KOMPAS - Selasa, 07 Agustus 2007
BUDIARTO SHAMBAZY
Saudara-saudaraku sebangsa dan setanah air, telah kutemukan! Tanpa perlu ke Belanda, saya menemukan setumpuk bukti sejarah sehabis menonton DVD Hindia-Belanda di Perang Dunia Kedua (Institut Dokumentasi Perang Belanda) tentang mooi Indie pada awal 1940-an.
Temuan pertama saya yang menggemparkan persis seperti kata Ismail Marzuki. Indonesia tempat lahir beta/ tempat berlindung di hari tua/ tempat akhir menutup mata.
Saya enggak ngerti konglomerat hitam pilih Singapura jadi tempat berlindung sampai tua. Tetapi, saya paham kenapa ilmuwan KPU yang berjasa tetapi dipenjara minta Presiden tak "menutup mata" agar memberikan grasi kepada mereka.
Temuan kedua saya yang menghebohkan adalah negara ini kaya. Banyak negara asing ataupun swasta internasional/ nasional bernafsu menguasai sumber-sumber daya alamnya, dan kini nyaris semuanya diobral pemerintah.
Temuan ketiga saya yang mengejutkan adalah Batavia dan Soerabaja bersih. Lain dengan kota masa kini yang penuh billboard dan spanduk, pasar tumpah, dan sejuta angkot.
Temuan keempat saya yang mendebarkan ialah penduduk awal 1940-an sekitar 70 juta jiwa. Batavia enggak ramai seperti saat jutaan "pengacara" (penganggur banyak acara) ikut kampanye Pilgub DKI pekan lalu.
Temuan kelima saya yang mencengangkan adalah Batavia penuh monumen bersejarah. Ada De Harmonie nan megah, Des Indes yang indah, atau Menteng yang tertata.
De Harmonie jadi tempat parkir istana, Des Indes jadi tempat belanja, dan Menteng yang mesti dilestarikan malah "diperkosa".
Temuan keenam saya yang di luar perkiraan adalah bangsa sini suka tersenyum, termasuk orang Betawi di pasar serta Sultan Maluku dan istri. Tak ada demonstran antikeberagaman, tarian cakalele ala RMS, apalagi amok massa.
Temuan ketujuh saya yang mengagumkan, ada potongan pidato Panglima Armada Jepang Laksamana Isoroku Yamamoto. "Kalian 50 juta rakyat, saya minta kamu insaf sedalam-dalamnya dan berdirilah untuk bersatu."
Rupanya Belanda dan Jepang dari dulu setengah mati memohon agar bangsa ini bersatu. Mereka tahu bangsa ini lebih percaya "bersatu kita runtuh, bercerai kita teguh".
Temuan kedelapan saya yang menggembirakan adalah Bung Karno mengenalkan slogan "Amerika kita setrika, Inggris kita linggis". Slogan rezim saat ini, "Kita kasih semua ke Amerika, lalu kita mengemis dari Inggris".
Temuan kesembilan saya yang mengharukan, Jepang merekrut para pemuda jadi tentara Peta pelahap bento dan ikut lomba sumo. Tentara memang dilarang "melahap" rakyat, apalagi berlomba menaruh kakak, adik, atau ipar di pos-pos bergengsi.
Temuan kesepuluh saya yang menyenangkan adalah para pelajar di Situ Lembang, Menteng, bersepeda atau jalan kaki menuju Sekolah Rakjat Akebono. Maklum, belum ada motor.
Temuan kesebelas saya yang mendebarkan pemimpin dulu penutur bahasa Indonesia, Belanda, Jepang, dan Inggris sekaligus. Mereka bukan kayak pemimpin sekarang yang berkelas penutur alias pandai berteori.
Dan, temuan yang keselusin atau yang terakhir merupakan "ibu dari segala temuan" (mother of invention). Ini temuan saya yang amat sangat diandalkan.
DVD itu berisi adegan rakyat gembira bernyanyi Indonesia Raya versi asli 17 Agustus 1945! Waktu SD kaki saya pegal saat menyanyikan extended version-nya dan kepala pusing waktu menghafal liriknya.
Lagu kebangsaan Inggris, God Save the Queen, dipotong untuk menghemat waktu saat acara penerimaan medali olimpiade. Apakah lirik Indonesia Raya disingkat karena alasan itu, emangnya gua pikirin.
Di banyak negara bendera dibakar atau jadi bikini. Saya ingat tahun lalu polisi kurang kerjaan menahan warga yang tak mengibarkan bendera pas 17 Agustus.
Lebih kurang kerjaan mereka yang membakari buku pelajaran di Depok. Bangsa ini menganggap sejarah kayak semen atau paku di "toko material", cuma kenal barangnya tanpa paham maknanya.
Makanya banyak yang ngiler kepada Mahaputra alias suka pamrih. Makanya tak satu pun pejabat mengucapkan duka saat Chrisye meninggal dunia beberapa bulan lalu.
Banyak yang ingin dimakamkan di Kalibata. Namun, tak sedikit pahlawan tak sudi ada di satu kompleks dengan terpidana korupsi yang dikubur di sana.
Saya bukan pakar yang gemar bikin gempar. Saya bukan "penggiat", "penggagas", "pemerhati", atau "peminat" lagu kebangsaan, apalagi calon politisi "indie".
Namun, waktu isu "indie" lagi hangat, saya tanya pengurus Gerakan Jakarta Merdeka (GJM) dalam sebuah diskusi. "Emangnya Jakarta belum merdeka? Siapa sih yang menjajah?"
Sejak akhir 1950-an saya dua kali tinggal di Jakarta Selatan, sekali di Jakarta Barat, dan dua kali punya KTP Jakarta Pusat. Selama setengah abad enggak ada tuh yang nekat menjajah Ibu Kota.
Oh, ternyata GJM tak mau kalah sama Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Wah, pakar pun mau angkat senjata.
Pakar A berteori RI "negara gagal", pakar B bilang RI "demokrasi belum jadi". Pemimpin jual negara, pejabat korupsi, politisi enggak becus, pengusaha tak tahu untung, dan ada kelompok yang "ingin tampil beda".
Namun, jangan salahkan Indonesia. Kalau tak suka, mengutip slogan terkenal Bung Karno, "You can go to hell".
Dan, Ismail Marzuki menambahkan, Indonesia tanah air beta, pusaka abadi nan jaya/ Indonesia sejak dulu kala/ tetap di puja-puja bangsa. Merdeka!
Tuesday, August 07, 2007
POLITIKA: Jangan Salahkan Indonesia
Posted by RaharjoSugengUtomo at 10:18 AM
Labels: HeadlineNews: Kompas
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment