Wednesday, August 15, 2007

Perusakan Rel KA Mengarah ke Teror

KOMPAS - Rabu, 15 Agustus 2007

Menteri Perhubungan Minta Bantuan Kepala Polri

Semarang, Kompas - Perusakan atau vandalisme prasarana kereta api yang mengakibatkan tergulingnya beberapa gerbong KA Gumarang mengarah kepada teror konvensional. Hal ini dapat disebabkan oleh adanya ketidakpuasan dari sebagian masyarakat yang disalurkan dengan merusak sarana publik.
"Dorongan vandalisme dapat dipicu oleh ketidakpuasan akibat tekanan sosial, ekonomi, ataupun politik. Pelakunya bisa saja warga sekitar atau orang luar," kata Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Diponegoro Semarang, Jawa Tengah, Warsito, Selasa (14/8), menanggapi soal perusakan rel yang mengakibatkan tergulingnya KA Gumarang.
Kompas (13/8) memberitakan, sebagian gerbong KA Gumarang jurusan Surabaya-Jakarta terguling di Kramat, Grobogan, Jawa Tengah, akibat rel digergaji orang tak dikenal.
Warsito berpendapat, pelaku ingin membuat masyarakat juga merasakan tekanan yang dialaminya, dengan merusak sarana publik. Kereta api menjadi pilihan pelaku karena merupakan alat pengangkut massal dan pengamanannya relatif lemah.
"Dapat juga dilatarbelakangi dorongan dari elite tertentu yang ingin menjatuhkan citra pemerintah maupun pemimpin. Kepolisian harus mencari pelakunya dan menggali lebih mendalam motivasi pelaku merusak rel kereta api ini," tutur Warsito.
Menurut data PT KA Daerah Operasi IV Semarang, di lokasi sama pada 27 Juli, sekitar pukul 21.00, petugas menemukan rel digergaji sekitar 5 milimeter. Sebelumnya, tanggal 15 Juni, pukul 22.15, KA Gumarang hampir menabrak guide rail atau rel pembimbing yang dipasang di atas rel.
Dalam kaitan itu, Menteri Perhubungan Jusman Safeii Djamal mengungkapkan, ia meminta bantuan Kepala Polri guna mengamankan prasarana dan sarana kereta api. Menurut dia, pencurian serta perusakan sarana dan prasarana KA merupakan tindak kriminal yang tak bisa ditangani jajaran Departemen Perhubungan atau manajemen PT KA.
Sementara itu, rel yang rusak sudah dapat digunakan KA dengan kecepatan maksimal 5 kilometer (km) per jam sepanjang 550 meter, mulai dari Km 27 plus 900 hingga Km 27 plus 350. Kepala Distrik 43B Gubug R Tonny mengatakan, dalam kondisi normal, KA bisa melaju di atas rel dengan kecepatan 100 km/jam.
Di tempat terpisah, Kepala Kepolisian Daerah Jawa Tengah Inspektur Jenderal Dody Sumantyawan HS kepada wartawan di Semarang menyatakan polisi masih menyelidiki kasus ini. Namun, dari barang bukti yang ada dan keterangan saksi, ada unsur kesengajaan memotong rel yang menyebabkan kereta anjlok. "Dari sekian banyak kecelakaan KA, baru kali ini disebabkan kesengajaan," katanya. (RWN/HAN/GAL)

BaCa SeLeNgKaPnYa disini...

Kehidupan: Menjaga Keselamatan, tetapi Hidup Serba Susah

KOMPAS - Rabu, 15 Agustus 2007

Antony Lee

Matahari bersinar terik ketika Suwardi (55) mengibarkan bendera merah, pertanda kereta api harus berhenti di Kilometer 27 plus 900 meter di Kramat, Grobogan, Jawa Tengah, Selasa (14/8). Daerah ini merupakan lokasi tergulingnya KA Gumarang akibat relnya digergaji.
Ketika KA tersebut berhenti, ia lantas naik ke lokomotif dan mengibarkan bendera hijau. KA sudah dapat berjalan kembali meski dengan kecepatan 5 kilometer per jam. Setelah lepas dari Km 27 plus 350 meter, Suwardi turun dan KA melaju dengan kecepatan normal.
Rel yang tengah diperbaiki belum dapat menahan beban seperti biasanya. Dalam kondisi normal, rel dapat dilalui kereta api dengan kecepatan hingga 100 kilometer per jam. Ini menjadi tugas tambahan Suwardi.
Ia kemudian mendatangi rekan-rekannya yang sedang mengencangkan penambat bantalan dan rel. Ayah lima anak itu lalu kembali ke pekerjaan utamanya sebagai petugas perbaikan rel. Ia biasanya bekerja dari pukul 07.00 hingga 14.00. Namun, kecelakaan KA Gumarang membuat ia dan tujuh rekannya lembur mulai dari subuh hingga malam hari.
"Kemarin, setelah KA terguling, kami bekerja dari pukul 23.00 sampai besok sorenya, sekitar pukul 17.00," ujarnya.
Sehari-hari Suwardi dan tujuh petugas jalan dan rel di Distrik 43B Gubug mengamati dan memperbaiki rel yang goyang ataupun sedikit miring. Mereka acap mendapatkan informasi rel rusak dari atasannya atau kerap pula dari petugas pengawas rel yang menyusuri rel beberapa kali sehari.
Berbekal alat penggaruk, waterpas, dongkrak, dan ganto (semacam pacul kecil), mereka setiap hari menggunakan sepeda motor mendatangi lokasi yang relnya terganggu. Kerap mereka berjalan beberapa kilometer jika lokasi itu tak bisa dilalui sepeda motor. Istirahat dan berteduh di bawah pepohonan sambil menikmati nasi dengan lauk seadanya menjadi keseharian mereka.
Pekerjaan ini memang tak ringan. Mereka harus siap bekerja di bawah terik matahari atau tiba-tiba dipanggil saat larut malam. Namun, beratnya pekerjaan ini belum diikuti upah memadai. Suwardi yang sudah bekerja di PT KA sejak 1973 mendapat gaji pokok Rp 1 juta per bulan. Dengan berbagai tunjangan, ia bisa mendapat Rp 1,9 juta per bulan.
Uang ini digunakan untuk biaya hidup dan pendidikan anaknya. Dua anaknya kuliah. Untung baginya, istrinya membantu dengan berjualan mi ayam. "Selepas bekerja, saya menggarap sawah," ujar lulusan SD ini.
Biaya hidup yang tinggi juga membuat petugas lainnya, Sunardi (53), memutar otak. Ia memelihara dan menjual kambing untuk mencukupi biaya pendidikan anaknya yang sudah memasuki semester enam di IKIP PGRI Tuban, Jawa Timur. Sunardi memilih tinggal di bedeng alat-alat di Karangawen di Demak. Dua minggu sekali ia pulang ke rumahnya di Rembang.
"Saya hidup hemat karena harus membiayai istri yang ada di Rembang dan anak saya di Tuban," ujar laki-laki bergaji pokok Rp 1 juta per bulan itu.
Ini tidak mengherankan karena untuk uang kos dan makan anaknya, ia mengirimkan uang Rp 400.000 per bulan. Belum lagi untuk biaya anak keduanya yang duduk di kelas III SMP. Kesulitan dialami Sunardi setiap memasuki semester baru karena ia harus membayar uang kuliah Rp 600.000.
Untuk itu, ia menjual kambing yang sudah dipeliharanya. Kambing ini dia beli ketika masih kecil. "Istri saya yang memelihara. Kalau sudah dekat bayaran kuliah, kambing saya jual, lumayan bisa untuk bayaran. Bulan berikutnya kami membeli kambing lagi," ujar Sunardi sambil tertawa.
Namun, Subaidi (30) tidak seberuntung dua rekannya. Ia sudah lima tahun bekerja sebagai petugas honorer jalan dan rel. Upahnya Rp 650.000 per bulan. Uang ini digunakan untuk membiayai keluarga.
"Kontrak kerja saya sudah empat kali diperpanjang. Enggak tahu bagaimana nasib saya nanti," ujar tamatan SMA ini.
Subaidi masih tinggal bersama orangtua karena belum mampu mandiri dengan upah itu. Sebelumnya ia bekerja sebagai buruh pabrik dan mencoba menjadi pegawai honorer setelah ada lowongan pekerjaan sebagai petugas perbaikan jalan dan rel.
Pengamat transportasi dari Universitas Soegijapranata, Djoko Setijowarno, mengatakan, sudah sepatutnya petugas yang berkonsentrasi mengurusi persoalan keamanan perjalanan KA tak lagi khawatir soal cara mencukupi kebutuhan hidup. "Ini berbahaya karena selain berpikir mengenai keselamatan orang lain, mereka sibuk memikirkan keselamatan pribadi," ujarnya.
PT KA, katanya, harus berani meningkatkan kesejahteraan para petugas di lapangan dan berkaitan erat dengan keselamatan penumpang. Kesejahteraan yang minim bisa membuat pegawai tidak fokus dan dapat membuka peluang tidak jujur.
Namun, hal ini seharusnya juga menjadi tanggung jawab pemerintah, sesuai dengan perintah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian. Prasarana KA, termasuk perawatan, seharusnya ditanggung pemerintah, dapat melalui badan usaha. Menurut dia, kesejahteraan petugas ini harus menjadi lebih baik. Jangan sampai keselamatan penumpang ditangani pekerja yang "keselamatan" biaya hidupnya sendiri belum terjamin.
Dalam kaitan itu, pakar transportasi dari Universitas Gadjah Mada, Danang Parikesit, menyatakan, pengawasan memadai terhadap jalur KA memang harus dilakukan. Untuk itu, pemerintah harus menganggarkan secara khusus dana untuk pengamanan dan pemeliharaan jalur KA. Apalagi saat ini banyak rel kereta api renta. "Anggaran khusus pengamanan kereta belum ada," ujar Danang.
Jika sistem pengamanan dan pemeliharaan infrastruktur rel KA tidak segera diperbaiki, menurut Danang, hal itu bisa menjadi bumerang bagi pemerintah. Itu karena berdasarkan UU Perkeretaapian yang baru, pihak swasta bisa masuk menjadi operator KA. Pemerintah akan kena tuntutan jika KA swasta anjlok akibat rel rusak karena faktor kelalaian. (RWN)

BaCa SeLeNgKaPnYa disini...

EPA RI-Jepang: Kesempatan Hapus "Dosa Besar"

KOMPAS - Rabu, 15 Agustus 2007

Jakarta, Kompas - Salah satu dosa terbesar pemerintah di dalam pembangunan Indonesia sejak tahun 1967 adalah menjadikan rakyat relatif sebagai stempel dan dijadikan sebagai pemanis di balik program-program ekonomi. Indonesia sibuk menjual dirinya kepada investasi asing dengan menawarkan upah buruh murah yang tidak menyejahterakan warga kebanyakan.
Pemerintah mengandalkan keberadaan sumber daya alam dan energi yang hanya menguntungkan investor asing serta pebisnis lokal yang masuk di dalam inner circle. "Seharusnya distribusi hasil kekayaan energi lebih disebar dan tidak berkutat kepada segelintir orang saja," kata Akio Kawato, profesor dari Sekolah Bisnis dari Universitas Waseda.
Jadilah Indonesia sebagai negara kaya, tetapi kebanyakan warganya dibelenggu kemiskinan. Muncul pula pengusaha manja berkat proteksi, pengusaha perusak perekonomian dengan kredit macet, dan pengusaha dengan praktik bisnis yang suka menginjak kaki pesaing. Basis perekonomian pun tak berkembang secara berarti.
Ekonomi Indonesia memang tumbuh yang diperlihatkan dengan indikator ekonomi makro. Akan tetapi, di dalamnya ada posisi rakyat sangat rentan, ditandai dengan kemiskinan serta ketidakmampuan mendapatkan pelayanan kesehatan dan pendidikan. Intinya, pembangunan ekonomi Indonesia sejak 1967 tak kunjung mampu memakmurkan mayoritas, tetapi hanya segelintir warga.
Kini muncul sebuah kesempatan, atau sebuah potensi untuk menghapus dosa besar pemerintah, dengan ditandatanganinya Perjanjian Kemitraan Ekonomi (EPA) RI-Jepang pada kunjungan Perdana Menteri (PM) Jepang Shinzo Abe di Jakarta, 19-21 Agustus.
Salah satu misi utama kunjungan PM Abe adalah peningkatan hubungan ekonomi lewat EPA. Bisa dikatakan, ini adalah sebuah kesempatan menghapus dosa besar dengan mengubah paradigma pembangunan pola lama jika benar-benar dimanfaatkan.
Bermanfaatkah EPA itu untuk RI? Tidak ada keraguan soal itu. Menurut Departemen Luar Negeri (Deplu) Jepang, hasil studi bersama RI-Jepang menunjukkan EPA akan meningkatkan basis aktivitas ekonomi kedua negara, lebih-lebih Indonesia. Hal itu juga dinyatakan Akio Isomata, Direktur Divisi Kedua Asia Tenggara, Deplu Jepang.
Kadin Jepang (Nippon Keidanren) juga tak ragu menyimpulkan manfaat positif EPA.
Ekonom tersohor Jepang dari Universitas Waseda, Tokyo, Profesor Shujiro Urata, juga mengatakan, "Setidaknya di dalam jangka panjang EPA akan menguntungkan."
Profesor Urata kebetulan sudah relatif hafal keadaan ekonomi Indonesia dengan segala kekurangannya karena pernah melakukan riset di Indonesia, atas permintaan Presiden Abdurrahman Wahid dengan biaya Japan International Cooperation Agency (JICA).
EPA antara Jepang dan Singapura serta antara Jepang dan Meksiko terbukti telah meningkatkan hubungan perdagangan dan investasi kedua negara ini dengan Jepang.
Hubungan komplementer
Jangan membayangkan EPA ini akan membuat RI-Jepang dalam posisi yang mirip seperti bertinju satu lawan satu. Ini adalah hal yang mustahil dengan Jepang yang sudah berbicara soal teknologi masa depan, sementara Indonesia masih tersengal-sengal akibat akar krisis multidimensi yang masih membelenggu.
Tidak satu pun pakar di Jepang mengharapkan posisi seperti itu, tetapi memperkuat hubungan komplementer yang sebenarnya sudah terjadi sejak lama. (MON)

BaCa SeLeNgKaPnYa disini...

IPTEK: Harteknas: "Low-Tech" Vs "Hi-Tech"

