Monday, July 16, 2007

Ada Kesan DCA Ditutup-tutupi

KOMPAS - Senin, 16 Juli 2007

Pemerintah Tidak Perlu Khawatir Kehilangan Muka

Jakarta, Kompas - Sosialisasi tentang perjanjian kerja sama pertahanan atau Defence Cooperation Agreement antara Indonesia dan Singapura yang tidak jelas memicu keresahan warga ataupun pemerintah daerah yang wilayahnya akan dijadikan lokasi kerja sama. Apalagi, perjanjian itu belum diserahkan ke parlemen.
Kondisi tersebut terungkap dalam perjalanan Kompas, saat mengunjungi sejumlah wilayah, seperti Baturaja (Sumatera Selatan), Batam, dan sejumlah kabupaten di Kepulauan Riau, yang akan menjadi area kerja sama pertahanan itu, sepanjang pekan lalu.
Dalam Defence Cooperation Agreement (DCA) itu, Indonesia menyediakan sejumlah wilayahnya untuk dipakai angkatan bersenjata Singapura berlatih militer, baik bersama TNI, sendiri, maupun melibatkan negara ketiga. Kerja sama akan berlaku efektif selama 25 tahun, begitu diratifikasi kedua negara. Area latihan militer itu antara lain Pusat Latihan Tempur TNI Angkatan Darat Baturaja, Area Alfa 1 dan 2, serta Area Bravo.
Namun, kelanjutan proses ratifikasi DCA dan pengaturan pelaksanaan area latihan militer (implementing arrangement military training area/IA MTA), termasuk perjanjian kerja sama ekstradisi (extradition treaty), buntu (deadlock). Kebuntuan terjadi pada IA MTA Area Bravo menyusul permintaan Singapura menyangkut frekuensi latihan dan kekuatan pasukan, yang menurut Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono "terlalu berlebihan", seperti berlatih selama 15 hari setiap bulan.
Perpanjang ketidakpastian
Wakil Ketua Komisi I DPR Yusron Ihza Mahendra, Minggu (15/7) di Jakarta, mengakui, belum ada perkembangan apa pun mengenai DCA. Pemerintah belum menyerahkan perjanjian itu untuk dibahas DPR dan diratifikasi. Bahkan, terkesan pemerintah menutup-nutupi perjanjian kerja sama itu.
"Semakin diulur, kian panjang ketidakpastiannya, dan warga menunggu dalam ketidakjelasan. Tanpa kejelasan, warga yang dirugikan. Jika pemerintah menganggap tak layak, sampaikan ke DPR, kami tak akan meratifikasi," ujarnya.
Secara terpisah, peneliti senior Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Edy Prasetyono mengakui, memaketkan DCA dengan perjanjian kerja sama ekstradisi adalah kesalahan strategi Indonesia, baik dalam hal negosiasi maupun penjelasan ke publik. Karena itu, bila DCA nanti ditolak DPR, pemerintah tak perlu merasa kehilangan muka.
Menurut Eddy, sikap tak perlu khawatir kehilangan muka itu bisa menyelesaikan kontroversi yang sekarang ini terjadi dan meresahkan warga di sekitar tempat pelatihan. Artinya, bila DCA tidak lagi memiliki celah untuk dinegosiasikan, pemerintah segera saja menyampaikan ke DPR, tidak perlu mengambangkannya terus.
"Setiap treaty di mana pun butuh proses ratifikasi. Banyak contoh juga meski sudah dicapai kesepakatan, kemudian ditolak oleh parlemennya," tuturnya.
Eddy mencontohkan, perjanjian pembatasan senjata strategis Salt II antara Amerika Serikat (AS) dan Uni Soviet. Saat itu meski Pemerintah AS setuju karena Senat AS menganggap akan lebih banyak merugikan negara, kerja sama itu dibatalkan.
Namun, apabila masih ada celah, pemerintah perlu segera merundingkan kembali pasal yang dianggap merugikan Indonesia dengan Singapura.
Masyarakat resah
Sejumlah warga yang ditemui Kompas di lokasi mengaku cemas kalau kerja sama pertahanan dalam bentuk latihan militer itu akan mengganggu aktivitas serta sumber mata pencarian sehari-hari. Seperti diungkapkan Ardi dan Kasino, petani warga Desa Sabahlio, Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU) Timur, Sumsel. OKU dikenal sebagai kawasan lumbung beras Sumsel.
Ardi dan Kasino dengan sistem sewa menggarap lahan di areal Pusat Latihan Tempur (Puslatpur) TNI Angkatan Darat. Meski mengaku terbiasa dengan aktivitas militer di lokasi itu, keduanya mengaku kerja sama terbaru itu kelak akan berdampak pada aktivitasnya. Apalagi, sampai kini belum ada penjelasan apa pun terkait DCA tersebut.
"Biasanya jika ada latihan, warga dilarang masuk Puslatpur TNI AD Baturaja untuk menggarap karena berbahaya. Padahal, saya bertani di sana. Nanti bagaimana kami menggarap kalau latihannya sering," ujar Ardi.
Kekhawatiran juga dilontarkan sejumlah nelayan, yang mencari ikan di perairan Kepulauan Natuna dan Anambas. Sesuai dengan DCA, kawasan itu masuk dalam Area Bravo, yang akan dipakai Angkatan Laut dan Angkatan Udara Singapura untuk berlatih manuver, menembak, dan termasuk kemungkinan memakai peluru tajam dan peluru kendali.
"Jika latihannya memakai peluru tajam dan peluru kendali, kami pasti dilarang melaut di sana. Masalahnya, berapa lama? Kalau terlalu lama dan sering, kami mau hidup dari mana?" ujar Azha, nelayan asal Anambas.
Dalam pemantauan Kompas dari udara, beberapa pulau kecil dan terluar di kawasan perairan itu tampak berpenghuni. Sejumlah pulau juga sering dimanfaatkan sebagai tempat berlindung nelayan dari serangan badai.
Kebingungan menjalar sampai ke tingkat pemerintahan daerah dan legislatif, seperti yang terlihat di Kabupaten OKU dan OKU Timur. Bupati OKU Timur Herman Deru dan Bupati OKU Eddy Yusuf mengaku sama sekali belum tahu soal kerja sama pertahanan itu. (dwa/jos/fer/sut/dik)

BaCa SeLeNgKaPnYa disini...

Piala Asia 2007: Motivasi Pemain Merah Putih Diharapkan Berlipat

KOMPAS - Senin, 16 Juli 2007

Jakarta, Kompas - Asisten pelatih tim nasional Indonesia Syamsudin Umar berharap motivasi pemain Merah Putih akan berlipat setelah menyaksikan kemenangan mengejutkan yang diraih Bahrain atas favorit juara Korea Selatan.
Ia menyatakan, pemain Indonesia saat ini sedang memulihkan kondisi mental mereka yang sempat ambruk akibat kekalahan menyakitkan dari Arab Saudi.
"Kami harap ini akan menjadi tambahan motivasi untuk pemain Indonesia bahwa Korea Selatan tak mustahil untuk ditaklukkan," kata Syamsudin yang ditemui seusai menyaksikan kemenangan Bahrain atas Korea Selatan 2-1 di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Minggu (15/7).
"Para pemain Indonesia ingin menunjukkan mereka mampu memberikan perlawanan pada laga terakhir yang sangat menentukan," ujarnya.
Mengomentari penampilan Korea Selatan saat melawan Bahrain, Syamsudin mengatakan, kualitas tim asuhan Pim Verbeek tersebut sangat baik dan memiliki pemain yang sangat berbahaya. Ia menambahkan, permainan Korea Selatan mengandalkan umpan-umpan silang dari pemain sayap mereka yang sangat akurat. "Umpan-umpan silang para pemain Korea harus diwaspadai," ujarnya.
Manajer tim nasional Indonesia Andi Darussalam Tabussala mengatakan, para pemain Merah Putih kemarin dibebaskan dari latihan untuk memulihkan kondisi fisik dan mental. Ponaryo Astaman dan kawan-kawan baru hari ini akan kembali berkonsentrasi untuk menghadapi pertandingan berikutnya.
"Kami sudah tekankan kepada para pemain, tidak perlu patah semangat karena masih ada peluang pada pertandingan berikutnya," kata Andi. Soal dukungan penonton, ia berharap pendukung Indonesia tetap memadati Senayan karena laga terakhir akan sangat menentukan.
"Kami beritahukan juga, Indonesia akan berseragam putih-hijau-putih saat melawan Korea Selatan. Tim lawan yang akan memakai seragam merah-merah-merah. Jadi mari putih-hijaukan Senayan," ujar Andi.
Lupakan kekalahan
Sementara itu, psikolog olahraga, Jo Rumeser, mengatakan, cara terbaik bagi para pemain Indonesia adalah segera melupakan kekalahan menyakitkan akibat gol pada menit terakhir dari Arab Saudi. "Dalam psikologi olahraga, ada prinsip here and now, dalam situasi seperti sekarang, tidak perlu lagi diingatkan kejadian kemarin. Saya kira, Pelatih Kolev sudah tahu hal itu karena saya pernah bekerja dengannya," ujar Rumeser.
Ia mengatakan, sehari setelah menghadapi laga yang menguras fisik dan mental, para pemain Indonesia memang sebaiknya istirahat untuk relaksasi dan memulihkan kondisi.
"Baru hari ini pemain bisa kembali fokus," lanjutnya.
Menurut Rumeser, waktu empat hari menjelang pertandingan menentukan melawan Korea Selatan sudah cukup untuk memulihkan kondisi pemain Indonesia. "Saya kira itu sudah cukup untuk pemulihan, baik pemulihan kondisi fisik maupun mental para pemain," tuturnya.
Soal asam laktat dalam otot para pemain akibat kelelahan, yang menjadi penyebab kram, menurut Rumeser, hal itu bisa dihancurkan. "Hal itu harus dikombinasikan dengan mental set. Kepada pemain ditekankan, lupakan kekalahan, bahwa mereka telah berjuang keras dan masih ada peluang pada laga berikutnya," ujarnya. (ray)

