Monday, August 27, 2007

Program Konversi: Kuat Jantung demi Elpiji

KOMPAS - Senin, 27 Agustus 2007

Ada dua hal yang enggak boleh ada kalau mau membuka pangkalan elpiji. Kesatu, enggak boleh darah tinggi. Kedua, enggak boleh lemah jantung," kata Warman (53), pemilik pangkalan elpiji di tepi Jalan Raya Pondok Gede, Kecamatan Makassar, Jakarta Timur.
Ia mengucapkan itu dengan mimik serius. Sampai Sabtu (25/8) siang itu, 200 tabung elpiji 3 kilogram yang ia tunggu-tunggu sejak Rabu belum juga datang.
Di gudangnya menumpuk tabung-tabung kosong, titipan warga sekitar. "Nah, ini ada satu lagi yang nyari," ujar Warman, mengomentari seorang laki-laki yang menyeberang jalan dengan menenteng tabung hijau.
"Masih kosong...," serunya begitu laki-laki itu sampai di depan pangkalannya. Warga pengguna elpiji itu menghela napas dan mengumpat gemas, "Buset...!"
Pengalaman menantang
Warman yang membuka usaha pangkalan minyak tanah sejak tahun 1984 menemui pengalaman yang menantang kekuatan jantungnya sejak beralih menjadi penjual elpiji.
"Waktu jadi pangkalan minyak tanah mah enak, tinggal berdiri aja ngawasin. Elpiji konversi ini banyak masalahnya," tutur ayah empat anak itu.
Ia mencontohkan, banyak ibu-ibu yang masih ragu, bahkan ketakutan, untuk menggunakan kompor gas. "Banyak yang takut makainya, apalagi beberapa tabung memang bocor," ujar Warman.
Leaflet petunjuk penggunaan elpiji tidak cukup bagi mereka. Mendapat pertanyaan dan keluhan yang sama hampir tiap hari, Warman berinisiatif mengakali kekhawatiran itu dengan menghadirkan "paket lengkap" petunjuk konversi di tokonya.
Di teras rumahnya yang sempit, ia menyiapkan kompor dan tabung elpiji jika sewaktu-waktu ada konsumen yang perlu melihat langsung cara penggunaan peralatan itu. "Kadang istri saya yang saya mintain tolong untuk demo ke ibu-ibu itu," tuturnya.
Susah menyalakannya
Tidak tanggung-tanggung, ia menyiapkan dua jenis kompor sekaligus sesuai dengan merek kompor yang dibagikan kepada warga Pinang Ranti.
Menurut dia, kualitas dua kompor itu berbeda. "Kompor merek Quantum agak susah menyalakannya, beda dengan merek Wika," ujar Warman seraya menyalakan salah satu kompor.
Di sudut gudang tabung elpiji teronggok drum berisi air. Itulah peralatan andalan Warman untuk menguji ada tidaknya kebocoran tabung.
"Kalau dimasukin enggak ada gelembung, berarti aman. Jadi pembeli juga enggak perlu ragu," ujarnya.
Untuk memudahkan warga memperoleh tabung elpiji, Warman bekerja sama dengan sejumlah warung di Kelurahan Pinang Ranti. "Dulunya mereka menjual minyak tanah, tapi karena minyak tanahnya sudah ditarik, mereka berganti jadi penjual tabung gas," paparnya.
Nama-nama pemilik warung itu, lengkap dengan nomor telepon rumah dan telepon seluler ditempel di dinding pangkalan. Di sebelahnya, Warman juga menempelkan leaflet petunjuk penggunaan kompor dan tabung elpiji.
Namun, tidak semua pemilik pangkalan minyak tanah memiliki kreativitas tinggi seperti Warman. Chairoh, misalnya. Pangkalan miliknya berada sekitar 1 kilometer dari pangkalan Warman.
Nenek berusia 68 tahun ini menjual minyak tanah sejak tahun 1960. Sejak tidak lagi menerima pasokan minyak tanah, ia terpaksa memulangkan empat penjual minyak tanah dengan gerobak dorong.
Ia berharap pemerintah membolehkan lagi minyak tanah dijual kepada masyarakat. "Karena gas susah, warga nyari minyak tanah lagi. Mereka protes ke emak, katanya gara-gara elu sih enggak ngejual minyak tanah lagi. Lha, padahal minyak bukan punya saya," ujarnya.
Dari sisi keuntungan, pemilik pangkalan seperti Warman dan Chairoh bisa memperoleh marjin Rp 450 untuk setiap tabung elpiji ukuran 3 kilogram yang dijual dengan harga eceran Rp 12.750 per buah.
Jika menjual minyak tanah, pangkalan bisa mengambil untung Rp 200 per liter. Peluncuran pelaksanaan konversi minyak tanah ke elpiji dalam kemasan tabung 3 kilogram dilakukan Wakil Presiden Jusuf Kalla pada 8 Mei 2007 di Kampung Makassar.
Namun, hingga kini, warga yang belum kebagian kompor dibuat pontang-panting. Mereka harus berebut minyak tanah dengan warga dan penjual eceran.
Lilik, warga Kelurahan Menteng Atas, sudah tiga bulan ini antre minyak tanah. "Makin lama antrean makin panjang sampai harus pakai kupon," ujarnya. Dua minggu lalu, ia bahkan terpaksa membeli minyak tanah Rp 5.000 per liter di warung. Demi mendapatkan minyak tanah, Lilik pun terpaksa membeli sebungkus terasi. Duh.... (DOT)

0 comments: