Tuesday, August 28, 2007

ANALISIS POLITIK: Sepi Pamrih

KOMPAS - Selasa, 28 Agustus 2007

SUKARDI RINAKIT

Tanggal 17 Agustus, pukul tujuh pagi. Ketika membuka pintu pagar rumah, beberapa ibu tetangga yang sedang bergerombol risau. Mereka kebingungan mencari minyak tanah. Warung-warung sudah dikelilingi sejak habis subuh, tetapi yang mereka dapat hanya keringat sendiri.
Melihat kecemasan mereka, saya disergap bayangan diri sendiri. Bagaimana rasanya sebagai seorang murid yang pagi ini harus ke sekolah lebih awal untuk upacara? Perut lapar, tidak ada makanan untuk sarapan. Jalan pun pasti terasa gemetar.
Melihat keadaan seperti itu, siapa pun tentu bisa menduga, seorang ibu pasti akan mengambil keputusan cepat. Meskipun uangnya terbatas, ia akan membeli gorengan atau sebungkus nasi di warteg sebelah. Akibatnya, uang yang seharusnya bisa untuk makan sekeluarga hari itu—jika ia masak sendiri— kini sudah tidak mencukupi lagi.
Semoga ibu-ibu tersebut tidak stroke karena mikir beratnya beban kehidupan setiap hari. Jika mereka terkena stroke, penyumbang terbesarnya adalah kebijakan pemerintah yang gagal mengangkat harkat hidup dan martabat rakyat.
Franky Sahilatua, penyanyi Pancasila Rumah Kita, menyebut kebijakan yang demikian sebagai "politik stroke". Kebijakan yang membuat rakyat kelimpungan, seperti beras yang sedang diayak.
Boleh percaya, boleh tidak, situasi rakyat yang demikian akan membuat para investor semakin ragu menanamkan modalnya di republik ini. Siapa pun tidak akan merasa aman jika yang mereka hadapi adalah orang-orang yang tercenung, cemberut, dan cemas seperti sekarang. Pendeknya, segala insentif yang ditawarkan pemerintah pasti akan sia-sia.
Jadi, antara realitas investasi dan implementasi kebijakan yang sepenuhnya mengikuti mekanisme pasar, dalam praksis, belum tentu berjalan seiring. Karena itu, pemerintah jangan terlalu mudah melontarkan pernyataan bahwa kenaikan harga minyak goreng dan konversi gas yang menyebabkan minyak tanah langka, misalnya, karena mengikuti harga pasar dunia. Argumen seperti itu nanti bisa latah. Harga telur ayam yang naik pun akan dikatakan karena mengikuti harga pasar dunia.
Jika begitu model menjalankan pemerintahan, sejujurnya, siapa pun tidak layak menjadi pemimpin. Jika diteruskan, secara perlahan tapi pasti, kekuasaan akan ditarik ke wilayah pribadi. Oleh sebab itu, kalau Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak hati-hati, ia tidak akan luput dari persoalan personalisasi kekuasaan tersebut.
Sejujurnya, saya sedih ketika mendengar teman-teman dari kedutaan asing membicarakan buah tangan yang mereka terima setelah mengikuti upacara di Istana Merdeka, 17 Agustus lalu. Mereka bingung apakah telah menghadiri acara kemerdekaan Republik Indonesia atau ulang tahun Presiden.
Hal itu disebabkan pada gelas yang jadi buah tangan yang mereka terima tercetak gambar Presiden berselempang. Buah tangan lain juga lebih bersifat personal daripada mencerminkan momentum hari itu.
Sepi pamrih
Seorang pemimpin yang baik adalah yang menyadari bahwa kekuasaan yang dipegangnya adalah milik publik. Oleh karena itu, kekuasaan tersebut harus menjadi alat efektif untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Membawa kekuasaan ke dalam ranah pribadi, seperti kecenderungan selama ini, akan membuat pemimpin tidak sensitif terhadap masalah rakyat.
Sejauh ini saya lebih suka menilai bahwa kekuasaan sekarang ini belum berjalan efektif. Bahkan terasa lebih buruk dalam sebulan terakhir karena pada saat-saat yang genting, seperti terjadinya kelangkaan minyak tanah, tidak ada secuil pun pernyataan politik Presiden.
Dalam kondisi rakyat yang demikian, yang dibutuhkan adalah kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Dengan sikap sepi terhadap pamrih, ia seharusnya berdiri di depan untuk meyakinkan publik, bukan malah menghilang tanpa pernyataan politik.
Jika Presiden tidak bisa menjadi sekeras ketiga "bung besar" (Soekarno-Hatta-Sjahrir), fungsi Presiden pada akhirnya memang sekadar "menggelar tikar", mempersilakan orang lain untuk duduk (berkuasa). Tidak ada catatan sejarah yang ditinggalkan.
Mungkin benar kata orang tua. Pemimpin yang baik adalah yang bukan hanya mengejar citra diri, tetapi yang menjalankan darma seorang satria, yaitu bekerja tanpa pamrih dan berani mati untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, meningkatkan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Kita cari pemimpin masa depan yang demikian. Bekerja tanpa pamrih demi rakyat karena meyakini itu adalah darma seorang ksatria.

0 comments: