Monday, July 16, 2007

ANALISIS EKONOMI: Reformasi Birokrasi

KOMPAS - Senin, 16 Juli 2007

FAISAL BASRI

Pembukaan UUD 1945 mengamanatkan bahwa tujuan kita bernegara adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Dalam konteks kesejahteraan sosial, Bung Karno menegaskan: (1) tidak boleh ada kemiskinan di bumi Indonesia merdeka, (2) tidak didominasi kaum kapitalis, dan (3) kesejahteraan yang merata ke seluruh rakyatnya, bukan kesejahteraan orang seorang.
Jelas kiranya, landasan ideologis kita bukanlah libertarian, melainkan demokrasi sosial. Dalam kehidupan berekonomi, konstitusi kita sama sekali tak mengindikasikan spirit antipasar, tetapi juga secara tegas tidak menyerahkan seluruh urusan ekonomi pada mekanisme pasar. Jadi tidaklah benar kesan bahwa seiring dengan tuntutan agar pasar lebih banyak berperan dalam memajukan perekonomian, peran negara harus dikurangi. Mengedepankan mekanisme pasar bukan berarti menabukan peran negara. Justru sebaliknya, semakin besar peran diberikan ke pasar, peran negara harus lebih diperkuat untuk menjamin kesejahteraan yang berkeadilan.
Jadi persoalan yang harus kita rumuskan bukan terletak pada pendikotomian peran pasar versus peran negara, melainkan bagaimana melakukan reorientasi peran negara secara dinamis sejalan dengan tuntutan perubahan yang terus berlangsung di lingkungan internal dan eksternal. Bagaimana peran negara bisa optimal mendayagunakan segala potensi yang dimiliki bagi sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat secara berkelanjutan.
Sejauh ini belum terlihat peta jalan untuk mengoptimalkan peran negara. Kita pun tak mendesak pemerintah untuk serta-merta menghentikan keterlibatan langsungnya dalam segala proses produksi karena kita sangat menyadari persoalan ekonomi tak bisa diserahkan seluruhnya pada mekanisme pasar.
Fungsi fundamental
Yang kita dambakan ialah pemerintah melaksanakan fungsi-fungsi fundamentalnya. Negara yang notabene penganut ideologi libertarian, seperti Amerika Serikat saja mengalokasikan sekitar 16 persen dari produk domestik bruto untuk belanja pengeluaran umum (general government final consumption expenditure). Pemerintah Inggris mengalokasikan lebih besar lagi, yakni 20 persen. Pemerintah China dan India masing-masing sekitar 13 persen. Sementara itu, pengeluaran umum Pemerintah Indonesia untuk melayani rakyatnya tak pernah beranjak dari 9 persen saja dalam 15 tahun terakhir. Sekalipun dana bukan segalanya, tetapi kalau jumlahnya terlalu sedikit, rasanya sulit mengharapkan peningkatan mutu pelayanan pemerintah bagi warganya. Tantangan bagi Indonesia semakin berat mengingat pada saat bersamaan pemerintah dituntut menambah alokasi dana untuk membangun berbagai jenis infrastruktur dasar dan jaminan sosial.
Pemerintah tak memiliki kemewahan untuk mendongkrak penghasilan resmi pegawai negeri sipil, prajurit, dan aparat kepolisian sebagai salah satu prasyarat agar kualitas pelayanan di semua sektor semakin membaik. Namun, kalau kita memulai pembaruan birokrasi dengan sekadar melipatgandakan gaji semata, niscaya kegagalan akan berulang kembali.
Pemerintah pernah mengeluarkan keputusan presiden pada tahun 1971 yang melipatgandakan tunjangan pokok dan tunjangan tambahan hanya untuk pegawai Departemen Keuangan. Tahun ini kembali Depkeu memperoleh keistimewaan itu.
Kita memaklumi langkah terbaru ini jika dan hanya jika sebagai langkah awal atau model yang pada gilirannya akan diterapkan bagi semua pegawai negeri dengan target dan penjadwalan yang jelas. Tanpa demikian, kebijakan pemerintah ini kehilangan landasan moral. Jika memang pemerintah belum memiliki konsep pembaruan birokrasi yang menyeluruh, ada baiknya konsep yang sudah rampung disusun Depkeu ini menjadi acuan utama.
Banyak kalangan yang mengkritik praktik diskriminasi yang dinikmati Depkeu. Karena, pada dasarnya semua jajaran pegawai negeri memiliki peran yang serupa dalam melayani masyarakat dan, oleh karena itu, memiliki hak dan kewajiban yang sepatutnya serupa pula. Jika ada fungsi-fungsi tertentu yang sangat unik dan karena itu harus diperlakukan khusus, yang harus ditempuh ialah reorganisasi fungsi. Untuk kasus Depkeu, unit khusus yang kerap memperoleh sorotan ialah Ditjen Pajak serta Ditjen Bea dan Cukai. Betapa pentingnya kedua unit ini sehingga dinaungi undang-undang tersendiri. Keduanya sangat strategis dalam mengamankan penerimaan negara khususnya dan perekonomian umumnya. Jika demikian, unit-unit kerja yang unik itu dikeluarkan saja dari organisasi kementerian, misalnya dengan membentuk unit khusus yang otonom langsung di bawah Presiden. Sementara menunggu peraturan perundang-undangan yang baru, bisa saja Ditjen Pajak serta Ditjen Bea dan Cukai menjadi badan khusus—katakanlah bernama Badan Penerimaan Negara—yang langsung berada di bawah Menteri Keuangan, seperti Bapepam-LK.
Dengan demikian, unit-unit kerja yang tersisa yang tidak jauh berbeda dengan unit-unit pelayanan di departemen lainnya akan tunduk pada aturan yang sama. Semua unit kerja yang khas departemental inilah jadi sasaran reformasi birokrasi menyeluruh. Unit-unit khusus yang otonom diperlakukan secara khusus dengan kaidah-kaidah yang khusus pula, yang diawali dengan langkah reorganisasi secara totalitas mengikuti tuntutan perubahan reorientasi dan paradigma peran negara.
Reformasi birokrasi yang sedang gencar digelindingkan pemerintah dewasa ini sepatutnya menjadi momentum untuk mempertajam peran negara. Terutama, untuk menjamin pasar berperan secara optimal, tidak saja dalam menjalankan fungsi market creating, tetapi juga untuk memperkokoh fungsi market regulating, market stabilizing, dan market legitimizing.
Reformasi birokrasi harus pula bertujuan mengharmoniskan keberadaan dan fungsi-fungsi lembaga negara (state agencies) sehingga tak meliputi kementerian semata. Untuk mewujudkan reformasi di Depkeu berada di jalur penataan yang benar, pembentukan Otoritas Jasa Keuangan wajib dipercepat. Dengan demikian, Depkeu lebih mengerucut pada fungsi treasury, sedangkan Bank Indonesia berkonsentrasi dalam kebijakan moneter.
Percepatan reformasi birokrasi dengan dua jalur, yakni di tingkat kementerian dan lembaga-lembaga khusus yang lebih otonom, diharapkan dapat memberi hasil yang lebih terukur dan lebih diterima secara politis sehingga mengurangi gejolak dan gelombang penolakan.
Lebih jauh lagi, reformasi model dua jalur ini juga bisa mengatasi berbagai persoalan yang masih menghadang. Misalnya, konsep pembangunan kawasan ekonomi khusus menjadi kehilangan relevansinya karena beberapa sumber penghambat utama, seperti pelayanan perpajakan dan kepabeanan, akan teratasi. Ditambah pembenahan birokrasi di beberapa bidang lagi, niscaya investor dan pengusaha akan bisa dengan nyaman beroperasi di Indonesia. Lebih dari itu, silakan berusaha ke tempat lain. Kita harus lebih percaya diri, tak perlu jual diri.

0 comments: