KOMPAS - Kamis, 19 Juli 2007
Kolev Mengaku Tak Punya Banyak Pilihan Pemain
Jakarta, Kompas - Harapan Indonesia masuk jajaran delapan tim elite Asia kandas oleh satu gol gelandang Korea Selatan, Kim Jung-woo, pada laga penentuan di Gelora Bung Karno, Jakarta, Rabu (18/7). Kekalahan ini memberi pelajaran, spirit juang tanpa pengalaman tak cukup untuk melawan tim dunia sekelas Korsel.
Kekalahan 0-1 dari Korsel itu menutup perjalanan penuh semangat dan gairah para pemain tim Indonesia saat tampil di turnamen sepak bola paling akbar di Asia. Dari tiga laga Grup D, skuad Merah Putih membukukan tiga poin. Poin penuh itu diraih berkat kemenangan atas Bahrain 2-1, sebelum kalah 1-2 dari Arab Saudi di laga kedua.
"Dengan persiapan dua bulan, kami tidak bisa sampai pada level terbaik di Asia," kata Ivan Kolev, Pelatih tim Indonesia, dalam jumpa pers seusai laga. "Tapi, kami puas dengan penampilan pemain yang bekerja keras. Luar biasa, sayang kami gagal," katnya.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang hadir dan ikut langsung menyemangati para pemain di stadion, menyatakan puas dan bangga walau akhirnya pemain Indonesia kalah. Seperti dikutip Kepala Biro Pers dan Media Istana Kepresidenan Nahrowi, Indonesia tampil penuh semangat menghadapi Korsel yang diperkuat pemain kelas dunia.
Menurut pengamat sepak bola dan Pelatih Persita Tangerang Benny Dollo, meski gagal ke babak kedua, secara keseluruhan penampilan tim Indonesia kali ini telah mengangkat harkat dan martabat bangsa. Setidaknya, kali ini Indonesia tidak lagi menjadi lumbung gol tim-tim lawan, seperti pada tiga Piala Asia sebelumnya.
Namun, Benny menyoroti minimnya pengalaman sebagai faktor di balik gagalnya Indonesia menahan Korsel, minimal seri, agar lolos ke perempat final untuk pertama kali di Piala Asia. "Terlihat kelas tim kita masih di bawah lawan. Ini memberi pelajaran bahwa fanatisme tanpa pengalaman itu sulit. Dalam tiga tahun terakhir, kapan kita pernah bertanding melawan tim- tim kuat?" papar Benny, merujuk keluhan Kolev atas minimnya uji coba beberapa pekan lalu.
Tak banyak pilihan
Kolev menyatakan, ia tidak berani melakukan banyak perubahan strategi dan taktik permainan karena terbatasnya stok pemain. "Kami tidak bisa ubah gaya permainan. Banyak pemain bagus di Indonesia yang cedera," ujar pelatih asal Bulgaria, mengingatkan pada cedera yang menimpa striker Boaz Solossa, Rahmat Rivai, bek Firmansyah, dan lain-lain sebelum Piala Asia dimulai.
Selain itu, ia juga menyoroti soal disiplin pemain Indonesia, merujuk pada kaburnya striker Persib Bandung, Zaenal Arif, dari hotel timnas. "Bagaimana ia bisa konsentrasi dan disiplin saat bertanding di lapangan jika ia tidak bisa konsentrasi dan disiplin di luar lapangan."
Kekalahan Indonesia itu diperparah dengan buruknya pengelolaan tiket. Masalah ini memicu anarki penonton yang merusak loket di depan pintu masuk Jalan Gerbang Pemuda. Polisi menyemprotkan cairan berwarna hijau dari dua panser yang disiagakan di halaman stadion.(ARN/OSD/IYA/WAS/YES/RAY/SAM)
Thursday, July 19, 2007
Indonesia Belum Jadi Elite Asia
Posted by RaharjoSugengUtomo at 9:06 AM 0 comments
Labels: HeadlineNews: Kompas
Aksi Massa: Kantor Setda Garut Diduduki Ribuan Pengunjuk Rasa
KOMPAS - Kamis, 19 Juli 2007
Garut, Kompas - Menyusul didudukinya kompleks Kantor Sekretariat Daerah atau Setda Kabupaten Garut oleh ribuan pengunjuk rasa, Selasa (17/7), aktivitas pemerintahan di perkantoran itu lumpuh. Pada hari Rabu banyak pegawai tidak masuk kerja. Pegawai yang datang ke kantor pun tidak dapat bekerja sebagaimana mestinya.
Kompleks perkantoran Setda Kabupaten Garut di Jalan Pembangunan dan sekitarnya terdiri dari Kantor Bupati, Wakil Bupati, Sekda, Asisten Daerah, Bagian Humas, Bagian Ekonomi, Bagian Kesejahteraan Rakyat, dan Bagian Hukum. Kantor-kantor ini dijaga polisi, begitupun dengan pendapa Garut.
Di Kantor DPRD Kabupaten Garut tidak ada aktivitas anggota DPRD setelah mereka memutuskan tidak melaksanakan fungsi legislasi dan budgeting sampai Presiden memberhentikan Bupati untuk sementara. "Tidak ada aktivitas fraksi dan komisi," ujar Sekretaris DPRD Garut Ida Farida Susilowati.
Kepala Subbagian Sandi dan Telekomunikasi Erin Heriyana mengatakan, meskipun banyak yang tidak masuk kerja, masih ada beberapa pegawai yang piket di kantor untuk mengantisipasi adanya informasi yang harus disampaikan lintas instansi.
Hari Selasa lalu ribuan pengunjuk rasa yang mendesak Bupati Garut Agus Supriadi mundur menduduki kompleks Setda Garut. Suasana kerja di kantor-kantor di kompleks Setda terganggu. Para pegawai negeri sipil berhamburan ketika pengunjuk rasa memasuki gerbang kompleks Setda Garut.
Pengunjuk rasa yang terdiri atas elemen organisasi mahasiswa dan masyarakat berkumpul di kawasan Simpang Lima Garut sekitar pukul 09.00. Mereka bergerak menuju Kantor Bupati Garut di Jalan Pembangunan. Mereka juga memasuki kompleks Setda Pemkab Garut.
Selain berorasi, ada sebagian massa yang "menyisir" PNS yang sedang bekerja di kantor. Namun, sebelum pengunjuk rasa datang, PNS yang tahu kedatangan massa memilih kabur. Ini membuat kantor sepi.
Aksi tandingan
Unjuk rasa dengan gaya berbeda terjadi di Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan. Hari Selasa ribuan pengunjuk rasa menuntut pemekaran wilayah Kabupaten Bone Selatan. Antara Selasa siang sampai Rabu dini hari mereka mengepung Gedung DPRD Kabupaten Bone serta "menyandera" 30 dari 45 anggota DPRD. Penyekapan berakhir setelah polisi mengevakuasi para wakil rakyat itu dari Gedung DPRD. Massa pun pulang ke daerahnya masing-masing. Aparat bersikap persuasif dan tidak menangkap para pengunjuk rasa.
Petugas keamanan harus membuka paksa pintu yang digembok pengunjuk rasa untuk mengeluarkan anggota DPRD yang terkepung sejak siang.
"Evakuasi paksa ini dilakukan polisi Rabu dini hari karena massa memblokir pintu keluar. Sempat terjadi saling dorong antara petugas dan massa saat petugas akan membuka pintu yang diblokir massa. Semua anggota DPRD dikeluarkan dengan pengawalan ketat petugas polisi hingga ke kendaraan yang akan membawa mereka pulang," kata Ismail, warga Bone yang melihat proses evakuasi.
Sebagai reaksi atas unjuk rasa itu, Rabu kemarin pukul 09.00 sampai pukul 13.00 massa dari pihak yang kontra pemekaran melakukan unjuk rasa di halaman Gedung DPRD Kabupaten Bone.
Mereka mendesak DPRD menolak proposal pemekaran wilayah Bone Selatan. Massa yang kontra pemekaran di antaranya didukung aparat pemerintahan tingkat kecamatan dan desa. Mereka menilai tuntutan pemekaran tidak realistis. Kalaupun ada rencana pemekaran, hendaknya diawali kajian obyektif oleh tim independen.
Massa pengunjuk rasa yang antara lain berasal dari Kecamatan Tanete Riattang Timur, Dua Boccoe, dan Cina menilai tuntutan pemekaran itu hanyalah kepentingan sekelompok orang. Selepas siang massa meninggalkan Gedung DPRD.
Penonaktifan bupati
Aksi dengan gaya berbeda juga terjadi di Samarinda, Kalimantan Timur. Sebanyak delapan anggota DPRD Kabupaten Penajam Paser Utara mendatangi Pemprov Kaltim di Samarinda, Rabu. Mereka meminta Pemprov Kaltim menon-aktifkan Bupati Penajam Paser Utara Yusran Aspar. Dalam waktu dekat, Yusran akan diadili dalam kasus dugaan korupsi.
Menurut Asisten Ketataprajaan Sekretariat Provinsi Kaltim Sjachruddin, DPRD Penajam Paser Utara meminta penon-aktifan Yusran dengan bukti surat nomor registrasi PN Tanah Grogot, Kabupaten Pasir. Namun, Pemprov Kaltim belum menerima surat pengadilan sehingga usulan penon-aktifan belum bisa diteruskan ke Depdagri.
Kepala Biro Pemerintahan Ambransyah Mukrie menambahkan, wakil rakyat yang datang antara lain Ketua DPRD Penajam Paser Utara Andi Harahap, Dasuki Istad (Ketua Komisi Hukum dan Pemerintahan), dan Muslimin (Ketua Komisi Pembangunan). (ADH/BRO/REN)
Posted by RaharjoSugengUtomo at 9:05 AM 0 comments
Labels: HeadlineNews: Kompas
Psikotropika: Ekstasi Dijual Bebas di Diskotek
KOMPAS - Kamis, 19 Juli 2007
Jakarta, Kompas - Denyut kehidupan malam di sebagian besar diskotek di Jakarta belum bebas dari peredaran ekstasi. Di beberapa diskotek pengedar bebas menawarkan secara terang-terangan, terbuka, di kerumunan pengunjung.
Kepala Pelaksana Harian Badan Narkotika Nasional Komisaris Jenderal I Made Mangku Pastika saat ditanya seputar masalah itu, Senin (16/7), mengatakan, jika masih ada transaksi ekstasi terang-terangan, aparat harus bertindak tegas, "Ini soal pengawasan. Seharusnya Badan Narkotika Provinsi Jakarta dibantu satgas dari Polda Metro Jaya yang melakukan pengawasan tersebut," kata Made Mangku Pastika.
Namun, Ketua Badan Narkotika Provinsi DKI Jakarta Fauzi Bowo, Rabu (18/7) sore, menegaskan, jajarannya kerap mendatangi diskotek dan karaoke. Namun, pengedar selalu mencari celah. "Kami tak boleh berhenti. Sebab begitu berhenti, dampaknya bukan deret hitung, tapi sudah deret ukur," katanya.
Direktur Narkoba Kepolisian Daerah (Polda) Metro Jaya Komisaris Besar Arman Depari, Selasa siang, mengatakan, polisi sudah rutin menggelar razia setiap minggu. "Dalam seminggu, dua kali razia. Setiap kali razia kami datangi sedikitnya empat diskotek dan karaoke di Jakarta dan sekitarnya," katanya.
Terang-terangan
Menurut pemantauan Kompas di beberapa diskotek di Jakarta, Jumat tengah malam hingga Sabtu dini hari pekan lalu, peredaran psikotropika, khususnya jenis ekstasi, terlihat bebas. Diskotek itu antara lain di Jalan Hayam Wuruk, Jalan Gajah Mada, Jalan Mangga Besar, dan Mangga Dua.
Pengunjung di salah satu diskotek di Hayam Wuruk datang sejak pukul 22.00. Pada saat yang sama, ruang diskotek di dekatnya sepi, tetapi diisi musik hidup (live music) dan menampilkan sejumlah penari perempuan belia berpakaian minim.
Pada tengah malam diskotek pertama hampir tidak punya celah lagi bagi pengunjung. Ruangan penuh sesak, termasuk di balkon. Di diskotek ini pengedar menawarkan ekstasi kepada pengunjung secara terang-terangan, terbuka, dan agresif.
Setelah kaki melewati pintu detektor logam di pintu masuk, tiga pria menghampiri. "Bos, ini ada barang bagus," katanya menawarkan ekstasi. Setelah melewati mereka, beberapa orang lain juga menawari barang sama.
Sepanjang lorong antara pintu masuk dan toilet yang ada di pojok belakang terdapat sekitar 10 pria yang datang menawarkan ekstasi. Setiap kali pengunjung melewati lorong ini selalu didekati dan dicolek disertai tawaran serupa.
Seorang pengedar, dengan ciri-ciri kulit sawo matang, pendek, gemuk, muka bulat, dan selalu mengenakan topi, memperlihatkan dua jenis pil ekstasi. "Barang yang paling baik adalah hijau panah, harganya pego (Rp 150.000) per butir," ujarnya.
Bentuk pil ekstasi itu bulat, berwarna hijau, dan di salah satu sisinya ada tanda panah. "Saya punya kalau Anda mau yang lebih murah. Kalau yang pink, namanya mercy, Rp 130.000 sebutir," ucap pengedar lain, sambil menunjukkan sebutir pil warna merah muda.
Pengedar kedua ini memiliki tinggi badan sekitar 170 sentimeter, kulit sawo matang, dan mengenakan pakaian lebih necis.
Masa bodoh
Seorang pengunjung dengan rekan wanitanya membeli dua butir pil warna hijau. Baik pembeli, pengedar, maupun penjual bertransaksi di tengah kerumunan pengunjung lain. Semua orang di sekitar mereka bisa melihatnya, tetapi semuanya bersikap masa bodoh.
Ekstasi yang membuat penggunanya lebih riang saat berjoget itu juga beredar di diskotek di kawasan Glodok, Mangga Dua, dan Gajah Mada. Namun, pengunjung baru di tempat-tempat itu tidak cukup mudah mendapatkan ekstasi.
Untuk mendapatkan ekstasi, pengunjung mencari para wanita freelance, pengunjung wanita yang biasanya sengaja mencari teman pria. Aly (18), yang baru tamat SMA, seorang pengunjung diskotek di kawasan Glodok, mengatakan, "Saya bisa mendapatkannya Rp 120.000 per butir. Kalau yang bagus Rp 150.000."
Diskotek menjadi riuh memang. Bukan hanya karena musik keras dengan sound system-nya yang bagus, tetapi juga dipacu ekstasi. Tempat hiburan seperti itu tutup menjelang pukul 04.00. Ada pula diskotek yang buka hingga siang.
Catatan Polda Metro Jaya menyebutkan, selama 2001-2006 kasus narkoba yang ditangani 23.525. Mereka yang terlibat dalam lima tahun ini, 28.459 laki-laki dan 1.810 perempuan. Dengan rentang usia 10-18 tahun, 1.471 orang, usia 19-27 tahun, 15.181 orang, dan usia 28 tahun ke atas, 13.614 orang. (CAL/KSP)
Posted by RaharjoSugengUtomo at 9:03 AM 0 comments
Labels: HeadlineNews: Kompas
Kehidupan: Gemerlap Dunia Hiburan Malam
KOMPAS - Kamis, 19 Juli 2007
R Adhi Kusumaputra dan Pascal S Bin Saju
Suara house music berdentam keras. Ruang diskotek di kawasan Hayam Wuruk, Jakarta, Sabtu (14/7) dini hari, disesaki pengunjung. Asap rokok, narkoba, dan minuman beralkohol menjadi bagian dari dunia hiburan malam.
Perempuan-perempuan berpakaian seksi berseliweran, menunggu tamu yang datang. Di diskotek itu sebagian perempuan berasal dari kota-kota di Jawa Barat, bahkan dari Kalimantan.
Di antara ingar-bingar house music yang memodifikasi lagu-lagu Jablai hingga SMS dan remang-remangnya ruang diskotek, beberapa pria terang- terangan menawarkan obat- obatan terlarang kepada pengunjung. Perilaku itu tentunya sangat ironis, mengingat di dekat pintu masuk terpampang spanduk bertulisan antinarkoba.
"Hampir semua perempuan di sini suka menggunakan inex, menemani tamu," ungkap Miki (bukan nama sebenarnya), seorang pekerja malam.
Perempuan berusia 19 tahun itu mengaku baru delapan bulan tinggal di Jakarta. "Saya pernah sekali pakai inex (sebutan lain ekstasi), tapi kapok. Setelah pakai inex, saya tidak bisa kerja selama dua hari," papar Miki yang kos di kawasan Mangga Besar, Jakarta Barat.
Perempuan asal Kalimantan itu sempat bekerja di diskotek di kota asalnya, Pontianak, sebelum bersama dua temannya datang ke Jakarta.
Kirim uang
Meski mengaku dirinya sebagai anak bandel, Miki tetap mengirim uang kepada orangtuanya di Pontianak sekitar Rp 500.000 setiap bulan. "Ibuku setiap hari membawa cangkul," ujarnya seraya menceritakan pekerjaan sang ibu. Ia menambahkan, "Tapi, ibu tidak tahu saya bekerja di diskotek. Ibu hanya tahu saya bekerja di Jakarta."
Setiap bulan Miki mengaku mendapat sekitar Rp 2 juta dari pengelola diskotek. Namun, penghasilan paling besar tentu saja adalah tip yang diperoleh dari tamu yang ditemani. Baginya tak ada hari libur. Setiap hari ia bekerja mulai dari pukul 19.00 sampai pukul 07.00. "Tamu banyak datang pada Rabu malam, Jumat malam, dan Sabtu malam. Pada hari-hari itu saya bisa menemani empat sampai lima tamu semalam," ucapnya.
Miki mengaku belum ada pilihan bekerja di tempat lain. "Saya hanya lulusan SMA di daerah. Paling-paling gaji saya di bawah satu juta atau sekitar satu juta (rupiah) kalau bekerja di kantoran," katanya. Dunia malam memberinya banyak uang.
Heppy (18), pekerja malam lainnya, mengaku bahwa ia adalah putri seorang polisi di Bandung. Awalnya, ia bekerja sebagai penari di diskotek di kota tersebut. Tentunya, tidak diketahui orangtuanya. Setiap kali menari, dari tamu-tamu yang royal, ia mendapat tip sedikitnya Rp 250.000. Digabung dengan upah dari pengelola diskotek, ia mendapatkan uang Rp 350.000 semalam. Ayah dan ibunya hanya tahu ia bekerja di sebuah restoran.
Meski bekerja di diskotek menemani tamu, Heppy mengaku tidak pernah mencoba ekstasi. Ia tidak ingin menanggung efek samping dari penggunaan ekstasi, seperti fisik terlihat kusut, wajah pucat, dan mungkin juga perasaan paranoid. Hal-hal itu dapat mengundang kecurigaan orangtua.
"Apalagi ayah saya seorang polisi, bisa mampus saya," ujar Heppy, yang tinggal di mes di Mangga Besar.
Terjerat kemiskinan
Ada berapa banyak perempuan muda seperti Miki dan Heppy di Jakarta? Mereka bekerja hanya saat matahari sudah tenggelam, di tengah ingar-bingar house music, asap rokok, narkoba, alkohol, bertemu dengan lelaki hidung belang. Mereka tidur saat matahari terang benderang. Begitulah setiap hari, entah sampai kapan mereka bertahan.
Sebagian terlahir dari keluarga yang sejak kecil dijerat kemiskinan, tak sedikit berasal dari keluarga terpelajar, tetapi kurang mendapat perhatian orangtua. Ada yang pernah mencoba ekstasi, tapi kapok. Ada yang sama sekali tidak mau menyentuhnya karena tahu dampak buruk yang dibawanya. Namun, siapa yang bisa menjamin mereka mampu bertahan dari godaan itu?
Di tengah situasi orang sulit mencari pekerjaan dan mendapatkan penghasilan, perempuan seperti Miki dan Heppy berpikir pragmatis. Dalam situasi biaya pendidikan semakin mahal dan orangtua tak mampu menyekolahkan anak ke pendidikan tinggi, banyak anak muda frustrasi dan mencari jalan pintas.
"Kalau orangtua mampu membiayai kuliah, mungkin jalan hidup saya berbeda. Mungkin saya tidak terjerumus ke dunia ini," kata Miki.
Namun, Miki tak mampu mengubah jalan hidupnya. Ayahnya sudah sakit-sakitan, hanya di rumah. Ibunya setiap hari membawa cangkul dan menggali pasir untuk dijual dengan pendapatannya tak seberapa. Lalu Miki mengenal dunia hiburan malam yang membuatnya mengerti betapa mudahnya memperoleh uang dari tamu royal.
Dunia malam yang gemerlap tetap berdenyut di berbagai diskotek di Jakarta. Pengojek dan sopir taksi menunggu kecipratan rezeki, menunggu sampai bubaran diskotek. Sampai perempuan-perempuan itu kembali ke mes atau rumah kos.
Miki sepintas masih sempat menonton berita pagi di televisi yang mengulas biaya pendidikan yang membubung tinggi dan harga susu yang tak terbeli. Lalu ia terlelap sampai petang hari dan bersiap berdandan untuk bekerja lagi malam hingga menjelang pagi. Dan, berharap mendapat banyak tamu yang memberinya rezeki untuk hari ini.
Posted by RaharjoSugengUtomo at 9:02 AM 0 comments
Labels: HeadlineNews: Kompas
Tommy Jadi Tersangka
KOMPAS - Kamis, 19 Juli 2007
Penasihat Hukum Siapkan Bukti Kasus BPPC
Jakarta, Kompas - Dugaan korupsi penyalahgunaan Kredit Likuiditas Bank Indonesia oleh pengurus Badan Penyangga Pemasaran Cengkeh atau BPPC sedang disidik Kejaksaan Agung. Dalam perkara itu, Hutomo Mandala Putra atau Tommy Soeharto ternyata sudah ditetapkan sebagai tersangka.
Penetapan Tommy sebagai tersangka terkait dengan peran dan tanggung jawabnya dalam mengelola BPPC. Kendati berstatus tersangka, mantan Ketua Umum BPPC itu belum pernah diperiksa penyidik Bagian Tindak Pidana Khusus Kejagung.
Dalam bahan jumpa pers Jaksa Agung di Kejagung, Rabu (18/7), tertulis dugaan korupsi penyalahgunaan Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) oleh pengurus BPPC disidik berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus tanggal 11 Mei 2007. Surat perintah penyidikan itu atas nama tersangka HMP atau TS.
Direktur Penyidikan pada Bagian Tindak Pidana Khusus Kejagung Muhammad Salim yang dimintai konfirmasi membenarkan bahwa Tommy sudah ditetapkan sebagai tersangka. "Dulu, tim yang menangani dugaan korupsi BPPC (Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi) juga sudah mengusulkan ia sebagai tersangka," kata Salim. Soal mengapa Tommy belum diperiksa, ia mengatakan, jaksa ingin mengembangkan keterangan saksi terlebih dahulu. Status tersangka itu terkait peran Tommy di BPPC yang bertanggung jawab mengelola KLBI.
Pengacara Tommy, OC Kaligis, mengatakan belum tahu soal penetapan kliennya sebagai tersangka. Hingga kini juga belum ada surat panggilan kepada Tommy untuk diperiksa sebagai tersangka. "Klien saya siap diperiksa," kata Kaligis. Ia mempertanyakan pendapat jaksa bahwa KLBI disalahgunakan. Kaligis sudah menyiapkan bukti-bukti.
Perkara dugaan korupsi di BPPC diperkirakan merugikan negara Rp 1,7 triliun, yang terdiri dari penyalahgunaan KLBI Rp 175 miliar dan belum dikembalikannya uang petani lebih dari Rp 1 triliun, belum termasuk bunga bank.
BPPC yang dipimpin Tommy itu dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Menteri Perdagangan tanggal 28 Desember 1990, atas dasar usaha bersama koperasi, BUMN, dan swasta.
Swasta yang tergabung dalam BPPC adalah PT Kembang Cengkeh Nasional, konsorsium yang beranggotakan PT Bina Reksa Perdana, PT Sinar Agung Utara, PT Agro Sejati Bina Perkasa, PT Rempah Jaya Makmur, dan PT Wahana Dana Lestari. Pihak BUMN adalah PT Kerta Niaga.
Saat ini Bagian Perdata dan Tata Usaha Negara Kejagung juga sedang menyiapkan gugatan perdata terhadap Tommy terkait kerugian negara akibat BPPC. (IDR)
Posted by RaharjoSugengUtomo at 9:01 AM 0 comments
Labels: HeadlineNews: Kompas
Pejuang Papua Keluhkan Minimnya Perhatian
KOMPAS - Kamis, 19 Juli 2007
Jayapura, Kompas - Komandan Resor Militer 172 Jayapura Kolonel (Kav) Burhanuddin Siagian, Rabu (18/7), mengadakan pertemuan dengan ratusan pejuang Trikora dan mantan aktivis Organisasi Papua Merdeka di Markas Komando Resor Militer 172 Jayapura. Dalam pertemuan itu, Siagian menyerukan agar seluruh komponen masyarakat bersatu menyelesaikan masalah Papua.
Menurut Siagian, pertemuan itu adalah pertemuan sosial dan wujud penghormatan kepada para pejuang Trikora serta para mantan aktivis Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang telah mengerti hakikat tujuan Pemerintah Republik Indonesia.
"Sebelumnya, saya juga telah menggelar pertemuan dengan berbagai komponen bangsa yang lain, seperti aktivis lembaga swadaya masyarakat, wartawan, dan paguyuban masyarakat se-Kota Jayapura, Kabupaten Jayapura, dan Kabupaten Sarmi. Hari ini saya bertemu dengan para pejuang yang saya hormati," kata Siagian.
Para tokoh yang saat ini memimpin Tentara Pembebasan Nasional/Organisasi Papua Merdeka, seperti Matias Wenda, Goliat Tabuni, dan Kelly Kwalik, kata Siagian, bukan musuh, tetapi saudara yang belum sepaham. "Adalah tugas saya untuk membuat mereka menjadi sepaham," katanya.
Siagian mengingatkan, setiap warga negara wajib membela negara. "Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan setiap warga negara wajib melakukan bela negara. Undang-Undang Pertahanan Negara juga menganut Sistem Pertahanan Rakyat Semesta. Harapan saya kepada para pejuang, dan mantan (OPM), lakukanlah sesuatu untuk bangsa dan negara itu," katanya.
Pada pertemuan itu, sejumlah pejuang menyampaikan keluhan tentang minimnya perhatian terhadap para pejuang. Jika seorang prajurit meninggal, misalnya, keluarga harus membeli bendera Merah Putih sendiri, membeli peti mati, dan membayar ongkos penggalian makam di Taman Makam Pahlawan Rp 350.000.
Sebelum pertemuan, Obed Awinero, mantan pejuang Trikora, memperlihatkan bendera yang mirip bendera Bintang Kejora. Bendera kesebelasan Nafri, sebuah kampung di Kota Jayapura itu, katanya, telah dibuat tahun 1953. Bendera Bintang Kejora pertama kali dikibarkan berdampingan dengan bendera Belanda pada 1 Desember 1961.
"Bendera itu bukan untuk menjadi bendera politik. Kami hanya senang bendera itu dipakai untuk olahraga. Kami tidak senang jika dipakai untuk hal lain, kata Awinero. (row)
Posted by RaharjoSugengUtomo at 9:00 AM 0 comments
Labels: HeadlineNews: Kompas
11 Kepala Daerah Status Berhenti Sementara
KOMPAS - Kamis, 19 Juli 2007
Jakarta, Kompas - Saat ini tercatat 11 kepala daerah berstatus diberhentikan sementara dan 5 orang diberhentikan ketika masih menjabat. Tiga orang di antara mereka merupakan hasil pemilihan kepala daerah langsung.
Sebagian besar kepala daerah yang berstatus non-aktif sementara itu terjerat kasus korupsi APBD tahun 1999-2004. Bahkan, Bupati Kepulauan Sula, Maluku Utara, yang sudah diaktifkan kembali saat ini sedang diproses untuk izin pemeriksaan dengan kasus korupsi lain.
Menanggapi hal itu, Direktur Eksekutif Lingkar Madani untuk Indonesia (Lima) Ray Rangkuti, Rabu (18/7), mengatakan, kepala daerah yang berstatus non-aktif sementara ini tentu saja mengganggu jalannya penyelenggaraan pemerintahan daerah.
"Suhu politik di daerah pasti akan naik dan keputusan politik pun belum dapat diputuskan oleh wakil kepala daerahnya. Dan, yang paling penting, pelayanan publik juga terhambat," kata dia.
Suhu politik daerah yang memanas tercermin beberapa hari lalu. Sekelompok massa dari Aliansi Pemuda Sula mendatangi Departemen Dalam Negeri dan menuntut penon-aktifan Bupati Kepulauan Sula untuk kedua kalinya, terkait dengan kasus dugaan korupsi dana calon pegawai negeri sipil daerah.
Di tempat terpisah, Kepala Pusat Penerangan Depdagri Saut Situmorang mengungkapkan, Depdagri sedang memproses izin pemeriksaan untuk Bupati Kepulauan Sula.
Selain itu, Depdagri juga memproses permohonan pengaktifan kembali Gubernur Sulawesi Tenggara Ali Mazi yang diputus bebas dari dakwaan. Menurut Saut, sekitar 2-3 minggu lalu, Mendagri ad interim Widodo AS menerima permohonan pengaktifan kembali Ali Mazi. Kajian Mendagri untuk Ali Mazi itu sudah memasuki tahap akhir dan kemudian disampaikan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Pengaktifan kembali seorang gubernur diputuskan dengan keputusan presiden.
"Mendagri tentu saja harus mempelajari lagi dari segi tinjauan hukum dan peraturan," katanya.
Meskipun begitu, Ray mengatakan, terganggunya penyelenggaraan pemerintah daerah tidak bisa dijadikan alasan untuk menangguhkan pemberantasan korupsi. (SIE)
Posted by RaharjoSugengUtomo at 8:59 AM 0 comments
Labels: HeadlineNews: Kompas