Monday, July 16, 2007

Pameran Foto "Mata Hati"Jejak Panjang Imaji Dua Dimensi

KOMPAS - Senin, 16 Juli 2007

Arbain Rambey

Adegan dalam foto buatan tahun 1987 ini sungguh memesona. Seorang tukang becak berusaha mempertahankan becaknya yang akan diangkut oleh dua petugas tramtib.
Si tukang becak jelas pihak yang lemah. Siapa pun yakin bahwa adegan foto itu akan berakhir dengan diangkutnya becak untuk dimusnahkan.
Simpati kita mudah jatuh kepada si tukang becak. Adegan itu adalah adegan hidup dan mati. Si tukang becak mempertahankan alat yang memberinya nafkah sehari-hari.
Di sisi lain dua petugas tramtib itu juga punya sisi benar karena mereka menegakkan peraturan untuk menertibkan kota Jakarta.
Foto becak yang meraih Penghargaan Adinegoro untuk Kategori Foto Jurnalistik tahun 1988 tadi adalah satu dari sekitar 300 foto yang dimuat dalam buku foto Mata Hati 1965-2007, yaitu kumpulan foto terbaik harian Kompas dari era 1965 sampai 2007. Buku ini akan diluncurkan Senin (16/7) malam ini di Bentara Budaya Jakarta.
Selain itu, peluncuran buku ini juga disertai pameran dengan foto-foto sama yang berlangsung sampai tanggal 23 Juli.
Apa hebatnya foto?
Mari kita kembali ke foto becak tadi. Anda mungkin heran kalau foto itu ternyata bukan dibuat oleh fotografer Kompas, melainkan oleh seorang reporter wanita. Reporter itu, Evie Fadjari, hanya dengan kamera saku, bahkan dari balik setir mobilnya yang terkena kemacetan, berhasil merekam sebuah "adegan" yang akan lama terekam dalam benak orang yang melihat foto itu. Satu generasi lagi pun mungkin orang sudah tidak tahu becak itu seperti apa. Foto Evie tersebut dengan sederhana telah merekam sebuah sejarah kehidupan Jakarta.
Masih banyak foto terbaik Kompas yang lahir dari reporter, seperti foto peledakan Candi Borobudur tahun 1985 karya Djoko Poernomo atau foto sastrawan Pramudya Ananta Toer mengetik di Pulau Buru karya Sindhunata tahun 1977 (foto ini tak mungkin dimuat pada era Orde Baru).
Satu kesimpulan langsung bisa kita ambil. Ternyata foto hebat bisa lahir dari siapa pun. Foto bagus tidak harus lahir dari orang yang memang profesinya fotografer.
Inilah uniknya dunia foto jurnalistik. Seorang fotografer Kompas dituntut untuk punya kemampuan fotografi tinggi, lalu dididik lagi sampai sekitar setahun dalam fotografi sebelum boleh berkarya. Padahal, hasil kerjanya akan dinikmati oleh orang awam yang mungkin sama sekali tidak mengerti fotografi.
Alinea terakhir tadi juga melahirkan pertanyaan klasik, "Apa definisi foto yang bagus itu?"
Pemilihan foto
Demikianlah, fotografi memang bukan matematika yang ada rumusnya. Maka, kalau pilihan foto-foto yang dianggap terbaik dari Kompas ini ada yang dianggap tidak baik, wajarlah itu.
Memilih foto yang baik identik dengan membeli baju. Anda akan dengan mudah membeli baju bagus kalau punya uang banyak. Namun, apakah Anda bisa membuat definisi baju bagus? Apakah Anda berpatokan pada definisi itu saat membeli baju?
Fotografer Kompas Julian Sihombing jelas telah bekerja keras memilih sekitar 300 foto yang bisa dianggap terbaik dalam era 1965-2007. Julian dipercaya menjadi penentu tunggal karena dia dianggap paling tahu jejak panjang "selera Kompas" serta agar proses pemilihan bisa efisien. Anda bisa membayangkan betapa rumitnya kalau untuk membeli sebuah baju, ada lima orang yang boleh menentukan pilihan.
Kerja Julian memang sangat keras. Ada ratusan ribu foto dokumentasi harian Kompas sejak harian ini berdiri tahun 1965. Dari ratusan ribu foto tersebut, banyak yang masih berupa negatif yang baunya sangat asam dan ada pula yang berupa cetakan nyaris rusak.
Patokan pertama untuk mendapatkan pilihan foto terbaik adalah foto-foto yang meraih penghargaan. Selain Penghargaan Adinegoro, Mata Hati juga memuat foto yang meraih Penghargaan World Press Photo 1979, yaitu foto pesut Mahakam sedang melahirkan karya almarhum Kartono Ryadi.
Kemudian, pilihan kedua untuk mendapatkan materi foto terbaik adalah dari foto-foto yang pernah menghiasi halaman satu Kompas, atau istilahnya menjadi foto HL.
Foto Susi Susanti menangis saat menyanyikan Indonesia Raya di Olimpiade Barcelona 1992 adalah salah satu yang utama. Sekadar informasi, foto Susi ini dimuat nyaris satu halaman penuh di halaman satu Kompas saat itu.
Namun, ternyata dua patokan itu juga belum membuat lancar pemilihan. Foto-foto era sebelum tahun 1970 sering sudah sulit ditemukan lagi. Pada awal berdirinya Kompas, dokumentasi foto masih sangat sederhana dan belum memikirkan hal-hal beberapa tahun ke depan.
Selain itu, pada era percetakan sebelum digital, foto masuk ke surat kabar dari cetakan positif. Cetakan positif ini pula yang disimpan dokumentasi Kompas, sementara negatif fotonya ada yang disimpan sendiri oleh fotografernya.
Saat dibutuhkan untuk pameran, ada fotografer yang sudah meninggal atau ada yang sudah lupa di mana menaruh negatif fotonya.
Buku Mata Hati tidak semata memuat foto yang pernah dimuat di Kompas. Banyak foto yang karena keterbatasan halaman lalu tidak jadi dimuat walau secara umum bagus.
Buku dan pameran foto "Mata Hati" juga memberi tempat pada foto-foto yang oleh editor dianggap punya kecerdasan dalam merekam sesuatu.
Tidak kronologis
Mata Hati memang tidak berpretensi untuk merekam sejarah walau kenyataannya banyak sejarah Indonesia terekam di situ, dari G30S, peristiwa Malari 1974, Reformasi 1998, tsunami Aceh 2004, sampai dengan aneka pemilu. Oleh Trinid Kalangi, perancang visualnya, foto-foto disusun bukan berdasarkan waktu ataupun urutan peristiwa, tetapi berdasarkan "nada" foto itu.
Memang masuk akal pilihan ini karena kalau foto-foto disusun secara kronologis, yang terjadi adalah halaman-halaman awal berisi foto hitam putih, lalu halaman-halaman akhir foto berwarna. Pilihan kronologis juga tidak diambil karena realitas ini: dari tahun 1998 sampai 2004 Indonesia sangat muram penuh bencana dan kerusuhan.
Sebuah kerja memang harus ada titik akhirnya. Perasaan tidak puas bisa saja muncul, terutama pada fotografer-fotografer yang fotonya tidak terpilih, atau ditolak. Akan tetapi, sesuai dengan kesepakatan bersama, pilihan editor tidak boleh diganggu gugat.

0 comments: