KOMPAS - Selasa, 14 Agustus 2007
Rehabilitasi Sekolah Jangan Mencontoh SD Inpres
Bandung, Kompas - Perbaikan sekolah rusak yang ditargetkan selesai tahun depan diperkirakan akan gagal karena pemerintah pusat terkesan tidak serius mendanai program tersebut. Padahal, peran pemerintah pusat mencapai 50 persen dari peran provinsi dan kabupaten/kota.
Ketidakseriusan pemerintah pusat membuat pelaksana di tingkat kabupaten/kota kebingungan. "Saat menandatangani nota kesepahaman tahun 2006 untuk rehab ruang kelas dan pembangunan ruang kelas baru, Menteri Pendidikan Nasional mengatakan, dana role sharing merupakan dana di luar dana alokasi khusus (DAK). Tetapi, pada tahun 2006 dan 2007, dana role sharing dari pemerintah pusat belum turun," kata Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Ciamis Wawan Arifin, Senin (13/8).
Yang terjadi justru beberapa bulan setelah penandatanganan nota kesepahaman, Dinas Pendidikan Kabupaten Ciamis menerima surat Mendiknas yang menyatakan role sharing diberikan berupa DAK. "Padahal, sekitar 60 persen dari DAK itu digunakan untuk perbaikan fisik sekolah dan 40 persen untuk buku serta alat peraga. DAK juga membatasi pembangunan fisik hanya tiga kelas dalam satu sekolah, padahal ada sekolah yang semua kelasnya rusak sehingga pembangunan fisik di sekolah itu terkatung-katung," kata Wawan.
Ungkapan Wawan menggambarkan situasi di sejumlah daerah. Rencana perbaikan sekolah rusak terkendala banyak hal, umumnya karena faktor minimnya anggaran atau alokasinya tidak tepat. Kerusakan ruang kelas SD sudah mencapai ratusan ribu, umumnya disebabkan mutu bangunan buruk dan pembangunan serba massal.
Menurut Wawan, jika pemerintah tegas dalam pembagian peran mendanai perbaikan sekolah, sebaiknya semua DAK dialokasikan untuk perbaikan fisik. Untuk pengadaan buku dan alat peraga bisa dicukupi dari bantuan operasional sekolah (BOS) buku dan BOS reguler.
Kabupaten Ciamis merencanakan merehabilitasi 4.571 kelas, tetapi sejak tahun 2006 hingga tahun 2007 baru merehabilitasi 660 kelas.
Kondisi yang sama terjadi di Kabupaten Bandung. Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Bandung Achmad Saefudin menilai rencana perbaikan ribuan kelas di wilayahnya tak akan mencapai sasaran jika dana dari pemerintah pusat belum jelas. Masalah yang dialami Kabupaten Bandung hampir serupa dengan Ciamis. Mereka tidak mendapatkan dana role sharing dari pemerintah pusat, tetapi DAK dan block grand.
Dalam konteks itu, Direktur Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Depdiknas Suyanto mengatakan, setelah otonomi daerah, sekolah-sekolah saat ini milik pemerintah daerah. Keberhasilan penyelenggaraan pendidikan yang baik, termasuk selesainya rehabilitasi ruang kelas atau sekolah yang rusak, membutuhkan komitmen dari setiap pemerintah daerah.
"Ini bukan berarti pemerintah pusat lepas tangan. Pemerintah pusat tetap membantu upaya percepatan rehabilitasi sekolah rusak, tapi pemerintah daerah juga harus menunjukkan komitmennya kepada pendidikan di daerahnya sendiri," ujar Suyanto.
Dalam data Departemen Pendidikan Nasional tercatat sekitar 213.000 ruangan kelas SD yang rusak. Untuk mendata kembali jumlah ruangan kelas yang rusak, menurut Suyanto, Mendiknas akan mengirimkan surat untuk meminta data lebih akurat.
Suyanto menyebutkan, ada kabar jika tahun 2008 ada dana alokasi khusus senilai Rp 6,9 triliun yang akan dipakai membantu percepatan rehabilitasi sekolah rusak. Pemerintah menargetkan tahun 2009 rehabilitasi sekolah rusak di semua wilayah Indonesia sudah tuntas.
Di Lampung, sekadar menyebut contoh, dari 52.245 ruang kelas, sebanyak 7.671 dalam kondisi rusak berat dan 12.654 ruang kelas rusak ringan. Perbaikan yang dikerjakan sejak awal 2007 belum diketahui kemajuannya.
Kondisi buruk juga ditemukan di Jambi. Sekitar 3.000 ruang kelas SD rusak. Kepala Subdin Sarana dan Prasarana Dinas Pendidikan Provinsi Jambi Rumsi Rizal mengemukakan, total 7.861 lokal SD di Jambi mendesak diperbaiki. Sesuai kesepakatan pusat, provinsi, dan kabupaten, perbaikan dilaksanakan dengan dana gabungan ketiga pihak.
Di Pontianak, Kepala Dinas Pendidikan Kalbar Ngatman, Senin, menyatakan, masih sekitar 3.000 ruang kelas rusak tahun ini, sementara kemampuan keuangan dalam APBD Kalbar untuk perbaikan sekolah rusak hanya Rp 3 miliar-Rp 4 miliar per tahun. Menurut Ngatman, dana itu hanya bisa untuk memperbaiki 40 ruang kelas. Perbaikan satu ruang butuh Rp 75 juta-Rp 100 juta. Sementara itu, Sumsel membutuhkan Rp 821 miliar untuk perbaikan 8.297 ruang kelas SD, SMP, SMA, dan SMK yang rusak.
Dalam konteks itu, Gubernur DI Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono X menyatakan, rehabilitasi dan pembangunan sekolah baru hendaknya jangan lagi mencontoh pembangunan masa lalu yang dikenal dengan sebutan SD inpres. Sebab, bangunan sekolah itu tak tahan lama karena kualitas bahan dan pengerjaan yang tak bagus.
Meskipun dilakukan secara bertahap, rehabilitasi dan pembangunan sekolah harus kokoh dan sesuai dengan standar. (WSI/ITA/HLN/LKT/DOE/YNT/ SON/WIE/FUL/WHY/RAZ/ELN)
Tuesday, August 14, 2007
Perbaikan Sekolah Rusak Terancam Gagal
Posted by RaharjoSugengUtomo at 9:14 AM 0 comments
Labels: HeadlineNews: Kompas
Calon Perseorangan: Draf Awal Revisi UU Sudah Selesai
KOMPAS - Selasa, 14 Agustus 2007
Jakarta, Kompas - Badan Legislasi dan Lembaga Pusat Pengkajian dan Pelayanan Informasi di DPR menyelesaikan draf awal Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang akan mengatur keikutsertaan calon perseorangan dalam pemilihan kepala daerah.
Dalam rapat konsultasi pimpinan DPR dan pimpinan fraksi, Senin (13/8), draf awal itu didiskusikan. Rapat dipimpin Ketua DPR Agung Laksono.
Dalam draf awal itu disebutkan syarat dukungan untuk calon perseorangan sekurang-kurangnya 10 persen dan calon bukan anggota partai politik. "Tetapi, ini baru konsep," kata Ketua Badan Legislasi FX Soekarno.
Menurut Agung, sampai Senin draf awal ditandatangani lebih dari 20 anggota DPR dari banyak fraksi. Ia berharap setelah disempurnakan, draf itu bisa segera disampaikan kepada pimpinan DPR pada 15 Agustus dan diumumkan dalam paripurna pada 16 Agustus 2007.
Ketua Fraksi Partai Golkar DPR Priyo Budi Santoso menegaskan, draf awal itu masih akan terus diperbaiki. "Golkar tak setuju (syarat calon perseorangan) 10 persen. Tadi disepakati dengan kata-kata sepadan dengan yang diusung parpol," jelasnya.
Penandatanganan usulan itu, menurut Priyo, sebagai bentuk persetujuan terhadap ide Badan Legislasi. Ini menunjukkan kepada publik adanya kesungguhan DPR mempersiapkan RUU.
Ketua Fraksi Partai Demokrat Syarif Hasan berpendapat fraksinya menghendaki revisi UU No 32/2004 segera diselesaikan.
Namun, Yasonna H Laoly dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan pesimistis, dasar hukum bagi calon perseorangan dalam pilkada itu akan selesai pada Januari 2008. Sebab, bulan depan memasuki puasa, diikuti hari raya Idul Fitri, Natal, dan Tahun Baru. "Jika dihitung dengan masa persidangan DPR, waktu yang tersedia lebih singkat lagi," katanya.
Kontroversi itu wajar
Saat meresmikan gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Senin di Jakarta, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menilai wajar jika muncul kontroversi atas putusan MK yang memungkinkan adanya calon perseorangan dalam pilkada. Ini terjadi karena belum ada pemahaman utuh serta ada perbedaan cara pandang terhadap materi putusan.
Namun, Presiden juga meminta hakim MK agar menjunjung tinggi etika profesi dan profesionalisme sehingga keputusannya betul-betul tepat, cermat, dan dapat dipertanggungjawabkan.
Terkait pengaturan calon perseorangan, rapat konsultasi antara Presiden dan DPR akan dilaksanakan tanggal 22 Agustus 2007. (SUT/INU/VIN/NWO)
Posted by RaharjoSugengUtomo at 9:13 AM 0 comments
Labels: HeadlineNews: Kompas
Bangunkan Partai-partai
KOMPAS - Selasa, 14 Agustus 2007
Sebuah kabar panas berembus di pengujung Juli lalu. Mahkamah Konstitusi membolehkan calon perseorangan mengajukan diri atau diajukan menjadi calon kepala daerah.
Keputusan itu disambut gempita oleh dua kubu yang berseberangan. Para pendukung keputusan itu serta-merta terlibat eforia. Mereka memandangnya seolah angin surga lantaran membuka peluang bagi munculnya kandidat lebih berkualitas dan layak pilih.
Bukan hanya itu, keputusan tersebut juga dinilai sebagai jalan keluar dari ketidakmampuan partai-partai mengelola mandat dan perwakilan politik, dan membersihkan pilkada dari praktik monopoli partai beserta ekses-eksesnya, termasuk politik uang.
Mereka yang cenderung resisten segera memasang "jebakan". Orang partai dalam pemerintahan dan partai-partai dalam lembaga legislatif bersepakat bahwa keputusan itu mesti diimplementasikan lewat amandemen UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Untuk keperluan itu—inilah jebakannya—dipasang syarat pengajuan calon perseorangan yang tak main-main, yakni didukung setidaknya oleh 15 persen dari jumlah penduduk berhak pilih!
Maka, kedua kubu itu mengidap persoalan serupa. Mereka yang mendukung cenderung terlalu romantis memandang kandidat perseorangan. Seolah-olah kandidat partai adalah penjahat, sementara kandidat perseorangan adalah malaikat.
Di pihak lain, kalangan partai yang resisten memasang kuda-kuda berlebihan. Mereka tak membuka pintu, tetapi mempersilakan kandidat perseorangan masuk lewat lubang kunci. Kedua kubu itu pun sama-sama gagal memosisikan diskursus kandidat perseorangan dalam konteks sejarahnya yang khas.
Konteks
Diskursus kandidat perseorangan dibentuk oleh proses dan hasil demokratisasi Indonesia yang khas selama lebih dari sewindu. Demokratisasi hadir sebagai dua sisi dari satu keping mata uang.
Di satu sisi, demokratisasi telah menghadirkan kebebasan, memfasilitasi perluasan (bahkan ledakan) partisipasi, dan menyuburkan kompetisi. Di sisinya yang lain, demokratisasi sejauh ini gagal menegakkan akuntabilitas, mandat dan keterwakilan politik.
Maka, yang sejauh ini terbangun adalah, meminjam istilah Guillermo O’Donnell, "demokrasi delegatif". Orang banyak terlibat dalam prosedur-prosedur pokok demokrasi, tetapi produk yang dihasilkannya tak mengabdi pada kepentingan mereka.
Di hadapan mereka, demokrasi hadir sebagai "ongkos", bukan "keuntungan". Para pejabat publik—yang berkhianat kepada merekalah—yang memetik keuntungan itu.
Penyokong penting model demokrasi ini adalah "partai-partai mengambang" yang tak punya identitas politik dan ideologi dan tak mau (sekaligus tak mampu) membentuk dan memelihara konstituen. Dalam konteks sistem kepartaian kita yang lemah dan terfragmentasi, pertukaran politik antarpartai pun semata-mata berbasiskan pragmatisme akut.
Rangkaian pilkada sejak 2005 adalah penegasan fakta itu. Partai memonopoli saluran politik. Bolong-bolong dalam aturan dan mekanisme yang tersedia dipakai partai untuk memetik rente ekonomi. Politik uang berkembang tak terkendali. Pemerintahan hasil pilkada hampir selalu mengidap penyakit gagal-mandat, gagal-akuntabilitas dan gagal-keterwakilan.
Maka, saluran alternatif di luar partai pun memang selayaknya disediakan. Dalam konteks inilah kehadiran kandidat independen selayaknya diletakkan. Kehadiran mereka menjadi penting untuk memainkan fungsi ganda.
Di satu sisi, peluang partisipasi bagi warga negara dalam arena politik berpotensi diperluas dan ditingkatkan kualitasnya oleh mekanisme ini. Warga negara diberi saluran alternatif di luar partai yang dalam praktik demokrasi dikenal sebagai saluran pencalonan nonpartisan (non-partisan candidacy) atau jalur pencalonan independen (independent candidacy) atau kanal pencalonan nonpartai (non-party candidacy).
Di sisi lain, mekanisme pencalonan perseorangan itu berpotensi menguatkan sistem kepartaian serta membangunkan partai-partai, dari luar. Masa-masa monopoli politik partai berakhir. Partai-partai dibangunkan dari tidur lelap mereka. Partai didesak untuk menata diri dan tak sekadar memanfaatkan atmosfer pragmatisme dalam sistem kepartaian yang lemah dan terfragmentasi.
Politisi mengambang
Tetapi, tunggu dulu. Persoalan tak selesai di situ. Sumber pembusukan demokrasi bukan saja tersedia dari dalam partai, tetapi juga dari luar. Pun, partai mengambang bukanlah biang keladi satu-satunya dalam pembentukan demokrasi delegatif.
Demokrasi delegatif—yang mementingkan kebebasan-partisipasi-kompetisi sekaligus mengabaikan mandat-akuntabilitas-keterwakilan—dibentuk oleh setidaknya lima faktor: (1) para aktor yang gagal menyelaraskan retorika dengan praktik demokrasi, (2) aturan yang tidak punya kapasitas untuk membuat regulasi yang menyeluruh, tuntas, dan saling sokong, (3) kegagalan menyeimbangkan kegemaran membuat institusi demokratis dengan ketekunan memperkuatnya, (4) kegagalan membangun sintesa di antara aktor, aturan, dan institusi itu serta menjadikannya sebagai mekanisme kerja yang terpelihara, dan (5) kebelumberhasilan membangun publik yang proaktif dan selalu terjaga.
Karena itu, kehadiran calon perseorangan tak akan serta-merta menyehatkan pilkada (atau pilpres kelak). Tanpa perbaikan sejumlah aturan, misalnya, para kandidat independen tak bisa lepas dari jebakan (dan "kenikmatan") politik uang, pencederaan janji, pelecehan mandat, ketidakbersihan pemerintahan, dan pengembangbiakan korupsi.
Dalam praktiknya, kehadiran kandidat independen tanpa perbaikan yang serius di sisi aktor, aturan, institusi, mekanisme, dan publik justru berpotensi meluaskan dan menguatkan demokrasi delegatif. Para kandidat independen itu akan menjadi "politisi mengambang" yang sama bermasalahnya dengan partai mengambang.
Walhasil, untuk membuat keputusan Mahkamah Konstitusi benar-benar bersejarah, kita dituntut untuk punya kerelaan merombak banyak hal yang selama ini menguatkan demokrasi delegatif. Apakah partai yang sudah menjadi "pemenang" saat ini punya kerelaan itu? Inilah justru pertanyaan terbesarnya.
EEP SAEFULLOH FATAH
Direktur Eksekutif Sekolah Demokrasi Indonesia.
Komentar: fatah.1@ui.edu.
Posted by RaharjoSugengUtomo at 9:12 AM 0 comments
Labels: HeadlineNews: Kompas
Kecelakaan KA: Kok, Tega-teganya Orang Memotong Rel Sepur...
KOMPAS - Selasa, 14 Agustus 2007
M Burhanudin
"Sebagai warga sini, saya tak habis pikir, kok tega-teganya orang memotong rel agar penumpang sepur celaka. Apa mereka tak punya rasa kasihan kepada sesama manusia?" ujar Sodikin (43), warga Desa Mangunsari. Sawah miliknya tepat terletak di sebelah lokasi kejadian anjloknya KA Gumarang.
Kereta Api Gumarang jurusan Jakarta-Surabaya, Minggu (12/8) malam, anjlok di Dusun Kramat, Desa Mangunsari, Kecamatan Tegowanu, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah. Tak ada korban jiwa dalam peristiwa tersebut. Namun, penyebab anjloknya KA malam itu memprihatinkan. Rel sengaja dipotong oleh orang yang tak bertanggung jawab.
Pemotongan rel kereta di lokasi kejadian anjloknya KA Gumarang tersebut bukanlah yang pertama. Setidaknya, dalam delapan bulan terakhir terjadi empat kali pemotongan rel dan pencopotan pand rol atau penambat rel di atas bantalan. Anehnya, potongan rel itu tak pernah dibawa kabur oleh pelaku, demikian pula penambat rel dan dan pelat sambungan rel.
"Sepertinya mereka memang sengaja ingin membuat kereta api celaka. Kalau niatnya seperti itu, kan artinya ingin senang, orang lain senep (susah). Orang makin nekat saja," ujar Sodikin.
Sebagai warga yang tinggal di Mangunsari sejak lahir, Sodikin merasa baru satu-dua tahun belakangan ini ada orang berbuat nekat dengan memotong rel tanpa memperhitungkan keselamatan ratusan nyawa manusia. Saat dirinya masih kecil hingga menginjak remaja, tak pernah ada perbuatan senekat itu.
Keprihatinan itu juga terlontar dari mulut Sukardi (48), warga Desa Mangunsari lainnya. Warga sekitar lokasi kejadian risi dengan kerapnya terjadi pemotongan rel di dekat rumah mereka.
Sejumlah warga pernah mengetahui sekilas pelaku pemotongan adalah orang tak dikenal. "Mereka orang-orang luar desa. Mereka tak mencuri rel dan bantalannya. Mereka berharap kereta anjlok lalu mengambil barang-barang milik penumpang. Kami yang tak tahu apa- apa kena getahnya" ungkapnya.
Dugaan Sukardi itu mungkin tak berlebihan. Bukan rahasia lagi jika usai kecelakaan kereta, banyak barang berharga milik penumpang yang hilang.
Anjloknya KA Gumarang di Kilometer (Km) 27 Tegowanu disebabkan rel di lintasan itu dipotong sepanjang 5,4 meter oleh orang tak dikenal. Penambat rel di bantalan terlepas dari posisinya. Akibatnya, saat dilewati KA Gumarang dari arah Jakarta, lokomotif terpelanting karena rel tumpuan lepas dari posisinya, diikuti anjloknya tiga gerbong terbelakang.
Potongan rel sepanjang 5,4 meter ditemukan di atas lintasan KA. Demikian pula penambat dan pelat sambungan rel.
Kepala Daerah Operasi IV PT Kereta Api Rono Pradipto mengungkapkan, dilihat dari hasilnya, jelas ada unsur kesengajaan. Pelaku tak membawa pergi potongan rel. Sebelum KA Gumarang anjlok, Minggu malam, tiga kali sudah pemotongan rel di lokasi yang sama terjadi. Untung saja perbuatan orang tak bertanggung jawab itu tak menimbulkan kecelakaan kereta api yang lewat. Pada 17 Desember 2006, sebanyak 90 pand rol dilepas. Tanggal 15 Juni lalu tiga batang rel di perlintasan di potong lalu disilangkan di atas lintasan kereta api. Dan, terakhir tanggal 27 Juli lalu, rel digergaji hingga sedalam 0,5 sentimeter.
Dilihat dari lokasinya, Km 27 Stasiun Tegowanu itu memang memungkinkan bagi orang tak bertanggung jawab untuk melakukan upaya membuat kecelakaan secara sengaja. Selain lokasinya di tengah hamparan sawah yang sangat sepi, terutama di malam hari, lokasi tersebut juga terdapat jembatan kecil, serta sebuah jalan setapak untuk melarikan diri. Kereta api yang melalui rel terpotong akan mudah tersungkur karena adanya jembatan kecil tersebut.
Sebenarnya, PT KA mempunyai petugas penilik jalan yang bertugas mengontrol kondisi rel sebelum dilewati kereta api, tetapi jumlahnya terbatas. Tak sepanjang waktu ada petugas yang mengawasi kondisi rel. Antara Stasiun Gubug dan Stasiun Tegowanu sepanjang 15 kilometer, misalnya, petugas penilik jalan mulai bertugas pukul 16.06 sampai 18.00. Petugas kembali menilik rute tersebut pukul 01.00 hingga 03.00. Artinya, antara pukul 18.00 dan 01.00 tak ada penilik jalan.
Posted by RaharjoSugengUtomo at 9:11 AM 0 comments
Labels: HeadlineNews: Kompas
Ditemukan Lebih Banyak Lagi TNT
KOMPAS - Selasa, 14 Agustus 2007
Ada Dugaan Bom Akan Dijual ke Jaringan Teroris
PASURUAN, KOMPAS - Tim Laboratorium Forensik Polri Cabang Surabaya menemukan lebih banyak lagi bahan peledak TNT dan rumah (casing) detonator di lokasi ledakan, di Kota Pasuruan, Senin (13/8). Dengan demikian, TNT yang diambil dari lokasi ledakan sudah 29,2 kilogram dan lebih dari 1.000 casing detonator.
Selain itu, di gudang milik Ilham, polisi juga menemukan potasium klorat. Berdasarkan pengamatan Kompas, polisi juga mengambil dua gulung kabel dari lokasi ledakan.
Bom yang meledak di depan Paddy’s dan Sari Club, Bali, 12 Oktober 2002, juga terdiri dari bahan peledak TNT (trinitrotoluena) dan potasium klorat.
Kepala Labfor Polri Cabang Surabaya Komisaris Besar Bambang Wahyu menjelaskan, pihaknya masih menganalisa apakah ledakan yang terjadi itu berasal dari rangkaian bom yang sudah jadi atau berasal dari bahan-bahan untuk suatu rangkaian bom.
Meskipun barang bukti peledak yang ditemukan semakin banyak, Kepala Kepolisian Wilayah Malang Komisaris Besar Syahrizal Ahyar tetap menyimpulkan ledakan disebabkan oleh bom ikan.
Mengenai asal TNT sebanyak itu, Syahrizal menyatakan masih menyelidikinya. Akan tetapi, menurut Bambang, bahan peledak TNT hanya dimiliki TNI.
Namun, Kepala Divisi Humas Mabes Polri Irjen Sisno Adiwinoto menyatakan, sejauh ini Polri tidak berkesimpulan ledakan itu terkait terorisme. Sebab, menurut keterangan para saksi, keluarga Ilham memang kerap membuat bom ikan.
Sampai kemarin polisi telah memeriksa 22 saksi. Radius 50 meter dari lokasi ledakan masih ditutup untuk masyarakat umum karena polisi masih mencari bukti-bukti yang bisa menjelaskan penyebab ledakan.
Menurut Sisno, Nadir—menantu Marsiti (61), kakak kandung Ilham—kini terus dikejar karena sangat diperlukan untuk bisa menjelaskan asal-usul bahan peledak tersebut. (APA/SF/WIN)
Posted by RaharjoSugengUtomo at 9:08 AM 0 comments
Labels: HeadlineNews: Kompas
NU Tolak Khilafah
KOMPAS - Selasa, 14 Agustus 2007
Jakarta, Kompas - Pengurus Besar Nahdlatul Ulama atau PBNU menolak penerapan sistem khilafah di Indonesia. Ide khilafah atau pemerintahan tunggal bagi umat Islam di seluruh dunia akan mendekonstruksi negara.
"Politik transnasional tidak cocok diterapkan di Indonesia karena sistem politik yang dibawa dari Timur Tengah tersebut tidak sesuai dengan situasi politik di Indonesia," kata Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi di Jakarta, Senin (13/8).
Khilafah adalah sebuah sistem pemerintahan yang khas dengan ideologi Islam dan perundang-undangan yang mengacu kepada Al Quran dan Hadis. Tegaknya khilafah diyakini mampu menegakkan syariat Islam dan mengembangkan dakwah ke seluruh penjuru dunia.
Menurut Hasyim, di negara-negara Timur Tengah sendiri ide pembentukan pemerintahan tunggal Islam ditolak. Negara-negara tersebut tetap menggunakan sistem pemerintahan berbentuk kerajaan, republik Islam, atau emirat. Di Eropa, ide khilafah yang diusung Hizbut Tahrir juga ditolak karena mempermasalahkan sistem dan konstitusi negara.
"Adalah tidak mungkin jika Hizbut Tahrir di Indonesia tidak akan mempersoalkan sistem republik, bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Pancasila," katanya menambahkan.
PBNU juga meminta kepada warganya yang ada di dalam dan luar negeri untuk tidak terlibat di dalam gerakan politik transnasional apa pun. Dalam perjalanan sejarah bangsa, sistem politik transnasional tidak menghasilkan apa pun kecuali hilangnya nilai dan budaya lokal.
Secara terpisah, calon terpilih anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Ahmad Baso dalam Seminar Perdamaian dan Kebangsaan mengatakan, faham keagamaan transnasional bebas masuk ke Indonesia selama tetap menghargai nilai-nilai lokalitas dan basis politik kebangsaan di Indonesia. Apabila ingin menunggalkan cara masyarakat Indonesia dalam beragama, berpolitik, ataupun menjalankan tradisinya, faham tersebut harus ditolak. (MZW)
Posted by RaharjoSugengUtomo at 9:01 AM 0 comments
Labels: HeadlineNews: Kompas
Selamat Datang "Bonyok"!
KOMPAS - Selasa, 14 Agustus 2007
Apa hikmah terbesar dari Pilgub DKI yang baru lalu? Ia menoreh sejarah fenomenal: jumlah golput diperkirakan lebih dari 30 persen dari total suara pemilih.
Golput bukan lagi oknum yang suka dikambinghitamkan penguasa. Menyitir bunyi sebuah iklan yang dulu pernah ngetop, "Ini Golput Baru, Ini Baru Golput!"
Oleh Orde Baru golput dilawan dengan konsep "massa mengambang" yang benar-benar "ngambang".
Pada era reformasi ancaman golput berusaha keras ditangkal gubernur lama yang ngotot membuat aturan hari pencoblosan 8 Agustus mesti diliburkan. Untung saya anggota golput "pesantren" (pelibur santai tetapi keren).
Namun, rencana liburan saya terganggu saat kartu pemilih diantar ke rumah. Saking kagetnya waktu menyimak kartu itu saya bilang, "Masya Allah!"
Nama saya saja sudah salah tulis. Tanggal, bulan, dan tahun kelahiran saya enggak ada yang benar dan usia saya dicatut dua tahun lebih tua. Lebih gawat lagi alamat rumah lain banget.
Ada tiga kartu pemilih lain yang juga diantar—yang bukan untuk anggota keluarga saya— dua milik tetangga sebelah rumah dan satu milik pembantu yang sudah keluar tahun 2005.
Padahal, seperti halnya politisi, golput juga masuk kategori "indie" alias independen. Ingat, menurut UUD 1945 setiap warga negara mempunyai hak untuk memilih (atau tidak) dan hak untuk dipilih (atau tidak).
Saya ngakak sendirian sambil berpikir jangan-jangan inilah yang ditengarai sebagai "upaya terakhir" untuk memengaruhi warga. Ya, namanya juga usaha.
Tak salah saya memilih menjadi golput daripada dikadalin calon gubernur dan antek-anteknya. Kalau di KTP ada kolom "Aliran Politik", saya tanpa ragu-ragu akan mengisinya dengan kata pamungkas "golput", kalau perlu dengan huruf besar.
Lagi pula jadi "golput" (golongan putih) itu enak dan perlu asal jangan diubah jadi "moncong putih". Warna hijau sudah banyak yang punya, misalnya "baju ijo" atau partai-partai Islam.
Warna merah pada zaman sekarang ini menimbulkan kesan garang—misalnya metromini—dan telah melenceng dari makna Sang Saka Merah Putih yang berani dan suci. Warna biru sebenarnya menyejukkan, tetapi sudah diklaim partai-partai yang nasibnya "mengharubirukan".
Lagi pula putih itu warna yang bersih. Minum air putih itu sehat dan kelompok Air Putih tak mau ikutan heboh meributkan jumlah kuplet Indonesia Raya.
Kalau lagi masuk angin, saya senang memoleskan minyak kayu putih di perut, punggung, dan leher. Perempuan berkulit putih tak kalah seksi dibandingkan dengan yang kuning langsat atau yang hitam manis.
Lebih dari itu di dalam demokrasi golput merupakan kritik terhadap kekuasaan yang nyaris tak berbuat apa-apa. Rakyat jadi golput karena nasibnya ibarat pasangan jablai (jarang dibelai) politisi pilihannya.
Jumlah golput di DKI membesar karena warga sudah terbiasa kecewa sejak Bang Ali tak lagi jadi gubernur. Para pengganti Bang Ali dipaksa jadi gubernur oleh Pak Harto walau tak mampu.
Dulu ada guyon amat terkenal yang menceritakan para dokter Singapura terkejut saat mengoperasi kepala gubernur yang mengalami kecelakaan. Soalnya, dia "tidak ada otaknya".
Ali Sadikin jenderal Marinir yang tegap, ganteng, tegas, dan pas dipanggil dengan sapaan bang. Dan Ali merupakan nama khas Betawi yang mungkin dibawa warga keturunan Arab di kota ini, misalnya Pak Ali Alatas yang Betawi tulen.
Waktu SD saya biasa punya teman bernama Ali, Bakar, Hanafi, atau Hasan. Saat SMA ada kawan namanya Ali Smith yang jago main basket meskipun tinggi badannya 1,60 meter-an doang.
Nah, seumur-umur tinggal di sini saya enggak pernah dengar panggilan bang untuk orang-orang non-Betawi yang namanya banyak huruf o. Namun, saya bangga Sekjen PBB bernama "Bang Ki-moon" karena paling tidak bisa dipelesetkan jadi "Bang Kimun" dari Kwitang.
Lebih membanggakan lagi ada Bang Sarkosih yang anak Pasar Rumput. Ya, kini dia jadi Presiden Perancis Nicolas Sarkozy.
Dulu Bang Nolly (nama asli Tjokropranolo) jadi gubernur ia mengenalkan slogan "religius sosialistis". Padahal, Jakarta penuh steambath, ada kasinonya, dan enggak punya potongan jadi ibu kota sebuah negara sosialis.
Banyak warga yang enggak ngeh ada gubernur yang huruf belakang namanya o menyebut diri dan istrinya pasangan mimi mintuno. Sohib saya orang Betawi nanya, "Apaan sih ntuh? Emangnya gubernurnye mimisan?"
Usul saya sejak sekarang, Fauzi Bowo tak usah sok akrab minta disapa dengan Bang Foke segala. Apalagi Wakil Gubernur Prijanto masa dipanggil Bang Pri atau Bang Janto?
Istri-istri mereka juga enggak perlu lagi disapa dengan tambahan mpok. Telinga saya agak gatal mendengar sebutan Mpok Sri (Ny Sri Hartati Fauzi Bowo) atau Mpok Wid (Ny Widya Astuti Endang Prijanto).
Kalau mau egaliter pada zaman reformasi ini sebutan cing atau jek bisa jadi lebih pas. Jika mau lebih gaul, gubernur/wakil serta pasangan disapa bonyok (bokap-nyokap) alias bapak dan ibu.
"Kami ucapkan selamat datang untuk bonyok Fauzi Bowo dan bonyok Prijanto!" kata sang MC. Celakanya, jika mereka gagal memenuhi janji-janji kampanye, gelar itu jadi senjata makan tuan.
Sohib saya yang anak Betawi, Bang Thalib, kalau sewot suka bilang, "Bodong lu! Monyong lu!" Kalau nanti kecewa kepada gubernur dan wakilnya kelak ia pasti nyapnyap, "Bonyok lu!"
Posted by RaharjoSugengUtomo at 8:54 AM 0 comments
Labels: HeadlineNews: Kompas