BISNIS - Jumat, 13/07/2007 14:42 WIB
oleh : Anthony Dio Martin
Director HR Excellency
Orang sering mengaitkan kondisi sekarang dengan masa depan. Apa yang terjadi sekarang akan merajut masa depan. Tapi, mari simak dulu pengalaman Dave Pelzer, seorang penulis buku bestseller.
Dave Pelzer menuliskan kisah hidupnya dalam triloginya yang terkenal, A Child Called It, The Lost Boy, dan A Man Named Dave. Belum lama ini, Dave menulis rangkuman kisah hidupnya dalam buku Help Yourself. Biografi Dave Pelzer menjadi terkenal lantaran termasuk kategori kisah penganiayaan anak terberat di California.
Sepotong kisahnya seperti ini. Selama 12 tahun pertama, Dave mengalami penyiksaan fisik dan psikis dari ibunya yang pecandu alkohol.
Penderitaan Dave seolah tak berujung. Dave harus minum dari talang air berkarat yang bocor. Ia terpaksa puasa 10 hari karena tidak boleh makan. Ia juga sering dilarang bicara di rumah. Dave mengakui tidak pernah dibesarkan di rumah, tapi di garasi.
Nah, dengan latar belakang yang seperti itu, apa yang terpikir dalam benak Anda? Apa yang akan Anda katakan tentang masa depan Dave? Wajar jika disimpulkan bahwa orang yang masa kecilnya mengalami kekelaman akan membuat kehidupan di masa depannya tidak ideal.
Tapi, jangan kaget, justru Dave mengalami masa gemilang di masa depannya. Ia bergabung dengan kesatuan khusus angkatan udara Amerika. Di usia 32 tahun, Dave terpilih sebagai Ten Outstanding Young American. Salah satu penerimanya adalah John F Kennedy.
Dari pengalaman
Kita bisa banyak belajar dari pengalaman Dave. Inilah pelajaran bahwa masa lalu tidak identik dengan masa depan. Masa lalu yang kelam tidak berarti masa depan kita juga kelam. Dave hanyalah salah satu contoh. Ratu talkshow dunia, Oprah Winfrey, juga dibesarkan dalam keluarga yang broken home.
Baik Dave maupun Oprah adalah contoh orang-orang yang melepaskan diri dari masa lalunya. Mereka tidak terikat dengan mimpi buruk di masa lalu. Mereka menjadi orang yang bebas dan independen merajut masa depannya.
Nah, untuk mengatasi agar masa lalu tidak menjadi beban bagi kehidupan kita, Dave Plezer memberikan tiga catatan penting. Pertama, lepaskan ransel emosi masa lalu yang memberatkan langkah maju kita.
Kedua, pahamilah apa yang menjadi dambaan dan mimpi dalam kehidupan kita. Kita perlu merumuskan tujuan dan harapan hidup kita masing-masing. Dengan ini, kehidupan kita menjadi begitu berharga untuk dijalani.
Ketiga, rayakan siapa dan apa adanya diri kita sekarang. Hidup dengan segala realitasnya ini harus berani diamini dan dirayakan. Carl Rogers mengatakan manusia yang dewasa mampu hidup sekarang dan di sini (hic et nunc). Ia mampu mengapresiasikan masa kini. Sementara, banyak orang membenci kenyataan dirinya.Tapi, yang dewasa akan belajar berdamai dan menerima apa pun yang terjadi.
Friday, July 13, 2007
Masa depan tidak identik masa lalu
Posted by RaharjoSugengUtomo at 4:16 PM 0 comments
Labels: MOTIVASI: Kolom BISNIS Minggu
Kejujuran Tukang Cukur
http://www.eramuslim.com/atk/oim/7306165201-kejujuran-tukang-cukur.htm?other
7 Mar 07 06:06 WIB
Oleh A. Muttaqin
Ahad 5 Maret 2007, direncanakan aku memimpin shalat sunnah dan khatib Gerhana bulan total. Perlu ke tukang cukur, sekedar merapihkan rambut dan menjaga penampilan.
Setengah jam duduk di bangku kayu terasa begitu cepat. Selama itu pula aku mendengarkan cerita Mang Udin sambil ia memangkas rambutku. Tutur katanya halus, lugas, kadang-kadang kedengaran lucu. Mungkin karena aksen Sundanya yang masih kental. Asyik menikmati obrolannya yang polos dan lugu. Padahal seingatku, ini baru kali kedua aku mampir ke kedai cukur miliknya.
Tapi, ia mampu membangun suasana menjadi lebih akrab, seolah kami berdua telah lama kenal. Aku tak mengira, dari cerita perjalanan karirnya sebagai tukang cukur, ternyata, Bayu Sutiono pembaca liputan 6 SCTV yang terkenal itu, adalah orang yang sejak kecil ia kenal, sering dititipikan ibunya di kedai saat ibunya belanja ke pasar.
Tentu, sering ia cukur, sampai pada kisah ia menemukan dompet yang berisi sejumlah uang, ATM, STNK BMW dan SIM yang ia rahasiakan temuannya itu pada rekan kerjanya juga pada isterinya sekalipun. Awalnya aku ragu, karena lelaki ini tinggi besar dan berkumis tebal. Kesanku satu; galak. Bayanganku ternyata meleset setelah mencermati obrolannya yang mengalir wajar.
“Mang, uang satu juta setengah itu, kan lumayan. Kira-kira dapet TV 21 inci loh. Kenapa dikembalikan?”. Aku mencoba merespon ceritanya yang ini. Aku merasa ceritanya memiliki kesamaan pesan dengan pengalamanku beberapa waktu lalu.
Aku mencoba menggalinya lebih jauh. Kuraba hatinya. Kudengar suara nuraninya. Apakah seorang tukang cukur seperti dirinya memiliki daya tahan yang tangguh dalam pergulatan hidup tentang benar-salah. Halal-haram atau entahlah namanya. Tujuanku satu, ingin membuktikan, bahwa kejujuran itu bisa menjadi milik siapa saja dan dapat dicampakkan oleh siapa saja. Kejujuran bukan dominasi pura ustadz, kyai, pendeta, pastor, bhiksu atau sederatan “gelar suci”keagamaan lainnya. Atau justru aku menemukan nilai-nilai sakral itu pada diri Mang Udin, tokohku kali ini.
“Untuk apa den. Enaknya sebentar, sengsaranya seumur-umur”.
“Maksud mamang?“. Aku mulai penasaran dan tertarik. Bukan lagi karena aksen Sundanya itu, tetapi ceritanya mulai menerabas ruang gelap yang dalam. Sisi paling jernih dari perangkat hidup kita. Nurani. Inilah yang aku cari.
“ Kalau saja waktu itu mamang nurutin keinginan, pasti mamang ambil. Tinggal kuras isinya. Lempar dompetnya ke kali, selasai urusan. Tapi kan, kita tahu, dosa dan kesalahan yang ada kaitannya dengan hak orang lain, tidak selesai urusannya hanya pada Gusti Allah. Mamang mah engga sanggup kalau nanti harus berurusan dengan yang punya dompet di akherat nanti”.
Aku tertegun dalam, dalaam sekali. Berhusnuzzhan pada Allah, semoga ini adalah kejernihan dan kejujuran yang bukan basa-basi. Aku mulai mengikat satu persatu pembuktianku atas pesan yang sedang dibangun Mang Udin. Mungkinkah, Mang Udin bukan tukang cukur biasa? Sedikit, perlahan dan hati-hati aku memetik buah hikmah dari setiap tuturnya. Aku melihat kilauan mutiara yang keluar dari orang yang sementara anggapanku sebagai “orang biasa” seperti kebanyakan yang lain.
Dia yang setiap hari hanya bergelut dengan mekanisme kerja gunting, pisau dan sisir itu, apakah memiliki kepekaan dan kecerdasan religi yang setara dengan para filosof dan para cendikia. Bahkan mungkin akan lebih tinggi nilainya jika hanya diukur semata-mata dari jasad fisik Mang Udin. Jika terbukti, menurut logika guru sepertiku, Mang Udin telah berhasil mengartikulasikan nilai-nilai kejujuran dengan sangat jernih dari pengalaman hidupnya tanpa retorika akademis filosofis. Sederhana, jelas, lugas dan tanpa basa-basi yang kaku dan memenjarakan akal.
Padahal di dunia kehidupan yang semakin renta ini, nilai-nilai kejujuran, kejernihan hati, kepekaan sosial sudah semakin jauh ketinggalan dengan semangat hidup individualis yang melesat cepat dengan tolok ukurnya adalah materi. Setiap tindakan selalu ditakar dengan logika dagang; untung rugi. Menolong orang selalu dilihat dengan kaca mata barter. Aku berkesimpulan, sekali lagi jika terbukti, ... Mang Udin telah menjadi makhluk langka.
Aku tidak sabar memuntahkan semua keingintahuanku lebih banyak. Menurutku, Mang Udin harus “kupaksa” ngomong lagi. Baru kali ini seemur hidupku, kuliah akhlak dengan tukang cukur, makanya jangan sia-siakan dia.
“ Cambang cukur tidak?”, aku agak kaget, ah tapi bukan ini omongan yang kumaksud. Dalam benak, ternyata aku begitu hanyut sampai jauh, aku malah bergelut sendiri dengan wacana yang dinarasikan Mang Udin.
”Cukur aja deh “. Jawabku sekenanya.
“Mang, mamang kan hanya nemu di jalan. Mamang bukan mencuri atau sengaja mengambil dari kantong orang itu seperti para copet mencari nafkah “. Aku buru-buru menggiring sisa obrolannya kepada topik yang belum tuntas dikupasnya. Mudah-mudahan masih ada yang dapat kucerna dan membuat hatiku kenyang.
“Apa bedanya?”. Mang Udin balik bertanya, seolah dia telah memegang dan menebak alur fikiranku ke mana akan kuarahkan. Aku berfikir lagi, cerdas juga orang ini.
“Baik mencurinya maupun menemukannya di jalan dompet itu, toh bagi pemiliknya sama-sama kehilangan. Sama-sama dirasakan susahnya. Mengambilnya dengan sengaja, atau tidak mengembalikan kepadanya sebab menemukannya, sama-sama bikin susah orang. Tentu, kita juga akan merasakan kesusuhan jika kebetulan pemilik dompet tersebut adalah diri kita sendiri“. Waw!, semakin kukuh dugaanku, Mang Udin tidak sekedar tukang cukur.
“Lalu kenapa mamang rahasiakan, sampai-sampai isteri mamang ga pernah tahu kalau mamang pernah nemu dompet dengan isinya satu setengah juta beserta embel-embelnya?”. Mudah-mudahan aku puas mendengar jawaban terakhir dari pertanyaanku ini.
Kulihat dari cermin di depanku, Mang Udin tersenyum kecil. Wajahnya masih seperti awal dia cerita, santai.
“Den, mamang sendirian yang tahu saja, udah berat rasanya. Perang batin, antara harus mengembalikan atau diambil saja, kejujuran mamang hampir-hampir kalah. Apalagi kalo mamang cerita sama temen atau melibatkan isteri misalnya, pasti mereka akan ngasih saran yang yang macem-macam. Tambah bingung, yang ini begini, yang lain begitu. Jangan-jangan akhirnya malah nurutin keinginan mereka. Iya kalo sarannya baik, kalo malah nuntut mamang tidak jujur. Ah, ga tahu lah. Yang penting mah, mamang sudah ngembalikan. Rezeki ga ke mana”.
Aku tidak lagi terlalu tertarik bercermin untuk memperhatikan lahiriah setelah dipangkas setelah jawaban terakhir ini. Aku lebih merasa, bahwa merapihkan penampilan batin jauh lebih menentramkan hati dan membawa keberkahan hidup. Kurogoh kantung, kulunasi ongkos pangkas, dan pamit. Aku tahu, di sebelahku, sudah ada pelanggan yang juga ingin dicukur.
Aneh, aku merasa puas atas semua yang dialami Mang Udin melalui ceritanya. Aku seperti berjalan tegak menatap ke depan sambil membawa kemenangan. Lagi-lagi aku menenemukan kejujuran dari tempat yang tidak pernah kuduga. Dan lagi-lagi, kejujuran bisa menjadi milik siapa saja, kapan saja dan di mana saja.
Pengalaman hidup memang bagai madrasah besar yang mengajarkan banyak hal. Tentang hitam-putih, susah-senang, baik-buruk, pasang-surut dan sederet guratan taqdir yang harus kita jalani. Kurikulumya adalah rumah tangga, masyarakat dan alam sekitar. Pelakunya adalah manusia dengan berbagai profesi, karakter dan falsafah hidupnya. Tukang cukur hanyalah sebutan, guru hanyalah sebutan, jendral hanyalah sebutan. Mang Udin memang tukang cukur, tapi menurutku, ia adalah alumni madrasah besar itu yang telah berhasil menerapakan studinya tentang akhlak dan kejujuran. Yang jelas, jiwa dari kurikulum itu hanya satu, Iman.
Haturnuhun Mang Udin.
abdul_mutaqin@yahoo.Com, Ciputat, 06 Maret 2007.
Posted by RaharjoSugengUtomo at 2:11 PM 0 comments
Labels: Inspiring Stories
Matematika Gaji dan Logika Sedekah
22 Jun 07 17:14 WIB
http://www.eramuslim.com/atk/oim/7622092341-matematika-gaji-dan-logika-sedekah.htm
Oleh A. Muttaqin
Dalam satu kesempatan tak terduga, saya bertemu pria ini. Orang-orang biasa memanggilnya Mas Ajy. Saya tertarik dengan falsafah hidupnya, yang menurut saya, sudah agak jarang di zaman ini, di Jakarta ini. Dari sinilah perbincangan kami mengalir lancar.
Kami bertemu dalam satu forum pelatihan profesi keguruan yang diprogram sebuah LSM bekerja sama dengan salah satu departemen di dalam negeri. Tapi, saya justru mendapat banyak pelajaran bernilai bukan dari pelatihan itu. Melainkan dari pria ini.
Saya menduga ia berasal dari kelas sosial terpandang dan mapan. Karena penampilannya rapih, menarik dan wajah yang tampan. Namun tidak seperti yang saya duga, Mas Ajy berasal dari keluarga yang pas-pasan. Jauh dari mapan. Sungguh kontras kenyataan hidup yang dialaminya dengan sikap hidup yang dijalaninya. Sangat jelas saya lihat dan saya pahami dari beberapa kali perbincangan yang kami bangun.
Satu kali kami bicara tentang penghasilan sebagai guru. Bertukar informasi dan memperbandingkan nasib kami satu dengan yang lain, satu sekolah dengan sekolah lainnya. Kami bercerita tentang dapur kami masing-masing. Hampir tidak ada perbedaan mencolok. Kami sama-sama bernasib "guru" yang katanya pahlawan tanpa tanda jasa. Yang membedakan sangat mencolok antara saya dan Mas Ajy adalah sikap hidupnya yang amat berbudi. Darinya saya tahu hakikat nilai di balik materi.
Penghasilannya sebulan sebagai guru kontrak tidak logis untuk membiayai seorang isteri dan dua orang putra-putrinya. Dia juga masih memiliki tanggungan seorang adik yang harus dihantarkannya hingga selesai SMA. Sering pula Mas Ajy menggenapi belanja kedua ibu bapaknya yang tak lagi berpenghasilan. Menurutnya, hitungan matematika gajinya barulah bisa mencukupi untuk hidup sederhana apabila gajinya dikalikan 3 kali dari jumlah yang diterimanya.
"Tapi, hidup kita tidak seluruhnya matematika dan angka-angka. Ada dimensi non matematis dan di luar angka-angka logis."
"Maksud Mas Ajy gimana, aku nggak ngerti?"
"Ya, kalau kita hanya tertuju pada gaji, kita akan menjadi orang pelit. Individualis. Bahkan bisa jadi tamak, loba. Karena berapapun sebenarnya nilai gaji setiap orang, dia tidak akan pernah merasa cukup. Lalu dia akan berkata, bagaimana mau sedekah, untuk kita saja kurang."
"Kenyataannya memang begitu kan Mas?", kata saya mengiayakan. "Mana mungkin dengan gaji sebesar itu, kita bisa hidup tenang, bisa sedekah. Bisa berbagi." Saya mencoba menegaskan pernyataan awalnya.
"Ya, karena kita masih menggunakan pola pikir matematis. Cobalah keluar dari medium itu. Oke, sakarang jawab pertanyaan saya. Kita punya uang sepuluh ribu. Makan bakso enam ribu. Es campur tiga ribu. Yang seribu kita berikan pada pengemis, berapa sisa uang kita?"
"Tidak ada. Habis." jawab saya spontan.
"Tapi saya jawab masih ada. Kita masih memiliki sisa seribu rupiah. Dan seribu rupiah itu abadi. Bahkan memancing rezeki yang tidak terduga."
Saya mencoba mencerna lebih dalam penjelasannya. Saya agak tercenung pada jawaban pasti yang dilontarkannya. Bagaimana mungkin masih tersisa uang seribu rupiah? Dari mana sisanya?
"Mas, bagaimana bisa. Uang yang terakhir seribu rupiah itu, kan sudah diberikan pada pengemis ", saya tak sabar untuk mendapat jawabannya.
"Ya memang habis, karena kita masih memakai logika matematis. Tapi cobalah tinggalkan pola pikir itu dan beralihlah pada logika sedekah. Uang yang seribu itu dinikmati pengemis. Jangan salah, bisa jadi puluhan lontaran doa’ keberkahan untuk kita keluar dari mulut pengemis itu atas pemberian kita. Itu baru satu pengemis. Bagaimana jika kita memberikannya lebih. Itu dicatat malaikat dan didengar Allah. Itu menjadi sedekah kita pada Allah dan menjadi penolong di akhirat. Sesungguhnya yang seribu itulah milik kita. Yang abadi. Sementara nilai bakso dan es campur itu, ujung-ujungnya masuk WC."
Subhanallah. Saya hanya terpaku mendapat jawaban yang dilontarkannya. Sebegitu dalam penghayatannya atas sedekah melalui contoh kecil yang hidup di tengah-tengah kita yang sering terlupakan. Sedekah memang berat. Sedekah menurutnya hanya sanggup dilakukan oleh orang yang telah merasa cukup, bukan orang kaya. Orang yang berlimpah harta tapi tidak mau sedekah, hakikatnya sebagai orang miskin sebab ia merasa masih kurang serta sayang untuk memberi dan berbagi.
Penekanan arti keberkahan sedekah diutarakannya lebih panjang melalui pola hubungan anak dan orang tua. Dalam obrolannya, Mas Ajy seperti ingin menggarisbawahi, bahwa berapapun nilai yang kita keluarkan untuk mencukupi kebutuhan orang tua, belum bisa membayar lunas jasa-jasanya. Air susunya, dekapannya, buaiannya, kecupan sayangnya dan sejagat haru biru perasaanya. Tetapi di saat bersamaan, semakin banyak nilai yang dibayar untuk itu, Allah akan menggantinya berlipat-lipat.
“Terus, gimana caranya Mas, agar bisa menyeimbangkan nilai metematis dengan dimensi sedekah itu?”.
“Pertama, ingat, sedekah tidak akan membuat orang jadi miskin, tapi sebaliknya menjadikan ia kaya. Kedua, jangan terikat dengan keterbatasan gaji, tapi percayalah pada keluasan rizki. Ketiga, lihatlah ke bawah, jangan lihat ke atas. Dan yang terakhir, padukanlah nilai qona’ah, ridha dan syukur”. Saya semakin tertegun
Dalam hati kecil, saya meraba semua garis hidup yang telah saya habiskan. Terlalu jauh jarak saya dengan Mas Ajy. Terlalu kerdil selama ini pandangan saya tentang materi. Ada keterbungkaman yang lama saya rasakan di dada. Seolah-oleh semua penjelasan yang dilontarkannya menutup rapat egoisme kecongkakan saya dan membukakan perlahan-lahan kesadaran batin yang telah lama diabaikan. Ya Allah saya mendapatkan satu untai mutiara melalui pertemuan ini. Saya ingin segera pulang dan mencari butir-butir mutiara lain yang masih berserak dan belum sempat saya kumpulkan.
***
Sepulang berjamaah saya membuka kembali Al-Qur'an. Telah beberapa waktu saya acuhkan. Ada getaran seolah menarik saya untuk meraih dan membukanya. Spontan saya buka sekenanya. Saya terperanjat, sedetik saya ingat Mas Ajy. Allah mengingatkan saya kembali:
"Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui." (Terjemah QS. Al-Baqarah [2] 261)
Posted by RaharjoSugengUtomo at 2:02 PM 0 comments
Labels: Inspiring Stories
Bersabar dari yang Haram
Dikutip dari sini:
http://www.eramuslim.com/atk/oim/7709123539-bersabar--haram.htm
12 Jul 07 04:44 WIB
Oleh Muhammad Rizqon
Matahari tergelincir dari titik zenitnya, memberi rasa terik rumah-rumah di area pemukiman padat “Jalan Baru”, yang berdinding setengah bata-setengah papan, beratap seng, dan berdempetan satu sama lain. Di tengah-tengah pemukiman itulah kami tinggal. Kami baru saja sholat dhuhur berjamaah di masjid, lalu beristirahat. Makan siang sudah kami lakukan di kantor.
“Teng tong.. Assalamu’alaikum!?” Bel bersuara “salam” berbunyi. Bel itu, sengaja kami beli untuk mengetahui tamu-tamu yang datang. Kontrakan kami ada dua lantai. Lantai satu, kami biarkan kosong karena gelap. Di situ ada kamar mandi dan dapur. Lantai dua, kami fungsikan sebagai ruang tamu, ruang tidur, dan ruang pertemuan. Tidak ada perabot yang berarti, kecuali ruang kosong beralas karpet plastik tebal. Ada jendela besar, berlatar pemandangan Gunung Nona. Pemandangan itulah yang bisa mengurangi “kesumpekan” karena keterbatasan ruang.
Segera kubergegas turun menjemput siapa yang datang. “Wa’alaikum salam!. Masuk Tri!”. Yang datang rupanya Tri Winoto. Dia berkantor di Gedung Keuangan Negara Ambon, yang berjarak sekitar 500 meter. Ada masjid kecil di sekitar kantor, namun dia lebih sering sholat dhuhur di Masjid Al-Fatah, masjid terbesar dan menjadi kebanggaan warga muslim kota Ambon. Biasanya habis sholat di sana, dia singgah ke tempat kami, yang hanya berjarak sekitar 20 meter di muka masjid tersebut.
Sebenarnya tidak hanya Tri yang sering berkunjung, teman-teman yang tersebar di kota ini suka sholat dhuhur di masjid besar itu, sekalian makan, kemudian mampir istirahat di tempat kami. Di seputaran masjid memang banyak ditemukan rumah makan. Kami bersyukur, rumah kami ramai, dan insya Allah membawa keberkahan tersendiri.
“Pak, saya numpang makan di sini ya!”. Kata Tri sambil mengeluarkan “Tupperware”nya. Itulah uniknya dia, sering dibawakan “bekal” makanan oleh isterinya. Ada beberapa alasan. Selain hiegienis, murah, dan terjamin kehalalannya. Satu lagi, dia selalu memuji kelezatan masakan isterinya. Di samping memang lezat juga karena berbumbu ”perhatian, cinta, kasih sayang, dan komitmen”. Dia selalu memprovokasi kami untuk mengikuti jejaknya segera menikah.
Tri mulai menikmati masakannya, sedangkan kami kadang menemani sambil membaca koran, tiduran, atau ikut makan bersama dengan beli di warung terdekat. Biasanya kami ngobrol-ngobrol ringan seputar kantor, kondisi teman-teman, program dakwah, atau tema-tema keluarga dan pernikahan. Maklum, kami bujangan. Dan perlu belajar dari yang berpengalaman.
“Teman-teman di kantor biasa makan di mana, Tri?”. Kami bertanya. Dia cerita bahwa sebenarnya, kantor menyediakan makan siang untuk pegawai. Awalnya menjadi keharusan. Tetapi karena bosan, akhirnya keinginan untuk mencari variasi dan makan di luar, tidak bisa di cegah. Bagi yang mau silahkan, yang tidak silahkan. “Kami sejak awal memang menghindar. Itu kan diambil dari dana taktis”. Bukan cuma Tri yang memiliki pemahaman demikian dan menolak fasilitas itu. Masih ada teman yang lain. Sudah jamak diketahui, instansi “keuangan” itu berlimpah dengan uang. Pegawainya memiliki nilai lebih. Menjadi incaran orang tua yang memiliki anak gadis untuk dinikahkan dengannya. Yah, pokoknya hebat.
Memang ironis. Banyak persepsi salah tentang penghasilan pegawai negeri yang sebenarnya. Mereka tertipu oleh penampilan dan gaya hidup mayoritas pegawai. Padahal ada orang seperti Tri, yang hidup bersahaja, apa adanya, dan menjaga diri dari penghasilan yang “tidak jelas”.
Masalah Makanan siang di kantor bagi dia masalah kecil. Bisa ditolak dengan berbagai alasan. Yang sering menggelisahkan adalah kejadian-kejadian saat dia melakukan pemeriksaan lapangan. Yaitu harus menerima uang atas nama terima kasih, jamuan pemeriksaan, dan uang-uang “siluman” lainnya.
Untuk menyelamatkan integritasnya, dia sudah mengajukan kepada kepala kantor agar di pindah ke bagian Tata Usaha. Tidak ada apa-apanya memang. Bahkan dia akan kehilangan honor lapangan. Tapi dia begitu menjaga dari sesuatu yang dia takutkan.
‘Mas, hati-hati ya. Insya Allah kami sabar dan bisa lapar dalam memperoleh yang halal. Tapi kami tidak sabar dengan panasnya api neraka. ’ Itulah perkataan isteri tercinta, bergema saat dia keluar dari rumah kontrakannya yang kecil, di bukit Tantui. Suatu nasehat dan penyemangat, agar istiqomah dalam menerima yang halal, dan mengabaikan yang haram.
Hatiku menghiris, pilu, tanpa sadar menitiskan air mata. Aku berenung, apakah aku akan bisa sesabar mereka, bergelut di tengah kedurjanaan. Hanya kepada Allah kami mohon bimbingan.
*** Hari berganti hari. Kami berpisah meniti jalan hidup masing-masing. Sepuluh tahun aku meninggalkan kenangan di kota Ambon.
Hari ini aku membaca berita, ada reformasi birokrasi di terapkan di Departemen Keuangan. Institusi ini dinilai paling rawan, namun pelayanannya sangat diperlukan masyarakat. Jika sistem penggajian antara pegawai negeri dan swasta masih terlalu njomplang, tidak seimbang, maka sulit untuk mendapatkan kualitas pelayanan yang memadai.
Sebelumnya juga aku mendengar telah ada reformasi di beberapa kantor di departemen itu, menjadi kantor-kantor pelayanan modern. Baru percontohan, dan akan diterapkan bertahap.
Tiba-tiba aku teringat Tri. Orang-orang seperti dia, memang pantas menerima kabar baik ini. Aku bersyukur. Semoga ini adalah buah dari ketaatan dari orang-orang seperti Tri. Yang selama ini terdholimi, karena tidak bisa menikmati kue, saat yang lain memperebutannya. Aku belajar ketaatan dari Tri, aku belajar tentang makna kesabaran. Allah maha adil. Pasti tidak akan mentelantarkan hamba-hamba Nya yang taat. Waallahu’alam Bishshawab.
Posted by RaharjoSugengUtomo at 1:31 PM 0 comments
Labels: Inspiring Stories
Apakah Anda manusia Paranoia atau pronoia
BISNIS - Jumat, 06/07/2007 14:27 WIB
oleh : Anthony Dio Martin
Managing Director HR Excellency
"Anda menciptakan semesta Anda sendiri saat Anda memulainya." (Winston Churchill)
Perasaan takut dan khawatir itu lumrah dalam hidup. Tapi, kalau setiap saat selalu dihantui oleh rasa takut, itu namanya sakit.
Ada orang yang selalu dihantui rasa takut. Sejak bangun pagi, yang ada di dalam benaknya selalu kekhawatiran. Rentetan persoalan seolah sudah ada di depan mata. Hidup dirasakan sebagai beban. Tak heran, jika orang macam ini tidak pernah tersenyum di pagi hari atau bersyukur atas hari baru. Nah, orang yang selalu dihantui oleh perasaan cemas dan khawatir bisa bisa digolongkan dalam tipe manusia paranoia.
Orang-orang seperti itu bisa kita temui di banyak tempat. Di tempat kerja, kita pun bisa melihat banyak sekali manusia paranoia ini. Mereka selalu bertanya-tanya dalam dirinya, "Masalah apa yang akan saya temui hari ini?" Orang paranoid selalu disibukkan dengan pikiran-pikiran negatif.
Orang ini selalu memikirkan masalah. Bahkan, menganggap hidup adalah serangkaian masalah yang tak kunjung purna. Hidupnya pun tidak bersemangat. Keluhan selalu ada di mulutnya. Kreativitasnya pun tumpul. Termasuk, ia bisa menjadi orang yang sakit-sakitan lantaran psikosomatis.
Apabila masalah akhirnya menghampiri, pikiran orang paranoid akan segera mengamini. "Nah, apa saya bilang. Pasti ada masalah." Lantas, saat hari berlalu dan saat orang lain menyapanya, dengan lesu orang paranoid selalu berkata, "Seperti biasa. Banyak masalah yang tidak pernah selesai." Padahal, segala yang negatif itu datang karena pikiran negatif orang itu.
Dalam DVD dan bukunya The Secret, Rhonda Byrne menegaskan, pikiran mempunyai frekuensi dan daya timbal balik. "Pikiran yang sedang Anda pikirkan saat ini sedang menciptakan kehidupan masa depan Anda," katanya. Nah, pikiran negatif akan menarik hal dan kejadian negatif. Demikian juga sebaliknya.
Anda tetaplah manusia merdeka. Anda berhak memilih. Anda bukan budak dari pikiran-pikiran Anda itu. Nah, Anda pun bisa mengubah pikiran negatif menjadi sebaliknya. Lawan kehidupan penuh paranoia adalah pronoia. Rob Brosny mengembangkan gagasan ini dalam bukunya berjudul Pronoia. Beda dengan orang paranoia, orang pronia selalu memfokuskan hidupnya pada hal-hal baik. Ia selalu menguasai pikiran positif.
Menyukuri karunia
Saat bangun pagi, orang pronoia akan memikirkan, "Hal menarik apa yang akan saya alami hari ini? Kejadian menyenangkan seperti apa yang akan kujumpai?" Orang pronia selalu mengamini pergantian hari. Ia selalu tersenyum setiap hari baru tiba.
Hidupnya penuh syukur. Hidup adalah rangkaian keajaiban yang menyenangkan. Orang pronia juga menyadari masalah akan datang. Tapi, ia melihatnya secara positif. "Kalau ada masalah, baguslah. Ini akan menjadi pelajaran berhaga bagiku. Tapi, ada hal yang jauh lebih berharga ketimbang masalah itu, yakni mensyukuri karunia-karunia sepanjang hari ini," ungkapnya.
Orang pronoia selalu memandang semesta alam ini yang senantiasa mewujudkan kebutuhannya. Ia memandang alam semesta secara positif. Lisa Nichols, seorang penulis buku Chicken Soup for the African American Soul, mengatakan, "Biarkan semesta mengetahui apa yang Anda inginkan. Semesta selalu merespons pikiran-pikiran Anda," katanya.
Apa yang ada yang kita pikirkan akan terpancar ke alam semesta untuk direspon. Karena itu, memandang semesta sebagai yang patut disyukuri adalah hal positif. Orang pronoia senantiasa mensyukuri apa yang sudah disediakan semesta. Matahari pagi yang menghangatkan tubuh. Udara segar yang masih bisa dihirup. Transportasi yang mengantar ke tempat kerja. Air minum yang menyegarkan dan sebagainya. Bila ada masalah, orang pronia pun akan dengan bijak menyikapinya dengan optimis.
Mari kita lihat cerita berikut. Ada dua orang pelancong asal Swiss yang melakukan pendakian di sebuah gunung. Saat pulang, mereka terpaksa menumpang sebuah mobil rombeng. Jalannya tersendat-sendat karena mesin tuanya.
Sepanjang jalan, pelancong pertama sibuk mencemaskan kondisi mobil. Ia terbekap rasa khawatir kalau mobil itu mogok di tengah jalan. Ia khawatir kalau bensinnya habis dan tidak ada pom bensin di sana.
Sementara, pelancong kedua tampak santai-santai saja. Ia begitu menikmati pemandangan indah bukit-bukit di negeri cokelat itu. Bukit-bukit yang pucuknya dihiasi salju putih. Beberapa kali ia mengabadikan keindahan itu dengan kamera poketnya.
Setelah satu jam berlalu, akhirnya mobil uzur itu pun tiba di kota yang dituju. "Kok kamu sempat-sempatnya ambil gambar pemandangan itu? Apa kamu tidak cemas?" tanya pelancong pertama. "Apa yang perlu dicemaskan. Seandainya ada masalah, pasti ada jalan keluarnya. Aku suka dengan perjalanan tadi," kata pelancong kedua.
Kisah tadi memperjelas pemahaman kita tentang pronoia. Benar sekali kata seorang guru kebijaksanaan, "Kekhawatiran tidak akan menambah sejengkal pada usia kita." Memang, banyak orang hidup dalam emosi kekhawatiran dan cemas mengenai apa yang belum terjadi. Orang sering takut dan tidak tahu apa yang ia takuti. Akhirnya, orang yang seperti ini tidak bakalan menikmati kehidupan. Hidup hanya menjadi milik orang-orang yang mampu menikmatinya dengan penuh syukur.
Posted by RaharjoSugengUtomo at 9:36 AM 0 comments
Labels: MOTIVASI: Kolom BISNIS Minggu
Tip menghadapi karyawan 'Camper'
Anthony Dio Martin
Director HR Excellency
Tanya:
Bapak Antony Dio Martin,
salam antusias selalu.
Saya A (Branch Manager PT AAA Securities) yang bulan lalu mengikuti smart business forum yg diadakan oleh Smart FM di Medan, juga mengikuti seminar Bapak di Hotel Soechi Internasional, Medan. Juga pembaca setia rubrik Motivasi ini. Ada rencana dibukukan Pak?
Sehubungan dengan training berkala yang diadakan oleh perusahaan kami, saya telah mengusulkan kepada divisi HRD di Jakarta untuk mengundang Bapak sebagai trainer dalam acara training kami. Divisi HRD merespons dengan baik usulan tersebut, dan mudah-mudahan kerjasamanya dapat terlaksana.
Tapi kali ini, saya ingin berkonsultasi dengan Bapak, bagaimana menghadapi karyawan kami yang merasa diri paling hebat sehingga dia merasa tidak perlu untuk belajar apa pun lagi (dianjurkan mengikuti seminar tidak bersedia dengan berbagai alasan), keras kepala, merasa paling benar sendiri, trampil menggunakan emotional blackmail terhadap rekan kerja dan cukup efektif mempengaruhi beberapa karyawan dengan karakter sejenis, dan telah berumur di atas 40-an. Mungkin bapak bisa membantu memberikan saran. Terima kasih.
Salam,
A (identitas ada pada penulis kolom -Redaksi)
Jawaban
Salam antusias selalu Bapak A,
Paul Stoltz, pernah menulis tentang Adversity Quotient, yakni kecerdasan seseorang untuk terus mendaki puncak sukses, serta mengatasi tantangan atau rintangan di depan matanya. Dalam bukunya yang cukup fenomenal ini, Paul membagi manusia menjadi tiga jenis berdasarkan semangat mereka untuk meraih impian dan menggapai kesuksesan yang lebih berarti dalam hidup mereka.
Ke-3 jenis manusia ini adalah, pertama, Quitter, yakni manusia yang takut mengambil risiko. Ia tidak mau mengambil langkah apapun. Saat melihat kesulitan dan tantangan, nyalinya ciut. Dengan tidak melakukan apapun, dia tetap aman tetapi dia tidak akan pernah menjadi siapapun. Celakanya, dia seringkali menertawakan dan mengomentari orang lain yang berusaha.
Kedua, Camper, yakni manusia yang di awal-awal hidupnya masih berusaha, tetapi setelah melalui perjalanan waktu, dia terjebak di dalam comfort zone serta tidak berusaha lagi. Setelah berhenti dan merasa nyaman dalam posisinya, terkadang dia memberikan pengaruh buruk kepada orang lain yang masih mau mencoba.
Ketiga, Climber, tipe inilah yang paling berhasil. Dia tidak mudah terlena, dan masih mau berusaha meningkatkan diri serta menggapai cita-cita yang lebih tinggi.
Bapak A, kalau membaca pertanyaan Anda, tampaknya karyawan yang Anda sebutkan tersebut tergolong bisa kita kategorikan dalam tipe Camper menurut Paul Stoltz. Di satu sisi, mungkin memang karyawan ini memiliki sesuatu kemampuan, yang membuatnya merasa diri hebat. Tetapi di sisi lain, seperti yang Anda katakan, dia tidak mau berusaha lagi untuk belajar. Malahan dia menggunakan emotional blackmail serta mempengaruhi karyawan yang lain, secara negatif. Dengan memahami tipe karyawan tersebut, maka langkah kita berikutnya, apakah yang bisa menjadi respon Anda terhadapnya.
Beberapa saran
Ada beberapa saran. Pertama, pahamilah apa sebenarnya yang mungkin menjadi Unmet Emotional Needs si karyawan senior ini. Apa yang mungkin menjadi penyebab sikap dan tindakannya. Secara psikologis, manusia, meskipun unik biasanya cenderung predictable. Apalagi, jika sebelumnya sikapnya termasuk baik dan tahun-tahun belakangan ini, baru dia bersikap demikian.
Mungkin Anda bisa mencari latar penyebab sikapnya yang demikian. Misalkan, apakah karena merasa sakit hati, apakah tidak cocok dengan style pemimpin sekarang, apakah ada problem interpersonal, apakah dia merasa kurang diperhatikan dengan kepemimpinan sekarang, masalah keluarga dan personal?
Cari tahu, latar kebutuhan ini dan cobalah mendekati dari sisi ini. Pemahaman ini bisa membantu membuka pintu masuk untuk memahami latar belakang emosional yang mungkin membuatnya menjadi negatif di kantor.
Kedua, jangan langsung berkonfrontasi dengan tipe orang ini, sebelum Anda mengumpulkan cukup bukti. Ada baiknya, melalui berbagai sumber dan orang-orang di sekitar, usahakan untuk mengevaluasi lebih detil mengenai berbagai perilakunya yang bisa 'membahayakan' ketenangan organisasi. Bukti dan data detil ini penting sebagai bahan bagi Anda membahasnya dengan dirinya. Kalau tidak, dengan mudah dia bisa mengelak dan mengatakan, "Nggak kok Pak. Saya merasa tidak seperti yang Bapak bilang"
Ketiga, jika Anda berada pada posisi yang tepat, jangan takut pula untuk bicara blak-blakan dengan orang yang demikian. Apalagi, Anda sudah punya cukup bukti bahwa sikapnya memang meracuni organisasi.
Terkadang, kesungkanan kita berbicara, bisa menjadi ongkos yang semakin besar di masa depan bagi produktivitas tim kerja. Jangan-jangan selama ini, tidak pernah ada yang memberikan umpan balik kepadanya. Karena itu, jika memungkinkan, lakukan pembicaraan personal dengan fokus pada perilakunya, tetapi jangan membuat label selama pembicaraan ini.
danya label, sering membuat orang menjadi defensif. Fokus pada perilaku serta dampak yang terjadi. Ajak dia untuk melihatnya. Tegaskan pula apa harapan perilaku yang diinginkan. Lantas, berikan waktu baginya untuk berubah.
Keempat, seperti dikatakan oleh dua praktisi manajemen terkemuka yang mendapat penghargaan di Amerika, yakni Robert Mager dan Peter Pipe yang juga penulis Analysing Performance Problem. Intinya, jangan memberikan reward pada perilaku yang negatif. Banyak atasan atau management yang keliru bertindak, yang justru seakan-akan memberi 'hadiah' kepada sikap mereka yang negarif.
Ada yang bahkan dipromosikan, dengan harapan mereka bisa berubah. Selama sikap mereka belum membaik, lebih baik organisasi tegas 'menghukum' perilaku mereka dengan tidak memberian reward apapun. Juga, selama perilaku mereka belum membaik, lebih baik dibatasi kekuasaan maupun otoritasnya. Khususnya, lingkaran pengaruhnya perlu dibatasi.
Dengan demikian, kita mengkomunikasikan kepada karyawan bahwa kita tidak mentolerir perilaku negatif yang mereka tunjukkan. Seperti dikatakan oleh Robert Pipe dan Peter Pipe lagi, "Don't reward unwanted behavior and punish the desired behavior shown by our employee". Jangan-jangan dia terus-menerus bersikap demikian karena merasa mendapat 'hadiah' dari lingkungan sekitarnya. Komunikasikan secara konsisten, "No better performance and positive attitude, no reward".
Posted by RaharjoSugengUtomo at 9:28 AM 0 comments
Labels: MOTIVASI: Kolom BISNIS Minggu