Tuesday, July 17, 2007

Singapura Pertahankan Prinsip

KOMPAS - Selasa, 17 Juli 2007

DCA Harus Sesuai Kepentingan RI

Singapura, Senin - Singapura akan mencoba bersabar dan akomodatif atas keinginan Indonesia untuk mengubah perjanjian kerja sama pertahanan (Defence Cooperation Agreement atau DCA). Namun, Indonesia diminta tidak melakukan perubahan substansial atau mendasar, atau perjanjian ekstradisi batal sekalian.
Demikian diutarakan Menteri Luar Negeri Singapura George Yeo di depan Parlemen, Senin (16/7) di Singapura.
Perjanjian ekstradisi (Extradition Treaty/ET) terkait dengan DCA. ET hanya efektif jika DCA juga disepakati kedua negara. Perjanjian ekstradisi masih harus menunggu ratifikasi parlemen dari kedua negara. Parlemen Singapura relatif dengan mudah meratifikasi perjanjian ekstradisi, sedangkan DPR RI masih harus menunggu penyerahan naskah DCA dan perjanjian ekstradisi dari pemerintah untuk dibahas.
Masalah muncul karena DPR mengindikasikan penolakan untuk meratifikasi ET. Alasannya, ET tidak seimbang karena terkait dengan DCA yang juga tidak berimbang.
Anggota Komisi I DPR, Yuddy Chrisnandi (Fraksi Partai Golkar, Jabar VII), mengatakan, DCA "memanjakan" Singapura dan mengganggu kegiatan warga RI, di wilayah yang menjadi lokasi latihan militer Singapura. "Pemerintah tidak perlu malu merevisi perjanjian dan tak perlu malu untuk mengakui ketidakcermatannya," kata Yuddy.
Ekstradisi mandul
Perjanjian ekstradisi juga dinilai mandul karena tak menjanjikan apa-apa soal pemulangan para koruptor WNI, yang berlindung di Singapura. Peneliti dari Universitas Indonesia, Andi Widjajanto, mengatakan, salah besar jika pemerintah berharap akan ada ekstradisi atas para koruptor atau Singapura mengembalikan aset dan uang "panas" dengan imbalan DCA. "Masalah seperti itu sama sekali tak memiliki dasar hukum dalam kedua perjanjian," kata Andi.
"Saya melihat cara berpikir pemerintah salah karena persepsi Singapura tidak seperti itu. Sejauh yang saya tahu, pemahaman Singapura adalah perjanjian itu sekadar politis ketimbang operasional," kata Andi.
Menurut Andi, permintaan Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong memaralelkan kedua perjanjian, saat bertemu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Oktober 2005, hanya sebatas menunjukkan bahwa kedua negara berhubungan baik.
Andi juga melihat ketidaksiapan RI, khususnya di tingkat bawah. "Juga tampak jelas bahwa Departemen Luar Negeri RI tidak siap dan baru dilibatkan pada putaran (perundingan) yang keempat atau kelima soal DCA dan ET. Kesepakatan di antara kedua kepala negara terlalu tiba-tiba walau hal itu tetap merupakan inisiatif Singapura," ujar Andi.
Andi memastikan, siasat "uang untuk ruang" hanya sebatas terkait uang dalam bentuk pembangunan sejumlah fasilitas latihan militer di wilayah Indonesia untuk dimanfaatkan bersama. Uang merujuk pada ekstradisi koruptor dan pengembalian asetnya. Ruang merujuk pada penyerahan wilayah RI untuk pelatihan militer Singapura.
Karena itulah RI minta Singapura mengakui ada koruptor WNI yang tinggal di Singapura. Ini penting untuk mengikat Singapura soal ekstradisi. Hal itu tak mau diakui oleh Singapura.
Tak serahkan ke DPR
Menteri Sekretaris Negara Hatta Rajasa mengatakan, Pemerintah RI bahkan tidak akan menyerahkan perjanjian DCA dan ET ke DPR untuk dibahas, sebelum isi DCA sesuai dengan kepentingan nasional.
Menlu Yeo mengatakan Singapura masih menunggu respons RI soal usulan tentang bagaimana perbedaan bisa diatasi. "Menuntut perubahan substansial atau memasukkan elemen baru dalam sebuah perjanjian (DCA) yang sudah ditandatangani, berarti sama saja dengan belum adanya perjanjian," katanya. Dia juga menekankan perubahan mendasar pada DCA, seperti keinginan RI, berarti seluruh perjanjian tidak berlaku.
Yeo mengatakan, sikap seperti ini menunjukkan bahwa tetap tidak ada kejelasan meski sebuah perjanjian sudah ditandatangani.
Menhan Singapura Teo Chee Hean juga mengatakan, Indonesia seharusnya mempersoalkan isi DCA, pada saat negosiasi berlangsung, bukan setelah DCA ditandatangani.
Kedua menteri Singapura itu sudah mengajukan sikap baru soal penyelesaian perbedaan yang muncul. Namun, isi sikap baru itu tidak diperinci.(AFP/AP/REUTERS/MON/ DWA/INU/JOS)

BaCa SeLeNgKaPnYa disini...

Piala Asia 2007: Korsel Tidak Sehebat Masa Lalu

KOMPAS - Selasa, 17 Juli 2007

Jakarta, Kompas - Mantan pelatih tim nasional Sinyo Aliandoe menyatakan, Korea Selatan yang kini ditangani Pelatih Pim Verbeek tidak sehebat dan sekuat pada masa-masa sebelumnya. Ia optimistis pemain Indonesia berpeluang mengimbangi mereka pada laga penentuan di Gelora Bung Karno, Jakarta, Rabu besok.
"Penampilan Korsel kali ini di luar dugaan. Pola cepat yang biasa mereka peragakan boleh dikata tidak kelihatan sama sekali. Mereka selalu memperlihatkan ball possession (penguasaan bola)," papar Sinyo, Senin (16/7). "Jika cara main mereka seperti itu, pemain Indonesia mampu mengimbangi dan tidak mustahil bisa menang," katanya.
Keyakinan itu juga didasarkan pada semangat pantang menyerah yang diperlihatkan pasukan Merah Putih di dua laga sebelumnya, melawan Bahrain dan Arab Saudi. "Para pemain kita punya skill individu dan kecepatan luar biasa. Ditambah dukungan penonton, kita punya peluang cukup baik," kata Sinyo.
Ia menyarankan agar Ponaryo dan kawan-kawan melupakan catatan kurang baik pertemuan Indonesia-Korsel. Dari lima pertemuan terakhir sejak 1988, Korsel selalu menang. "Itu jangan terlalu dipikirkan. Sekarang, fakta pertandingan berbicara lain," katanya.
Ponaryo pulih
Kubu Indonesia mendapat kabar gembira setelah gelandang Ponaryo Astaman dan Mahyadi Panggabean mulai pulih dari cedera. Keduanya sudah berlatih normal bersama para pemain lainnya.
Kapten Ponaryo bahkan mulai menendang bola dengan keras pada latihan kemarin. Menurut dokter tim, Zaini Saragih, cedera Ponaryo sudah pulih dan ia bisa diturunkan saat melawan Korsel, mengisi posisi Eka Ramdani yang absen karena akumulasi kartu kuning.
Di Padalarang, Jawa Barat, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengajak seluruh rakyat memberikan dukungan penuh juga lewat doa.
Presiden berencana menyaksikan kembali laga terakhir tim Merah Putih. Presiden bersyukur sekaligus bangga, kualitas tim Indonesia membaik dan tidak kalah dari tim-tim besar di dunia.
Presiden juga mengajak para pendukung tim Merah Putih untuk menyanyikan lagu Indonesia Raya secara meriah sehingga dapat meningkatkan moral para pemain yang mewakili bangsa.(INU/RAY/SAM)

BaCa SeLeNgKaPnYa disini...

Krisis Listrik: Listrik, Kok, Masih Byarpet

KOMPAS - Selasa, 17 Juli 2007

Aufrida Wismi W

"Nanti jam 17 pasti padam lagi. Pokoknya empat jam mati, empat jam hidup, dan waktunya tidak teratur," kata Zainal Arifin (40), seorang tukang kayu yang tinggal di Jalan Bunga Asoka, Asam Kumbang, Medan Selayang.
Zainal adalah salah seorang warga Medan yang kesal terhadap buruknya pelayanan PT PLN yang menyebabkan listrik byarpet setiap hari. Bagaimana tidak kesal. Lampu padam pada pagi hari tatkala warga akan memulai aktivitas, lalu padam lagi di malam hari.
Zainal mengatakan, keluarganya sangat terganggu dengan pemutusan aliran listrik yang terjadi dua hingga tiga kali sehari, sudah seperti minum obat. Kejadian mati lampu bisa terjadi antara pukul 20.00 dan 23.00, kemudian terjadi lagi pukul 02.00 hingga pukul 08.00. Setelah menyala, pemadaman dilanjutkan lagi pukul 11.00 hingga pukul 13.00.
Jika listrik mati pada malam hari, keluarga dengan dua anak itu tak bisa tidur. Hawa Kota Medan sangat panas memasuki musim kemarau bulan ini. Tanpa kipas angin, tidur tidak nyaman, apalagi jika nyamuk terus berdengung di telinga. "Kami tertidur karena tangan capek kipas-kipas. Terlelap sebentar lalu bangun lagi," tutur Hayarni (32), istri Zainal.
Ketidaknyamanan itu membuat Zainal "gondok" dan berbuntut menyesal ikut pemilu karena merasa pemerintah tidak berhasil mengatasi persoalan yang dihadapi warga Medan. Oleh karena itu, Zainal dan istrinya sepakat tidak ikut pemilu tahun depan. "Saya capek dikibuli terus," kata Zainal dengan emosi.
Kehidupan warga Medan pada seluruh lapisan masyarakat tak bisa dilepaskan dari kebutuhan listrik. Jika listrik mati tiga kali sehari seperti terjadi di Medan sejak enam minggu terakhir, pasti timbul kekacauan aktivitas, kerugian, hingga kemarahan.
Apalagi krisis listrik sudah lama terjadi, tetapi PLN dan pemerintah belum punya solusi untuk mengatasi persoalan yang dihadapi rakyat. Listrik mati di Medan telah menjadi cerita sejak tahun 2002 yang terus berulang kembali hingga kini.
Warga sibuk mengomel, mengenai cerita cucian belum disetrika dan menumpuk. Peralatan listrik, televisi, komputer, dan lemari pendingin rusak karena tegangan naik turun. Di luar rumah, lampu pengatur lalu lintas banyak yang padam. Kemacetan terjadi di mana-mana.
Mereka yang mempunyai uang berlebih mungkin mampu membeli genset, tetapi kebanyakan warga menggunakan lampu minyak atau lilin.
Yusragil (23), pemilik usaha jahit jas di Jalan Menteng, Medan, mengatakan, jika listrik normal, tiga pegawainya bisa membuat masing-masing satu setel jas sehari. Namun, saat listrik mati sebulan terakhir, satu setel jas baru bisa diselesaikan dalam dua hari. Omzet menurun hingga Rp 2 juta selama sebulan.
Jika Yusragil tak mampu membeli genset, Suryati sudah membeli genset sejak tahun lalu. Namun, keuntungan penjahit borongan di Jalan Bromo, Medan, itu berkurang Rp 1,2 juta per bulan untuk membeli solar. "Listrik mati wajar, tapi kalau saban hari ini merugikan," kata Suryati lemas.
Ia bekerja untuk memenuhi kontrak dengan pelanggan dan membayar enam pegawainya. Anehnya, kata Suryati, rekening listrik tidak turun, malah ada kecenderungan naik dari yang biasanya Rp 300.000/bulan menjadi Rp 400.000/bulan.
Semua orang sudah lelah berkeluh kesah. Isa (42), reparator elektronik di Jalan Bromo, tidak bisa bekerja. Saat kerusakan komponen elektronik hampir ditemukan, listrik padam. Televisi yang harus diservis di bengkelnya menumpuk.
Para pengusaha kecil di Kompleks Pusat Industri Kecil (PIK) Menteng Medan mengeluhkan hal yang sama. Haji Yusbir (35), pemilik usaha jahit di PIK, sudah menjual dua mesin jahitnya untuk membiayai proses produksi. "Katakan ke pemerintah, kami benar-benar kecewa," kata Haji Yusbir. Dari 99 ruko yang ada di PIK, 70 persen di antaranya terus merugi karena banyak order yang tak bisa dipenuhi.
Industri juga merugi
Tak hanya industri kecil yang kembang kempis, usaha besar pun demikian. Ketua Asosiasi Pengusaha Seluruh Indonesia (Apindo) Sumatera Utara Parlindungan Purba mengatakan, setiap bulan 400 perusahaan di Sumut yang tergabung dalam Apindo merugi Rp 200 miliar. Itu hanya untuk pembelian bahan bakar genset. Belum kerugian akibat kerusakan mesin.
Semua kantor PLN, baik cabang maupun pusat di Medan, pernah didemo warga. Petugas PLN juga capek mendengar keluhan. Saat Kompas mencoba menelepon nomor 123 layanan pelanggan PLN, tak ada lagi petugas yang mengangkat telepon.
Dinas Pencegah Pemadam Kebakaran Kota Medan mencatat selama bulan Juni-Juli sudah terjadi 14 kasus kebakaran yang timbul sebagai akibat listrik mati. Enam kasus kebakaran di antaranya diawali dari api lilin, selebihnya karena korsleting listrik dan lampu. Kerugian ditaksir sebesar Rp 2 miliar. Satu orang juga dilaporkan tewas karena menghirup asap genset.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro saat berkunjung ke Samosir awal Juli lalu mengatakan, ia sudah bicara dengan PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) yang mempunyai PLTA untuk tukar-menukar energi listrik sebanyak 90 MW. PLN memasok siang hari untuk PT Inalum, PT Inalum akan memasok listrik di malam hari kepada PLN. Namun, hingga Jumat lalu, General Manager PLN Wilayah Sumatera Utara Supriyanto mengatakan, belum ada keterangan dari PT Inalum untuk memasok daya ke PLN.
Untuk mengatasi keadaan darurat ini, PLN mengumpulkan sumber-sumber listrik yang ada di masyarakat. Asosiasi Pusat Perbelanjaan dan Perkantoran Sumatera Utara bersedia menyuplai listrik ke PLN 20 MW. "Minggu depan kerja sama dengan Sun Plaza dimulai. Mereka akan memasok 6-8 MW," kata Supriyanto. PLN menyewa pembangkit 15 MW.
September-Oktober nanti diharapkan ada 30-40 MW tambahan pada siang hari saat interkoneksi antara Sumatera Selatan dan Utara tersambung. Ada penambahan dari sewa genset sebanyak 35 MW pada akhir tahun. Sumut akan merelokasi PLTG Apung Palembang yang menghasilkan listrik 35 MW.

BaCa SeLeNgKaPnYa disini...

51 Juta Gratis Berobat

KOMPAS - Selasa, 17 Juli 2007

Pengunjuk Rasa Nilai Pemerintah Gagal

Padalarang, Kompas - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan, rakyat miskin yang akan mendapatkan layanan gratis berobat melalui program Asuransi Kesehatan untuk Rakyat Miskin mencapai 51 juta orang, karena ditambah dengan rakyat setengah miskin.
Menurut Yudhoyono, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk kesehatan telah meningkat 250 persen sejak dirinya menjabat presiden tahun 2004 hingga tahun 2007.
"Total APBN 2007 untuk kesehatan Rp 17,24 triliun ditambah dana alokasi khusus Rp 3,2 triliun. Dengan jumlah lebih dari Rp 20 triliun, dana kesehatan kita cukup memadai," ujar Presiden saat meresmikan pabrik PT Caprifarmindo Laboratories di Padalarang, Jawa Barat, Senin (16/7).
PT Caprifarmindo, yang masuk bagian PT Sanbe Farma, memproduksi 3 juta softbag infus dalam satu bulan dan telah memenuhi proses produksi dan mutu dari Badan Pengawas Obat dan Makanan RI, Organisasi Kesehatan Dunia, dan Uni Eropa.
Sebelumnya, Presiden bersyukur karena, menurut data Badan Pusat Statistik, jumlah warga miskin berkurang dari 39 juta orang tahun 2006 menjadi 36 juta orang tahun 2007.
Presiden juga mengklaim telah menurunkan jumlah penderita gizi buruk. Jika tahun 2005 penderita gizi buruk mencapai 76.176 orang, pada tahun 2007 menurun menjadi 19.567 orang.
Dari Padalarang, Presiden yang didampingi Ny Ani Yudhoyono meresmikan pabrik motor TVS asal India di Karawang, Jawa Barat. Pabrik yang baru dibangun dan diresmikan beroperasinya ini merupakan realisasi dari janji investasi tahun 2005. Nilai investasi pabrik yang baru mempekerjakan 200 karyawan itu adalah 50 juta dollar AS.
Unjuk rasa
Sekitar 500 pengunjuk rasa yang hendak mengemukakan aspirasi mereka kepada Presiden di Cimahi, Senin, dihadang aparat keamanan. Pengunjuk rasa yang terdiri dari puluhan organisasi kemahasiswaan dan buruh, yang menamakan diri "Rakyat Menggugat" itu, menilai kepemimpinan Presiden Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla telah gagal.
Massa berangkat dari Alun-alun Kota Cimahi pada pukul 09.00, tetapi dihadang aparat di depan Kompleks Perumahan Padasuka Indah. Sempat terjadi bentrok fisik ketika beberapa polisi mengayunkan tongkat untuk menahan dorongan pengunjuk rasa.
Para demonstran akhirnya berorasi di tempat dan membakar karpet merah. (INU/BAY)

BaCa SeLeNgKaPnYa disini...

ANALISIS POLITIK: Nasib Kerja Sama Pertahanan RI-Singapura

KOMPAS - Selasa, 17 Juli 2007

J KRISTIADI

Diplomacy is to do and say the nastiest thing in the nicest way.(Isaac Goldberg, 1887-1938; The Reflex, Oktober, 1927)

