Monday, August 27, 2007

Program Konversi: Kuat Jantung demi Elpiji

KOMPAS - Senin, 27 Agustus 2007

Ada dua hal yang enggak boleh ada kalau mau membuka pangkalan elpiji. Kesatu, enggak boleh darah tinggi. Kedua, enggak boleh lemah jantung," kata Warman (53), pemilik pangkalan elpiji di tepi Jalan Raya Pondok Gede, Kecamatan Makassar, Jakarta Timur.
Ia mengucapkan itu dengan mimik serius. Sampai Sabtu (25/8) siang itu, 200 tabung elpiji 3 kilogram yang ia tunggu-tunggu sejak Rabu belum juga datang.
Di gudangnya menumpuk tabung-tabung kosong, titipan warga sekitar. "Nah, ini ada satu lagi yang nyari," ujar Warman, mengomentari seorang laki-laki yang menyeberang jalan dengan menenteng tabung hijau.
"Masih kosong...," serunya begitu laki-laki itu sampai di depan pangkalannya. Warga pengguna elpiji itu menghela napas dan mengumpat gemas, "Buset...!"
Pengalaman menantang
Warman yang membuka usaha pangkalan minyak tanah sejak tahun 1984 menemui pengalaman yang menantang kekuatan jantungnya sejak beralih menjadi penjual elpiji.
"Waktu jadi pangkalan minyak tanah mah enak, tinggal berdiri aja ngawasin. Elpiji konversi ini banyak masalahnya," tutur ayah empat anak itu.
Ia mencontohkan, banyak ibu-ibu yang masih ragu, bahkan ketakutan, untuk menggunakan kompor gas. "Banyak yang takut makainya, apalagi beberapa tabung memang bocor," ujar Warman.
Leaflet petunjuk penggunaan elpiji tidak cukup bagi mereka. Mendapat pertanyaan dan keluhan yang sama hampir tiap hari, Warman berinisiatif mengakali kekhawatiran itu dengan menghadirkan "paket lengkap" petunjuk konversi di tokonya.
Di teras rumahnya yang sempit, ia menyiapkan kompor dan tabung elpiji jika sewaktu-waktu ada konsumen yang perlu melihat langsung cara penggunaan peralatan itu. "Kadang istri saya yang saya mintain tolong untuk demo ke ibu-ibu itu," tuturnya.
Susah menyalakannya
Tidak tanggung-tanggung, ia menyiapkan dua jenis kompor sekaligus sesuai dengan merek kompor yang dibagikan kepada warga Pinang Ranti.
Menurut dia, kualitas dua kompor itu berbeda. "Kompor merek Quantum agak susah menyalakannya, beda dengan merek Wika," ujar Warman seraya menyalakan salah satu kompor.
Di sudut gudang tabung elpiji teronggok drum berisi air. Itulah peralatan andalan Warman untuk menguji ada tidaknya kebocoran tabung.
"Kalau dimasukin enggak ada gelembung, berarti aman. Jadi pembeli juga enggak perlu ragu," ujarnya.
Untuk memudahkan warga memperoleh tabung elpiji, Warman bekerja sama dengan sejumlah warung di Kelurahan Pinang Ranti. "Dulunya mereka menjual minyak tanah, tapi karena minyak tanahnya sudah ditarik, mereka berganti jadi penjual tabung gas," paparnya.
Nama-nama pemilik warung itu, lengkap dengan nomor telepon rumah dan telepon seluler ditempel di dinding pangkalan. Di sebelahnya, Warman juga menempelkan leaflet petunjuk penggunaan kompor dan tabung elpiji.
Namun, tidak semua pemilik pangkalan minyak tanah memiliki kreativitas tinggi seperti Warman. Chairoh, misalnya. Pangkalan miliknya berada sekitar 1 kilometer dari pangkalan Warman.
Nenek berusia 68 tahun ini menjual minyak tanah sejak tahun 1960. Sejak tidak lagi menerima pasokan minyak tanah, ia terpaksa memulangkan empat penjual minyak tanah dengan gerobak dorong.
Ia berharap pemerintah membolehkan lagi minyak tanah dijual kepada masyarakat. "Karena gas susah, warga nyari minyak tanah lagi. Mereka protes ke emak, katanya gara-gara elu sih enggak ngejual minyak tanah lagi. Lha, padahal minyak bukan punya saya," ujarnya.
Dari sisi keuntungan, pemilik pangkalan seperti Warman dan Chairoh bisa memperoleh marjin Rp 450 untuk setiap tabung elpiji ukuran 3 kilogram yang dijual dengan harga eceran Rp 12.750 per buah.
Jika menjual minyak tanah, pangkalan bisa mengambil untung Rp 200 per liter. Peluncuran pelaksanaan konversi minyak tanah ke elpiji dalam kemasan tabung 3 kilogram dilakukan Wakil Presiden Jusuf Kalla pada 8 Mei 2007 di Kampung Makassar.
Namun, hingga kini, warga yang belum kebagian kompor dibuat pontang-panting. Mereka harus berebut minyak tanah dengan warga dan penjual eceran.
Lilik, warga Kelurahan Menteng Atas, sudah tiga bulan ini antre minyak tanah. "Makin lama antrean makin panjang sampai harus pakai kupon," ujarnya. Dua minggu lalu, ia bahkan terpaksa membeli minyak tanah Rp 5.000 per liter di warung. Demi mendapatkan minyak tanah, Lilik pun terpaksa membeli sebungkus terasi. Duh.... (DOT)

BaCa SeLeNgKaPnYa disini...

Perencanaan Lemah, Program Konversi Kacau

KOMPAS - Senin, 27 Agustus 2007

Pemerintah Akan Perbaiki Pelaksanaan Konversi Energi

Jakarta, Kompas - Lemahnya perencanaan program pengalihan minyak tanah ke elpiji mengakibatkan munculnya sejumlah kendala dalam pelaksanaan di lapangan. Minimnya sosialisasi membuat masyarakat ragu untuk beralih ke elpiji, demikian pula para agen minyak tanah belum siap.
Sampai hari Minggu (26/8), antrean warga untuk mendapatkan minyak tanah masih terlihat, misalnya di pangkalan minyak tanah di Pasar Manggis, Kecamatan Setia Budi, Jakarta Selatan, dan Kelurahan Cipinang Besar Utara, Jatinegara, Jakarta Timur.
Sejumlah warga bahkan sengaja membeli dalam jumlah banyak untuk mengantisipasi kelangkaan. Kompas yang memantau ke sejumlah wilayah di DKI Jakarta yang melakukan konversi minyak tanah ke elpiji pekan lalu mendapati sejumlah masalah dalam pelaksanaan program konversi energi.
Pasokan elpiji dalam kemasan tabung 3 kilogram dari agen ke pangkalan tidak lancar. "Saya sudah minta pasokan ke agen sejak tiga hari lalu, tetapi kata agen, belum ada mobil yang bisa mengirim," kata Warman, pemilik pangkalan elpiji di Kelurahan Pinang Ranti, Jakarta Timur.
Menurut Warman, para agen yang sebelumnya menggunakan mobil tangki mereka sendiri untuk menyalurkan minyak tanah harus menyewa kendaraan untuk mengangkut tabung elpiji.
Seretnya pasokan gas di sejumlah pangkalan elpiji menyulitkan warga yang sudah mendapatkan jatah kompor gas dan tabung gratis. Mereka harus berkeliling ke sejumlah pangkalan, tetapi kembali dengan tangan hampa.
Belum maksimal
Deputi Direktur Niaga dan Pemasaran PT Pertamina Hanung Budya mengakui, ketersediaan gas dan tabung elpiji belum maksimal karena tidak semua agen dan pangkalan minyak tanah segera beralih menjadi agen dan pangkalan elpiji.
Di semua wilayah DKI Jakarta terdapat 175 agen dan 1.669 pangkalan minyak tanah yang diharapkan mau beralih.
"Kami sudah tawarkan mereka kredit dan sistem konsinyasi, tetapi belum banyak yang berminat," ujar Hanung.
Marcus, agen minyak tanah, menilai seharusnya pemerintah membagikan kompor gas secara merata sebelum menghentikan pasokan minyak tanah. "Kalau belum dapat semua sudah dicabut, jadinya seperti ini mengantre minyak tanah semua," ujarnya.
Membayar Rp 5.000
Di Kecamatan Sawangan, Depok, program konversi berpotensi salah sasaran. Sejumlah keluarga yang tidak menggunakan minyak tanah didaftar untuk mendapatkan pembagian kompor gas gratis.
Selain mengumpulkan syarat fotokopi kartu tanda penduduk dan kartu keluarga, warga di Kecamatan Sawangan juga membayar Rp 5.000 agar lebih cepat mendapatkan kompor tersebut.
Namun, hingga kemarin kompor gas yang dimaksud belum sampai ke tangan warga. Di Kelurahan Kebon Melati, Kecamatan Tanah Abang, Jakarta Pusat, warga yang telah menerima kompor gas pembagian hanya menyimpannya di salah satu bagian rumah mereka.
Ketidakbiasaan menggunakan kompor gas menjadi penyebabnya, termasuk alasan ketidakamanan dan kualitas kompor yang tidak baik.
Warga mengaku baru akan menggunakan kompor gas itu jika minyak tanah sudah tidak ada lagi di pasaran. Sementara ini, warga rela membeli minyak tanah di warung-warung di dekat rumah mereka, atau antre di pangkalan minyak tanah, kendati harganya Rp 5.000 per liter.
Meski demikian, warga mengaku tidak akan menjual kompor gas milik mereka. "Nanti kalau minyak tanah sudah tidak ada lagi bagaimana? Pasti kompor gasnya akan dipakai juga. Tapi selama minyak tanah masih ada, saya memilih tetap menggunakan kompor minyak tanah," ujar Dewi (46), warga Kebon Melati.
Program pengalihan minyak tanah ke elpiji dilaksanakan berdasarkan surat Wakil Presiden RI Nomor 20/WP/9/2006 tanggal 1 September 2006. Surat tersebut merupakan tindak lanjut dari hasil rapat koordinasi terbatas di Kantor Wakil Presiden.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro menjanjikan, pemerintah akan mengevaluasi dan memperbaiki pelaksanaan program konversi minyak tanah ke elpiji.
Kelanjutan pelaksanaan program itu seharusnya tidak hanya mengandalkan Pertamina. "Ke depan, karena sudah ada ketetapan akan ada dukungan dari pemerintah, nanti akan ada evaluasi bagaimana pelaksanaan yang sebaiknya," kata Purnomo.
Antrean untuk mendapatkan minyak tanah di wilayah Jakarta hanya kepanikan masyarakat. "Masyarakat hanya panic buying karena sudah mau puasa dan Lebaran. Saya yakin kondisinya akan mereda setelah mereka merasa simpanan minyaknya sudah cukup," ujar Purnomo. (DOE/DOT/NEL/CAL/TRI)

BaCa SeLeNgKaPnYa disini...

Uang Pengganti: Tak Mungkin Dibungakan Kejagung

KOMPAS - Senin, 27 Agustus 2007

Jakarta, Kompas - Ahli hukum pidana Andi Hamzah di Jakarta, Minggu (26/8), menegaskan, sebaiknya masyarakat menunggu hasil audit dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan sehingga masalah uang pengganti menjadi lebih jelas. Itu karena tidak mungkin Kejaksaan Agung berani membungakan uang tersebut.
"Soal uang pengganti memang sulit. Tetapi, kalau Jaksa Agung berjanji akan transparan, saya yakin itu akan dilakukannya," kata guru besar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Jakarta, itu.
Andi yakin, Kejagung tak berani membungakan uang yang diperoleh dari terpidana perkara korupsi, sesuai putusan pengadilan. "Tak ada yang berani membungakan, apalagi didepositokan. Itu kan harus atas nama orang, bukan instansi," katanya.
Andi yang menjadi jaksa pada tahun 1954-1993 mengungkapkan, kejaksaan negeri (kejari) selalu langsung menyetorkan uang denda ke kejaksaan tinggi melalui kantor pos, satu hari setelah menerima uang itu. Setelah itu, laporan uang denda akan diberikan setiap bulan.
"Uang denda diterima Kejari kalau putusan sudah berkekuatan hukum tetap. Uang pengganti pasti juga melalui prosedur yang sama. Jaksa tidak mungkin punya rekening sendiri," katanya.
Kelemahan kejaksaan
Secara terpisah, mantan Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh di Jakarta mengakui, perbedaan data uang pengganti kasus korupsi merupakan salah satu kelemahan di kejaksaan. Masalah itu sudah dituntaskan pada Rapat Koordinasi Kejaksaan Se-Indonesia di Bandung, Desember 2006.
"Waktu saya menjabat Jaksa Agung, saya sudah periksa. Saat rakor itu kan ada komisi, termasuk Komisi Uang Pengganti. Persoalan perbedaan data sudah tuntas," kata Abdul Rahman Saleh kepada Kompas, Minggu.
Cara penanganannya, kata Abdul Rahman, adalah dengan memisahkan secara tegas antara data uang pengganti yang perkaranya diputus berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 dan yang berdasarkan UU Nomor 31 Tahun 1999. Berdasarkan UU No 31/1999, tidak ada alasan untuk tak membayar uang pengganti bagi terpidana. Pilihannya membayar atau masuk penjara sebagai penggantinya.
Abdul Rahman mengakui, saat itu terungkap adanya perbedaan data uang pengganti yang ditangani kejaksaan. "Perbedaan itu terjadi karena catatan uang pengganti ini terus berjalan, selalu bertambah setiap ada terpidana yang membayar dan tiap kali ada putusan baru," ujarnya.
Menurut Abdul Rahman, kemungkinan beda perhitungan juga terjadi apabila ada dua pihak yang menyetorkan uang pengganti, yakni melalui jaksa dan langsung oleh terpidana. Bisa jadi uang pengganti yang disetorkan langsung oleh terpidana itu tidak tercatat di kejaksaan.
Abdul Rahman menegaskan, ia tahu persis tak ada yang berani mengorupsi uang pengganti di kejaksaan. Sebagai jaksa agung, ia digantikan Hendarman Supandji pada Mei 2007.
Disampaikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kemas Yahya Rahman, 13 Agustus 2007, keseluruhan uang pengganti yang ditangani kejaksaan Rp 10,704 triliun dan 5.500 dollar AS. Dari jumlah itu, Rp 2,568 triliun sudah dibayar terpidana, Rp 1,114 triliun dijalani dengan penjara, dan Rp 78,530 miliar dilimpahkan ke Bagian Perdata dan Tata Usaha Negara. Belum tertagih Rp 6,969 triliun dan 5.500 dollar AS.
Depkeu juga terbuka
Guru besar hukum pidana Universitas Krisnadwipayana, Jakarta, Indriyanto Seno Adji, menyarankan, tak hanya Kejagung yang membuka diri. Departemen Keuangan juga disarankan untuk transparan, membuka data uang pengganti yang selama ini dikatakan Kejaksaan Agung sudah disetorkan.
Menurut Indriyanto, keterbukaan dari pihak yang berhubungan dengan uang pengganti perkara korupsi ini sebagai bentuk akuntabilitas publik.
"Kejaksaan dan Depkeu dapat mencocokkan uang pengganti yang sudah dibayar dengan jumlah yang belum tertagih. Pencocokan menggunakan bukti setor dan bukti terima," kata Indriyanto. Perhitungan uang yang disetorkan ke negara mungkin saja berbeda sebab ada kesalahan pengelompokan. (SIE/IDR)

BaCa SeLeNgKaPnYa disini...

