Wednesday, July 25, 2007

Indonesia-Korsel: Investasi dan Perdagangan Akan Dilipatgandakan

KOMPAS - Rabu, 25 Juli 2007

Seoul, Kompas - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Presiden Korea Selatan Roh Moo-hyun, Selasa (24/7) sore di Seoul, sepakat meningkatkan nilai investasi dan perdagangan kedua negara hingga dua kali lipat pada tahun 2012.
Investasi Korsel di Indonesia diharapkan meningkat, dari 12,4 miliar dollar AS saat ini menjadi sekitar 24,8 miliar dollar AS. Nilai perdagangan kedua negara diharapkan meningkat dari 10,7 miliar dollar AS menjadi sekitar 21,4 miliar dollar AS.
"Kemitraan strategis kedua negara selama ini dinilai termasuk terpesat. Oleh karena itu, ada pernyataan kerja sama untuk meningkatkan Gugus Tugas Kerja Sama Ekonomi. Mereka memberikan target-target baru antara lain agar gugus tugas dapat meningkatkan investasi dan perdagangan dua kali lipat dari sekarang ini," ujar Juru Bicara Kepresidenan Dino Patti Djalal, seusai pertemuan bilateral kedua pemimpin di Istana Kepresidenan yang disebut Cheong Wa Dae.
Awal Desember 2006 kedua negara menandatangani perjanjian kemitraan strategis berupa peningkatan kerja sama dan persahabatan, selanjutnya dibentuk gugus tugas dan grup kerja berbagai bidang.
Menurut Dino, Korsel merupakan investor ketujuh terbesar di Indonesia. Realisasi investasi sejak tahun 1967 hingga Juni 2007 sebesar 12,4 miliar dollar AS dengan 2.940 proyek. "Menurut Korsel sendiri, Indonesia merupakan negara tujuan investasi keempat terpenting setelah China, AS, dan Vietnam. Dalam sepuluh tahun terakhir investasinya 6 miliar dollar AS," ujarnya.
Dino menambahkan, neraca perdagangan kedua negara menunjukkan surplus bagi Indonesia sekitar 4 miliar dollar AS.
Lebih jauh Dino mengatakan, target lainnya yang didorong adalah peningkatan target kedatangan arus pariwisata Korsel dan pembangunan infrastruktur di Indonesia. Bidang lainnya yang akan ditingkatkan pencapaiannya adalah investasi di bidang minyak dan gas alam, khususnya untuk eksplorasi dan eksploitasi.
"Presiden Yudhoyono hari Rabu akan menyaksikan penandatanganan sejumlah perjanjian kerja sama antara Pertamina dan perusahaan Indonesia lainnya dan mitranya di Korsel dalam bidang energi," kata Dino.
Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi menyatakan, dalam kunjungan kenegaraan Presiden Yudhoyono kali ini juga akan ditandatangani delapan perjanjian migas senilai 8,5 miliar dollar AS. (Suhartono)

BaCa SeLeNgKaPnYa disini...

Kepemimpinan Nasional: Lee Kuan Yew: Multipartai Itu Menyulitkan

KOMPAS - Rabu, 25 Juli 2007

Jakarta, Kompas - Mantan Perdana Menteri Singapura Lee Kuan Yew (84) mengakui tak mudah memerintah negara sebesar Indonesia. Apalagi, sistem multipartai yang dapat menempatkan mayoritas parlemen dikuasai partai yang tak sama dengan partai asal presiden menyulitkan pemerintah dalam melaksanakan kebijakannya.
Pengakuan Lee, yang kini menjabat Minister Mentor (Menteri Senior) Singapura, disampaikan dalam "Citibank Legacies of Leadership", Selasa (24/7) di Jakarta. Saat dialog, seorang peserta meminta saran Lee soal kepemimpinan di Indonesia. Lee pun menjawab dengan memosisikan dirinya sebagai pengamat.
Menurut Lee, posisi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang berasal dari partai bukan pemenang pemilu memang tidak mudah. Kebijakan yang dibuat bisa dipatahkan parlemen yang multipartai. Karena itu, untuk mengamankan jalannya pemerintahan, Presiden Yudhoyono pun mengakomodasi suara partai lain.
Kondisi ini berbeda dengan di Singapura atau Malaysia. Perdana Menteri Singapura atau Malaysia berasal dari partai yang mayoritas menguasai parlemen. Kebijakan pemerintah (eksekutif) bisa mudah dilaksanakan karena memperoleh dukungan parlemen.
Sulitnya posisi pemerintah digambarkan Lee dengan munculnya fenomena interpelasi di DPR. Ia secara khusus menyoroti pengajuan hak interpelasi terhadap dukungan Indonesia atas Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa Nomor 1747 terkait penguatan sanksi terhadap Iran. Lee menilai interpelasi itu dilakukan bukan sepenuhnya untuk menekan Presiden Yudhoyono, tetapi lebih untuk menurunkan popularitas Presiden.
"Jika mungkin rating (popularitas) Presiden Yudhoyono yang mencapai 60 persen bisa tinggal 30 persen," kata Lee. Kalau popularitas Yudhoyono menurun, partai lain akan lebih mudah menyiapkan calon presidennya untuk Pemilu 2009.
Akses informasi
Lee mengakui, sistem pemilihan presiden di Indonesia mirip dengan sistem pemilihan presiden di Amerika Serikat dan Filipina, tetapi tingkat kesulitannya lebih tinggi. Selain wilayahnya yang luas dengan ribuan pulau, rakyat Indonesia juga tak dapat mengakses informasi seleluasa di AS. Rakyat Indonesia tak bisa memiliki informasi tentang calon presidennya selengkap rakyat AS, yang bisa mengakses informasi calon presidennya.
Dalam kondisi Indonesia seperti ini, calon yang populer yang kemungkinan besar akan memperoleh dukungan mayoritas dari rakyat. "Kini masih ada waktu sekitar dua tahun tiga bulan. Tak mudah memunculkan yang terbaik di sini," kata Lee lagi. Yang paling mungkin adalah membuat calon yang populer.
Pemimpin harus konsisten
Berbicara tentang dirinya yang dinilai sukses mengembangkan Singapura dan menjadi perdana menteri pada 1959 hingga 1990, ia mengatakan, kata kuncinya adalah konsisten pada apa yang diucapkan sebelumnya. "Saya perbuat apa yang saya katakan, berbuat yang terbaik atas apa yang pernah saya janjikan. Dalam lima tahun ke depan, rakyat percaya apa yang saya katakan adalah pemecahan dari masalah yang ada," ujarnya.
Selain konsisten, pemimpin juga harus dapat merebut kepercayaan dari bawahan atau pengikutnya. Kepercayaan ini dapat diraih jika pemimpin memiliki kemampuan meyakinkan pengikutnya bahwa yang diputuskan pemimpin adalah langkah yang tepat. Tanpa ada kepercayaan dari rakyat, seseorang tidak dapat dikatakan sebagai pemimpin.
"Seorang pemimpin juga harus dapat berkomunikasi dalam bahasa pengikutnya," tutur Lee. Pada awal pembentukan Singapura, ia mengalami kesulitan mengemukakan ide dan pikiran karena latar belakang bahasa yang berbeda di Singapura. Ia pun belajar berbagai bahasa "lokal" itu.
"Saya belajar bahasa Hokkian supaya warga keturunan China mengerti. Untuk kalangan yang terpelajar, saya menggunakan bahasa Mandarin. Tak mudah melakukan semua itu," kata Lee.
Tingkatkan investasi
Berbicara mengenai perekonomian, Lee mengatakan, dalam banyak hal Indonesia harus belajar dari China, India, bahkan Vietnam. Perkembangan ekonomi di negara tetangga itu tidak terlepas dari pembangunan infrastruktur.
"Infrastruktur yang baik tentu dapat menarik lebih banyak lagi penanaman modal asing langsung. Investasi ini dapat menciptakan lapangan pekerjaan lebih banyak lagi," ujar Lee.
Perusahaan di Vietnam, kata Lee, tampak lebih berani dan siap menghadapi pasar terbuka. China juga lebih terbuka setelah bergabung dengan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
"Untuk membangun ekonomi, pertama-tama diperlukan pendapatan. Dari pendapatan ini barulah dapat dibangun infrastruktur dan ekonomi akan bertumbuh. Singapura juga mencari pendapatan sehingga dapat menjadi seperti sekarang ini," katanya.
Lee juga mengingatkan Kawasan Ekonomi Khusus Indonesia di Batam, Bintan, dan Karimun, yang tak jauh dari Singapura, sebaiknya ditata dengan baik sehingga dapat menarik perhatian investor. (JOE/TRA)

BaCa SeLeNgKaPnYa disini...

Bumi Tanpa Manusia

KOMPAS - Rabu, 25 Juli 2007

"Ada yang secara inheren memesona mengenai tempat-tempat yang ditinggalkan, apakah itu keseluruhan kota, seperti kota yang mengelilingi kerangka Chernobyl, (atau) kantongkantong kota tua yang kembali jadi kawasan rumput seperti di Detroit".
(Ramsom, penulis blog Mental-floss, 16/7/07, mengawali ulasan tentang buku "The World Without Us")
Sekarang ini hari demi hari kita banyak mendengar berita tentang kemunduran lingkungan. Hutan tropis menyusut karena dibakar, lapisan ozon berlubang, dan yang terakhir suhu rata-rata permukaan Bumi meningkat dalam fenomena pemanasan global.
Di majalah Discover (Juli 2007), Direktur Pusat Riset Matahari-Iklim pada Pusat Antariksa Nasional Denmark di Copenhagen Henrik Svensmark menyebutkan, Matahari memainkan peranan penting dalam pemanasan global.
Pernyataan yang secara politis dianggap keliru itu memang kontroversial karena terakhir justru makin diyakini bahwa aktivitas manusialah yang berperan besar terhadap terjadinya fenomena yang berpotensi menimbulkan bencana dahsyat pada masa datang ini. Pabrik-pabrik di seluruh dunia yang masih bekerja dengan membakar bahan bakar fosil—yang menyemburkan miliaran ton partikel dan gas karbon dioksida (CO2) setiap tahun—dianggap sebagai biang keladi pemanasan global.
Tampak bahwa di tengah kemungkinan terjadinya ancaman bencana lingkungan yang bisa amat dahsyat di masa depan, umat manusia umumnya masih banyak yang tidak acuh. Sebagian bangsa Indonesia terus melanjutkan kebiasaan buruk membakar hutan, bangsa Amerika dan Australia enggan bergabung dalam prakarsa pengurangan emisi gas rumah kaca.
Para pencinta lingkungan pun gemas. Dalam perasaan frustrasi atas ulah manusia yang bandel ini, sebagian berandai-andai, seperti apa ya seandainya Bumi ini tanpa manusia.
Pengandaian ini salah satunya mewujud dalam buku berjudul The World Without Us (Thomas Dunne Books/St Martin’s Press, 2007), karya Alan Weisman, seorang wartawan. Weisman tampaknya ingin memotret apa yang menjadi kerisauan pencinta lingkungan, yang rupanya juga punya eskatologi—visi dunia yang tidak dihabisi api suci tapi dikembalikan ke keseimbangan ekologis dengan penghilangan spesies paling pengacau.
Spesies itu tidak lain adalah manusia yang kini berjumlah sekitar 6 miliar, yang secara riil bermetabolisme dan bereproduksi, dan (aktivitasnya) mencemari permukaan Bumi.
Boleh jadi saking cintanya kepada Bumi, kini sudah ada kelompok yang menamakan diri Gerakan Pemusnahan Manusia (secara) Sukarela, yang situs web-nya antara lain berisi seruan agar manusia tak beranak.
Menurut buku Weisman, seperti diulas Jerry Adler (Newsweek, 30 Juli), salah satu gambaran masa depan yang dimaksud menyerupai kawasan di sekitar Chernobyl, PLTN Uni Soviet yang pada April 1986 meledak dan menyemburkan awan radioaktif. Kini, dalam radius 30 km dari PLTN itu, tidak ada lagi permukiman manusia. Yang ada hanya hutan yang mulai merambah bekas kawasan permukiman, menjadi kawasan hunian burung, rusa, dan babi hutan.
Imajinasi, dalam wujud eksperimen pikiran, Weisman berkembang lebih luas. Ia sampai pada gambaran bagaimana jika bukan hanya Chernobyl, tetapi sisa dunia lain juga ditinggalkan manusia, bukan karena menjadi korban perang nuklir atau bencana alam lain, tetapi karena memang manusia pindah ke planet lain, atau terkena virus yang memusnahkannya tetapi membiarkan biosfer lain utuh.
Apa jadinya kalau di dunia ini tidak ada yang memadamkan api, memperbaiki bendungan, dan membajak sawah? Apa yang akan terjadi dengan infrastruktur yang telah begitu luas dibangun umat manusia?
Menurut penuturan Weisman, dalam tempo beberapa hari atau minggu, PLTN di seluruh dunia akan mendidih dan berikutnya akan meledak, menghamburkan zat radioaktif. Listrik akan mati. Di Amerika, pompa yang selama ini memompa air agar sistem kereta bawah tanah New York tidak kebanjiran juga mati, banjir pun terjadi. Lantai beton akan membeku dan terlipat.
Beberapa abad kemudian, jembatan baja akan termakan karat. Struktur bangunan batu mungkin akan tinggal paling lama meskipun zaman es berikut akan menyapunya. Patung perunggu, menurut perkiraan Weisman, barangkali masih bisa dikenali 10 juta tahun mendatang, mungkin sebagai artefak terakhir dari peradaban manusia yang paling akhir bisa dikenali.
Nasib biosfer
Pertanyaan berikut yang dikemukakan adalah, "Lalu bagaimana dengan biosfer?" Kalau saja pemanasan global saat itu belum mencapai titik tak bisa kembali, biosfer bisa memulihkan banyak keragaman dan kekayaan yang sebelumnya rusak.
Kalau sebelumnya banyak disebut, bila tak ada manusia kecoak akan menguasai dunia, kini hal itu tak dipercaya lagi. Serangga tropis tak akan kuat menahan musim dingin tanpa pemanas sentral. Tikus dan anjing paling kehilangan manusia karena tikus tak menemui sampah lagi dan anjing tak punya pelindung yang bisa menjaganya dari pemangsa yang lebih kuat.
Sebagian dunia disebut akan muncul menyerupai zona demiliterisasi Korea, yang tidak ada seorang pun yang menapakkan kaki selama lebih dari setengah abad.
Weisman dan orang-orang yang ia tuturi tentu saja amat tertarik dengan skenario semacam itu. Mereka berpikir, karena manusia toh akan menghadapi bencana lingkungan satu hari nanti, mengapa tidak mengambil langkah untuk membuatnya jadi hal baik, dengan Bumi bisa menyembuhkan diri.
Melunak
Meski terkesan ekstrem, sikap Weisman yang terkesan gundah dengan perilaku manusia melunak seiring dengan berjalannya waktu. Manusia dengan segala hal buruknya telah menghasilkan banyak hal indah, seperti arsitektur dan puisi.
Weisman pun akhirnya tiba pada kearifan kompromistis. Ia tidak lagi menggambarkan perginya manusia dari Bumi, tetapi ada kesepakatan di seluruh dunia agar setiap pasangan manusia secara sukarela hanya punya satu anak. Hal itu, menurut dia, akan menstabilkan populasi manusia pada akhir abad ini, yaitu pada jumlah 1,6 miliar. Angka ini lebih kurang sama dengan jumlah penduduk dunia tahun 1900.
Dengan jumlah penduduk yang menyusut tersebut, akan makin banyak bagian dunia yang menyerupai Varosha, kawasan wisata pantai di Cyprus yang menyerupai daerah tak bertuan antara zona Turki dan Yunani, tempat Weisman menulis di antara rumput yang tumbuh liar.
Boleh jadi tanpa manusia alam di Bumi akan tumbuh indah tanpa ada yang mengganggu. Tapi, apa artinya semua keindahan tadi kalau tidak ada yang menjadi saksi? Dalam prinsip antropik menyangkut alam semesta (yang dikemukakan astrofisikawan teoretik Brandon Carter tahun 1973) disebutkan adanya manusia sebagai pengamat semesta.
Dalam konteks buku The World Without Us, mungkin Weisman sekadar mengingatkan implikasi dominansi manusia di planet Bumi. Dengan mengatakan ketiadaan manusia di Bumi karena melanglang ke angkasa, ia seperti menyiratkan, takdir manusia sebagai saksi bagi semesta tetap dihormati, betapa pun sekarang ini ia melihat betapa perilaku manusia demikian meremehkan Bumi.

BaCa SeLeNgKaPnYa disini...

Banjir Landa Tiga Pulau Besar

KOMPAS - Rabu, 25 Juli 2007

Petani di Jawa Makin Sulit Mendapat Air Irigasi

Medan, Kompas - Hujan deras yang mengguyur sebagian Kalimantan, Sumatera, dan Sulawesi mengakibatkan banjir dan longsor. Di Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, tiga orang tewas tertimbun material longsoran. Sementara itu, korban tewas akibat longsor di Morowali, Sulawesi Tengah, bertambah menjadi 31 orang. Sekitar 30 orang lainnya masih dalam pencarian.
Sebaliknya, di Pulau Jawa masyarakat makin kesulitan air bersih akibat mengeringnya sumber-sumber air. Para petani juga makin sulit mendapatkan air irigasi. Bahkan tak jarang mereka berebut air akibat pasokan dari waduk berkurang.
Pemantauan Kompas, Selasa (24/7) di Sumatera, menunjukkan banjir dan longsor terjadi di sejumlah daerah di Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Jambi. Sekurang-kurangnya 1.500 keluarga di Pasaman Barat dan Agam (Sumbar) serta Mandailing Natal, Tapanuli Selatan, dan Nias (Sumut) terpaksa mengungsi.
Di Sumbar, banjir merendam ratusan rumah dengan ketinggian 0,5-1,5 meter. Kepala Bagian Humas Kabupaten Pasaman Barat Edi Gusti menyatakan, banjir menerjang pada Senin pagi.
Banjir juga menyebabkan lalu lintas dari ibu kota Kabupaten Pasaman Barat, Simpang Ampek, ke sejumlah wilayah lumpuh karena ketinggian air di jalan mencapai 2-3 meter.
Di Sumut, banjir melanda Kabupaten Nias, Mandailing Natal, dan Tapanuli Selatan. Selain banjir, hujan deras juga menyebabkan terjadinya longsor di Desa Malombo, Kecamatan Siais, Tapanuli Selatan.
Tiga orang dalam satu keluarga tewas tertimbun material longsoran. Mereka adalah Burhan Ritonga (40), Jernawat (35), dan Nurlina Ritonga (5). Seorang anggota keluarga itu, Parlindungan Ritonga (10), luka berat.
Di Jambi, jalan lintas timur (jalintim) yang sedang diperbaiki longsor akibat terus diguyur hujan. Longsor di beberapa titik, sepanjang 10 km, menyebabkan ruas jalintim lumpuh total. Sejumlah sopir truk mengaku rugi karena harus antre berhari-hari.
Di Kalimantan Barat, banjir melanda Kota Singkawang. Hujan yang terus mengguyur, ditambah laut pasang, menyebabkan Sungai Sedau meluap. Sebanyak 1.532 warga mengungsi, sementara 347 rumah dan sekitar 40 hektar sawah terendam.
Upaya pencarian korban banjir dan longsor di Morowali kembali menemukan 23 korban meninggal. Dengan demikian, sudah 31 korban ditemukan, sementara sekitar 30 lainnya masih dicari.
Di Jawa, kekeringan dilaporkan meluas, khususnya di Jawa bagian selatan, seperti Cilacap dan Banyumas.
Meski demikian, Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto menyatakan hanya Waduk Kedungombo dan Gajah Mungkur yang perlu diwaspadai. Cadangan air di waduk lain masih aman.
(WHY/NDY/MHD/ITA/REI/MDN/AHA/MKN/SUP/ONI/APA/ACI/LKT/RYO)

BaCa SeLeNgKaPnYa disini...

Islam Moderat Perlu Dipopulerkan

KOMPAS - Rabu, 25 Juli 2007

Bangkok, Kompas - Citra Islam yang menurun di mata dunia internasional perlu dihadapi dengan penjelasan rasional tentang kehidupan Muslim Indonesia yang moderat. Bahkan, yang perlu diperkenalkan bukan hanya kehidupan Muslim, tetapi juga ajaran Islam yang moderat.
"Itu sebabnya, dialog antaragama perlu terus dikembangkan agar muncul saling pengertian," kata Duta Besar Indonesia untuk Thailand Ibrahim Yusuf di Bangkok, Selasa (24/7).
Islam moderat, menurut Ibrahim, merupakan salah satu kekayaan kehidupan damai yang dimiliki Indonesia. Namun, dunia internasional masih belum banyak mengenal kehidupan Islam Indonesia dan lebih banyak mengenal Islam yang hidup di Timur Tengah.
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Din Syamsuddin yang berada di Thailand mengatakan, kunjungannya itu justru untuk membangun pemahaman Islam moderat di masyarakat internasional. Ia dijadwalkan bertemu Raja dan Perdana Menteri Thailand. (MAM)

BaCa SeLeNgKaPnYa disini...

IPDN Belum Putuskan

KOMPAS - Rabu, 25 Juli 2007

Sumedang, Kompas - Pimpinan Institut Pemerintahan Dalam Negeri belum memutuskan soal ikut tidaknya praja (mahasiswa) yang terlibat dalam kasus tewasnya Wendi Budiman, warga Jatinangor, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, diwisuda. Keputusan final akan mereka ambil setelah mengkaji hasil pemeriksaan polisi serta rapat pimpinan dan Senat IPDN.
Demikian dikatakan Pembantu Rektor III IPDN Indrarto, Selasa (24/7) di Sumedang. Lima mahasiswa akhir IPDN ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus pengeroyokan yang menewaskan Wendi (Kompas, 24/7).
Menurut Indrarto, IPDN menunggu perkembangan penyidikan kasus itu. Yang pasti, IPDN menerima semua langkah polisi.
Hari Selasa Polres Sumedang masih memeriksa empat praja IPDN dan tiga saksi baru dari warga. Menurut Kepala Polres Sumedang Ajun Komisaris Besar Budi Setiawan, dari pemeriksaan saksi itu diharapkan bisa didapat keterangan baru sehingga tidak tertutup kemungkinan dilakukan penetapan tersangka baru.
Ratusan tukang ojek dan warga Jatinangor hari Selasa kembali memadati pintu masuk IPDN. Mereka menuntut lembaga itu meminta maaf dan mempertanggungjawabkan perbuatannya. Mereka bahkan meminta Indrarto menandatangani tuntutan warga itu. Jika tuntutan warga tidak dipenuhi, IPDN harus angkat kaki dari Jatinangor.
Menurut Kepala Polres Sumedang, aksi masyarakat masih dalam batas normal. Oleh karena itu, ia mengharapkan kondisi tersebut tetap terjaga.
Ditemui di Departemen Dalam Negeri, Jakarta, Rektor IPDN Johanis Kaloh menjelaskan, perkelahian yang menewaskan Wendi dipicu kasus pelecehan seksual yang dilakukan korban terhadap mahasiswa IPDN. Sabtu malam lalu, Wendi dan lima kawannya mengganggu tiga mahasiswi dan seorang mahasiswa pascasarjana IPDN di lift pertokoan Jatinangor Town Square. Tindakan korban memancing kemarahan mahasiswa IPDN lain dan mereka berkelahi. (CHE/DIK)

BaCa SeLeNgKaPnYa disini...