Perjanjian kerja sama pertahanan atau Defence Cooperation Agreement (DCA) yang paralel dengan perjanjian ekstradisi atau Extradition Treaty (ET) telah ditandatangani pada bulan April 2007, tetapi hingga kini masih belum jelas nasibnya.
Perjanjian sebagai kelanjutan kerja sama yang telah dilakukan sejak tahun 1995 dan berakhir tahun 2003, yang diharapkan saling menguntungkan, ternyata menimbulkan kegundahan baik masyarakat maupun para anggota DPR.
Hal itu disebabkan pada awalnya pemerintah dianggap kurang transparan dan terlambat memberikan penjelasan kepada masyarakat serta naskah asli kepada DPR, meskipun perjanjian telah ditandatangani beberapa minggu sebelumnya.
Berbagai kalangan juga meragukan keuntungan yang diperoleh dari perjanjian itu.
Memang pemerintah menyebutkan beberapa hal yang dianggap menguntungkan, antara lain (1) kesediaan Singapura membiayai 90 persen pembangunan fasilitas kawasan latihan tempur, di Baturaja (Sumsel) dan kawasan latihan perang udara di Seabu (Pekanbaru), dan setelah 20 tahun menjadi milik Indonesia; (2) akses TNI menggunakan fasilitas kawasan latihan perang maupun peralatan militer Singapura, seperti simulator tempur milik Singapura; (3) Indonesia menjadi penentu kapan waktu dan dengan siapa Singapura berlatih; (4) memberikan kerangka hukum yang lebih pasti dan mempertegas batas wilayah latihan perang Singapura; (5) Indonesia berhak menggunakan wilayah udara dan laut Singapura; (6) semua personel militer Singapura yang berada di wilayah kedaulatan Indonesia harus tunduk kepada hukum Indonesia.
Namun, masyarakat belum yakin mengenai keuntungan tersebut dengan alasan: (1) akses Indonesia terhadap fasilitas dan sarana serta prasarana serta teknologi Singapura tidak jelas atau sangat terbatas; (2) meragukan apakah Indonesia benar-benar dapat menjadi penentu mengenai kapan dan siapa yang akan diajak berlatih mengingat investasi Indonesia kalah besar; (3) Singapura berhak mengajak pihak ketiga melakukan latihan; (4) Singapura tidak mau melibatkan TNI dengan alasan keterlibatan TNI akan memengaruhi jenis latihan dan mengubah substansi perjanjian pertahanan.
Selain itu, masih banyak ganjalan yang disebabkan kedua negara belum menyusun secara bersama-sama implementing arrangement (pengaturan pelaksanaan) sebagaimana diamanatkan pasal 6 perjanjian tersebut.
Pertama, Singapura belum bersedia mengatur secara bersama wilayah latihan tempur untuk AL Singapura yang berada antara Kepulauan Anambas dan Natuna Besar, Kepulauan Riau (disebut Area Bravo).
Singapura juga minta frekuensi latihan 15 hari per bulan. Bahkan, pada awal Mei 2007, Singapura telah mengajukan standar prosedur operasi (SPO) kepada Indonesia di Area Bravo tanpa melibatkan TNI dan Departemen Pertahanan.
Sementara Menhan RI menyatakan latihan cukup empat sampai enam kali per tahun, mengingat pertimbangan lingkungan dan nasib nelayan serta keamanan bersama. Pemerintah RI juga minta diatur batas Area Bravo untuk TNI AL dan Angkatan Laut Singapura mengingat area ini meliputi perairan blok migas PARI yang terletak di antara Pulau Natuna Besar sampai Kepulauan Anambas dan juga Pulau Kayu Ara di Selat Karimata.
Kedua, Singapura minta menggelar 25 kapal dari sekitar 30 kapal yang dimiliki Singapura, serta 20 pesawat dalam sekali latihan. Singapura minta supaya Indonesia mengakui hak tradisional Singapura atas wilayah Laut China Selatan sebagai daerah latihan militer. Sementara pihak Indonesia menolak karena dalam UNCLOS atau United Nations Convention on the Law of Sea (Konvensi Hukum Laut PBB) tahun 1982, area tersebut termasuk wilayah Indonesia. Selain itu, mengingat area itu wilayah Indonesia, latihan militer harus melibatkan TNI, sebagaimana penggunaan latihan daerah lain yang disebut Alpha I dan Alpha II.
Ketiga, mekanisme pengaturan waktu penembakan rudal dan meriam di lingkungan nelayan dan penduduk pada umumnya, serta dampaknya terhadap lingkungan sumber kandungan daya mineral di area latihan perang.
Keempat, perlu kesepakatan mengenai tata cara, jadwal latihan dan mobilitas pasukan, penentuan batas wilayah latihan, ketinggian pesawat, peluru yang digunakan, pembangunan radar, pembuangan limbah rudal, jenis dan jumlah kapal, detail akses TNI ke peralatan tempur Singapura, dan lain sebagainya.
Hubungan yang hambar
Permasalahan teknis dan detail tersebut mungkin tidak terlalu sulit untuk diatasi kalau hubungan kedua negara masih mesra sebagaimana terjadi pada akhir tahun 1980-an atau awal tahun 1990-an.
Namun, hubungan bilateral telah berubah menjadi hambar setelah krisis ekonomi 1997 karena kalangan masyarakat dan Pemerintah Indonesia mempunyai persepsi Singapura mendapatkan keuntungan dari krisis tersebut.
Selain itu, berbagai macam persoalan muncul pula baik pada tataran masyarakat maupun pemerintah. Misalnya saja, pada level sosial, masyarakat Indonesia merasa terganggu terhadap perlakuan para majikan Singapura yang dianggap sewenang- wenang kepada TKW dari Indonesia. Sebaliknya, masyarakat dan Pemerintah Singapura juga jengkel, antara lain dengan ekspor asap dari Indonesia yang sangat mengganggu.
Pada tingkat yang lebih serius, Pemerintah Singapura pernah merasa terganggu dengan ucapan mantan Presiden BJ Habibie yang menyatakan bahwa Singapura hanya sebagai red dot (noktah merah) di lautan biru (The Asian Wall Streets Journal, 4 Agustus 1998).
Sementara Pemerintah Indonesia merasa kurang mendapat respons yang semestinya pada saat membicarakan masalah ekstradisi bagi para koruptor yang berdiam di Singapura.

BaCa SeLeNgKaPnYa disini...

POLITIKA: Ketiban Balok Tetris

KOMPAS - Selasa, 17 Juli 2007

BUDIARTO SHAMBAZY

Saat Fabio Grosso menjebol gawang Oliver Kahn di menit ke-119 pada semifinal Piala Dunia 2006, seluruh Jerman membisu. Dua menit kemudian Alessandro Del Piero mencetak gol mengubah skor jadi 2-0 dan Italia ke final.
Kandaslah ambisi Jerman jadi juara dunia keempat kalinya setelah 1954, 1974, dan 1990. Anda bisa mendengar suara jarum jatuh meski 1,5 juta warga Berlin tumpah ke jalan mengantisipasi timnasnya lolos ke final.
Tak ada yang menyalahkan pemain, Pelatih Juergen Klinsmann, apalagi wasit. Semua berpendapat Italia lebih baik sehingga pantas menang—akhirnya menjuarai Piala Dunia 2006.
Indonesia kalah 1-2 lewat gol pada detik-detik terakhir pertandingan melawan Arab Saudi. Para pemain habis-habisan, tapi Arab Saudi tim yang lebih baik.
Mereka tak pernah kalah dari Indonesia di babak penyisihan Piala Dunia atau olimpiade. Mereka ikut empat Piala Dunia terakhir, termasuk ke 16 besar Piala Dunia 1994.
Walau berukuran mini dan berpenduduk sedikit, prestasi negara-negara Teluk Persia di atas Asia Tenggara. Kuwait lolos ke Piala Dunia 1982, Uni Emirat Arab (UEA) tahun 1986.
Saya geli mendengar ocehan pengurus PSSI di radio yang mengkritik kepemimpinan wasit Ali Hamad Madhad Saif Al Badwawi (UEA). Dia bilang mutu wasit di Teluk Persia buruk.
Wasit-wasit Teluk Persia berkali-kali memimpin pertandingan Piala Dunia. Banyak pemain dan pelatih top seperti Gabriel Batistuta (Argentina) atau Pelatih Carlos Alberto Parreira (Brasil) ikut kompetisi liga di sana.
PSSI melaporkan 10 insiden ketidakadilan Al Badwawi kepada Konfederasi Sepak Bola Asia (AFC). Ratusan pendemo Minggu (15/7) berunjuk rasa mengecam AFC di hotel tempat mereka menginap.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan rilis bertulis tangan. "Sampaikan baik-baik kepada AFC. Memilih wasit harus tepat agar tidak menimbulkan psikologi yang tidak baik," tulis dia.
Protes dibenarkan, Presiden pun boleh melakukannya. Dua negara Amerika Tengah, Honduras dan El Salvador, perang gara-gara sepak bola.
Untung Arab Saudi dan Korea Selatan tidak protes akan padamnya lampu di Stadion Utama Gelora Bung Karno. Kalau protes mereka didengar, AFC bisa memindahkan perempat final dan final ke negara lain.
Tak ada pengurus PSSI yang minta maaf. Sebaliknya mereka bersikap reaktif mengumpulkan, tidak tanggung-tanggung, "sepuluh dosa" wasit Al Badwawi.
Pepatah mengatakan, "Buruk rupa cermin dibelah". Rupa buruk itu hasil kekacaubalauan pembinaan sepak bola (juga cabang lain) KONI Pusat dan induk-induk organisasi yang mengakibatkan terpuruknya prestasi.
Di Asian Games Qatar 2006, perolehan medali Indonesia di bawah Thailand, Malaysia, Singapura, Vietnam, dan Filipina. Indonesia terakhir jadi juara umum SEA Games di Jakarta 1997.
Tim sepak bola Indonesia terakhir kali jadi juara SEA Games di Manila 1991. Prestasi terbaik sebelum itu semifinalis Asian Games di Seoul 1986.
Tahun 1970-an Jakarta sering kedatangan pemain, timnas, atau klub top dunia. Pele, Johan Cruyff, Franz Beckenbauer, Mario Kempes, dan Lev Yashin pernah merumput di Senayan.
Berkat prestasi bagus, Indonesia ikut segi tiga melawan Manchester United dan Ajax Amsterdam di sini. Saya ingat hat-trick Risdianto mengandaskan Korea Selatan, tim langganan Piala Dunia, 5-3 di final Piala Anniversary awal 1970-an.
Ketua Umum PSSI Nurdin Halid pernah memimpin organisasi yang lahir tahun 1930 ini dari balik tahanan karena didakwa korupsi. Kini PSSI mempunyai pengurus 124 orang, jauh lebih banyak daripada yang dimiliki KONI Pusat.
Belum lama ini pengurus PSSI, Togar M Nero, mengaku terima suap Rp 100 juta dari klub Penajam Medan Jaya. Entah berapa kali Persebaya Surabaya kena hukuman dilarang ikut kompetisi gara-gara ulah bonek, tapi diralat PSSI sendiri.
Prestasi olahraga seperti "kotak hitam" pesawat yang merupakan hasil akhir dari proses pembinaan konsisten selama bertahun-tahun yang melibatkan banyak unsur di dalamnya. Ada dana, sarana, strategi, manajemen, teknologi, dan seterusnya.
Sistem komunis mencetak prestasi dunia karena "me-robot-kan" atlet dengan cara spartan. Di sini para pengurus malas hidup spartan dan lebih doyan "masuk koran".
Pelatih-pelatih Korea Selatan tak segan-segan menampar atau memukul atlet-atlet yang malas berlatih. Di sini bonek yang gemar pukul-pukulan.
Pelari-pelari jarak dekat top tak berhenti mengukir rekor dunia karena litbang (penelitian dan pengembangan) yang ultramodern. Di sini litbang artinya "sulit berkembang".
Tontonan olahraga di mancanegara bisnis yang menguntungkan. Senin (16/7) Kantor PSSI didemo karena tak becus mengurus penjualan tiket Indonesia-Korea Selatan.
Banyak negara berlomba membangun kompleks olahraga multicabang. Di sini Kompleks Senayan malah dihancurleburkan.
Prinsip olahraga bilang jika kalah, akuilah kelebihan lawan. Di sini kalau kalah, carilah kambing hitam.
Ada lumpur panas atau banjir menyalahkan alam. Ada bom atau teroris menyalahkan negara lain. Bikin perjanjian salah-menyalahkan pihak lain. Kalah main bola menyalahkan wasit.
Makanya saya malas ke Senayan, lebih suka nonton tetris karena cocok bagi bangsa yang sering kena bencana. Enak ketiban balok-balok tetris yang turun bagaikan hujan lebat walau kepala rasanya "jedut-jedut".
Game sudah over, tapi saya bisa main lagi. Dan tak ada orang yang disalahkan.

BaCa SeLeNgKaPnYa disini...