, sebulan lalu Marsiti minta izin kepada Ilham untuk membuat bom ikan di gudang milik Ilham yang lokasinya di samping rumah Ilham di Gang Anggrek Nomor 1, Kelurahan Purworejo, Kecamatan Purworejo, Pasuruan. Atas permintaan itu, Ilham mengizinkan. Nadir, Yusuf, dan Mansur juga terlibat dalam pembuatan bom ikan itu.
Marsiti dan Yusuf meninggal saat kejadian, sementara Mansur meninggal di rumah sakit. Saat ini Ilham sudah ditahan di Polresta Pasuruan, sementara Nadir masih dicari. Ditemui di sela-sela pemeriksaan, Ilham membantah adanya permintaan untuk pembuatan bom ikan. Menurut dia, waktu itu Nadir minta izin untuk membuat obat ikan.
Ditemukan TNT
Hal lain yang menguatkan dugaan bahwa bom yang meledak itu adalah bom ikan adalah ditemukannya bahan-bahan pembuatan bom ikan, antara lain alat pembuat casing (wadah) detonator yang dibuat dengan tangan dari bahan lembar alumunium tipis. Jumlahnya ada 934, dengan panjang 5 cm dan diameter 0,5 cm.
Di lokasi kejadian polisi juga menemukan bahan peledak jenis TNT (trinitrotoluena) seberat 10 kg. Di rumah Nadir, polisi menemukan beberapa gulungan alumunium yang merupakan bahan dasar pembuatan casing detonator yang disimpan di bawah ranjang. Juga ditemukan dua lumpang untuk meracik bahan-bahan pembuatan bom ikan.
Mengenai TNT, sampai sejauh ini Herman belum mengetahui dari mana Nadir mendapatkannya. Hanya saja, polisi pernah menangkap seseorang bernama Mahmud yang membawa TNT di Stasiun Kereta Api Sidoarjo. Saat itu dia mengaku mendapatkan TNT dari istri seorang prajurit Marinir.
Kepastian bahwa penyebab ledakan dari bom ikan juga diperkuat adanya beberapa ledakan bom ikan yang semua terkait keluarga besar Ilham. (INA/APA)
Posted by RaharjoSugengUtomo at 9:54 AM 0 comments
Labels: HeadlineNews: Kompas
Konferensi Internasional: Khilafah Bukan Ancaman
KOMPAS - Senin, 13 Agustus 2007
Jakarta, Kompas - Juru Bicara Hizbuth Tahrir Indonesia Ismail Yusanto pada pembukaan Konferensi Khilafah Internasional di Jakarta, Minggu (12/8), menegaskan, salah besar kalau khilafah dianggap sebagai ancaman bagi bangsa ini. "Justru khilafah akan menyelamatkan bangsa dan umat Islam Indonesia," ujarnya.
Selain dihadiri tokoh Islam internasional, seperti Hassan Ko Nakata (Jepang), konferensi juga dihadiri tokoh Islam nasional seperti Din Syamsuddin (Muhammadiyah), KH Abdullah Gymnastiar atau AA Gym, KH Amrullah Umar (Majelis Ulama Indonesia Pusat), dan Fuad Bawazir.
AA Gym juga mengatakan, Islam diciptakan dengan sifat adil, kasih sayang, dan kecintaan pada keindahan. "Kenapa ada yang begitu membenci Islam, bahkan umat Islam sendiri ada yang tidak tertarik kepada Islam. Akan sangat mudah jika menjawabnya dengan mencaci, atau menunjuk kesalahan orang. Tetapi, beranikah kita melihat kelemahan kita sendiri," ujarnya.
Menurut AA Gym, jawabannya karena Islam masih membutuhkan pribadi yang dapat menjadi bukti keindahan dan kedamaian ajaran Islam. "Saya mengajak untuk memperbaiki pribadi Islam kita. Hanya Allah yang mahatahu apa yang ada dalam lipatan hati kita, untuk siapa setiap langkah yang kita buat ini," ujarnya.
Sementara itu Din mengingatkan, umat Islam masih menghadapi banyak ancaman dan tantangan dalam berbagai bidang kehidupan. Namun, jangan bersedih atau hilang kepercayaan diri karena ada iman dalam diri umat Islam. Itu sebabnya, umat Islam harus tetap bersatu meski ada perbedaan pendapat. "Umat Islam dunia dan Indonesia jangan terjebak pada permusuhan hanya karena perbedaan pendapat tentang hal tertentu, atau hanya karena perbedaan kelompok atau partai politik," ujar Din.
Menurut Din, esensi dari khilafah adalah persatuan umat Islam. Meski ada banyak perbedaan tentang bagaimana mewujudkan khilafah, umat jangan terpecah. "Memang untuk mewujudkan persatuan itu bukan hal yang mudah, di antara umat sendiri harus bisa menerima perbedaan dan menghadapinya dengan penuh toleransi," ujar Din.
Ia mengajak umat Islam, sebagai kelompok terbesar di Indonesia, untuk bisa menjadi faktor penentu bagi kemajuan bangsa ini. (MAM)
Posted by RaharjoSugengUtomo at 9:53 AM 0 comments
Labels: HeadlineNews: Kompas
Rel Digergaji, KA Gumarang Anjlok
KOMPAS - Senin, 13 Agustus 2007
Semarang, Kompas - Kereta Api Gumarang tujuan Surabaya menuju Jakarta, Minggu (12/8) malam pukul 22.10, anjlok di antara Stasiun Gubug dan Tegowanu, Purwodadi, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah, atau sekitar 27 kilometer dari Semarang. Penyebab anjloknya KA ini ialah rel sebelah kiri dari KA digergaji sepanjang 5 meter.
KA Gumarang ini berangkat dari Surabaya sekitar pukul 17.45 dan memasuki lokasi kejadian antara Stasiun Gubug dan Tegowanu sekitar pukul 22.10. Akibat rel di sisi kiri KA hilang sepanjang 5 meter, empat as lokomotif dan tiga kereta terlepas dari rel.
Pelaksana Harian Kepala Humas PT KA Daerah Operasi IV Semarang Warsono saat dihubungi Kompas semalam membenarkan anjloknya KA ini. Namun, ia mengatakan, belum ada informasi terdapat korban jiwa dalam kecelakaan ini.
Untuk itu, katanya, PT KA Daop IV sudah mengirimkan satu kereta NR yang membawa peralatan dan petugas untuk mengatasinya. Daop IV juga sudah meminta bantuan dua crane dari Solo dan Cirebon. Untuk mengevakuasi penumpang, Daop IV mengirimkan kereta rel diesel (KRD).
Terdapat dua kereta api yang akan menyusul KA Gumarang, yaitu KA Sembrani dengan tujuan Surabaya ke Jakarta, berangkat sekitar pukul 19.20, dan KA Argo Anggrek dengan tujuan Surabaya Jakarta yang berangkat pukul 20.15. (GAL/BUR)
Posted by RaharjoSugengUtomo at 9:53 AM 0 comments
Labels: HeadlineNews: Kompas