KOMPAS - Senin, 16 Juli 2007
Pemerintah Tidak Perlu Khawatir Kehilangan Muka
Jakarta, Kompas - Sosialisasi tentang perjanjian kerja sama pertahanan atau Defence Cooperation Agreement antara Indonesia dan Singapura yang tidak jelas memicu keresahan warga ataupun pemerintah daerah yang wilayahnya akan dijadikan lokasi kerja sama. Apalagi, perjanjian itu belum diserahkan ke parlemen.
Kondisi tersebut terungkap dalam perjalanan Kompas, saat mengunjungi sejumlah wilayah, seperti Baturaja (Sumatera Selatan), Batam, dan sejumlah kabupaten di Kepulauan Riau, yang akan menjadi area kerja sama pertahanan itu, sepanjang pekan lalu.
Dalam Defence Cooperation Agreement (DCA) itu, Indonesia menyediakan sejumlah wilayahnya untuk dipakai angkatan bersenjata Singapura berlatih militer, baik bersama TNI, sendiri, maupun melibatkan negara ketiga. Kerja sama akan berlaku efektif selama 25 tahun, begitu diratifikasi kedua negara. Area latihan militer itu antara lain Pusat Latihan Tempur TNI Angkatan Darat Baturaja, Area Alfa 1 dan 2, serta Area Bravo.
Namun, kelanjutan proses ratifikasi DCA dan pengaturan pelaksanaan area latihan militer (implementing arrangement military training area/IA MTA), termasuk perjanjian kerja sama ekstradisi (extradition treaty), buntu (deadlock). Kebuntuan terjadi pada IA MTA Area Bravo menyusul permintaan Singapura menyangkut frekuensi latihan dan kekuatan pasukan, yang menurut Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono "terlalu berlebihan", seperti berlatih selama 15 hari setiap bulan.
Perpanjang ketidakpastian
Wakil Ketua Komisi I DPR Yusron Ihza Mahendra, Minggu (15/7) di Jakarta, mengakui, belum ada perkembangan apa pun mengenai DCA. Pemerintah belum menyerahkan perjanjian itu untuk dibahas DPR dan diratifikasi. Bahkan, terkesan pemerintah menutup-nutupi perjanjian kerja sama itu.
"Semakin diulur, kian panjang ketidakpastiannya, dan warga menunggu dalam ketidakjelasan. Tanpa kejelasan, warga yang dirugikan. Jika pemerintah menganggap tak layak, sampaikan ke DPR, kami tak akan meratifikasi," ujarnya.
Secara terpisah, peneliti senior Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Edy Prasetyono mengakui, memaketkan DCA dengan perjanjian kerja sama ekstradisi adalah kesalahan strategi Indonesia, baik dalam hal negosiasi maupun penjelasan ke publik. Karena itu, bila DCA nanti ditolak DPR, pemerintah tak perlu merasa kehilangan muka.
Menurut Eddy, sikap tak perlu khawatir kehilangan muka itu bisa menyelesaikan kontroversi yang sekarang ini terjadi dan meresahkan warga di sekitar tempat pelatihan. Artinya, bila DCA tidak lagi memiliki celah untuk dinegosiasikan, pemerintah segera saja menyampaikan ke DPR, tidak perlu mengambangkannya terus.
"Setiap treaty di mana pun butuh proses ratifikasi. Banyak contoh juga meski sudah dicapai kesepakatan, kemudian ditolak oleh parlemennya," tuturnya.
Eddy mencontohkan, perjanjian pembatasan senjata strategis Salt II antara Amerika Serikat (AS) dan Uni Soviet. Saat itu meski Pemerintah AS setuju karena Senat AS menganggap akan lebih banyak merugikan negara, kerja sama itu dibatalkan.
Namun, apabila masih ada celah, pemerintah perlu segera merundingkan kembali pasal yang dianggap merugikan Indonesia dengan Singapura.
Masyarakat resah
Sejumlah warga yang ditemui Kompas di lokasi mengaku cemas kalau kerja sama pertahanan dalam bentuk latihan militer itu akan mengganggu aktivitas serta sumber mata pencarian sehari-hari. Seperti diungkapkan Ardi dan Kasino, petani warga Desa Sabahlio, Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU) Timur, Sumsel. OKU dikenal sebagai kawasan lumbung beras Sumsel.
Ardi dan Kasino dengan sistem sewa menggarap lahan di areal Pusat Latihan Tempur (Puslatpur) TNI Angkatan Darat. Meski mengaku terbiasa dengan aktivitas militer di lokasi itu, keduanya mengaku kerja sama terbaru itu kelak akan berdampak pada aktivitasnya. Apalagi, sampai kini belum ada penjelasan apa pun terkait DCA tersebut.
"Biasanya jika ada latihan, warga dilarang masuk Puslatpur TNI AD Baturaja untuk menggarap karena berbahaya. Padahal, saya bertani di sana. Nanti bagaimana kami menggarap kalau latihannya sering," ujar Ardi.
Kekhawatiran juga dilontarkan sejumlah nelayan, yang mencari ikan di perairan Kepulauan Natuna dan Anambas. Sesuai dengan DCA, kawasan itu masuk dalam Area Bravo, yang akan dipakai Angkatan Laut dan Angkatan Udara Singapura untuk berlatih manuver, menembak, dan termasuk kemungkinan memakai peluru tajam dan peluru kendali.
"Jika latihannya memakai peluru tajam dan peluru kendali, kami pasti dilarang melaut di sana. Masalahnya, berapa lama? Kalau terlalu lama dan sering, kami mau hidup dari mana?" ujar Azha, nelayan asal Anambas.
Dalam pemantauan Kompas dari udara, beberapa pulau kecil dan terluar di kawasan perairan itu tampak berpenghuni. Sejumlah pulau juga sering dimanfaatkan sebagai tempat berlindung nelayan dari serangan badai.
Kebingungan menjalar sampai ke tingkat pemerintahan daerah dan legislatif, seperti yang terlihat di Kabupaten OKU dan OKU Timur. Bupati OKU Timur Herman Deru dan Bupati OKU Eddy Yusuf mengaku sama sekali belum tahu soal kerja sama pertahanan itu. (dwa/jos/fer/sut/dik)
Monday, July 16, 2007
Ada Kesan DCA Ditutup-tutupi
Posted by RaharjoSugengUtomo at 4:09 PM
Labels: HeadlineNews: Kompas
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment