Tuesday, August 28, 2007

Transisi Konversi ke Elpiji Diperlambat

KOMPAS - Selasa, 28 Agustus 2007

Ketua DPR: Pemerintah Tidak Siap

Jakarta, Kompas - Pemerintah memutuskan untuk memperpanjang masa transisi dari minyak tanah ke elpiji sampai masyarakat lebih siap. Dalam peralihan itu, pemerintah tetap akan memasok minyak tanah ke wilayah yang masyarakatnya sudah menerima paket kompor gas dan tabung elpiji.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro menyampaikan hal tersebut seusai rapat evaluasi pelaksanaan program konversi minyak tanah ke elpiji di Jakarta, Senin (27/8). "Program ini tetap dilanjutkan ke daerah lain. Kompor dan tabung terus dibagikan tetapi minyak tanahnya tidak ditarik. Jadi belum terjadi konversi," ujar Purnomo.
Langkah tersebut, lanjut Purnomo, dilakukan untuk memberi waktu kepada masyarakat untuk menyesuaikan diri. Dengan masa transisi yang lebih lama, masyarakat diharapkan lebih terbiasa sehingga gejolak bisa dihindari. Dalam masa transisi itu, pemerintah akan menggencarkan sosialisasi pemakaian elpiji.
Sebelumnya, pemerintah langsung menghentikan pasokan minyak tanah ke wilayah yang menjalani program konversi. Setelah wilayah DKI Jakarta, Depok, Tangerang, Bekasi, Bandung, dan Cimahi, program konversi akan dilanjutkan ke Semarang dan Surabaya. Pemerintah menargetkan bisa menjangkau 6 juta kepala keluarga di Jawa dan Bali.
Direktur Utama PT Pertamina Ari Soemarno mengatakan, masa transisi dari minyak tanah ke elpiji di wilayah yang menjalani konversi disesuaikan dengan kondisi masyarakat.
"Kalau sebelumnya minyak tanah langsung ditarik mendadak, nanti akan dikurangi pelan-pelan. Konsekuensinya, masa transisi menjadi lebih panjang," katanya.
Tidak siap
Ketua DPR Agung Laksono menilai pemerintah tidak siap dengan kebijakan konversi minyak tanah ke elpiji. Sekalipun ada manfaat yang diterima masyarakat, harus diakui masih banyak masalah yang mesti diatasi. Sosialisasi yang kurang pun menyebabkan masyarakat ragu beralih ke elpiji, terlebih perangkat penunjang konversi itu belum tersedia dengan baik.
Agung berharap konversi tersebut jangan malah mengundang persoalan sosial. "Masyarakat jangan dikecewakan," kata Agung.
Sementara itu, analisis kebijakan publik Universitas Indonesia Andrinof A Chaniago menilai pemerintah sepertinya sedang memaksakan program konversi ini. Hal itu terlihat dari skenario pemerintah dengan mengondisikan rakyat untuk berpikir bahwa minyak tanah bukanlah pilihan. Bagi Andrinof, kasus ini menunjukkan bahwa pemerintah belum belajar dari pengalaman buruknya implementasi kebijakan, seperti soal pembagian beras murah untuk rakyat miskin.
Pengacara dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Sudaryatmo menilai solusi atas kemelut minyak tanah dapat diawali dengan membenahi aspek nonteknis. Aspek itu antara lain menyiapkan masyarakat untuk beralih menggunakan kompor gas. Keamanan penggunaan kompor gas dan mendekatkan distributor minyak tanah yang dipastikan bakal kehilangan margin dari disparitas harga minyak tanah.
"Selama ini energi pemerintah dihabiskan untuk mengurus aspek teknisnya saja, mulai bagaimana tender penyediaan kompor gas, tabung gas, hingga harga jualnya, serta penghematan anggaran dari hasil konversi energi pada tahun-tahun mendatang," ujar Sudaryatmo.
Meskipun mengakui terjadi banyak masalah dalam implementasi di lapangan, pemerintah menolak program tersebut dikatakan gagal. "Jangan bilang program ini gagal total atau semuanya jelek. Ini program bagus kalau bisa dijalankan. Sejak program konversi dijalankan sampai Agustus ini sudah ada penghematan Rp 126 miliar," ujar Purnomo tegas.
Ide Presiden
Secara terpisah Wakil Presiden Jusuf Kalla dengan tegas mengatakan, sebenarnya pemerintah sudah siap. "Hanya, kesiapan agen dan pangkalan minyak tanah di bawah yang masih harus terus didorong untuk beralih. Kita akan terus perbaiki dan sosialisasikan," ujar Wapres.
Jusuf Kalla yang ditanyai mengenai kekacauan dalam program konversi minyak tanah itu mengatakan, program tersebut pertama kali disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan kemudian dibahas lebih lanjut dalam sidang kabinet.
"Bahwa mekanismenya harus diperbaiki, itu iya. Kita akan perbaiki," lanjut Wapres.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan, kecil kemungkinan terjadi pelipatgandaan subsidi minyak tanah akibat gagalnya konversi penggunaan minyak tanah ke elpiji. Hal itu karena realisasi anggaran subsidi akan berdasarkan atas perimbangan antara konsumsi minyak tanah dan elpiji.
Oleh karena itu, PT Pertamina dan seluruh departemen teknis yang terlibat dalam program konversi energi tersebut diminta mengawasi lebih ketat penyaluran kompor gas dan konsumsi minyak tanahnya. (Dot/Osa/Oin/dik/ HAR/GAL/NIT/BAY)

BaCa SeLeNgKaPnYa disini...

Liberalisasi: Pendidikan Kian Menjadi Komoditas

KOMPAS - Selasa, 28 Agustus 2007

Jakarta, Kompas - Pendidikan dikhawatirkan kian menjadi komoditas. Kekhawatiran itu terutama dipicu oleh kebijakan pemerintah yang mencantumkan pendidikan sebagai bidang usaha terbuka dengan persyaratan, yang membuka peluang modal asing untuk masuk.
Persoalan ini mencuat dalam seminar bertajuk "Telaah Kritis Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan dan Peraturan Presiden Nomor 76 dan 77 tentang Penanaman Modal Asing dalam Bidang Pendidikan" di Jakarta, Senin (27/8). Seminar yang diselenggarakan Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah Pimpinan Pusat Muhammadiyah itu terutama menggugat kecenderungan terkini, di mana perspektif ekonomi begitu kuat merasuki dunia pendidikan.
Dalam Peraturan Presiden Nomor 76 dan 77 Tahun 2007—keduanya terkait soal penanaman modal asing—disebutkan bahwa pendidikan dasar dan menengah, pendidikan tinggi, dan pendidikan nonformal sebagai bidang usaha dapat dimasuki modal asing dengan batas kepemilikan maksimal 49 persen.
Menurut mantan Rektor Universitas Gadjah Mada Sofian Effendi, masuknya bidang pendidikan sebagai bidang usaha terbuka bagi penanaman modal asing, meski dengan persyaratan, jelas mengindikasikan bahwa pemerintah telah memosisikan pendidikan sebagai komoditas. Padahal, katanya, persoalan pendidikan bukan sebatas hitungan untung rugi. Di dalamnya, dan ini yang penting, terdapat visi dan misi ideologi bangsa.
Nilai-nilai kebangsaan
"Kalau kepemilikan modal asing sampai di tingkat pendidikan dasar, siapa yang akan bertanggung jawab menanamkan nilai-nilai kebangsaan?" ujarnya.
Hal senada diungkapkan Rektor Universitas Islam Indonesia Edy Suandi Hamid, yang juga Ketua Forum Rektor Indonesia. Ia mengingatkan bahwa pendidikan merupakan kegiatan sosiokultural.
"Apa yang terjadi dengan peserta didik jika mereka mengonsumsi pendidikan yang dimodali oleh orang asing? Tentu nilai-nilai kebangsaan sendiri akan luntur. Pendidikan merupakan amanat konstitusi sehingga negara tidak dapat lepas tangan, sekalipun dengan alasan demi kemandirian," ujarnya.
Menanggapi hal itu, Kepala Pusat Informasi dan Humas Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) Bambang Wasito Adi, yang dihubungi terpisah, mengatakan, peraturan itu terkait dengan berbagai perundingan regulasi Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Bagaimanapun, kata Bambang Warsito Adi, untuk regulasi pelaksanaannya tetap akan di tangan Depdiknas.
"Investasi memang dimungkinkan. Namun, dalam berbagai sidang terkait WTO, untuk bidang pendidikan kita telah menyampaikan konsep persyaratan. Misalnya, lokasi pelaksanaan tidak di seluruh wilayah Indonesia, tapi hanya di kawasan yang secara ekonomi mampu," ujarnya.
Selain itu, penanam modal yang mau masuk harus berasosiasi dengan lembaga pendidikan terakreditasi yang sudah ada di dalam negeri. Dengan demikian, kontrol dan kultur tetap menggunakan yang telah ada. "Penanaman modal asing tak akan dilepas begitu saja," katanya. (INE)

BaCa SeLeNgKaPnYa disini...

TRANSFORMASI EKONOMI: Semangat "Makkareso" Saudagar Bugis

KOMPAS - Selasa, 28 Agustus 2007

NASRULLAH NARA

Terbakarnya Pasar Sentral Hamadi di Kota Jayapura, Papua, pada tahun 2006, tak bisa hilang begitu saja dalam ingatan Daeng Said (51). Peristiwa itu meludeskan aset senilai Rp 1 miliar, hasil perjuangan 20 tahun di tanah Papua.
"Kalau bukan karena kesadaran bahwa nasib yang kita lakoni ini ada yang Maha Mengatur segalanya, mungkin saya jadi stres dan gila," ungkap pria asal Pangkep, Sulawesi Selatan, itu.
Lahir dan besar di lingkungan suku Bugis, Said memegang teguh prinsip reso-pa temmangingi naletei pamamase dewata sewa-E. Artinya, kesuksesan yang diridai Tuhan Yang Maha Esa hanya bisa diraih melalui reso (ikhtiar), usaha gigih, dan kerja keras.
Berkat makkareso alias semangat kerja, Said bangkit kembali. Bayangan menguapnya aset di empat los yang rata-rata nilainya Rp 250 juta, pelan-pelan ia tepis. Dihimpunnya rupiah demi rupiah sehingga los-los penampungan yang dipinjamkan Pemerintah Kota Jayapura di kawasan Entrop mulai terisi. Sambil menunggu rampungnya pembangunan pasar yang terbakar, ia mengajak Aco (19), keponakannya di daerah asal membantu usahanya.
"Keponakan yang menganggur saya ajak ikut merantau," ujar Said, seraya menunjuk seorang remaja yang mulai cekatan melayani pembeli bahan pokok di los miliknya.
Said adalah satu dari sekitar 200 pedagang Pasar Sentral Hamadi di los penampungan sementara di sisi kiri Papua Trade Center (PTC) Entrop. Mayoritas pendatang dari Sulsel itu dikenal sebagai pedagang suku Bugis-Makassar dan Buton.
Di Kota Jayapura, terutama di Pasar Entrop, Pasar Abepura, Pasar Sentani, dan Pasar Ampera, tiga suku bangsa yang dikenal dengan sebutan BBM (Bugis-Buton-Makassar) ini pelaku utama kegiatan perekonomian. Belakangan ini, kiprah BBM menonjol di semua kabupaten dan kota lainnya di tanah Papua. Di wilayah pedalaman Papua yang sulit dijangkau transportasi darat mudah ditemui pedagang Bugis penjual sandang pangan.
Pendatang lain juga ikut main, semisal dari Jawa, Madura, dan Minangkabau.
Ketua Kerukunan Sulawesi Selatan wilayah tanah Papua Haji Syamsuddin Tumpa menyebut, jumlah warga asal Sulsel di Papua 70.000 orang. Mereka umumnya berkiprah di perdagangan barang dan jasa. Ada pula yang bekerja sebagai nelayan dan petani.
"Seiring dengan makin cerahnya sektor perdagangan barang dan jasa, akhirnya yang bekerja sebagai nelayan dan petani mulai berusaha sambilan dengan berdagang," kata Syamsuddin. Ia merantau ke Jayapura pada tahun 1969. Awalnya ia hidup sebagai buruh pelabuhan. Kemudian ia mendirikan ekspedisi muatan kapal laut yang mempekerjakan 200 warga Papua.
Sejarah berdatangannya orang Bugis-Makassar ke tanah Papua diduga sudah berlangsung sejak tahun 1700-an, ketika dua kelompok etnis terbesar dari Sulsel tersebut melakukan pelayaran Marege, mencari teripang ke Australia Utara. Dalam pelayaran itulah mereka mampir dan sebagian terdampar di wilayah Papua.
Dosen Antropologi Universitas Cenderawasih, Akhmad Kadir, dalam bukunya berjudul Amber dan Komin, Studi Perubahan Ekonomi di Papua (2005) menulis kiprah pedagang Bugis mulai menonjol pada tahun 1963. Kedatangan orang-orang Bugis itu membawa perubahan dalam tatanan perekonomian di Papua.
"Interaksi sosial antara orang Bugis dan orang Papua mengubah gaya hidup dan pola konsumsi masyarakat Papua, dari berburu dan meramu menjadi manusia urban yang bergantung pada komoditas pasar," katanya.
Orang-orang pegunungan berjalan ke arah pantai mengikuti aliran sungai untuk mendapatkan komoditas pasar, seperti beras, tembakau, garam, gula, dan pakaian. Selain itu, kepada orang Tionghoa dan Bugis, orang Papua juga menukar barang yang dijual pendatang dengan sagu yang mereka hasilkan. Mereka akhirnya menggunakan uang sebagai alat tukar jual beli.
Lamban
Jika benar bahwa interaksi sosial-ekonomi antara Bugis-Makassar dan warga asli Papua mulai ada pada tahun 1967, berarti hingga saat ini transformasi ekonomi sudah berjalan 40 tahun. Meski fakta menunjukkan bahwa warga Papua sekarang masih berkutat dengan pola perdagangan tradisional, transformasi itu sesungguhnya tetap terjadi, meski lamban.
Menurut pemantauan, masih sedikit orang asli Papua yang memiliki dan mengelola los, kios, toko, apalagi usaha jasa. Perempuan pedagang orang asli Papua, yang disebut "mama-mama", pada umumnya duduk lesehan menjual hasil bumi secara "tradisional" di trotoar atau di emperan toko di Jayapura.
Sebetulnya, kesempatan berdagang dalam los atau kios di pasar pernah diberikan kepada warga Papua asli. Di Pasar Abepura, Ampera, dan Entrop, misalnya, Pemkot Jayapura beberapa tahun lalu—menyusul menguatnya kecemburuan sosial terhadap warga pendatang—pernah menyediakan los dan kios bagi warga asli Papua. Namun, mereka tidak memanfaatkan kesempatan itu untuk mengembangkan usaha. Mereka lebih memilih jalan pintas cari duit secara cepat dengan menjual los 2 meter x 2 meter, yang harga normalnya Rp 400.000-Rp 500.000, hanya Rp 300.000.
"Ah, daripada kitong susah-susah tunggu pembeli di los sepanjang hari, lebih baik dijual saja," tutur Natalia Womsiwor (37), yang menjual pinang di emperan kios Pasar Entrop.
Sebagai perantau yang agresif, orang Bugis melihat hal itu sebagai peluang emas. Tak heran jika rata-rata pedagang Bugis memiliki 2-4 kios.
Akar budaya
Johsz Mansoben, dosen Universitas Cenderawasih yang putra Papua pertama bergelar doktor antropologi, mengakui lambannya transformasi ekonomi bagi warga asli Papua. "Kentalnya akar budaya subsistem membuat masyarakat Papua sulit mengadopsi model ekonomi pasar dengan pembagian kerja sangat jelas dan ketat," katanya.
Ia menguraikan, warga Papua terpengaruh pola hidup berburu, meramu, dan berladang pindah. Ini berbeda dengan pola perdagangan ekonomi pasar, dengan distribusi kerja dan pembagian peranan yang jelas. Ada yang membuka kebun, menanam, merawat tanaman, memanen, dan memasok ke pasar.

BaCa SeLeNgKaPnYa disini...

Warga Serahkan Senjata

KOMPAS - Selasa, 28 Agustus 2007

Kesadaran Warga Poso Terus Meningkat

Palu, Kompas - Kesadaran warga Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, untuk menyerahkan senjata api eks konflik kepada aparat keamanan terus meningkat. Dalam seminggu terakhir, sejumlah warga Kecamatan Poso Pesisir menyerahkan 16 pucuk senjata api rakitan kepada anggota TNI AD Batalyon Infanteri 714/Sintuwu Maroso.
Sebanyak 16 senjata yang diserahkan warga itu terdiri dari 9 pucuk laras panjang dan 7 laras pendek. Hari Senin (27/8), semua senjata itu digelar di Markas Batalyon Infanteri 714/Sintuwu Maroso. Bersama senjata-senjata itu digelar pula 150 peluru kaliber 5,6 mm, 7,62 mm, 9 mm, dan 11 mm yang semuanya adalah hasil penyerahan masyarakat.
Komandan Batalyon Infanteri 714/Sintuwu Maroso Letnan Kolonel (Inf) Tri Setyo mengatakan, dalam dua tahun terakhir sudah lebih dari 10 kali warga Poso menyerahkan senjata api secara sukarela kepada anggota TNI AD yang bertugas di Poso.
Senjata api yang dikumpulkan dalam kurun waktu itu berupa ratusan pucuk laras pendek dan laras panjang, ribuan butir amunisi, puluhan bom rakitan dan organik, serta ratusan senjata tradisional seperti parang, panah, dan tombak.
Tri memperkirakan masih cukup banyak warga Poso yang menyimpan senjata api eks konflik Poso di sekitar rumah mereka, antara lain dengan ditanam di kebun. Untuk itu, anggota Batalyon Infanteri 714/Sintuwu Maroso akan tetap melakukan pendekatan persuasif kepada warga agar menyerahkan senjata api yang dimilikinya secara sukarela.
Pendekatan persuasif itu, kata Tri, dilakukan dengan membangun persahabatan antara TNI dan warga. "Secara rutin kami melakukan kegiatan-kegiatan olahraga dan kerohanian dengan warga serta memperbaiki jalan-jalan desa ataupun infrastruktur lainnya," kata Tri. (REI)

BaCa SeLeNgKaPnYa disini...

ANALISIS POLITIK: Sepi Pamrih

KOMPAS - Selasa, 28 Agustus 2007

SUKARDI RINAKIT

Tanggal 17 Agustus, pukul tujuh pagi. Ketika membuka pintu pagar rumah, beberapa ibu tetangga yang sedang bergerombol risau. Mereka kebingungan mencari minyak tanah. Warung-warung sudah dikelilingi sejak habis subuh, tetapi yang mereka dapat hanya keringat sendiri.
Melihat kecemasan mereka, saya disergap bayangan diri sendiri. Bagaimana rasanya sebagai seorang murid yang pagi ini harus ke sekolah lebih awal untuk upacara? Perut lapar, tidak ada makanan untuk sarapan. Jalan pun pasti terasa gemetar.
Melihat keadaan seperti itu, siapa pun tentu bisa menduga, seorang ibu pasti akan mengambil keputusan cepat. Meskipun uangnya terbatas, ia akan membeli gorengan atau sebungkus nasi di warteg sebelah. Akibatnya, uang yang seharusnya bisa untuk makan sekeluarga hari itu—jika ia masak sendiri— kini sudah tidak mencukupi lagi.
Semoga ibu-ibu tersebut tidak stroke karena mikir beratnya beban kehidupan setiap hari. Jika mereka terkena stroke, penyumbang terbesarnya adalah kebijakan pemerintah yang gagal mengangkat harkat hidup dan martabat rakyat.
Franky Sahilatua, penyanyi Pancasila Rumah Kita, menyebut kebijakan yang demikian sebagai "politik stroke". Kebijakan yang membuat rakyat kelimpungan, seperti beras yang sedang diayak.
Boleh percaya, boleh tidak, situasi rakyat yang demikian akan membuat para investor semakin ragu menanamkan modalnya di republik ini. Siapa pun tidak akan merasa aman jika yang mereka hadapi adalah orang-orang yang tercenung, cemberut, dan cemas seperti sekarang. Pendeknya, segala insentif yang ditawarkan pemerintah pasti akan sia-sia.
Jadi, antara realitas investasi dan implementasi kebijakan yang sepenuhnya mengikuti mekanisme pasar, dalam praksis, belum tentu berjalan seiring. Karena itu, pemerintah jangan terlalu mudah melontarkan pernyataan bahwa kenaikan harga minyak goreng dan konversi gas yang menyebabkan minyak tanah langka, misalnya, karena mengikuti harga pasar dunia. Argumen seperti itu nanti bisa latah. Harga telur ayam yang naik pun akan dikatakan karena mengikuti harga pasar dunia.
Jika begitu model menjalankan pemerintahan, sejujurnya, siapa pun tidak layak menjadi pemimpin. Jika diteruskan, secara perlahan tapi pasti, kekuasaan akan ditarik ke wilayah pribadi. Oleh sebab itu, kalau Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak hati-hati, ia tidak akan luput dari persoalan personalisasi kekuasaan tersebut.
Sejujurnya, saya sedih ketika mendengar teman-teman dari kedutaan asing membicarakan buah tangan yang mereka terima setelah mengikuti upacara di Istana Merdeka, 17 Agustus lalu. Mereka bingung apakah telah menghadiri acara kemerdekaan Republik Indonesia atau ulang tahun Presiden.
Hal itu disebabkan pada gelas yang jadi buah tangan yang mereka terima tercetak gambar Presiden berselempang. Buah tangan lain juga lebih bersifat personal daripada mencerminkan momentum hari itu.
Sepi pamrih
Seorang pemimpin yang baik adalah yang menyadari bahwa kekuasaan yang dipegangnya adalah milik publik. Oleh karena itu, kekuasaan tersebut harus menjadi alat efektif untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Membawa kekuasaan ke dalam ranah pribadi, seperti kecenderungan selama ini, akan membuat pemimpin tidak sensitif terhadap masalah rakyat.
Sejauh ini saya lebih suka menilai bahwa kekuasaan sekarang ini belum berjalan efektif. Bahkan terasa lebih buruk dalam sebulan terakhir karena pada saat-saat yang genting, seperti terjadinya kelangkaan minyak tanah, tidak ada secuil pun pernyataan politik Presiden.
Dalam kondisi rakyat yang demikian, yang dibutuhkan adalah kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Dengan sikap sepi terhadap pamrih, ia seharusnya berdiri di depan untuk meyakinkan publik, bukan malah menghilang tanpa pernyataan politik.
Jika Presiden tidak bisa menjadi sekeras ketiga "bung besar" (Soekarno-Hatta-Sjahrir), fungsi Presiden pada akhirnya memang sekadar "menggelar tikar", mempersilakan orang lain untuk duduk (berkuasa). Tidak ada catatan sejarah yang ditinggalkan.
Mungkin benar kata orang tua. Pemimpin yang baik adalah yang bukan hanya mengejar citra diri, tetapi yang menjalankan darma seorang satria, yaitu bekerja tanpa pamrih dan berani mati untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, meningkatkan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Kita cari pemimpin masa depan yang demikian. Bekerja tanpa pamrih demi rakyat karena meyakini itu adalah darma seorang ksatria.

BaCa SeLeNgKaPnYa disini...

POLITIKA: Gerhana Nurani

KOMPAS - Selasa, 28 Agustus 2007

BUDIARTO SHAMBAZY

Jika nanti sore langit cerah, kita hari ini menikmati gerhana bulan total atau GBT. Bulan akan tampak oranye dan merah ketika GBT dimulai sekitar pukul 09.25 GMT atau 16.25 WIB.
Gerhana terjadi kalau Bumi berada di antara Matahari dan Bulan. Bumi menghalangi pancaran sinar dari Matahari yang membuat Bulan gelap gulita.
Ukuran Bumi lebih besar dibandingkan dengan Bulan, membuatnya seakan "memakan" Bulan. Fenomena alam ini akan berlangsung sekitar 3,5 jam, sementara GBT sekitar 1,5 jam.
Ketika GBT terjadi, Bulan tak gelap total karena masih ada sedikit cahayanya yang menyapu pinggiran Bumi. Cahaya itu membias saat melewati atmosfer, menyinarkan warna biru ke langit dan mengirimkan warna kemerahan ke Bulan.
Jangan takut, Anda dapat menyaksikan GBT tanpa perlu alat pelindung. Ketika gerhana matahari total (GMT) terjadi tahun 1983, banyak warga ditakut-takuti aparat pemerintah "awas mata bisa buta" atau "lebih baik masuk ke kolong tempat tidur".
Kalau mau lebih afdal, pakailah teleskop atau cari posisi terbaik untuk mengabadikan GBT dengan kamera Anda.
Gerhana, total ataupun sebagian, cuma terjadi maksimal tiga kali dalam setahun. GBT di Indonesia terakhir kali terjadi 3 Maret 2007 dan yang akan datang 21 Desember 2010.
Indonesia sebenarnya sedang mengalami GTM (gerhana total manusia). Ia ibarat lalu lintas yang sedang macet total, seperti pesawat yang total loss, atau mirip perusahaan yang lebih sering menghitung kerugian daripada keuntungan total.
Penyebab GTM karena akal dan nurani penguasa terkena gerhana atau tertutup penyakit emosi kejiwaan, berahi kekuasaan yang berlebihan, dan keserakahan yang berkepanjangan. Gara-gara GTM, rakyat selalu jadi korban.
Akibat lain adalah GTM kita gelap gulita. Rakyat yang makin menderita tak peduli lagi apakah memang benar akhirnya akan ada sedikit cahaya yang tampak di ujung terowongan sana.
Apa daya, rakyat yang makin merana tak kuasa berbuat apa-apa. Ternyata setelah hampir tiga tahun nyaris tak satu pun janji kampanye yang telah terlaksana.
Bumi, Bulan, dan Matahari. Inilah trilogi yang terdiri dari rakyat, penguasa, dan kehidupan.
Rakyat adalah Bumi yang menjadi tumpuan. Bulan ialah sang penguasa yang menghalang-halangi datangnya sinar dari Matahari sang kehidupan.
Bulan yang dingin dan berdiameter sekitar 3.476 kilometer itu jadi sumber masalah, bukan solusi. Ia mengorbit Bumi sekali dalam 29,5 hari yang melahirkan kata bulan, seperti "bulan kemerdekaan" saat Agustus ini.
Tiap "agustusan" ada peluang untuk merenungkan apakah kita sudah benar-benar merdeka sesuai cita-cita Proklamasi 1945. Ternyata, GTM tak kunjung usai karena reformasi dan demokrasi semakin menggelapkan.
Ketika purnama datang, itulah saat cinta merekah. Bulan datang setiap Matahari terbenam, terlihat sepanjang malam, dan ikut menyambut fajar menyingsing.
Tetapi, tak ada lagi cinta di antara kita, Bumi dengan Bulan penguasa karena harga-harga sembilan bahan pokok melambung terus. Rupanya Bulan sibuk dengan rekening liar, kasus penculikan, atau siapa gerangan Mendagri baru.
Apollo 11 mendarat di Bulan 21 Juli 1969, ditandai kalimat terkenal astronot Neil Armstrong, "Sebuah langkah kecil manusia, sebuah langkah raksasa kemanusiaan". Apa boleh buat, rakyat baru bisa nyanyi Pergi ke Bulan.
"Jangan lupa banyak-banyak membawa bekal/ Agar tidak kelaparan di jalanan. Bait selanjutnya ,"Ayo kawan kita berangkat, naik delman atau onta/ Kita ramai-ramai pergi ke bulan".
Itulah pertanda Bulan belum berubah alias tetap terkena GTM. Bulan masih belum puas walau sudah kekenyangan.
Bulan pasti mengalami gerhana. Tetapi, gerhana usai begitu Matahari muncul kembali mengakhiri gelap yang berkepanjangan.
Ibu Kartini berslogan "habis gelap terbitlah terang". Bung Karno enggan melawan karena rela berkorban dan Pak Harto berjanji "badai pasti berlalu".
Bulan sekarang? Mata dan hati mereka tak terang benderang, enggak mikirin bangsanya sudah mirip barang kelontong yang pecah semua, dan gemar mondar-mandir seperti bajaj kosong.
Terang tanah selalu diikuti senja kala, bangsa yang roboh pasti bangkit. Dulu ada "kebangkitan nasional", kini ada "kebangkitan zombie" yang berkeliaran bersama Bulan.
Perang antaragama bukan disulut oleh jumlah agama di dunia yang lebih dari satu, tetapi oleh semangat antitoleransi. Mereka yang tidak toleran ikut menciptakan GTM dan Bulan hanya berpangku tangan.
Bulan sering menggerhanakan kebenaran yang sesungguhnya takkan pernah padam. Bagi Bulan, kebenaran yang tak menarik juga sering kali digerhanakan menjadi kebohongan yang seolah-olah menegangkan.
Bulan selalu hidup enak-enakan. Namun, Bumi kelak akan membalas dengan ucapan, "Saya sudah bertahun-tahun menahan sabar, saya kesal setiap hari, dan saya membanting tulang sampai bosan."
Janganlah menunggu sampai Bumi menjadi gelap mata dan balik mengancam, "Tidak ada Bulan yang separuh gelap, Bulan memang benar-benar gelap". Jangan menunggu sampai Bumi akhirnya menganggap Bulan memang sudah terlalu lama terkena gerhana nurani.
Bulan, oh, Bulan, berhentilah gerhana. Janganlah menunggu sampai rakyat benar-benar marah.

BaCa SeLeNgKaPnYa disini...