Pemda Butuh Dukungan dari Pemerintah Pusat

KOMPAS - Senin, 27 Agustus 2007

Presiden dan Menkeu Jangan Hanya Kritik Pemda

Jakarta, Kompas - Kurangnya dukungan DPRD terhadap pemerintah daerah kerap memperlambat realisasi anggaran. Di sisi lain, keengganan menjadi pemimpin proyek pembangunan karena isu korupsi juga masih menjadi kendala yang memperlambat penyerapan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
Ketua Umum Badan Kerja Sama Kabupaten Seluruh Indonesia Azikin Solthan, Sabtu (25/8), menjelaskan, banyak pemerintah daerah (pemda) tidak dengan sengaja memarkir dana APBD pada Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Sebaliknya, dana yang terparkir itu menunjukkan kesulitan penyerapan anggaran karena berbagai kendala.
"Ada pemda yang tidak dapat melaksanakan APBD karena tidak ada dukungan DPRD. Bupatinya dipilih langsung, tetapi bukan berasal dari partai yang dominan di DPRD," ujar Azikin yang saat ini menjabat sebagai Bupati Bantaeng, Sulawesi Selatan (Sulsel).
Di sisi lain, belum jelasnya aturan dan implementasi penegakan hukum mengakibatkan kuatnya keengganan sejumlah pihak menjadi penanggung jawab atau pemimpin pelaksanaan proyek pembangunan.
Bisa ditarik cepat
Sekretaris Daerah Jawa Timur Soekarwo mengatakan, anggaran rutin dan pembangunan Pemprov Jatim harus disimpan dalam bentuk SBI. Alasan pemda, dana itu harus dapat dicairkan sewaktu-waktu dan mendapat bunga.
"Anggaran yang disimpan di bank untuk belanja rutin, seperti gaji karyawan dan belanja pemerintah, serta belanja pembangunan yang sewaktu-waktu harus dibayarkan. Jadi, simpanan ini harus bisa dicairkan sewaktu-waktu," tutur Soekarwo, yang juga Komisaris Utama Bank Jatim.
Menurut Soekarwo, anggaran ini juga tidak dapat dimasukkan ke kas daerah karena kas daerah paling banyak hanya Rp 200 juta. Berdasarkan surat edaran Menteri Dalam Negeri, anggaran yang dimasukkan ke dalam bank harus mendapat bunga atau jasa giro sekitar 3,75 persen.
Di Jatim, jasa giro adalah 4 persen. Berarti bank harus membayar bunga 4 persen ditambah biaya administrasi sehingga minimal harus mendapat pemasukan 5 persen.
SBI merupakan pilihan yang paling cocok untuk simpanan bank pembangunan daerah (BPD). "Kalau memang tidak setuju, tutup saja SBI-nya. Ini seperti memasalahkan penjualan mercon, tetapi pabriknya sendiri masih buka," tutur Soekarwo.
Sebelumnya, saat ditemui pekan lalu, Gubernur Jatim Imam Utomo menyatakan sepanjang 2007 anggaran dari pemerintah pusat dalam bentuk dana alokasi umum untuk gaji karyawan di lingkungan Provinsi Jatim sebesar Rp 16 triliun.
Direktur Utama Bank Jatim Mulyanto mengatakan jumlah dana yang ditempatkan dalam SBI saat ini tinggal sekitar Rp 4,8 triliun, turun dari penempatan bulan Mei lalu sebesar Rp 5,6 triliun.
Untuk menjelaskan simpanan Bank Jatim dalam bentuk SBI, menurut Soekarwo, Pemprov Jatim akan membuat surat kepada Presiden. Surat ini dikirim pekan depan. "Ini penting karena kita dianggap tidak ada kinerja pembangunan," ujar Soekarwo.
Sementara itu, Koalisi Masyarakat Antikemiskinan menyerukan kepada Presiden dan aparat terkait agar memberikan sanksi bagi pemda yang masih menyimpan uang dalam bentuk SBI.
Wakil Ketua Komisi II DPR Sayuti Asyahtri (Fraksi Partai Amanat Nasional) mengatakan, Presiden dan Menteri Keuangan semestinya tak hanya mengkritik pemda yang memarkir dananya di bank. Isu itu bukan hal baru karena sudah beberapa kali mengemuka dalam rapat di DPR. (DAY/INA/NIK/LAM/DIK)

BaCa SeLeNgKaPnYa disini...

URBANFEST 2007: Diharapkan Bisa Terus Berlangsung

KOMPAS - Senin, 27 Agustus 2007

Jakarta, Kompas - Puncak keramaian Urbanfest 2007 yang digelar sejak Jumat lalu semakin terasa pada hari terakhir pelaksanaan festival untuk mewadahi berkembangnya budaya urban di Pantai Carnaval, Ancol, Jakarta, Minggu (26/8).
Kegiatan Urban Festival (Urbanfest) yang menyajikan beragam karya seni dan gaya hidup kaum muda perkotaan ini diharapkan bisa memunculkan kesempatan bagi kaum muda perkotaan untuk bisa terus berkarya dan beraktivitas secara positif.
Keramaian pengunjung terutama terpusat di area X-Over Indie Music yang menyajikan band-band indie dari Jakarta, Surabaya, Yogyakarta, dan Bandung. Kaum muda urban dengan bergairah berpindah dari panggung satu ke panggung lain secara bergantian untuk menikmati beragam aliran musik yang mampu membuat mereka bergoyang, hingga peragaan busana karya desainer dari mahasiswa Institut Kesenian Jakarta.
Kompetisi seni grafis dan mural yang menghadirkan puluhan peserta juga mampu menyedot perhatian pengunjung. Keindahan seni rupa jalanan ini dipindahkan ke tripleks-tripleks yang dipampang di beberapa tempat di area Urbanfest. Selain itu, pertunjukan seniman yang menyulap kekumuhan bus, mobil tua, dan bajaj dengan seni grafis dan mural juga mengundang decak kagum.
Keindahan yang ditampilkan seni jalanan ini dimanfaatkan pengunjung untuk mengabadikan dirinya bersama karya seni itu menggunakan kamera digital ataupun kamera telepon seluler. Titik fokus yang menjadi perhatian adalah seni grafis tiga dimensi untuk tulisan Urbanfest 2007.
Sementara itu, area Urbanbooth Activities yang menjadi gambaran gaya hidup kaum urban perkotaan juga dibanjiri pengunjung. Di beberapa stan terjadi antrean yang cukup panjang, terutama yang menawarkan kegiatan yang membuat penampilan menjadi berbeda.
Stan permainan yoyo, misalnya, mampu menyedot perhatian kaum muda. Pengunjung bahkan ada yang datang dari Subang dan Bandung. "Kami tertarik dengan yoyo, makanya percaya diri saja untuk ikut kontesnya," tutur Arif, salah seorang peserta dari SMA Negeri 1 Subang.
Di stan tarot (ramalan kartu), lebih dari 100 pengunjung antre untuk minta diramal oleh Tarot Wayang Reader Dian Bulan Prakoso. Saking panjangnya antrean, Minggu sore, panitia terpaksa menutup sementara pendaftaran.
Sejumlah pengunjung berharap supaya Urbanfest bisa terus diadakan, yang bisa dinikmati semua kalangan. "Kegiatan seperti ini bisa mendorong siapa saja untuk berani berkreativitas. Saya juga jadi punya tempat untuk mengembangkan hobi coret-coret di dinding yang bisa dinikmati semua orang," ujar Reza, pendiri Komunitas Snow7 yang berisi kumpulan pencinta seni jalanan. (ELN/ITA)

BaCa SeLeNgKaPnYa disini...

ANALISIS EKONOMI: Lonjakan Harga Kebutuhan Pokok

KOMPAS - Senin, 27 Agustus 2007

FAISAL BASRI

Salah satu maslahat paling nyata dari perekonomian dunia yang semakin terintegrasi ialah kecenderungan laju inflasi yang menurun tajam di seluruh kawasan dunia tanpa kecuali. Dalam satu dekade terakhir, laju inflasi di negara maju rata-rata hanya di bawah 2 persen, sementara di negara berkembang berkisar 3-4 persen. Proses konvergensi tingkat harga-harga umum ini dipicu oleh liberalisasi perdagangan dunia yang ditopang oleh revolusi teknologi informasi dan komunikasi serta transportasi.
Jika perekonomian suatu negara semakin terintegrasi dengan perekonomian dunia, negara itu akan menikmati laju inflasi yang rendah pula. Tentu saja dengan syarat bahwa negara itu memiliki kelengkapan kelembagaan pasar (market institutions) yang memadai, serta mata rantai distribusi yang efisien.
Laju inflasi di Indonesia selalu relatif jauh lebih tinggi dari rata-rata inflasi negara berkembang. Perekonomian Indonesia seakan sudah terbiasa dengan suhu tinggi. Niscaya ada masalah struktural yang selama ini terus menggelayuti perekonomian Indonesia, baik dari sisi permintaan (aggregate demand) maupun sisi penawaran (aggregate supply)
Inflasi sebagai fenomena moneter bersumber dari sisi permintaan yang besarannya tercermin pada angka inflasi inti, yakni yang tidak memasukkan kenaikan harga barang dan jasa yang diatur pemerintah. Apabila kita membandingkan angka inflasi inti Indonesia dengan negara tetangga di Asia Timur, tampak kebijakan moneter di Indonesia kurang efektif dalam meredam kenaikan harga.
Bisa disimpulkan, persoalan struktural yang membuat laju inflasi di Indonesia relatif tinggi terletak pada pengelolaan kebijakan moneter. Harus ada terobosan yang signifikan agar perekonomian Indonesia tak lagi bersuhu tinggi, yang membuat daya saing kian melorot.
Dalam beberapa bulan terakhir ada kecenderungan angka inflasi inti mulai turun di bawah 6 persen. Namun, justru kembali terjadi kenaikan harga barang dan jasa yang diatur pemerintah. Kenaikan harga kebutuhan pokok yang paling dirasakan masyarakat berpendapatan rendah adalah minyak tanah, minyak goreng, beras, dan gula putih.
Murni kesalahan pemerintah
Gejolak harga minyak tanah murni merupakan kesalahan pemerintah, yakni karena sosialisasi yang kurang, buruknya kualitas kompor gas yang dibagikan, dan tabung gas yang tersedia cuma ukuran 3 kilogram. Lalu banyak instansi pemerintah yang terlibat dan berjalan sendiri-sendiri sehingga program konversi kacau balau.
Untuk kasus minyak goreng berbagai kebijakan pemerintah selama ini terbukti mandul. Peningkatan pungutan ekspor dari 1,5 persen menjadi 6,5 persen tidak bisa menurunkan harga minyak kelapa sawit mentah (CPO) di dalam negeri karena harga CPO di pasar internasional naik jauh lebih cepat. Mengatasi itu, kenaikan pungutan ekspor setidaknya harus proporsional dengan kenaikan harga CPO di pasar internasional. Namun, pilihan itu secara empiris akan menimbulkan dampak negatif, yang pada akhirnya akan menghasilkan dampak neto yang merugikan bagi perekonomian?
Apabila ingin melindungi rakyat miskin, masukkan saja minyak goreng dalam paket raskin (beras untuk orang miskin). Kalau pilihan ini yang ditempuh, bagaimana dengan gula putih yang harganya juga mulai merangkak naik? Bagaimana dengan kebutuhan pokok lainnya?
Hal itu menandakan, persoalan lonjakan kenaikan harga kebutuhan pokok tidak bisa lagi ditangani secara ad hoc dan reaktif. Bukankah gejolak kenaikan harga barang yang "itu-itu" juga telah berlangsung berkali-kali. Bahkan, belakangan ini dengan frekuensi yang kian kerap, menandakan ada masalah struktural yang tetap melekat.
Jadi, fenomena kenaikan harga beberapa kebutuhan pokok bukanlah persoalan temporer sebagaimana diutarakan sementara pejabat tinggi. Tidak bisa juga dikatakan, kenaikan harga barang tertentu masih wajar. Selain ada yang dirugikan, ada juga yang diuntungkan, sebagaimana dikatakan Wakil Presiden (Kompas, 22 Agustus, hal 1 dan 15).
Gejolak harga beberapa komoditas akan selalu terjadi karena ketidakseimbangan permintaan dan penawaran. Semua itu tidak muncul seketika. Kebanyakan bisa diprediksi sehingga kita bisa mengantisipasinya jauh-jauh hari. Untuk itu, pemerintah harus membangun kemampuan intelijen pasar yang lebih tangguh.
Pada waktu bersamaan, kita dituntut memperkokoh kelembagaan pasar (market institutions). Selama ini pemerintah terlalu terbuai melakukan liberalisasi pasar, tetapi minim membangun unsur-unsur lain dari kelembagaan pasar yang menjamin mekanisme pasar berlangsung bagi kesejahteraan rakyat.
Pasar membutuhkan fungsi pengaturan dan stabilisasi agar tidak bertindak liar atau kerap bergejolak. Mekanisme pasar yang hanya menekankan pada fungsi liberalisasi pasar tak akan pernah menyentuh kepentingan rakyat yang lemah.
Oleh karena itu, mekanisme pasar harus selalu dilengkapi dengan fungsi legitimasi pasar sehingga memenuhi sense of justice dan sense of equity. Dengan begitu, keberlangsungan pasar bisa terjamin bagi sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat. Kalau negara libertarian saja sudah lebih peduli terhadap dimensi keadilan dan kemanusiaan, seharusnya kita, yang berdasarkan konstitusi menganut sistem pasar sosial, jauh lebih peduli lagi.

BaCa SeLeNgKaPnYa disini...