Tuesday, August 07, 2007

Pemerintah Harus Bertindak

KOMPAS - Selasa, 07 Agustus 2007

Luas Sawah yang Kekeringan di Pulau Jawa Terus Meluas

Jakarta, Kompas - Pemerintah diminta mengambil langkah cepat untuk menyelamatkan nasib ribuan petani dan kondisi kritis ratusan ribu hektar tanaman padi karena kekeringan. Langkah mendesak ini untuk menghindari terjadinya penurunan stok produksi yang dapat mengancam ketahanan pangan nasional.
Apalagi kondisi kritis pertanian Indonesia terjadi di tengah stok akhir beras dunia turun akibat dampak pemanasan global.
Hal itu diungkapkan perwakilan Lembaga Penelitian Beras Internasional (International Rice Research Institute/IRRI) untuk Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam, Mahyuddin Syam, dan Ketua Dewan Pertimbangan Organisasi Himpunan Kerukunan Tani Indonesia Siswono Yudo Husodo di Bogor dan Jakarta, Senin (6/8) siang.
Menurut Mahyuddin, sekarang ini tanaman padi di sawah beririgasi golongan III atau di ujung saluran irigasi (tail end) kritis. Terlambat sedikit saja memberi air, maka tanaman padi kekeringan. Kalaupun bisa tumbuh, bulir padinya hampa sehingga produksi padi merosot.
"Pemerintah harus segera memberikan bantuan dalam bentuk pompa air dan membangun sumur-sumur pantek. Ini solusi paling nyata bagi petani," katanya.
Terus meluas
Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Winarno Tohir mengatakan, area sawah yang terkena dampak kekeringan terus meluas. Itu disebabkan musim kemarau yang baru mulai dan tidak tertutup kemungkinan sawah di luar Pulau Jawa juga akan menghadapi kondisi serupa.
Di Jawa Tengah, hingga awal Agustus 2007 tak kurang dari 107.028 hektar tanaman padi rusak akibat kekeringan. Dari jumlah itu, 10.028 hektar dinyatakan puso.
Namun, Kepala Subdinas Produksi Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Tengah Hari Tri Hernawan optimistis kondisi tersebut tidak terlalu berpengaruh pada produksi padi. Dalam kurun waktu Januari hingga Juni 2007, realisasi luas panen padi di Jateng mencapai 1,021 juta hektar atau sekitar 92,7 persen dari sasaran yang ditetapkan.
Dari Banyumas dilaporkan, lahan sawah seluas 7.033 hektar di wilayah Bakorlin Wilayah III kekeringan. Selain itu, 424 hektar lahan sawah di wilayah itu sudah puso.
KTNA mencatat, area tanaman padi seluas 20.000-30.000 hektar di Cirebon dan sebagian Indramayu tidak kebagian air. Ini disebabkan debit air di Bendung Rentang tidak cukup mengairi sawah milik ribuan petani kecil dan petani penggarap (Kompas, 6/8).
Namun, Menteri Pekerjaan Umum (PU) Djoko Kirmanto mengatakan, saat ini Departemen PU tak dapat berbuat apa-apa.
Siswono mengatakan, dampak kekeringan yang mengancam tanaman padi akibat petani terlalu yakin (overestimate) musim hujan akan terus terjadi hingga September 2007 seperti halnya musim kemarau tahun lalu, yang juga mundur selama dua bulan.
Di sisi lain, petani dengan sawah beririgasi golongan I dan II atau lebih dekat dengan saluran irigasi berlomba memompa air dari saluran sekunder menjelang masuk musim tanam ketiga.
Menurut Siswono, rasa percaya diri yang berlebihan itu muncul akibat lemahnya manajemen informasi iklim kepada petani. Spekulasi dan perkiraan yang meleset tidak akan terjadi jika petani mendapatkan informasi yang benar dan akurat.
Departemen PU menyatakan, hingga awal Agustus ini baru dua waduk besar yang kondisi airnya harus diawasi. Namun, debit air waduk diperkirakan terus menyusut karena musim kemarau makin mendekati puncaknya.
"Hingga awal Agustus ini dua waduk besar yang volume airnya makin menyusut adalah Kedungombo di Jawa Tengah dan Saguling di Jawa Barat. Hujan makin jarang turun sehingga besar kemungkinan volume air waduk makin menyusut," kata Direktur Pengelolaan Sumber Daya Air Departemen PU Imam Anshori.
Imam mengatakan, elevasi air waduk besar lainnya, seperti Djuanda (Jatiluhur), Gajah Mungkur, dan Sempor, masih normal, tetapi memang pengaturan air harus dilakukan untuk mengantisipasi kekeringan.
Akan tetapi, menurut Djoko Kirmanto, jika di suatu daerah aliran sungai yang mempunyai waduk sampai terjadi kekeringan, hal itu karena tidak disiplinnya pembagian air.
Stok beras dunia menipis
Berdasarkan data produksi beras yang dirilis Departemen Pertanian Amerika Serikat, stok akhir beras dunia per Juli 2007 diproyeksikan sebesar 71,99 juta ton, lebih rendah dibandingkan 2006/2007. Jika dibandingkan lagi dengan stok akhir 2005/2006 sebesar 77,26 juta ton, stok akhir saat ini jauh lebih kecil.
Stok akhir beras dunia yang makin kecil itu harus diperebutkan oleh banyak negara konsumen beras. Belum lagi bencana yang melanda China dan perubahan iklim di Filipina, yang juga membuat beras di pasar internasional makin menyusut.
Produksi beras dunia per Juli 2007/2008 sebesar 420,81 juta ton. Lebih tinggi 4,44 juta ton dibandingkan periode sebelumnya, tetapi kebutuhan dunia juga meningkat 6,36 juta ton.
Menipisnya stok beras dunia membuat harga beras di pasar internasional juga meningkat. "Bila sebelumnya harga rata-rata beras 220 dollar AS per ton, kini sudah di atas 300 dollar AS," kata Mahyuddin.
Sementara itu, di Padang, Sumatera Barat, Direktur Utama Perum Bulog Mustafa Abubakar mengatakan, pergerakan ketahanan pangan Indonesia menuju arah yang lebih baik.
"Sekarang stok beras nasional bagus. Hari ini kekuatan stok beras 1,7 juta ton, yang berarti ketahanan pangan sampai delapan bulan mendatang. Yang lebih menggembirakan, pengadaan dalam negeri mencapai 1,6 juta ton," tutur Mustafa.
Dengan pengadaan dalam negeri yang terus meningkat, angka ketergantungan beras dari luar negeri semakin berkurang. Kuota impor tahun 2007 sejumlah 1,5 juta ton, sesuai izin yang diterbitkan Menteri Perindustrian dan Menteri Perdagangan, baru terealisasi 700.000 ton. (MAS/RYO/NAW/WHO/ WIE/MDN/SON/ART)

BaCa SeLeNgKaPnYa disini...

Perubahan UUD: DPD Menggelar Paripurna Luar Biasa

KOMPAS - Selasa, 07 Agustus 2007

Jakarta, Kompas - Dewan Perwakilan Daerah terus melakukan konsolidasi menghadapi batas akhir pengumpulan tanda tangan terkait usulan perubahan Pasal 22D Undang-Undang Dasar 1945. DPD hari Senin (6/8) menggelar rapat paripurna luar biasa.
Batas akhir pengumpulan tanda tangan adalah 7 Agustus 2007, pukul 00.00. Sampai kemarin DPD masih kurang 11 tanda tangan. Mereka baru berhasil mengumpulkan 215 tanda tangan dukungan, padahal syarat minimal adalah 226 tanda tangan atau sepertiga anggota MPR.
Rapat yang diadakan di Gedung Nusantara V berlangsung tertutup dan dipimpin Ketua DPD Ginandjar Kartasasmita. Anggota DPD yang hadir berjumlah 104 orang dari 128 anggota DPD. Pagi harinya pimpinan DPD juga mengadakan pertemuan dengan fraksi-fraksi pengusul.
Di rapat tersebut, DPD belum memutuskan apakah akan melanjutkan usulannya kepada pimpinan MPR untuk menggelar Sidang MPR guna membahas perubahan Pasal 22D atau akan menundanya. "Kita lihat sampai besok sore," kata Ginandjar seusai rapat.
Menurut Ginandjar, tidak terlalu sulit untuk menggenapi dukungan menjadi 226 suara. Namun, DPD juga akan memperhitungkan seberapa besar peluang agar sidang bisa berlangsung kuorum. DPD juga tidak ingin sidang digelar tetapi gagal membuat keputusan.
Pasal 37 (3) UUD 1945 mensyaratkan untuk mengubah pasal UUD, Sidang MPR harus dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 jumlah anggota MPR atau 452 anggota. Putusan untuk mengubah pasal UUD dilakukan dengan persetujuan sekurang-kurangnya 50 persen ditambah satu anggota dari seluruh anggota MPR atau 339 anggota.
"Kita akan lihat apakah akan tetap dipaksakan atau mencari jalan keluar," ujarnya.
Daerah dukung
Hasil kajian Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) dan Pusat Studi Pengembangan Kawasan (PSPK) di 13 daerah menyimpulkan, semua daerah menyatakan secara tegas dukungannya untuk mendukung perubahan Pasal 22D UUD 1945. Studi dilakukan melalui focus group discussion.
Daerah-daerah juga memiliki pandangan yang lebih maju, yaitu menghendaki adanya pemisahan secara lebih tegas antara peran legislasi DPR dan DPD.
"Semua RUU yang berkaitan dengan daerah menjadi kewenangan DPD untuk mengusulkan, membahas, dan memutuskan bersama pemerintah," ujar Sekjen Formappi Sebastian Salang saat menyerahkan hasil kajiannya ke pimpinan DPD.
Pemisahan secara tegas peran legislasi DPR dan DPD dianggap akan lebih efektif dan efisien karena tidak ada tumpang tindih dan birokrasi yang panjang.
Terkait dengan perubahan UUD itu sendiri, ada dua pandangan yang berkembang. Pertama, penguatan awal dengan perubahan Pasal 22D. Kedua, mendorong penguatan DPD yang lebih utuh dengan melakukan perubahan UUD secara bertahap terhadap beberapa pasal terkait, yakni Pasal 2, Pasal 7, Pasal 20, dan Pasal 23. (SUT)

BaCa SeLeNgKaPnYa disini...

Poster Masih Menempel

KOMPAS - Selasa, 07 Agustus 2007

Sutiyoso Imbau Warga Jangan Golput

Jakarta, Kompas - Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso mengimbau warga agar membantu membersihkan semua atribut dan alat peraga kampanye pilkada di wilayah masing-masing, Senin (6/8). Petugas kelurahan kesulitan membersihkan poster yang tertempel di dinding karena sulit dilepas dan jumlahnya banyak.
Pembersihan poster dan semua alat peraga lain harus dilakukan sebelum pelaksanaan pemungutan suara, 8 Agustus 2007. Pembersihan itu merupakan bagian dari masa tenang pilkada.
Menurut pengamatan Kompas, di wilayah Cipete dan Lebak Bulus, Jakarta Selatan, banyak poster kedua pasang calon masih tertempel di dinding pagar dan rumah, terutama yang menghadap ke jalan. Sebagian besar spanduk dan baliho sudah dicopoti, tetapi bendera partai pendukung masih ada yang terpasang.
Roni, salah seorang petugas pertahanan sipil (hansip) di Cipete, mengatakan, pembersihan poster di dinding memakan waktu lama karena menempel kuat.
Di Jalan M Saidi Raya, Jalan Raya Ciledug, sekitar kawasan Pasar Cipulir, hingga Pasar Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, poster bergambar pasangan calon gubernur dan calon wakil gubernur masih banyak menghiasi tembok, pagar seng, dinding rumah penduduk dan pertokoan, serta halte bus.
Kondisi serupa tampak di Jalan Swadarma, Pos Pengumben, Kebon Jeruk, Palmerah (Jakarta Barat) hingga kawasan Tanah Abang serta kawasan Jakarta Pusat lain seperti di Senen, Johar Baru, dan Cempaka Putih.
Beberapa warga bersama petugas hansip berpakaian seragam hijau berusaha membersihkan poster tempel. Pembersihan poster memakan banyak waktu karena harus satu per satu dikikis menggunakan sekop kecil atau pisau. Beberapa orang menggunakan kain lap basah agar lem poster melunak dan poster mudah dilepas dari dinding.
Satu baliho berukuran sekitar 10 meter x 10 meter masih menempel di papan reklame, tepat di depan Blok M Plaza, Jakarta Selatan.
Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso mengingatkan, pembersihan semua atribut kampanye harus selesai sebelum hari pemungutan suara. Pemerintah ingin serius mendukung setiap tahap pilkada, termasuk saat masa tenang.
Jangan golput
Menurut Sutiyoso, selain membantu membersihkan, warga DKI yang mempunyai hak pilih juga diimbau agar datang ke tempat pemungutan suara (TPS) di lingkungan masing-masing dan menggunakan haknya untuk memilih gubernur yang baru. Hari pemungutan suara diliburkan agar tingkat partisipasi masyarakat meningkat.
Sutiyoso berharap agar warga tidak menghiraukan seruan untuk menjadi golput dari kelompok tertentu. Golput dinilai merupakan wujud sikap tidak bertanggung jawab dengan tidak memilih gubernur, tetapi mau menikmati pembangunan yang dihasilkan. (ECA/NEL)

BaCa SeLeNgKaPnYa disini...

ANALISIS POLITIK: Radius 100 Meter

KOMPAS - Selasa, 07 Agustus 2007

SUKARDI RINAKIT

Saya bergetar membaca kritik Daoed Joesoef kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Ketika mengetahui bahwa Presiden tidak berkenan menerima para guru yang demonstrasi beberapa waktu lalu, ibarat laut yang tak pernah takluk, Daoed Joesoef menulis, "... Dia bisa saja berdalih ada kesibukan lain, tetapi ini adalah sikap resmi Presiden yang untuk kesekian kalinya menunjukkan bahwa dia ’terpanggil’ untuk memimpin, tetapi bila saatnya tiba, ’gentar memimpin’" (Kompas, 25/7).
Sebagai anak muda yang pernah dengan sabar dituntun Daoed Joesoef untuk memasuki ranah berpikir alternatif, bebas, dan multidisipliner, penulis meyakini bahwa sikap itu merefleksikan keprihatinannya yang mendalam bukan saja kepada nasib guru, para pemanggul masa depan bangsa, tetapi juga kepada pemerintah yang tak mempunyai visi dalam membangun peradaban kontemporer.
Padahal, tanpa peradaban, sebuah bangsa dipastikan lumpuh, mata melotot, tetapi tanpa makna. Tak ubahnya buta.
Sepi pamrih
Harus jujur diakui bahwa sejauh ini, sebenarnya belum jelas benar apa visi pemerintah terhadap masa depan rakyat—apalagi terhadap peradaban bangsa.
Akibatnya, pemerintah gagal membangkitkan optimisme publik. Kebanggaan sebagai bangsa tetap rendah, angka kemiskinan dan pengangguran tinggi, dan pangan—meskipun dinyatakan stok aman—tetap meragukan banyak pihak karena peluang terjadinya keresahan sosial tetap terbuka lebar.
Sementara itu, para elite sampai hari ini masih banyak yang terjebak pada urusan sempit dan berputar-putar di lingkaran imajiner yang dibuatnya sendiri. Kehormatan pribadi, keluarga, citra diri yang semu dan penampilan fisik dianggap lebih penting daripada bekerja untuk rakyat.
Padahal, harapan rakyat itu sebenarnya sederhana. Mereka hanya ingin bisa tersenyum (hidup sedikit lebih baik) dan tidak menuntut untuk bisa tertawa (hidup makmur).
Fakta itu memberi pelajaran penting secara kultural bahwa dalam memilih pemimpin pada masa depan lebih baik dicari figur yang sudah "duduk" (resolved). Kalau tidak, dicari antitesanya, yaitu sosok muda. Pendeknya, jangan mempersiapkan "pengantin" yang tanggung.
Kredonya, tantangan spesifik membutuhkan karakter dan kepiawaian pemimpin yang spesifik pula.
Pada dekade sekarang, karakter pemimpin yang kita butuhkan adalah yang berani mengambil keputusan secara cepat dan tegar seperti batu karang. Hal ini disebabkan kondisi rakyat masih limbung sejak dada mereka dihantam krisis ekonomi satu dasawarsa lalu.
Jika pemimpin terlalu hati-hati karena kalkulasi citra pribadi yang berlebihan, rakyat menjadi kehilangan pegangan seperti sekarang ini. Mereka akhirnya lelah karena tidak ada tempat untuk bersandar sejenak sambil menarik napas perlahan.
Figur yang sudah resolved ataupun sosok muda tersebut asumsinya mempunyai karakter yang sama, yaitu tidak macam-macam dan berani menghadapi siapa pun, termasuk tekanan asing. Demi harga diri bangsa dan kesejahteraan rakyat, mereka akan melangkah tanpa beban dan berani menyerempet-nyerempet bahaya (vivere pericoloso). Mereka juga dengan ringan akan memilih jalan kebajikan: bekerja tanpa didominasi pamrih pribadi (sepi ing pamrih rame ing gawe).
Radius 100 meter
Adalah tugas kita bersama, terutama partai politik, untuk menemukan figur itu dan menjadikannya pemimpin nasional yang berani, berkarakter, dan cermat perhitungan. Sebab kalau ia tidak disangga oleh partai, sehebat apa pun ketokohan, kepiawaian, dan kebaikan hati figur itu jika tanpa kekuasaan politik, mengutip bos saya Soegeng Sarjadi, radius jangkauan kebijakannya hanya 100 meter.
Di luar radius itu adalah hamparan kemiskinan dan pengangguran yang tidak mampu disentuhnya karena keterbatasan sumber daya politik yang dimiliki.
Oleh sebab itu, penelusuran tokoh-tokoh potensial yang bisa merestorasi Indonesia, baik itu tokoh partai politik maupun bukan, perlu segera dilakukan. Tiap partai harus segera melakukan langkah itu jika ingin memberikan kontribusi terbaik bagi bangsa. Kelompok masyarakat madani, melalui jejaringnya, bisa melakukan survei independen secara berseri guna menjaring figur tokoh yang mumpuni tersebut.
Dalam konteks ini, saya ingin menyampaikan kepada Daoed Joesoef dan para guru saya yang lain seperti Rahman Tolleng agar tak terlalu khawatir dengan masa depan bangsa karena masih ada kami generasi muda, dan Tuhan yang tidak tidur (Gusti ora sare).

BaCa SeLeNgKaPnYa disini...

POLITIKA: Jangan Salahkan Indonesia

KOMPAS - Selasa, 07 Agustus 2007

BUDIARTO SHAMBAZY

Saudara-saudaraku sebangsa dan setanah air, telah kutemukan! Tanpa perlu ke Belanda, saya menemukan setumpuk bukti sejarah sehabis menonton DVD Hindia-Belanda di Perang Dunia Kedua (Institut Dokumentasi Perang Belanda) tentang mooi Indie pada awal 1940-an.
Temuan pertama saya yang menggemparkan persis seperti kata Ismail Marzuki. Indonesia tempat lahir beta/ tempat berlindung di hari tua/ tempat akhir menutup mata.
Saya enggak ngerti konglomerat hitam pilih Singapura jadi tempat berlindung sampai tua. Tetapi, saya paham kenapa ilmuwan KPU yang berjasa tetapi dipenjara minta Presiden tak "menutup mata" agar memberikan grasi kepada mereka.
Temuan kedua saya yang menghebohkan adalah negara ini kaya. Banyak negara asing ataupun swasta internasional/ nasional bernafsu menguasai sumber-sumber daya alamnya, dan kini nyaris semuanya diobral pemerintah.
Temuan ketiga saya yang mengejutkan adalah Batavia dan Soerabaja bersih. Lain dengan kota masa kini yang penuh billboard dan spanduk, pasar tumpah, dan sejuta angkot.
Temuan keempat saya yang mendebarkan ialah penduduk awal 1940-an sekitar 70 juta jiwa. Batavia enggak ramai seperti saat jutaan "pengacara" (penganggur banyak acara) ikut kampanye Pilgub DKI pekan lalu.
Temuan kelima saya yang mencengangkan adalah Batavia penuh monumen bersejarah. Ada De Harmonie nan megah, Des Indes yang indah, atau Menteng yang tertata.
De Harmonie jadi tempat parkir istana, Des Indes jadi tempat belanja, dan Menteng yang mesti dilestarikan malah "diperkosa".
Temuan keenam saya yang di luar perkiraan adalah bangsa sini suka tersenyum, termasuk orang Betawi di pasar serta Sultan Maluku dan istri. Tak ada demonstran antikeberagaman, tarian cakalele ala RMS, apalagi amok massa.
Temuan ketujuh saya yang mengagumkan, ada potongan pidato Panglima Armada Jepang Laksamana Isoroku Yamamoto. "Kalian 50 juta rakyat, saya minta kamu insaf sedalam-dalamnya dan berdirilah untuk bersatu."
Rupanya Belanda dan Jepang dari dulu setengah mati memohon agar bangsa ini bersatu. Mereka tahu bangsa ini lebih percaya "bersatu kita runtuh, bercerai kita teguh".
Temuan kedelapan saya yang menggembirakan adalah Bung Karno mengenalkan slogan "Amerika kita setrika, Inggris kita linggis". Slogan rezim saat ini, "Kita kasih semua ke Amerika, lalu kita mengemis dari Inggris".
Temuan kesembilan saya yang mengharukan, Jepang merekrut para pemuda jadi tentara Peta pelahap bento dan ikut lomba sumo. Tentara memang dilarang "melahap" rakyat, apalagi berlomba menaruh kakak, adik, atau ipar di pos-pos bergengsi.
Temuan kesepuluh saya yang menyenangkan adalah para pelajar di Situ Lembang, Menteng, bersepeda atau jalan kaki menuju Sekolah Rakjat Akebono. Maklum, belum ada motor.
Temuan kesebelas saya yang mendebarkan pemimpin dulu penutur bahasa Indonesia, Belanda, Jepang, dan Inggris sekaligus. Mereka bukan kayak pemimpin sekarang yang berkelas penutur alias pandai berteori.
Dan, temuan yang keselusin atau yang terakhir merupakan "ibu dari segala temuan" (mother of invention). Ini temuan saya yang amat sangat diandalkan.
DVD itu berisi adegan rakyat gembira bernyanyi Indonesia Raya versi asli 17 Agustus 1945! Waktu SD kaki saya pegal saat menyanyikan extended version-nya dan kepala pusing waktu menghafal liriknya.
Lagu kebangsaan Inggris, God Save the Queen, dipotong untuk menghemat waktu saat acara penerimaan medali olimpiade. Apakah lirik Indonesia Raya disingkat karena alasan itu, emangnya gua pikirin.
Di banyak negara bendera dibakar atau jadi bikini. Saya ingat tahun lalu polisi kurang kerjaan menahan warga yang tak mengibarkan bendera pas 17 Agustus.
Lebih kurang kerjaan mereka yang membakari buku pelajaran di Depok. Bangsa ini menganggap sejarah kayak semen atau paku di "toko material", cuma kenal barangnya tanpa paham maknanya.
Makanya banyak yang ngiler kepada Mahaputra alias suka pamrih. Makanya tak satu pun pejabat mengucapkan duka saat Chrisye meninggal dunia beberapa bulan lalu.
Banyak yang ingin dimakamkan di Kalibata. Namun, tak sedikit pahlawan tak sudi ada di satu kompleks dengan terpidana korupsi yang dikubur di sana.
Saya bukan pakar yang gemar bikin gempar. Saya bukan "penggiat", "penggagas", "pemerhati", atau "peminat" lagu kebangsaan, apalagi calon politisi "indie".
Namun, waktu isu "indie" lagi hangat, saya tanya pengurus Gerakan Jakarta Merdeka (GJM) dalam sebuah diskusi. "Emangnya Jakarta belum merdeka? Siapa sih yang menjajah?"
Sejak akhir 1950-an saya dua kali tinggal di Jakarta Selatan, sekali di Jakarta Barat, dan dua kali punya KTP Jakarta Pusat. Selama setengah abad enggak ada tuh yang nekat menjajah Ibu Kota.
Oh, ternyata GJM tak mau kalah sama Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Wah, pakar pun mau angkat senjata.
Pakar A berteori RI "negara gagal", pakar B bilang RI "demokrasi belum jadi". Pemimpin jual negara, pejabat korupsi, politisi enggak becus, pengusaha tak tahu untung, dan ada kelompok yang "ingin tampil beda".
Namun, jangan salahkan Indonesia. Kalau tak suka, mengutip slogan terkenal Bung Karno, "You can go to hell".
Dan, Ismail Marzuki menambahkan, Indonesia tanah air beta, pusaka abadi nan jaya/ Indonesia sejak dulu kala/ tetap di puja-puja bangsa. Merdeka!


BaCa SeLeNgKaPnYa disini...