KOMPAS - Rabu, 15 Agustus 2007

NINOK LEKSONO

"Teknologi membutuhkan uang, dan teknologi juga menghasilkan uang. Jika banyak orang Indonesia menggunakan teknologi, artinya kita berhasil secara teknologi."
(Wapres Jusuf Kalla dalam Peringatan Hari Kebangkitan Teknologi Nasional, 10 Agustus 2007)
Apa yang disampaikan Wapres memang kontras dengan peristiwa yang melatarbelakangi pencanangan Hari Kebangkitan Teknologi Nasional (Harteknas), yakni penerbangan perdana pesawat penumpang N-250 yang desainnya merupakan hasil karya bangsa Indonesia. N-250 terbang untuk pertama kali tanggal 10 Agustus 1995, memuncaki kiprah para insinyur dan ahli aeronautika Indonesia di bawah pimpinan Prof BJ Habibie.
Tentu saja prestasi yang diukir sepekan sebelum Perayaan Tahun Emas 50 Tahun RI amat membanggakan.
Sekadar catatan, di luar Boeing dan Airbus yang membuat pesawat jet berbadan lebar, saat itu ada sejumlah pabrikan yang dikenal sebagai pembuat pesawat komuter berkapasitas sampai 50 penumpang, seperti Fokker yang membuat Fokker 50, Embraer di Brasil, dan Dornier di Jerman, serta kongsi Perancis-Italia yang membuat pesawat ATR (Avion de Transport Regional).
ATR-42 merupakan salah satu pesaing N-250, hanya saja karya insinyur Indonesia diklaim lebih maju dengan penerapan sistem penerbangan fly-by-wire, di mana pengendalian pesawat sepenuhnya dilakukan oleh komputer pusat.
N-250 pernah dihadirkan dalam Pameran Kedirgantaraan Paris, Perancis, Juni 1997. Menyaksikan pesawat itu terbang di Salon Aeronautika yang paling bergengsi di dunia melahirkan kebanggaan dan nasionalisme. Setiap kali N-250 melakukan demo terbang, nama PT Dirgantara Indonesia (DI) dan tentu saja Indonesia disebut berulang-ulang oleh pemandu. Indonesia sungguh telah hadir di peta aeronautika dunia.
Sayangnya, itu baru separuh dari cerita. Itu baru kenangan manisnya, karena setelah itu Indonesia ikut dilanda krisis parah yang bahkan dampaknya masih dirasakan hingga hari ini. N-250 pun, juga PT DI, surut pamornya. N-250 yang menelan jutaan dollar AS itu urung mewujud sebagai pesawat yang menjadi jembatan Nusantara. Ia bahkan belum sempat mendapatkan sertifikasi Badan Penerbangan Federal AS (FAA).
Dikaitkan dengan pernyataan Wapres, N-250 yang dari satu sisi merupakan prestasi puncak bangsa yang kemudian mendorong lahirnya Harteknas justru menjadi simbol kegagalan pengembangan teknologi karena ia gagal mewujud seperti yang dicita-citakan.
"Hi-tech" vs "low-tech"
Tentu saja ada banyak alasan yang bisa dikemukakan untuk riwayat muram N-250. Namun, dari sisi ide dasarnya, yakni membuat pesawat penumpang kapasitas sedang tidak keliru. Indonesia, negara kepulauan berukuran geografis besar, memang alamiah bagi penerbangan. Maraknya angkutan udara dewasa ini menguatkan hal itu.
Riwayat N-250 dan juga PT DI jelas perlu dikaji lebih saksama demi perbaikan ke depan. Namun, ketragisannya tidak boleh mengendurkan gairah (passion) bangsa Indonesia terhadap teknologi kedirgantaraan.
Dulu kedirgantaraan sempat "dimusuhi" khususnya oleh kalangan ekonom karena dianggap pemborosan dan sumber inefisiensi. Namun, itu di luar wacana mengenai asas kemanfaatannya. Sekali lagi, kalau aplikasi teknologi kedirgantaraan disertai dengan perencanaan lebih saksama, juga perhitungan ekonomi lebih komplet, dan tim di industrinya dilengkapi tenaga pemasaran yang andal, ia tetap punya prospek cerah, tidak hanya di lingkup domestik, tetapi juga internasional. Riwayat CN-235 yang mendahului N-250 bisa disebut sebagai contoh yang lumayan.
Meski demikian, kalangan teknolog dan industri di Indonesia baik juga memerhatikan apa yang dikemukakan Wapres Jusuf Kalla, yang menyebutkan pentingnya teknologi dasar, seperti yang diterapkan pada traktor tangan dan benih hibrida dalam bidang pertanian.
Ketika Wapres menyebut bahwa Indonesia memang bisa membuat pesawat atau lorong penumpang (aerobridge), tetapi yang lebih banyak terjual adalah lorong penumpang, konteksnya tentu lebih dalam kaitannya dengan kemampuan penjualan dan penguasaan pasar. Memang, dalam hal ini, lorong penumpang produksi Bukaka sudah banyak terjual ke Brunei Darussalam, Hongkong, Jepang, dan Singapura (Jakarta Post, 13/8).
Hal itu tentu saja tidak harus dikaitkan dengan teknologi rendah/sederhana.
Teknologi tepat guna
Wapres juga menyinggung pentingnya iptek jika menginginkan masa depan yang cerah bagi negara. Kini tugas Menneg Ristek-lah yang harus menjelaskan lagi prioritas teknologi mana yang perlu dikedepankan setelah munculnya pernyataan Wapres. Dengan demikian, wacana tidak perlu kembali ke era 1980-an yang diwarnai perdebatan hi-tech versus low-tech.
Pada masa lalu, di ITB juga banyak dikembangkan apa yang disebut sebagai "teknologi tepat guna". Dari segi wujudnya, seperti untuk produksi air bersih, orang juga lalu ada yang menyebutnya teknologi madya.
Teknologi tepat guna boleh jadi sebutan yang lebih pas karena ia membebaskan orang dari pencitraan tinggi atau rendah. Sistem Komunikasi Satelit Domestik (SKSD) yang mulai diadopsi Indonesia tahun 1976 dengan peluncuran satelit Palapa A1 dilihat dari sosoknya merupakan teknologi tinggi karena saat itu Indonesia juga termasuk pengguna awal sistem itu setelah AS dan Kanada. Namun, SKSD secara fungsional merupakan teknologi tepat guna karena dengan itu wajah telekomunikasi Indonesia berubah drastis.
Terlepas dari perdebatan yang masih tersisa mengenai hi-tech atau low-tech, masyarakat Indonesia tak terelakkan lagi terus mengadopsi teknologi, mulai dari bidang kesehatan, dan yang paling dinamis tentu saja TIK (informasi dan komunikasi).
Hari-hari ini, berita tentang kesibukan konversi penggunaan minyak tanah ke gas pun menyiratkan makin maraknya aplikasi teknologi di lingkup rumah tangga. Bangsa Indonesia yang maju tak terelakkan lagi akan hidup dengan teknologi, madya atau tinggi, tetapi tepat guna untuk keperluannya.

BaCa SeLeNgKaPnYa disini...

Pusat Ikut Menanggung

KOMPAS - Rabu, 15 Agustus 2007

Wapres: Bantuan Keuangan Diberikan secara Bersama-sama

Jakarta, Kompas - Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla menyatakan, dengan sistem otonomi daerah sekarang ini, pemerintah daerah juga harus bertanggung jawab memperbaiki kerusakan sekolah yang terjadi di wilayahnya.
Namun, untuk dana perbaikannya secara nasional, pemerintah pusat ikut menanggungnya bersama-sama dengan pemerintah daerah. Dalam hal ini, Departemen Pendidikan Nasional ikut bertanggung jawab.
Hal itu disampaikan Wapres menjawab pers, seusai pengambilan gambar tayangan sebuah stasiun televisi di Istana Wapres, Jakarta, Selasa (14/8).
Menurut Wapres, karena banyak gedung sekolah yang rusak dan perlu diperbaiki, pembangunannya akan dilakukan secara intensif selama tiga tahun.
Untuk tahun anggaran 2008, pemerintah meningkatkan anggaran pendidikan, termasuk untuk pembangunan dan perbaikan gedung sekolah yang rusak.
Di tempat terpisah, Mendiknas Bambang Sudibyo menyayangkan rendahnya kontribusi pemda dalam pembangunan dan rehabilitasi sekolah-sekolah rusak di wilayahnya. Masih banyaknya sekolah rusak merupakan bagian dari tanggung jawab daerah yang belum dipenuhi.
"Mestinya, setiap pemerintah pusat merehabilitasi, pemda mendampingi minimal 10 persennya. Rasa-rasanya kalau saya hitung yang direhabilitasi pemda tidak mencapai 10 persen dari yang direhabilitasi pusat," ujar Bambang di Istana Negara.
Ia menyatakan, warisan kerusakan SD dan madrasah ibtidaiyah (MI) dari pemerintah sebelumnya, akhir 2004, mencapai 49,5 persen dan sudah diperbaiki. Selama 2005-2007, persentase SD dan MI yang rusak bisa diturunkan menjadi 19 persen.
Dari upaya dua tahun itu, semua sekolah rusak di 81 kabupaten dan kota sudah selesai direhabilitasi. Kota Tangerang, misalnya, sudah tuntas merehabilitasi sekolah dari tingkat SD sampai SLTA. Ia mengemukakan, semua sekolah yang rusak ditargetkan selesai direnovasi tahun 2009.
Pandangan berbeda disampaikan anggota Komisi X sekaligus anggota Panitia Anggaran DPR Aan Rohanah, Selasa, di Bandung. Ia mengatakan, nota kesepahaman atau MOU rehabilitasi sekolah dan pembangunan kelas baru di beberapa provinsi di Indonesia sudah dilaksanakan tahun 2006. Namun, DPR tak pernah membahas dana role sharing hingga tahun 2007. Dipastikan pada APBN-P tahun 2007 pun tak ada dana role sharing karena hal itu bukan prioritas.
Aan mengatakan pada saat MOU dilakukan Mendiknas tahun 2006, APBN sudah ditetapkan sehingga tahun itu tak ada dana role sharing rehabilitasi dan pembangunan ruang kelas baru. Tahun 2007 pun pemerintah tak membahas soal pembagian dana dengan DPR, baik saat perencanaan APBN maupun APBN-P. Akibatnya, dana role sharing tak dianggarkan lagi.
(HAR/INU/ELN/YNT/ADH)

BaCa SeLeNgKaPnYa disini...

Indovision Akan Laporkan Kasus Liga Inggris

KOMPAS - Rabu, 15 Agustus 2007

Jakarta, Kompas - PT Media Nusantara Citra Sky Vision, pemilik merek dagang TV berlangganan Indovision, akan mengadukan persoalan lenyapnya tayangan sepak bola Liga Inggris dari program siaran mereka kepada pemerintah.
Sampai saat ini mereka juga masih berupaya melakukan konfirmasi mengenai pemutusan siaran Liga Inggris ke pihak Star Sport dan ESPN sebagai pemegang kontrak tayangan.
Direktur Utama PT Media Nusantara Citra Sky Vision Rudi Tanoesoedibjo, ketika dihubungi Senin (13/8) malam di Jakarta, mengatakan, hingga kini pihaknya masih belum mendapatkan penjelasan resmi dari pihak Star Sport dan ESPN.
"Sampai Jumat malam pekan lalu kami masih bisa memprogram jadwal pertandingan. Namun, saat pertandingan berlangsung, tayangan Liga Inggris tidak bisa kami dapatkan. Sampai sekarang pun kami belum mendapatkan penjelasan," ujar Rudi.
Di Indonesia, siaran Liga Inggris memang masih dinikmati. Namun, tayangan itu hanya bisa disaksikan oleh para pelanggan televisi Astro yang dikelola PT Direct Vision.
Memiliki kontrak
Rudi menjelaskan, pihaknya hingga kini masih memiliki kontrak channel dengan Star Group yang memiliki siaran Star Movie, Star World, Star Sport, ESPN, National Geographic, dan Channel V.
"Makanya kami tidak mengerti mengapa content Liga Inggris bisa hilang dari tayangan Star Sport dan ESPN. Parahnya lagi, selaku pemegang kontrak, kami tidak pernah mendapatkan pemberitahuan," ujar Rudi.
Dengan alasan itu, lanjut Rudi, pihaknya sudah mempertimbangkan akan mengadukan masalah ini kepada pemerintah. "Kami juga masih mencari unsur pelanggaran yang bisa kami adukan," tutur Rudi.
Secara terpisah, juru bicara PT Direct Vision Halim Mahfudz mengungkapkan, pihaknya belum bisa menjelaskan secara detail mengenai perolehan hak tayang Liga Inggris. Pihaknya, ujar Halim, telah melakukan praktik bisnis yang benar dan wajar sesuai dengan aturan domestik maupun internasional.
Juru bicara Direktur Jenderal Pos dan Telekomunikasi Departemen Komunikasi dan Informatika Gatot Dewa S Broto mengatakan, pemerintah tak akan ikut campur dalam urusan bisnis.
Namun, jika memang ada indikasi pelanggaran, pemerintah akan turun tangan sehingga tidak ada pihak yang dirugikan. "Jika memang ada unsur pelanggaran berupa monopoli atau mengarah kepada persaingan usaha yang tidak sehat, kasus ini akan kami persoalkan," ujar Gatot. (OTW)

