KOMPAS - Selasa, 17 Juli 2007
BUDIARTO SHAMBAZY
Saat Fabio Grosso menjebol gawang Oliver Kahn di menit ke-119 pada semifinal Piala Dunia 2006, seluruh Jerman membisu. Dua menit kemudian Alessandro Del Piero mencetak gol mengubah skor jadi 2-0 dan Italia ke final.
Kandaslah ambisi Jerman jadi juara dunia keempat kalinya setelah 1954, 1974, dan 1990. Anda bisa mendengar suara jarum jatuh meski 1,5 juta warga Berlin tumpah ke jalan mengantisipasi timnasnya lolos ke final.
Tak ada yang menyalahkan pemain, Pelatih Juergen Klinsmann, apalagi wasit. Semua berpendapat Italia lebih baik sehingga pantas menang—akhirnya menjuarai Piala Dunia 2006.
Indonesia kalah 1-2 lewat gol pada detik-detik terakhir pertandingan melawan Arab Saudi. Para pemain habis-habisan, tapi Arab Saudi tim yang lebih baik.
Mereka tak pernah kalah dari Indonesia di babak penyisihan Piala Dunia atau olimpiade. Mereka ikut empat Piala Dunia terakhir, termasuk ke 16 besar Piala Dunia 1994.
Walau berukuran mini dan berpenduduk sedikit, prestasi negara-negara Teluk Persia di atas Asia Tenggara. Kuwait lolos ke Piala Dunia 1982, Uni Emirat Arab (UEA) tahun 1986.
Saya geli mendengar ocehan pengurus PSSI di radio yang mengkritik kepemimpinan wasit Ali Hamad Madhad Saif Al Badwawi (UEA). Dia bilang mutu wasit di Teluk Persia buruk.
Wasit-wasit Teluk Persia berkali-kali memimpin pertandingan Piala Dunia. Banyak pemain dan pelatih top seperti Gabriel Batistuta (Argentina) atau Pelatih Carlos Alberto Parreira (Brasil) ikut kompetisi liga di sana.
PSSI melaporkan 10 insiden ketidakadilan Al Badwawi kepada Konfederasi Sepak Bola Asia (AFC). Ratusan pendemo Minggu (15/7) berunjuk rasa mengecam AFC di hotel tempat mereka menginap.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan rilis bertulis tangan. "Sampaikan baik-baik kepada AFC. Memilih wasit harus tepat agar tidak menimbulkan psikologi yang tidak baik," tulis dia.
Protes dibenarkan, Presiden pun boleh melakukannya. Dua negara Amerika Tengah, Honduras dan El Salvador, perang gara-gara sepak bola.
Untung Arab Saudi dan Korea Selatan tidak protes akan padamnya lampu di Stadion Utama Gelora Bung Karno. Kalau protes mereka didengar, AFC bisa memindahkan perempat final dan final ke negara lain.
Tak ada pengurus PSSI yang minta maaf. Sebaliknya mereka bersikap reaktif mengumpulkan, tidak tanggung-tanggung, "sepuluh dosa" wasit Al Badwawi.
Pepatah mengatakan, "Buruk rupa cermin dibelah". Rupa buruk itu hasil kekacaubalauan pembinaan sepak bola (juga cabang lain) KONI Pusat dan induk-induk organisasi yang mengakibatkan terpuruknya prestasi.
Di Asian Games Qatar 2006, perolehan medali Indonesia di bawah Thailand, Malaysia, Singapura, Vietnam, dan Filipina. Indonesia terakhir jadi juara umum SEA Games di Jakarta 1997.
Tim sepak bola Indonesia terakhir kali jadi juara SEA Games di Manila 1991. Prestasi terbaik sebelum itu semifinalis Asian Games di Seoul 1986.
Tahun 1970-an Jakarta sering kedatangan pemain, timnas, atau klub top dunia. Pele, Johan Cruyff, Franz Beckenbauer, Mario Kempes, dan Lev Yashin pernah merumput di Senayan.
Berkat prestasi bagus, Indonesia ikut segi tiga melawan Manchester United dan Ajax Amsterdam di sini. Saya ingat hat-trick Risdianto mengandaskan Korea Selatan, tim langganan Piala Dunia, 5-3 di final Piala Anniversary awal 1970-an.
Ketua Umum PSSI Nurdin Halid pernah memimpin organisasi yang lahir tahun 1930 ini dari balik tahanan karena didakwa korupsi. Kini PSSI mempunyai pengurus 124 orang, jauh lebih banyak daripada yang dimiliki KONI Pusat.
Belum lama ini pengurus PSSI, Togar M Nero, mengaku terima suap Rp 100 juta dari klub Penajam Medan Jaya. Entah berapa kali Persebaya Surabaya kena hukuman dilarang ikut kompetisi gara-gara ulah bonek, tapi diralat PSSI sendiri.
Prestasi olahraga seperti "kotak hitam" pesawat yang merupakan hasil akhir dari proses pembinaan konsisten selama bertahun-tahun yang melibatkan banyak unsur di dalamnya. Ada dana, sarana, strategi, manajemen, teknologi, dan seterusnya.
Sistem komunis mencetak prestasi dunia karena "me-robot-kan" atlet dengan cara spartan. Di sini para pengurus malas hidup spartan dan lebih doyan "masuk koran".
Pelatih-pelatih Korea Selatan tak segan-segan menampar atau memukul atlet-atlet yang malas berlatih. Di sini bonek yang gemar pukul-pukulan.
Pelari-pelari jarak dekat top tak berhenti mengukir rekor dunia karena litbang (penelitian dan pengembangan) yang ultramodern. Di sini litbang artinya "sulit berkembang".
Tontonan olahraga di mancanegara bisnis yang menguntungkan. Senin (16/7) Kantor PSSI didemo karena tak becus mengurus penjualan tiket Indonesia-Korea Selatan.
Banyak negara berlomba membangun kompleks olahraga multicabang. Di sini Kompleks Senayan malah dihancurleburkan.
Prinsip olahraga bilang jika kalah, akuilah kelebihan lawan. Di sini kalau kalah, carilah kambing hitam.
Ada lumpur panas atau banjir menyalahkan alam. Ada bom atau teroris menyalahkan negara lain. Bikin perjanjian salah-menyalahkan pihak lain. Kalah main bola menyalahkan wasit.
Makanya saya malas ke Senayan, lebih suka nonton tetris karena cocok bagi bangsa yang sering kena bencana. Enak ketiban balok-balok tetris yang turun bagaikan hujan lebat walau kepala rasanya "jedut-jedut".
Game sudah over, tapi saya bisa main lagi. Dan tak ada orang yang disalahkan.
Tuesday, July 17, 2007
POLITIKA: Ketiban Balok Tetris
Posted by RaharjoSugengUtomo at 3:40 PM
Labels: HeadlineNews: Kompas
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment