KOMPAS - Jumat, 27 Juli 2007
Pesimistis Presiden Buat Perpu Calon Perseorangan
Jakarta, Kompas - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menegaskan, Pemilihan Kepala Daerah atau Pilkada DKI Jakarta tak bisa diberhentikan atau ditunda hanya untuk memberikan peluang bagi calon perseorangan. Namun, Presiden juga belum memutuskan pengaturan calon perseorangan dalam pilkada.
Menurut Presiden di Seoul, Korea Selatan, Kamis (26/7), dari segi kelaziman, usulan calon perseorangan dalam Pilkada DKI sulit dipaksakan sekarang. "Kampanye sudah berjalan dan tak mungkin diberhentikan. Jadi, hampir tak ada, katakanlah, sebuah undang-undang yang berlaku surut, kecuali ada hal tertentu," ujarnya.
Terkait pilkada di daerah lain, Presiden mengakui, tak bisa serta-merta menetapkan aturan untuk mewadahi pencalonan perseorangan itu. Aturan hukum yang mendasarinya harus dipertimbangkan sungguh-sungguh.
Misalnya, kata Presiden, jika dipaksakan adanya peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu), syaratnya harus ada kegentingan yang memaksa. Jika tidak ada kegentingan yang memaksa, artinya harus ada undang-undang.
Namun, Presiden pada 4 Juni 2007 mengeluarkan Perpu Nomor 1 Tahun 2007 tentang Perubahan atas UU Nomor 36 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas. Sejumlah anggota DPR mempertanyakan alasan hal ihwal kegentingan memaksa sebagai dasar untuk penerbitan perpu itu (Kompas, 13-14/7).
Presiden mengakui, jika pengaturan calon perseorangan itu dengan UU, berarti harus ada proses yang panjang dengan DPR. "Jika UU, kita harus menunggu. Tetapi, jika ada yang berpendapat dengan sebuah perpu, itu yang juga harus dipahami. Jadi, bagaimana mekanisme kita meletakkan itu semua dalam sebuah sistem dan aturan yang kita anut," ujarnya.
Pesimistis perpu
Dari Bandung, Jawa Barat, Kamis, mantan Ketua MPR Amien Rais menilai putusan Mahkamah Konstitusi (MK), yang memberi peluang munculnya calon perseorangan (independen) dalam pilkada, dapat menjadi peluang bagi rakyat untuk memperoleh kepuasan politik secara maksimal. Apalagi, partai politik selama ini dianggap kurang berwibawa dan kurang bisa mengartikulasikan aspirasi rakyat.
Menurut Amien, partai tidak perlu takut masa depannya akan surut. Justru partai harus membuktikan mampu bersaing. Lagi pula, menjadi calon independen tidaklah mudah. Di Amerika Serikat semua presiden selalu berasal dari parpol.
Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Pramono Anung di Jakarta, Kamis, juga mengakui, putusan MK itu membuat partai harus melakukan otokritik. Perilaku partai justru banyak melukai perasaan rakyat. Banyak kepentingan rakyat yang tertawan oleh kepentingan elite politik.
Namun, katanya, kehadiran calon perseorangan itu harus ada perlakuan yang fair dengan calon yang maju melalui parpol. "Untuk mengakhiri polemik berkepanjangan tentang calon perseorangan, MK harus memerintahkan DPR untuk membuat aturan pelaksanaannya," kata Pramono.
Jika aturan calon perseorangan hanya berupa perpu, bukan UU, itu akan melahirkan perdebatan berkepanjangan yang justru mengurangi kualitas demokrasi. Selama UU tentang calon perseorangan belum ada, Komisi Pemilihan Umum tak dapat melaksanakan putusan MK itu.
Taufik Kiemas, Ketua Dewan Pertimbangan Pusat PDI-P, menambahkan, tak masalah dengan adanya calon perseorangan, tetapi syarat pencalonannya harus sama persentasenya dengan dukungan bagi calon melalui parpol. "Parpol perwakilan masyarakat juga," katanya.
Namun, Ketua KPU Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur, Fransiskus AR Senda mengusulkan, jumlah minimal dukungan bagi calon perseorangan dalam pilkada jangan terlalu besar.
Pengamat politik dari Centre for Strategic and International Studies, J Kristiadi, pesimistis pemerintah berani menerbitkan perpu tentang calon perseorangan dalam pilkada. "Penerbitan perpu akan memancing DPR bertanya, apakah keadaan memang sungguh-sungguh darurat. Saya menduga, pemerintah berusaha menghindari polemik dengan DPR," ujarnya.
Dengan demikian, katanya, satu-satunya cara yang mungkin bagi masyarakat adalah mendesak DPR membuat UU tentang calon perseorangan. Jika desakan ini kuat dan terus-menerus, Kristiadi yakin DPR akan luluh.
Guru besar hukum tata negara dari Universitas Indonesia, Satya Arinanto, menuturkan, selama UU calon perseorangan belum selesai disusun, KPU dapat membuat peraturan tentang calon perseorangan. Dengan demikian, konflik yang kemungkinan akan terjadi di sejumlah pilkada yang akan berlangsung, terkait calon perseorangan, dapat dihindari.
Siapkan jadwal baru
Terkait putusan MK, KPU Provinsi Lampung akan merevisi jadwal pilkada tahun 2008. Jadwal alternatif disiapkan, disesuaikan tanggal dikeluarkannya peraturan tentang calon perseorangan.
Menurut Ketua KPU Lampung CH Gultom, Kamis, tahapan pilkada dimulai Januari 2008, apabila ada aturan calon perseorangan. Jika tidak ada aturannya, tahapan pemilihan gubernur/wakil gubernur itu akan dilakukan mulai Februari 2008.
Sebaliknya, anggota KPU Sulawesi Selatan M Darwis, Kamis, menuturkan, mengantisipasi maraknya tuntutan calon perseorangan menjelang pilkada, KPU Sulsel akan meminta fatwa ke KPU pusat. Apalagi, kini di Sulsel sudah muncul pasangan calon gubernur/wagub yang menyatakan diri sebagai calon perseorangan. Baliho dan poster pasangan itu sempat terpajang di sejumlah pojok jalan dalam sebulan terakhir.
Dari Jawa Tengah dilaporkan, Kamis, warga yang mendukung calon perseorangan dalam pilkada di Kabupaten Cilacap dan Banyumas mendesak agar pendaftaran calon dapat diundur. Bahkan pendaftaran calon di Cilacap yang ditutup pada 22 Juni lalu didesak agar dibuka lagi.
Namun, Ketua KPU Cilacap Taufik Hidayatulloh mengatakan tak akan mengundurkan pendaftaran. Sebab, putusan MK turun setelah pendaftaran calon Pilkada Cilacap berlalu. Pilkada Kota Bengkulu juga tertutup untuk calon perseorangan. (HAR/MHF/MZW/NWO/HLN/NAR/DOE/MDN/SEM/ZUL)
Friday, July 27, 2007
Pilkada DKI Tak Bisa Diberhentikan
Posted by RaharjoSugengUtomo at 12:03 PM 41 comments
Labels: HeadlineNews: Kompas
Banjir: Bantuan ke Morowali Terkendala
KOMPAS - Jumat, 27 Juli 2007
Palu, Kompas - Hingga Kamis (26/7), penyaluran bantuan kepada korban banjir di Morowali, Sulawesi Tengah, masih terkendala. Transportasi darat masih tertutup akibat putusnya sejumlah jembatan dan tertutupnya jalan oleh material longsoran. Transportasi laut dan udara juga sulit dilakukan karena buruknya cuaca di wilayah menuju lokasi banjir.
Untuk mengatasi hal itu, kata Kepala Pelaksana Harian Badan Koordinasi Nasional Penanganan Bencana (Bakornas PB) Syamsul Ma’arif, pihaknya akan menurunkan 3 kapal milik TNI AL (KRI), 2 pesawat terbang jenis Cassa, dan 3 helikopter.
Namun, helikopter yang akan membawa Tim Bakornas dari Palu ke lokasi kemarin juga batal berangkat akibat cuaca buruk. Kapten (Pnb) Abram, pilot salah satu helikopter, mengatakan, penerbangan dari Palu menuju Morowali harus melalui bukit-bukit tinggi yang kemarin tertutup awan tebal bermuatan listrik. "Jika dipaksakan berangkat, risikonya cukup tinggi," ujarnya.
Berkaitan dengan bantuan ke Morowali, Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan telah mengirimkan bantuan dan helikopter. "Mungkin hari ini juga sudah sampai," kata Wapres.
Wapres juga mengakui pengiriman bantuan ke Morowali tidak mudah karena lokasinya memang tidak mudah dijangkau lewat jalan darat.
Membersihkan lumpur
Banjir di tiga kecamatan di Luwu, Sulawesi Selatan, kemarin tinggal menyisakan lumpur tebal di rumah warga, sekolah, jalan, serta persawahan atau tambak.
Ratusan warga juga masih terperangkap di desa-desa yang terisolasi akibat longsor dan lumpur. Di Kecamatan Suli, misalnya, ada dua desa yang sama sekali terisolasi karena jalan menuju desa-desa itu tertimbun material longsoran dan jembatan juga putus. Hal sama juga terjadi di Kecamatan Larompong. Di sana sejumlah desa juga masih terisolasi akibat longsor dan genangan lumpur.
Hingga Kamis petang warga korban banjir di Luwu, sebagian Wajo, dan Sidrap masih sibuk membersihkan rumah dan fasilitas umum yang terendam lumpur.
Bahkan di Kecamatan Pitumpanua dan Siwa (Kabupaten Wajo) serta Kecamatan Larompong, Suli, dan Suli Barat (Kabupaten Luwu) hampir seluruh sekolah diliburkan karena ruang-ruang belajar dan halamannya masih terendam lumpur.
Pemerintah Kabupaten Luwu hingga kini masih terus menghitung kerusakan akibat bencana ini. Kepala Bagian Humas Pemkab Luwu Rudi Dappi memperkirakan kerugian sementara mencapai Rp 500 miliar.
Warga pun menderita karena lahan perkebunan dan tambak yang menjadi tumpuan penghidupan luluh lantak. "Saya tidak tahu lagi mau diapakan kebun kakao dan cengkeh milik saya yang seluruhnya rata tertimbun material longsoran," kata Saleha (51), warga Desa Salubua, Suli Barat, Luwu.
Dari Manado, Sulawesi Utara, dilaporkan, hujan masih terus mengguyur Kabupaten Minahasa Induk dan Minahasa Tenggara. Akibatnya, masyarakat makin dihantui kekhawatiran akan terjadi banjir dan longsor.
Kemarin sejumlah ruas jalan penuh lumpur dan timbunan material longsoran. Sebuah perbukitan di Kecamatan Ratahan, Kabupaten Minahasa Selatan, mendadak longsor dan menimbun poros jalan Ratahan-Manado sehingga ratusan mobil pemberi bantuan terjebak macet.
Gubernur Sulawesi Utara SH Sarundajang yang meninjau lokasi Kamis sore menyaksikan air bah dan longsor dan bebatuan merusakkan ratusan rumah, infrastruktur jalan dan jembatan, serta sekolah. Tercatat 20 desa terisolasi di Minahasa Induk dan Minahasa Tenggara.
Penjabat Bupati Minahasa Tenggara Albert Pontoh mengatakan, musibah itu mengakibatkan kerugian material sekitar Rp 115 miliar. Wilayah Minahasa Tenggara cukup parah, tersebar di empat kecamatan.
Jumlah warga yang mengungsi tercatat 10.450 jiwa pada 15 lokasi. Kondisinya memprihatinkan karena sebagian pengungsi kesulitan tenda dan selimut, sedangkan wilayah-wilayah yang terisolasi terancam kelaparan karena pengiriman bahan makanan terhadang sulitnya medan untuk menembus desa-desa tersebut.
Bantuan bahan makanan ke beberapa desa di Kecamatan Langowan Selatan, misalnya, belum diterima warga karena jalan masih terhalang tanah longsor.
Korban bertambah
Jumlah korban tewas akibat banjir dan longsor di Morowali masih terus bertambah. Kepala Dinas Sosial Morowali Rosminael Songko mengatakan, kemarin kembali ditemukan dua korban meninggal. Dengan demikian, korban meninggal di Morowali menjadi 72 orang.
Akan tetapi, Bakornas PB mencatat jumlah korban tewas di Morowali 33 orang dan yang hilang 39 orang.
Perbedaan data itu, kata Kepala Pelaksana Harian Bakornas PB Syamsul Ma’arif, karena ada perbedaan persepsi. Bakornas PB menyatakan satu orang tewas setelah jenazahnya ditemukan. Adapun Pemkab Morowali, berdasarkan keterangan aparat desa yang menyatakan bahwa satu orang telah tewas tertimbun material longsor tanpa menemukan jenazahnya terlebih dahulu. (rei/ren/zal/ryo/osd)
Posted by RaharjoSugengUtomo at 12:02 PM 0 comments
Labels: HeadlineNews: Kompas
Orasi Budaya: RI Harus Punya Strategi Kebudayaan
KOMPAS - Jumat, 27 Juli 2007
Jakarta, Kompas - Indonesia harus memiliki strategi kebudayaan dengan melihat kekuatan dan kelemahan sumber daya atau modal yang dimiliki bangsa ini. Dengan strategi kebudayaan ini, pembangunan ekonomi yang dilaksanakan harus disertai dan didukung pembangunan karakter dan bangsa sehingga Indonesia mampu menjalani era globalisasi dan pascamodernisme yang saat ini berkembang di dunia.
Itu disampaikan cendekiawan Muslim, M Dawam Rahardjo, dalam orasi budaya yang diselenggarakan Institute for Global Justice di Jakarta, Kamis (26/7).
Menurut Dawam, dewasa ini Indonesia memang memiliki sejumlah kelemahan sumber daya di bidang finansial, teknologi fisik, intelektual, dan prasarana. Namun, Indonesia memiliki sejumlah kekuatan dan keunggulan yang dapat dijadikan dasar analisis keunggulan imperatif.
"Dengan strategi budaya, pembangunan Indonesia harus diprioritaskan pada apa yang kita miliki. Bangsa ini harus memprioritaskan sumber daya alam, budaya, manusia, sosial, dan spiritual," katanya.
Untuk itu, strategi kebudayaan yang perlu Indonesia miliki itu harus bisa menjawab tantangan dalam globalisasi ekonomi, globalisasi di bidang teknologi, transportasi, dan telekomunikasi, serta globalisasi budaya dan globalisasi nilai-nilai atau etika.
Strategi kebudayaan dalam menghadapi globalisasi ekonomi adalah menekankan pada pembangunan sumber daya alam yang dapat diperbarui. Indonesia bisa mengembangkan ekonomi dari bidang pertanian, perkebunan, peternakan, kelautan, dan kehutanan. "Memanfaatkan sumber daya alam bukan dengan cara mengeksploitasi seperti yang terjadi pada masa Orde Baru sampai sekarang ini," kata Dawam.
Dawam juga menyebutkan perlunya menyelamatkan Pulau Jawa dari kerusakan akibat industrialisasi dan urbanisasi. Pulau Jawa perlu dikhususkan menjadi daerah pertanian dan kehutanan mengingat pulau itu merupakan daerah tersubur di Indonesia. Sebagian industri harus dialihkan ke luar Jawa.
Berangkat dari strategi kebudayaan, pengembangan teknologi di Indonesia seyogianya disesuaikan dengan sumber daya alam dan keterampilan yang dimiliki. Misalnya, Indonesia mampu menguasai teknologi pupuk organik, bioenergi, mebel bermutu dunia, kerajinan, dan industri rumah tangga untuk pasar dunia. (ELN)
Posted by RaharjoSugengUtomo at 11:51 AM 0 comments
Labels: HeadlineNews: Kompas
Jalan Terputus: "Hape" Pun Ikut Dijual di Bukit Merdeka
KOMPAS - Jumat, 27 Juli 2007
Irma Tambunan
Sepekan terjebak macet akibat longsor di jalan lintas timur Sumatera membuat orang sengsara. Selain lelah dan kurang tidur, sopir truk, sopir bus, dan penumpangnya juga kehabisan uang. Makan pun jadi susah. Belum lagi kerugian akibat rusaknya barang yang diangkut.
Saya terpaksa jual hape (telepon seluler) karena uang saku sudah habis. Jika tidak, bagaimana saya bayar ojek untuk mencari dan membeli makanan buat anak-anak," kata Safril, penumpang bus yang terjebak macet berhari-hari di Bukit Merdeka, Desa Suban, Kecamatan Tungkal Ulu, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, di perbatasan Jambi-Riau.
Dengan uang itu, Safril nekat menyewa ojek menembus kemacetan secara bergantian dengan istri dan tiga anaknya. Hal itu ia lakukan bukan sekadar untuk mencari makan, tetapi juga karena punya urusan keluarga yang harus diselesaikan dengan cepat.
Apa yang dialami Safril, juga dirasakan oleh sopir truk dan penumpang angkutan selama hampir sepekan di sepanjang jalan mendekati Bukit Merdeka. Tak satu pun dari mereka yang menyangka kemacetan panjang bakal terjadi di bukit itu.
Sebenarnya, tiba di Bukit Merdeka merupakan puncak kelegaan dari pengemudi pada jalur lintas timur Sumatera, khususnya angkutan ekspedisi. Pasalnya, tanjakan yang cukup tinggi dan berliku di jalan sebelum Bukit Merdeka telah banyak menelan korban. Tak heran kalau banyak pengendara sampai harus berteriak "Merdeka" begitu sampai di puncak bukit itu.
Namun, selama hampir sepekan sejak Kamis (19/7) lalu, Bukit Merdeka menjadi tanah yang tidak membuat para pelintas jalur itu merdeka. Pasalnya, para pengendara yang mau lewat justru terjebak dalam antrean panjang berhari-hari.
Hal itu terjadi karena jalan yang sedang dilebarkan tersebut menjadi licin dan becek oleh longsoran tanah di sisi kanan kiri jalan karena hujan yang terus mengguyur. Kendaraan besar pun tak dapat melintas, malah beberapa tergelincir hingga terbalik. Akses jalan benar-benar terputus. Makin lama kendaraan yang terjebak macet makin banyak sehingga membentuk antrean panjang, baik dari arah Jambi maupun Riau.
Suasana di perbukitan yang biasanya senyap itu pun menjadi riuh dan sibuk. Anak-anak kecil dalam bus merengek minta cepat sampai di tujuan. Ada juga yang mengeluh kelaparan, sementara di lokasi itu tak ada penjual makanan. Sopir-sopir angkutan berebutan untuk lebih dulu melintas ketika bantuan alat berat datang menarik kendaraan mereka.
Bahkan, menurut cerita sopir yang sudah lima hari terjebak macet, seorang penumpang yang sedang hamil tua terpaksa dilarikan ke puskesmas di Desa Suban karena berteriak-teriak kesakitan. Di puskesmas itu bayi yang ia lahirkan meninggal sesaat kemudian.
"Kondisi sekarang sudah jauh mendingan. Hari-hari pertama ketika akses jalan terputus, kami sangat menderita. Belum lagi hujan masih deras," tutur Maman, sopir bus dari Jakarta.
Sejumlah pengendara truk yang mengangkut sayur dan buah-buahan mengeluh karena sebagian barang bawaan mereka telah membusuk. Ia bingung karena tak tahu harus berbuat apa untuk segera mengantar jeruk-jeruk itu sampai ke tujuan.
"Saya sudah tiga hari tidak bisa jalan. Macet total. Kalau tidak segera diatasi, barang bawaan kami pasti akan busuk semua," ujar Yunus, sopir truk pengangkut jeruk menuju Pekanbaru.
Seperti di tempat lain, kemacetan selalu memberikan berkah bagi warga sekitar. Mereka mengambil kesempatan dengan menjual nasi bungkus dan makanan ringan. Namun, harga yang ditawarkan, Rp 16.000 per bungkus, terlalu mahal bagi para sopir. Apalagi lauknya hanyalah telur goreng dan sambal.
Deny, sopir angkutan distribusi motor asal Jakarta, yang sudah lima hari terjebak macet, akhirnya berinisiatif memasak sendiri mi instan bersama sejumlah sopir truk lainnya. Caranya dengan membuat api dari kayu bakar, lalu meminjam panci kecil dari penduduk setempat.
"Walau hanya makan mi, itu sudah cukup mengisi perut yang kelaparan. Beli nasi bungkus harganya gila-gilaan. Uang kami sudah habis," tuturnya.
Warga setempat juga mengambil peluang dari musibah tersebut dengan menjadi tukang ojek musiman. Baihaki, salah seorang tukang ojek, mengaku mendapat Rp 25.000 untuk satu kali mengangkut penumpang yang ingin melewati timbunan tanah becek sepanjang 360 meter tersebut. Jika dalam sehari mengangkut 10 penumpang, Baihaki telah mendapat Rp 250.000.
Cuaca yang cerah pada Rabu sore hingga Kamis kemarin sangat mendukung pemadatan tanah di Bukit Merdeka. Gubernur Jambi Zulkifli Nurdin mendatangi lokasi musibah untuk memberikan bantuan pangan.
Sayang, bantuan tiba ketika semua derita nyaris berakhir. Cuaca yang bersahabat dalam dua hari terakhir membuat sebagian besar kendaraan sudah lolos dari kemacetan. Sejak Kamis pagi antrean kendaraan pun mulai berkurang.
Akan tetapi, derita selama sepekan terjebak macet di bukit sepi tentu tak terlupakan....
Posted by RaharjoSugengUtomo at 11:50 AM 0 comments
Labels: HeadlineNews: Kompas
Vonis untuk Kasus Poso
KOMPAS - Jumat, 27 Juli 2007
Hukuman 8-14 Tahun Penjara Dinilai Terlalu Berat
Jakarta, Kompas - Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kamis (26/7), memvonis 17 terdakwa perkara tindak pidana terorisme dengan hukuman 8-14 tahun penjara.
Perbuatan ke-17 terdakwa yang membunuh dua orang pascaeksekusi mati Fabianus Tibo, Marinus Riwu, dan Dominggus da Silva pada 23 September 2006, terbukti menimbulkan suasana teror di wilayah Dusun Ponggee, Desa Poleganyara, Kecamatan Pamona Timur, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah.
Elvis DJ Katuwu, penasihat hukum ke-17 terdakwa, menilai vonis hakim terlalu berat. "Berdasarkan fakta hukum di persidangan, perbuatan mereka tidak menimbulkan suasana teror. Keadaan setelah pembunuhan tetap berjalan seperti biasa," kata Elvis seusai sidang.
Menurut Elvis, setiap perkara pidana di daerah konflik, seperti pembunuhan yang dilakukan ke-17 terdakwa di Poso itu, selalu dikaitkan dengan tindak pidana terorisme. Karena itu, sebagai penasihat hukum, ia tidak sependapat dengan keputusan hakim. "Kami punya waktu tujuh hari untuk bersikap. Kami pikir-pikir dulu saat ini," ujar Elvis.
Seusai sidang, ke-17 orang itu langsung dibawa kembali ke tempat mereka ditahan selama ini, yakni Rumah Tahanan Kepolisian Daerah Metro Jaya.
Dalam sidang yang dipimpin hakim Ahmad Sobari, dua terdakwa, yakni Harpri Tumonggi alias Api dan Edwin Poima alias Epin, masing-masing divonis 14 tahun penjara. Sebelumnya mereka dituntut 20 tahun penjara.
Sementara itu, 10 terdakwa lain yang dituntut 17 tahun penjara masing-masing divonis 12 tahun penjara. Mereka adalah Darman Aja alias Panye, Agus Chandra alias Anda, Syaiful Ibrahim alias Ipul, Erosman Tikoi alias Eman, Walsus Alpin alias Eje, Benhard Tompondusu alias Tende, Sastra Yuda Wastu Naser alias Ibo, Romiyanto Parusu, Fernikson Bontura alias Kenong, dan Jefri Bontura alias Ate.
Adapun dalam sidang yang dipimpin hakim Syafrullah Sumar, lima terdakwa divonis delapan tahun penjara. Sebelumnya, jaksa menuntut 15 tahun penjara.
Terdakwa yang divonis delapan tahun penjara itu adalah Arnoval Mencana alias Opan, Bambang Tontou alias Bambang, Jonathan Tamsur alias Nathan, Dedy Doris Serpianus Tempali alias Dedi, dan Roni Sepriyanto Rantedago Parusu alias Oni.
Menurut hakim, perbuatan terdakwa yang membunuh Arham Badaruddin dan Wandi pada September 2006 terbukti menimbulkan suasana teror, sebagaimana didakwakan jaksa.
Perbuatan tersebut melanggar Pasal 6 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003. (IDR)
Posted by RaharjoSugengUtomo at 11:48 AM 0 comments
Labels: HeadlineNews: Kompas
PT BDL Tak Mau Komentar
KOMPAS - Jumat, 27 Juli 2007
Pekanbaru, Kompas - Perkembangan kasus kayu sitaan Kepolisian Daerah Riau dari areal hutan tanaman industri PT Bina Duta Laksana di Desa Belantak Raya, Kecamatan Sungai Gaung, Indragiri Hilir, menjadi dingin. Polda Riau sebagai pemeriksa dan PT BDL, yang diancam pasal kejahatan korporasi terhadap kerusakan hutan, memilih tidak berkomentar.
"Belum ada perkembangan yang dapat dilaporkan polisi menyangkut kayu sitaan itu," kata Kepala Bagian Hubungan Masyarakat Polda Riau Ajun Komisaris Besar Zulkifli di Pekanbaru, Kamis (26/7).
Direktur PT BDL Agus S, yang dihubungi lewat telepon, hanya menyatakan tidak dalam kapasitas memberi keterangan. "Saya sedang ada acara. Hubungi nanti saja," katanya.
Kompas mencoba mendapatkan keterangan langsung ke kantor PT BDL di Jalan HM Yamin, Pekanbaru, tetapi kantor itu sudah ditempati perusahaan lain yang bergerak di bidang pertambangan.
Seperti diberitakan, kasus dugaan pembalakan liar di areal hutan Sungai Gaung sempat menjadi pembicaraan hangat di Kota Pekanbaru. Namun, belakangan muncul tudingan bahwa berita tersebut hanya pelintiran wartawan yang bertanya kepada Kepala Polda Riau.
Berdasarkan data yang diperoleh Kompas, PT BDL juga tersangkut kasus pembalakan liar lain yang masih ditangani Polres Indragiri Hilir. Kasus yang dimaksud adalah penyitaan satu unit ponton berisi kayu bulat kecil yang bercampur kayu log sebanyak 710 ton, delapan truk yang bermuatan kayu 40 ton, serta 5.000 log campuran kayu bulat besar dan kecil.
Polres Indragiri Hilir sudah memeriksa 10 saksi, termasuk Adha Riawan (pegawai Dinas Kehutanan dan Perkebunan Indragiri Hilir) dan Diglar Sitompul (petugas tata usaha PT Bina Duta Laksana). (ART/SAH)
Posted by RaharjoSugengUtomo at 11:47 AM 0 comments
Labels: HeadlineNews: Kompas
BAHASA: Bergegas Pelan
KOMPAS - Jumat, 27 Juli 2007
Begini terbaca dalam sebuah profil sebuah penerbitan terkemuka di Jakarta: "Speed is our strategy." Pesatnya perkembangan teknologi dalam berbagai bidang, termasuk yang terkait dengan komunikasi dan informasi, membuat orang makin menyadari betapa cepat perubahan di dalam kehidupan masyarakat. Irama hidup berderap makin cepat. Waktu seperti lebih pendek. Time flies, kata orang Inggris.
Cepatnya waktu di masa kini dan tekanan masa depan telah menciptakan apa yang oleh Steffan Linder sebut "kelaparan waktu". Gejala ini antara lain merupakan dampak adagium "waktu adalah uang" ciptaan Ben Franklin (1748). Penggunaan waktu yang tak mendatangkan duit dianggap kerugian. Karena itu, dalam menjalani hidup, orang merasa seperti harus berpacu dengan waktu. Agar memperoleh waktu lebih banyak, kita mempercepat kegiatan kita. Itu tak membantu. Kita masih terus kekurangan waktu, demikian Eberle dalam Sacred Time and The Search for Meaning (2003).
Sudah lama orang belajar berbagai metode, teknik, dan peranti bagaimana mengelola dan mengontrol waktu. Namun, empu manajemen Stephen Covey dalam First Things First (1994) memberi kesaksian, kebanyakan orang yang berkonsultasi kepadanya mengeluh kekurangan waktu. Refleksi atas gelepar kehidupan masa kini pun memberi kita kesan bahwa bertindak cepat rupanya telah menjadi kebijaksanaan masa kini. Siapa cepat dia dapat. Kini bukan lagi zaman orang berlanggam hidup alon-alon asal klakon yang berarti 'tidak apa bekerja pelan sebab yang penting niat terwujud'. Memang pemecahan persoalan hidup yang kita hadapi tak bisa ditunda-tunda lagi, seperti kemiskinan, korupsi, politik tanpa prinsip, karut-marut pendidikan, perdagangan narkoba, perusakan lingkungan, dan 1.001 problem yang lain. Jadi, tindakan cepat tampaknya memang keharusan.
Sementara itu, pengalaman juga bertutur bahwa niat untuk serba cepat sering membuat orang tak cermat. Langkahnya cenderung tergopoh-gopoh, pertimbangannya ceroboh. Orang Jawa juga suka mengingatkan jangan kita kebat kliwat. Dalam bahasa percakapan masa kini, mungkin padanannya, ngebut luput.
Di sini kita berhadapan dengan dua sikap yang tampak bertentangan. Yang satu mendorong bertindak cepat. Yang lain mengeremnya. Namun, kedua sikap ini sebetulnya tidak kontradiktoris, melainkan saling melengkapi. Dalam hal ini kita dapat belajar dari Kaisar Romawi I, Augutus, yang menurut sejarawan Suetonius (c.69-c.150) sering berucap "Festina lente". Ungkapan itu berarti 'bergegaslah, tetapi pelahan'. Terjemahan bebasnya adalah "cepatlah, tetapi hati-hati", begitu menurut Marwoto dan H Witdarmono dalam Proverbia Latina (2004). Tindakan kita harus cepat sekaligus hati-hati. Betapa tepat!
Ya, seperti ditulis oleh Sarwono Poesposapoetro dalam Kamus Peribahasa (1991), pada dasarnya peribahasa merupakan kalimat singkat yang mengkristalkan pengalaman mendalam dan panjang. Semacam filsafat mini. Tak mengherankan bahwa peribahasa terkadang mencerahkan.
Alfons Taryadi Pengamat Bahasa
Posted by RaharjoSugengUtomo at 11:45 AM 0 comments
Labels: HeadlineNews: Kompas