BaCa SeLeNgKaPnYa disini...

Pionir Bayi Tabung, dr Sudraji S, Meninggal

KOMPAS - Rabu, 15 Agustus 2007

Jakarta, Kompas - Guru besar emeritus bidang obstetri ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Sudraji Sumapraja (72), meninggal, Selasa (14/8) pukul 11.30 di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Ahli infertilitas yang dikenal sebagai pelopor program bayi tabung di Indonesia itu meninggal akibat penyakit jantung dan diabetes dengan komplikasi gangguan ginjal dan hati.
Almarhum meninggalkan seorang istri (Iris Ambarwati), tiga anak (Hendrawati, Kanadi, dan Ambar Gunadi), serta tujuh cucu. Jenazah akan dimakamkan di Pemakaman Giritama Tonjong, Parung, Bogor, Rabu ini, dan diberangkatkan dari rumah duka, Jalan Ikan Hias Nomor 38A, Batu Ampar, Condet, Jakarta Timur, pukul 08.00.
Menurut ipar Sudraji, guru besar pulmonologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Hadiarto Mangunnegoro, 3 Agustus lalu almarhum sempat masuk Pusat Jantung Nasional Harapan Kita dan pulang pada 8 Agustus. Malamnya ia jatuh di kamar mandi dan sesak napas. Keesokan hari Sudraji dirawat di RSCM sampai akhir hayat.
Selasa siang jenazah disemayamkan di FKUI dan dilepas oleh Dekan FKUI Menaldi Rasmin beserta sivitas akademika UI.
Menurut Menaldi, Sudraji merupakan dokter yang patut diteladani dan sosok guru sejati. "Beliau bersikap sebagai teman bagi siapa pun, pekerja keras yang selalu tekun, rajin, sabar, santun, dan menuntun," kata Menaldi.
Sudraji menjadi Ketua Tim Rencana Strategis FKUI sejak 2000 sampai akhir hayat.
Saat menjadi Wakil Direktur Medis Kebidanan Rumah Sakit Anak dan Bersalin Harapan Kita, Sudraji mendirikan Program Melati (Melahirkan Anak Tabung Indonesia). Pada 2 Mei 1988 lahir bayi laki-laki hasil pembuahan tabung pertama di Indonesia.
Sudraji juga aktif di Yayasan Kesehatan Perempuan, Perkumpulan Kontrasepsi Mantap Indonesia, Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, dan sejumlah organisasi lain. (ATK)

BaCa SeLeNgKaPnYa disini...