Saturday, August 25, 2007

Jaksa Agung Harus Transparan

KOMPAS - Sabtu, 25 Agustus 2007

Kejaksaan Bersikukuh Tak Simpan dan Bungakan Uang Pengganti

Jakarta, Kompas - Agar tidak terjadi korupsi ganda dalam pengelolaan dana pengganti dan uang kerugian yang dikelola dan dilaporkan ke Departemen Keuangan dan Badan Pemeriksa Keuangan, Kejaksaan Agung harus menyusun dan membuat laporan yang transparan dan memenuhi prinsip akuntabilitas.
Instruksi itu disampaikan Wakil Presiden Jusuf Kalla, seusai shalat Jumat (24/8) di Masjid Baitulrachman, Kompleks Istana Wapres, Jakarta.
Pers sebelumnya menanyakan apakah pemerintah sudah meminta Kejagung menertibkan laporan keuangan negara yang berasal dari hasil setoran terdakwa yang divonis bersalah serta harus membayar uang ganti rugi dan dana pengganti hasil korupsi.
Penyusunan dan laporan hasil setoran Kejagung itu selama ini dinilai tidak tertib dan tersebar di di kejaksaan negeri ataupun kejaksaan tinggi sehingga tak memenuhi prinsip akuntabilitas dan transparansi keuangan.
"Dana pengganti itu tentu harus disetorkan ke Kejagung. Namun, kadang-kadang jika orangnya sudah masuk penjara, ya sudah begitu saja. Memang ada dana pengganti yang disetorkan ke Kejagung. Tetapi, ada juga yang tak dibayarkan. Mungkin saja juga ada yang dibayarkan, tetapi tak disetorkan. Kalau seperti itu, jelas itu yang salah," kata Wapres.
Menurut Kalla, supaya tak ada kesalahan, Kejagung harus mengupayakan bagaimana orang yang punya kewajiban, tetapi tak mau membayar itu benar-benar membayar, selain juga bagaimana menyusun laporannya.
Ditanya apakah pemerintah sudah minta Kejagung memenuhi asas transparansi dan akuntabilitas dalam pelaporan, Wapres menjawab," Ya, itu harus."
BPKP mulai verifikasi
Secara terpisah, Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Didi Widayadi, seusai melaporkan hasil audit kinerja Direktorat Jenderal Bea dan Cukai kepada Wapres, Jumat, mengakui Kamis lalu bertemu Jaksa Agung Hendarman Supandji, membicarakan pengelolaan uang pengganti yang dilaporkan media massa. BPKP membantu Kejagung menyusun laporan pengelolaan dana itu.
"Tugas BPKP adalah internal audit pemerintah atau auditor Presiden. Jadi, BPKP bisa diminta Jaksa Agung melakukan verifikasi atas dana pengganti dan uang titipan yang tersebar dan tidak tertib itu," ujar Didi.
Namun, lanjut Didi, Kejagung harus terbuka dan bersikap proaktif untuk meminta bantuan auditor BPKP dalam menyusun laporan, agar tak terjadi polemik di masyarakat seperti sekarang ini atas jumlah dan pemanfaatan dana yang dikumpulkan Kejagung.
Ditanya apakah benar BPKP mengalami kesulitan mengaudit pengelolaan dana pengganti dan uang ganti rugi di Kejagung, Didi mengatakan," Memang, tidak hanya di Kejagung, tetapi di lembaga lainnya. Ada resistansi terhadap kebijakan BPKP sekarang ini."
Padahal, katanya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengarahkan agar lembaga dan departemen jika menemukan keraguan dalam penyusunan laporan tidak perlu ragu untuk meminta bantuan BPKP menyusun laporan keuangannya.
Tak menyimpan
Secara terpisah, Wakil Jaksa Agung Muchtar Arifin mengatakan, Kejagung tak pernah menyimpan dan membungakan dana pengganti senilai lebih dari Rp 6 triliun, seperti yang dituduhkan selama ini. Yang benar, uang pengganti itu belum tertagih.
"Sama sekali tidak benar. Tidak ada yang demikian itu," ujar Muchtar Arifin, Jumat di Jakarta.
Menurut dia, permasalahan yang sebenarnya adalah belum terbayarnya uang pengganti dari sejumlah terpidana. Ia mencontohkan Dicky Iskandardinata dalam kasus Bank Duta beberapa tahun lalu, yang seharusnya membayar Rp 811 miliar, tetapi ia tidak mampu melunasinya. Contoh lain, kasus Sudjiono Timan dan Bambang Sutisna. "Itu semua terakumulasi," katanya.
Ia menambahkan, tidak mungkin kejaksaan menyimpan uang itu. Kejaksaan juga memiliki sistem keuangan yang harus dipatuhi. "Bendahara khusus penerima itu hanya bisa menyimpannya 1 x 24 jam," kata Muchtar.
Ia juga membantah jika kejaksaan di daerah menyimpan uang yang sama. Ia bahkan akan memberi sanksi jika ada jaksa yang menyimpan dan membungakan uang pengganti itu. "Kalau menyimpan dan membungakan, ya perlu kita pecat. Kalau sampai korupsi, kita ajukan ke pengadilan," ujarnya. (har/ana)

BaCa SeLeNgKaPnYa disini...

Anggaran: Dana Parkir di Bank Karena Berbagai Alasan

KOMPAS - Sabtu, 25 Agustus 2007

Jakarta, Kompas - Pemerintah di daerah mengemukakan berbagai alasan yang membuat mereka memarkir sementara dananya di Bank Pembangunan Daerah masing-masing, yang selanjutnya oleh bank ditempatkan pada Sertifikat Bank Indonesia.
Sebagaimana diberitakan sebelumnya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati melontarkan kritikan kepada pemerintah daerah yang memarkir cukup besar dananya, hingga mencapai Rp 96 triliun pada bank. Pemerintah daerah diharapkan mengoptimalkan dana tersebut untuk mempercepat pembangunan dan pergerakan perekonomian di daerah.
Penempatan dana daerah pada bank yang selanjutnya dibelikan SBI yang bunganya dibayar Bank Indonesia, daerah ibarat mendapat dana dari kantong kiri dan kantong kanan negara.
Langkah itu ditempuh pemerintah daerah karena adanya berbagai kendala dalam pemanfaatan dana tersebut.
Pemerintah Kalimantan Timur misalnya, dari Rp 4,225 triliun Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)-nya, yang sudah dipakai untuk membiayai berbagai program pembangunan belum sampai 20 persen. Penggunaan dana rendah karena beberapa peraturan dinilai menghambat penyaluran anggaran.
Asisten Ekonomi Pembangunan dan Kesejahteraan Sosial Sekretariat Provinsi Kaltim Nusyirwan Ismail mengatakan di Samarinda, Jumat (24/8), mengatakan, peraturan yang dimaksud adalah Peraturan Menteri Dalam Negeri 13/2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah dan Peraturan Presiden 70/2005 sebagai perubahan ketiga atas Keputusan Presiden 80/2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Permendagri, kata Nusyirwan, memperlama pembuatan APBD sekaligus penyalurannya. Perpres mewajibkan proyek berdana besar melewati lelang sehingga realisasinya juga lama. Itu belum termasuk permasalahan saat pelaksanaan proyek yang cukup menghambat penyelesaian.
Kondisi serupa juga terjadi pada proyek yang dibiayai APBN di Kaltim yang bernilai Rp 3,5 triliun tahun ini, sementara dana yang sudah dipakai menurut Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Kaltim Sulaiman Gafur, baru sebesar 27,8 persen.
Sulaiman mengatakan, saat ini penyerapan anggaran rendah karena kebanyakan proyek belum jalan, dan tender masih berjalan. Tetapi, setelah lelang dan proyek berjalan, biasanya dana mengucur deras. Ia memperkirakan, proyek-proyek akan terlaksana mulai September.
Karena itu, sebelum digunakan, oleh BPD lalu disimpan dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia. “Tidak ada kesengajaan kenapa uang disimpan di SBI," kata Kepala Biro Keuangan Setprov Kaltim Hazairin Adha.
Direktur Utama BPD Kaltim Aminuddin mengatakan, dana pemerintah yang disimpan di BPD, memang dioptimalkan dengan menempatkannya pada SBI yang risikonya lebih rendah dan sewaktu-waktu bisa ditarik.
Aminuddin mengatakan, dana pemerintah se-Kaltim yang disimpan di BPD mencapai Rp 5,3 trilliun. “Kepemilikan SBI BPD Kaltim Rp 5,7 triliun per 20 Agustus 2007," katanya.
Gubernur Riau, Rusli Zainal menyatakan, besarnya simpanan pemerintah Provinsi Riau di perbankan bukanlah cerminan dari ketidakproduktifan. Itu lebih karena dana tidak dapat langsung dibahas dengan mekanisme APBD.
"Dana itu bersumber dari dana bagi hasil yang belum dibahas dalam APBD. Karena belum ada dalam APBD lantas mau ditempatkan di mana, tentunya di bank. Kami tidak dapat menggunakan dana itu karena belum masuk APBD ataupun APBD-Perubahan. Penempatan itu justru supaya uang itu lebih aman dan jelas. Bukan karena tidak produktif. Buktinya 96 persen dana APBD Riau terserap," kata Rusli Zainal di Pekanbaru.
Menurut Rusli, kalaupun Riau terlihat memiliki simpanan dana yang besar, itu lebih disebabkan dana bagi hasil yang diserahkan pemerintah pusat ke daerahnya juga besar. Untuk tahun 2007, dana perimbangan pusat dan daerah yang diterima Riau mencapai Rp 5 triliun lebih.
Tidak soal
Gubernur Kalimantan Tengah Agustin Teras Narang menyatakan, penyerapan dana untuk pembangunan di Kalteng berjalan baik sehingga tidak ada yang masuk ke SBI. “Pengesahan APBD juga tidak ada masalah sehingga semua berjalan tepat waktu. Ini karena pembahasannya sudah dilakukan sejak awal. APBD 2008 misalnya, sekarang sudah mulai dibicarakan sehingga diharapkan begitu disahkan langsung dapat dijalankan," kata Teras.
Ditambahkan, proses tender pun tidak menjadi persoalan. Begitu pagu sudah didapat, tender proyek sudah bisa mulai dilaksanakan. Pola semacam ini menghindarkan kemungkinan proyek berjalan lamban hanya karena masa tender berlarut-larut. Tahun ini, APBD Kalteng sebesar Rp 1,1 triliun, naik dibanding 2006 yang Rp 903,782 miliar.
Sekretaris Daerah Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah Thampunah Sinseng menambahkan, uang daerahnya tidak ada yang diparkir di bank.
Masih Kecil
Dirjen Perimbangan Keuangan Depkeu Mardiasmo menyebutkan, hingga pertengahan Agustus 2007, realisasi anggaran belanja daerah yang telah dikucurkan Depkeu ke pemerintah daerah pada tahun 2007 mencapai Rp 140 triliun atau sekitar 54 persen dari total belanja daerah Rp 258,8 triliun.
Artinya, jika total dana pemda yang masih tersimpan di perbankan mencapai Rp 96 triliun, seperti disebutkan Presiden, berarti sebagian besar dana yang telah disalurkan pemerintah pusat masih mengendap, belum terpakai.
Ketua Asosiasi Bank Pembangunan Daerah (Asbanda) Winny E Hassan mengatakan, sebagian besar dana BPD merupakan milik pemda setempat. Berdasarkan data Bank Indonesia (BI) per Juni 2007, total dana BPD seluruh Indonesia Rp 140,31 triliun.
Mardiasmo mengatakan, sebagian besar dana yang disalurkan pemerintah pusat ke daerah adalah Dana Alokasi Umum (DAU) sebanyak 66,7 persen atau sekitar Rp 93,38 triliun, kemudian Dana Alokasi Khusus (DAK) atau sekitar Rp 30,8 triliun, dan selebihnya disalurkan untuk dana otonomi khusus dan penyesuaian.
"Dari dana yang telah disalurkan pemerintah pusat tersebut, kami masih menghitung anggaran daerah yang benar-benar diserap atau digunakan untuk sektor riil," katanya.
Anggaran belanja daerah dialokasikan untuk tiga pos pengeluaran utama, yakni anggaran belanja pegawai, modal, dan belanja barang. Anggaran belanja pegawai merupakan komponen terbesar.
Belanja pegawai tahun 2005 dialokasikan sebesar Rp 59,27 triliun atau 42,66 persen dari anggaran belanja daerah tahun tersebut. Alokasinya meningkat di tahun 2006 menjadi Rp 85,01 triliun atau 40,57 persen dari anggaran belanja daerah tahun tersebut. Anggaran ini tergolong konsumsi pemerintah karena tidak masuk ke sektor riil sebagai investasi.
Anggaran belanja modal, yang merupakan indikator investasi pemerintah, pada tahun 2005 tercatat sebesar Rp 26,89 triliun atau 19,35 persen atas anggaran belanja daerah. Jumlah tersebut meningkat menjadi Rp 52,03 triliun atau 24,81 persen terhadap anggaran belanja tahun 2006.
Lambat
Anggota DPR dari Komisi Keuangan dan Perbankan Dradjad H Wibowo mengatakan, penyebab utama rendahnya penyerapan anggaran daerah untuk kegiatan sektor riil adalah keterlambatan pengesahan APBD.
Keterlambatan pengesahan APBD terjadi pada proses pengesahan oleh DPRD setempat dan proses persetujuan oleh Depdagri.
"Solusinya, Depdagri dan pemda harus bersama-sama memperpendek proses pengesahan APBD. Caranya dengan memberi tenggat waktu pengesahan. Birokrasi di Depdagri harus dipangkas. Depkeu juga bisa tetapkan penalti pemotongan DAU pada pemda yang telat mencairkan dananya," kata Dradjad.
Menteri Koordinator Perekeonomian Boediono mengatakan, "Bagi daerah yang dananya masih nongkrong di BPD akan kami lihat masalahnya apa. Kemudian pemerintah akan coba bantu."
Mengenai apakah pemerintah pusat akan memberikan semacam hukuman bagi daerah yang masih juga meletakkan danannya di BPD, Boediono menjawab, hal tersebut saat ini belu perlu dilakukan. "Persoalannya kan sebetulnya politik di daerah, penyusunan RAPBD masih sangat lambat karean DPRD dan pemda," katanya.
Berdasarkan data Bank Indonesia per Juni 2007, penempatan dana BPD di SBI selama semesterI-2007 naik Rp 11,07 triliun dari Rp 37,26 triliun pada Januari menjadi menjadi Rp 48,33 triliun pada akhir Juni.
Dibandingkan dengan kelompok bank yang lain, kenaikan penempatan dana di SBI oelh BPD memang yang tertinggi.
Untuk bank persero dan swasta nilainya malah turun. Penempatan dana bank persero di SBI pada Januari sebesar Rp 43,31 Triliun turun menjadi Rp 36,06 triliun pada Juni. Sementara bank swasta turun dari Rp 98,74 triliun pada Januari menjadi Rp 85,85 triliun pada Juni.
Sementara untuk bank campuan, penempatan dana di SBI naik dari Rp 9,28 triliun pada Januari menjadi Rp 11,3 triliun pada Juni. Untuk bank asing, nilainya naik dari Rp 18,17 triliun pada Januari menjadi Rp 20,52 triliun pada Juni.
Dirjen Perimbangan Keuangan Departemen Keuangan Mardiasmo mengatakan, mengenai dana pemda yang masih banyak diletakkan di BPD, maka pemerintah akan melihat kasus per kasus. "Dalam waktu dekat ini kami akan memanggil pemda dan BPD. Kami akan membicarakan dengan kepala daerah kira-kira langkah apa yang akan dilakukan ke depan untuk mempercepat eksekusi penyelesaian APBD," katanya. (SAH/BRO/CASfAJ/OIN/tav)

BaCa SeLeNgKaPnYa disini...

Musik "Indie X-OVEr": Alternatif yang Asyik, yang Bisa Mengganggu

KOMPAS - Sabtu, 25 Agustus 2007

Ester Lince Napitupulu dan Irma Tambunan
"Jangan selesai dulu, please Min, satu lagu lagi," teriak Tata dari bawah panggung. Amin, vokalis Old Paper, tersenyum mendengar teriakan yang nyaris tenggelam di antara keriuhan anak muda malam itu. Amin, elok banget sore itu. Keyboard dia pukul-pukul dengan ujung kedua telunjuknya.
Dan ketukan keyboard-nya, segera mengentak kembali gairah semua yang hadir. Mereka berjingkrak, di atas panggung, di bawah panggung. Suasana pun menghangat.
Mau tahu tampang Amin? Ia pemuda kurus, ia berkacamata hitam agak longgar sehingga tiap kali ia menyempatkan diri menyentuh bagian kacamata itu supaya tidak jatuh. Sampai satu saat, menjelang akhir pertunjukan, kacamatanya terpental karena saking gilanya dia main. Keringat berlelehan di dada dan leher, tapi grup itu solid mendukung aksi panggungnya.
Duh, tapi gayanya selangit abiiss, sangat komunikatif. Bayangkan, di sela melodi, ia akan lari atau berjalan melayang ke tengah stage, lalu meliuk atau meregangkan tubuhnya ala model, sekadar menambah tekanan agar tema musiknya yang sebagian besar beraliran boggie-woggie yang lincah dan riang itu tetap terjaga.
Meski dibilang sebagai band indie baru (terbentuk tahun 2004 lalu), Old Paper yang diawaki Amin (vokal dan keyboard), Okie (bass), Onny (drum), dan Wicak (gitar) itu ternyata cepat kebanjiran penggemar. Irama musiknya—rasa rasta dan boggie-woggie—seperti candu yang membuat orang terus bergoyang dan membawa mereka larut ke masa jaya Elvis Presley.
Dan suasana semakin memanas ketika The Hydrant, band asal Bali, Changcuters dari Bandung, hingga The Upstairs dari Jakarta tampil dengan gaya masing-masing, mengangkat semangat kebebasan orang mengekspresikan kegembiraan mereka malam itu.
"Saya serasa menemukan kembali kerinduan yang pernah hidup tahun 1970-an dulu. Rock n’ roll telah bangkit!" kata Tantio Aji, dosen Seni Musik Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Mau tahu bagaimana pembawaan Pak Dosen Tantio? "Ooo dia itu dosen indie. Kalau dia mengajar, celananya pendek. Warnanya merah, ijo, kuning norak gitu, tapi asyik," kata John Malau, mahasiswa IKJ, soal dosennya.
Malau dan teman-temannya akrab banget dengan Tantio karena ia kelewat eksentrik. Pergi ke Ancol pun Tantio cuma mengendarai sepeda onthel, yang dipinjam Malau keliling stan.
Puas menikmati musik, Tantio lalu sibuk mendokumentasikan band-band muda indie yang mulai kembali menggerakkan semangat rock n’ roll tersebut.
Band-band indie ini seakan memiliki karisma yang kuat. Meski lagu-lagu mereka terbilang baru ditampilkan di depan publik Jakarta, banyak anak muda yang ternyata dengan cepat dapat mengikuti lagu-lagu itu.
Vokalis The Hydrant, Marshelo, menyanyikan satu lagu, lalu melangkah ke arah penonton. Semuanya pun ikut bernyanyi, "Sisir Opa...sisir opa".
Meski liriknya terdengar aneh (karena lagu ini dibuat ketika Marshelo, vokalis The Hydrant, kehilangan sisir pemberian kakeknya), ternyata orang-orang nyaman saja menyanyikannya.
Band-band indie muda ini kebanyakan tampil dengan gaya yang nyeleneh, nyentrik, unik, dan dengan kostum-kostum yang tak biasa.
Banyak juga kostumnya bergaya tempo dulu. Amin, sang vokalis Old Paper tadi, tampil dengan kemeja penuh gambar Marlyn Monroe dan celana panjang bermotif kotak-kotak hitam putih, lengkap dengan rambut berjambul. Gerakan-gerakan yang bebas dan cengar-cengirnya selalu memancing penonton tertawa hingga akhirnya mereka pun ikut berjingkrak-jingkrak.
Seluruh personel Changcuters malah tampak kembaran dengan busana yang mereka sebut: ala street fashion. Atasannya hitam, sepatu putih semua. "Yang lain ingin gaya beda-beda. Kalau kami, maunya seragam, tidak masalah juga kan," ujar Qibil, gitaris Changcuters.
Bagi mereka, semangat kebebasan bukan berarti harus selalu tampil beda. Namun, yang terpenting, ketika di atas pentas, mereka mampu membangkitkan semangat dan komunikatif dengan anak-anak muda di sekitar panggung.
Antusiasme anak muda begitu terlihat pada Urbanfest 2007, yang dibuka di Pantai Carnaval Ancol, Jakarta, Jumat (24/8).
Karnaval yang menandai pembukaan kegiatan tersebut menampilkan semua kekhasan semangat kota, yakni orang-orang berpakaian aneh, busana tari modern, pemain sirkus, tukang sapu, mbok jamu, sampai gaya kebarat-baratan.
Sebanyak 12 grup X-over indie band, hari pertama kemarin tampil dengan diselingi fashion show, harajuku, dan cosplay di atas dua panggung. Kawasan itu juga dipenuhi dengan berbagai macam kontes, kompetisi, pameran, atraksi, dan pemutaran film. Seluruh pengunjung kebanyakan anak muda, tampil juga dengan gaya-gaya ala mereka sendiri.
Semangat kebebasan begitu tampak di sana. Anak muda yang ingin menyalurkan energinya berteriak-teriak, bisa ikut euro bungy. Penggemar utak-atik motor, memperlombakan modifbike. Kontes ini kebanjiran peserta sampai-sampai ruang yang disediakan tak muat lagi oleh padatnya motor dalam berbagai kategori lomba. Setiap motor itu penuh modifikasi dan pernak-pernik.
Semua band yang tampil hingga Jumat tengah malam seolah sepakat, Urbanfest menjadi ajang ekspresi alternatif tadi.
Beberapa band, di akhir penampilan mereka, dengan terus terang berterima kasih pada forum musik itu dan forum seperti ini mesti diadakan saban tahun.
Band yang telah tampil pada hari pertama Urbanfest dan akan disusul Sabtu dan Minggu besok sebagian besar memang berangkat dari berbagai keterbatasan. Karena itu, mereka berani memilih sekadar sebagai musik alternatif di tengah kuatnya mainstream lagu pop, rock, dangdut, dan genre apa saja yang telanjur mendominasi.
"Tidak mudah menikmati musik mereka. Namun, kalau teliti, ya kita bisa menemukan yang bagus. Kami juga mengamati kok mana-mana grup yang bagus. Pasti akan kami minta tampil lagi di Ancol," kata Anom Hamengkubudi, staf Taman Impian Jaya Ancol.
Apa boleh buat, ketika semangat kebebasan itu terus mengalir, makin terasa bahwa ruang bagi musik yang "hanya alternatif" itu makin santer juga pengaruhnya. Gejala seperti itu mudah ditandai, yaitu kian laris, tetapi juga kian sulitnya mencipta karya-karya segar yang orisinal. Mesin kreativitas lalu cenderung mekanis. Di situlah, bayangan kemapanan harus dihindari.
"Awal tahun 2000-an belum banyak anak muda suka rock n’ roll. Itu lebih dianggap masa lalu. Tapi, sekarang seperti mulai demam musik ini lagi." tutur Tantio Aji. (HRD)

BaCa SeLeNgKaPnYa disini...

Penculikan: Raisah Tampak Lelah Setelah Dibebaskan

KOMPAS - Sabtu, 25 Agustus 2007

Jakarta, Kompas - Raisah (5) yang dibawa pulang oleh kedua orangtuanya, Ali Said dan Nizmah Mucksin Thalib, terlihat tenang. Ia tak takut dengan puluhan wartawan yang mengerubunginya. Hanya saja, wajahnya tampak lelah.
Saat keluar dari mobil, Raisah digendong Ali. Raisah (bukan Raisya seperti diberitakan sebelumnya) hanya diam sambil melihat wartawan yang sibuk memotret wajahnya.
"Saya bangga pada Raisah. Ia sangat tegar. Ia tidak takut. Ia juga tidak kurang sesuatu apa pun. Hanya saja, di kulitnya banyak terdapat bintik-bintik merah seperti cacar," tutur Ali saat jumpa pers di teras rumahnya.
Menurut Ali, saat pertama kali bertemu tak banyak yang diucapkan Raisah. Ia hanya diam dan memeluk Ali dengan kencang. Ali mengaku pada Jumat (24/8) pukul 09.00 dirinya mendapat telepon dari Polda Metro Jaya untuk datang ke sana. Ternyata, ia dipertemukan dengan Raisah yang telah 9 hari menghilang.
Polisi pada hari Jumat pukul 09.00 menangkap tersangka dalang penculikan Raisah, Yogi Permana, dan tersangka lainnya, Anggana, di stasiun pengisian bahan bakar untuk umum (SPBU) di Jalan TB Simatupang, pertigaan Tanjung Barat, Jakarta Selatan. Para tersangka lainnya, Yanuar ditangkap di rumahnya di Jalan Petamburan II dan Firmando ditangkap di SMA Negeri 35. Adapun, Kamis malam, tersangka Budi Harianto dibekuk polisi saat bersembunyi di masjid SMA Negeri 35.
Dapat diselamatkan
Di tempat itu polisi menyelamatkan Raisah dan mengembalikan korban ke tangan orangtuanya.
Menurut Kepala Polda Metro Jaya Inspektur Jenderal Adang Firman, penculikan ini bermotif ekonomi.
Penculik minta tebusan satu miliar. "Tidak ada sepeser pun uang tebusan yang kami bayarkan. Raisah bebas karena kerja keras aparat kepolisian. Kami benar-benar berterima kasih," kata Ali, yang juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dan memberikan dukungan selama Raisah tidak berada di sampingnya.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bersyukur dan gembira karena Raisah telah ditemukan dalam keadaan selamat oleh aparat kepolisian. Presiden minta para tersangka penculik diproses secara hukum.
"Kita semua bersyukur dan bergembira bahwa Raisah telah ditemukan," ujar Presiden Yudhoyono dalam jumpa pers khusus kedua soal Raisah, kemarin.
Wakil Presiden Jusuf Kalla juga memberikan ucapan selamat kepada keluarga Ali Said atas pembebasan Raisah yang diculik sejak 15 Agustus lalu dalam perjalanan pulang dari sekolah. (ARN/WIN/HAR/INU)

BaCa SeLeNgKaPnYa disini...

Peradaban Kita di Periode Stagnasi

KOMPAS - Sabtu, 25 Agustus 2007

Budaya Menerabas Jadi Salah Satu Penghambat

Jakarta, Kompas - Perjalanan peradaban modern Indonesia cenderung mengalami stagnasi. Salah satu faktor penghambat utama adalah karena budaya menerabas masih tumbuh subur, yang ujung-ujungnya menafikan kerja keras dan kreativitas.
"Padahal, sebuah bangsa yang tidak peduli terhadap kerja dan karya kreatif anak bangsanya sendiri, dalam perjalanan waktu, akan sulit diharapkan mampu melakukan terobosan untuk mempercepat kemajuan," kata cendekiawan Ahmad Syafii Ma’arif di Jakarta, Jumat (24/8).
Dalam seminar bertajuk "Mendorong Pembukaan Cakrawala Baru Bidang Penciptaan dan Pemikiran" yang diselenggarakan Akademi Jakarta, Syafii Ma’arif mengutip pandangan Bertrand Russel, filsuf Inggris, yang membedakan stagnasi dengan kemajuan. Periode stagnasi ialah periode orang merasa tidak berdaya. Sebaliknya, periode kemajuan ditandai suasana saat orang merasa prestasi-prestasi besar menjadi mungkin dan karena itu mereka ingin menjadi bagian di dalamnya.
Di tengah kecenderungan tumbuh suburnya budaya menerabas, yang sejak tahun 1970-an sudah dilontarkan oleh antropolog Koentjaraningrat, Syafii Ma’arif mengaku masih melihat ada titik terang. Sebab, meski sedikit, masih ada manusia kreatif di Indonesia yang tidak terlalu bergantung pada negara walaupun kemudian mereka hidup serba kekurangan.
"Munculnya sejumlah kecil nama-nama baru di dunia seni (teater, sastra, tari, lukis), sejarah, ilmu dan teknologi, serta pemikiran kebudayaan setidaknya masih memberikan harapan bahwa bangsa ini belum kehilangan kehidupan," tutur Syafii Ma’arif.
Menurut dia, tugas ke depan adalah bagaimana agar geliat kreativitas di seluruh Nusantara dalam berbagai suku bangsa dijadikan sebagai sebuah gelombang besar yang dahsyat sehingga sebuah bangsa yang utuh, beradab dan kreatif, serta berdaulat menjadi kenyataan. "Bukan sekadar bayangan serta kebanggaan yang semu," ujarnya.
Sejarawan sekaligus aktivis Jaringan Kerja Budaya, Hilmar Farid, menambahkan, sebetulnya banyak orang Indonesia yang menghasilkan produk kebudayaan, mulai dari penerbitan berbagai buku, karya film yang belakangan mulai bergeliat, sastra, serta produk pemikiran.
"Hanya saja, belum ada karya yang solid dianggap mewakili zaman ini," ujarnya. Bagi Hilmar, permasalahannya bukan pada kreativitas yang tidak ada, melainkan tidak adanya kritik yang baik serta teliti. (MZW/ine)

BaCa SeLeNgKaPnYa disini...

Gunung Karangetang Kembali Meletus

KOMPAS - Sabtu, 25 Agustus 2007

Siau Timur, Kompas - Gunung Karangetang (1.784 meter) di Kecamatan Siau Timur, Kabupaten Sitaro, Sulawesi Utara, kembali meletus dan memuntahkan lava pijar, Jumat (24/8) sekitar pukul 06.00. Letusan kali ini tidak sampai membuat warga panik. Aktivitas warga Siau Timur tetap berjalan normal.
Dari Kelurahan Ulu, Siau Timur, sekitar 10 kilometer dari Gunung Karangetang, letusan terdengar jelas, tetapi tidak sekuat letusan Selasa malam yang sempat membuat warga panik.
Bupati Sitaro Idrus Mokodompit mengatakan, warga Siau Timur sudah semakin terbiasa mendengar letusan Karangetang. Apalagi tahun-tahun sebelumnya, Karangetang yang merupakan salah satu gunung api paling aktif di Indonesia itu sudah berkali-kali meletus.
Meski demikian, Idrus meminta warga Siau Timur tetap waspada. Ia juga mengimbau warga yang bermukim di sekitar lereng Karangetang untuk tetap mengungsi. "Warga jangan dulu kembali ke rumah atau berkebun sampai status Karangetang diturunkan," kata Idrus.
Kepala Subbidang Pengamatan Gunung Api Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Agus Budianto mengatakan, status Karangetang masih Awas. Melihat pola aktivitas atau getaran Karangetang dalam beberapa hari terakhir diperkirakan aktivitas gunung api itu masih cukup tinggi dan sewaktu-waktu bisa mengeluarkan lava pijar.
Berdasarkan pengamatan di Siau Timur, aktivitas warga setempat tidak banyak terpengaruh dengan letusan Gunung Karangetang. Warga tetap menjalankan aktivitas seperti biasa. Sekolah, kantor-kantor pemerintahan dan swasta, serta pasar tetap buka.
Di jalan-jalan utama Kecamatan Siau Timur, kendaraan tetap mondar-mandir. Arus penumpang kapal antarpulau juga cukup tinggi.
Namun, aktivitas warga di sekitar lereng Gunung Karangetang, seperti di Kelurahan Tatahadeng dan Desa Dame, cukup terganggu dengan letusan dan semburan lava pijar.
Tidak berkebun
Sudah hampir dua pekan terakhir warga di kedua kelurahan itu tidak lagi berkebun karena takut terkena awan panas atau semburan lava. Sebagian besar atau 764 warga masih mengungsi di Kantor Kecamatan Siau Timur dan sejumlah rumah ibadah.
Sampai kemarin kebutuhan pengungsi, seperti makanan, air minum, dan obat-obatan, masih mencukupi. Namun, pengungsi mengeluhkan minimnya fasilitas mandi cuci kakus (MCK) di sekitar lokasi pengungsian.
Sementara itu, aktivitas Gunung Soputan di Kabupaten Minahasa dan Minahasa Tenggara sudah semakin normal. Petugas Pos Pengamat Gunung Api Soputan Fandy Rumimper mengatakan, sampai kemarin sore tidak ada lagi gempa tremor ataupun gempa guguran. (rei/che)

BaCa SeLeNgKaPnYa disini...

Material Rumah Korban Lumpur "Dijarah"

KOMPAS - Sabtu, 25 Agustus 2007

Sidoarjo, Kompas - Jumlah pengambil bahan bangunan dari rumah-rumah yang terendam lumpur Lapindo di Kecamatan Porong dan Tanggulangin, Sidoarjo, Jawa Timur, semakin banyak. Mereka tidak peduli meskipun daerah itu adalah daerah berbahaya, apalagi ketinggian genangan air dan lumpur mencapai 6 meter.
Berdasarkan pengamatan pada Jumat (24/8), puluhan orang berada di lokasi rumah-rumah yang terendam lumpur di Perumahan Tanggulangin Anggun Sejahtera (Perumtas) 1. Hampir di setiap rumah yang separuh bangunannya terendam lumpur itu terdapat orang-orang yang sibuk membongkar bangunan.
Mereka mengambil batu bata, kayu, genteng, besi, dan paving block yang sebelumnya dipakai untuk jalan. Mereka mengangkutnya dengan sepeda motor yang di samping kiri dan kanannya terdapat rak besar dari kayu untuk menyimpan barang hasil pengambilan. Sejumlah orang mengaku mengambil material itu untuk kayu bakar, membuat rumah baru, membuat jalan kampung, membuat gubuk di tambak, atau dijual lagi.
Awalnya hanya warga yang tinggal di sekitar kolam penampungan lumpur di Porong dan Tanggulangin yang mengambil bahan bangunan di lokasi rumah yang terendam lumpur itu. Namun, kemudian para pengambil itu bertambah banyak dan tidak hanya warga yang tinggal di sekitar lumpur, tetapi ada pula yang datang dari Bangil, Pasuruan.
Mereka yang bukan berasal dari daerah sekitar lumpur biasanya mengambil besi yang dipakai sebagai tiang penyangga rumah. Setiap 1 kilogram besi dihargai Rp 2.500 dan biasanya dalam sehari mereka bisa mendapatkan sekitar 6 kilogram besi.
"Mengambil barang-barang ini memang berbahaya, tetapi hasil yang didapat lumayan untuk menambah penghasilan. Lagi pula sayang kalau dibiarkan," ujar Sulaiman, salah satu di antara para pengambil tersebut.
Kepala Humas Badan Pelaksana Badan Penanggulangan Lumpur di Sidoarjo (BP BPLS) Achmad Zulkarnain mengatakan, ia telah memperingatkan orang- orang tersebut bahwa daerah itu berbahaya. Namun, peringatan itu tidak digubris.
Tak jarang mereka malah mengancam berunjuk rasa kalau tidak diperbolehkan mengambil bahan bangunan yang tersisa. "Kalau sudah mengancam begitu, kami tidak bisa apa-apa," lanjutnya.
Sementara itu, untuk mengantisipasi musim hujan yang diperkirakan datang pada Oktober/November, BP BPLS sedang menyiapkan sejumlah langkah. Beberapa langkah tersebut adalah membuat tanggul baru, meninggikan tanggul yang sudah ada, dan menyedot lumpur yang berada di kolam penampungan lumpur utama. (APA)

BaCa SeLeNgKaPnYa disini...