BaCa SeLeNgKaPnYa disini...

Pameran Foto "Mata Hati"Jejak Panjang Imaji Dua Dimensi

KOMPAS - Senin, 16 Juli 2007

Arbain Rambey

Adegan dalam foto buatan tahun 1987 ini sungguh memesona. Seorang tukang becak berusaha mempertahankan becaknya yang akan diangkut oleh dua petugas tramtib.
Si tukang becak jelas pihak yang lemah. Siapa pun yakin bahwa adegan foto itu akan berakhir dengan diangkutnya becak untuk dimusnahkan.
Simpati kita mudah jatuh kepada si tukang becak. Adegan itu adalah adegan hidup dan mati. Si tukang becak mempertahankan alat yang memberinya nafkah sehari-hari.
Di sisi lain dua petugas tramtib itu juga punya sisi benar karena mereka menegakkan peraturan untuk menertibkan kota Jakarta.
Foto becak yang meraih Penghargaan Adinegoro untuk Kategori Foto Jurnalistik tahun 1988 tadi adalah satu dari sekitar 300 foto yang dimuat dalam buku foto Mata Hati 1965-2007, yaitu kumpulan foto terbaik harian Kompas dari era 1965 sampai 2007. Buku ini akan diluncurkan Senin (16/7) malam ini di Bentara Budaya Jakarta.
Selain itu, peluncuran buku ini juga disertai pameran dengan foto-foto sama yang berlangsung sampai tanggal 23 Juli.
Apa hebatnya foto?
Mari kita kembali ke foto becak tadi. Anda mungkin heran kalau foto itu ternyata bukan dibuat oleh fotografer Kompas, melainkan oleh seorang reporter wanita. Reporter itu, Evie Fadjari, hanya dengan kamera saku, bahkan dari balik setir mobilnya yang terkena kemacetan, berhasil merekam sebuah "adegan" yang akan lama terekam dalam benak orang yang melihat foto itu. Satu generasi lagi pun mungkin orang sudah tidak tahu becak itu seperti apa. Foto Evie tersebut dengan sederhana telah merekam sebuah sejarah kehidupan Jakarta.
Masih banyak foto terbaik Kompas yang lahir dari reporter, seperti foto peledakan Candi Borobudur tahun 1985 karya Djoko Poernomo atau foto sastrawan Pramudya Ananta Toer mengetik di Pulau Buru karya Sindhunata tahun 1977 (foto ini tak mungkin dimuat pada era Orde Baru).
Satu kesimpulan langsung bisa kita ambil. Ternyata foto hebat bisa lahir dari siapa pun. Foto bagus tidak harus lahir dari orang yang memang profesinya fotografer.
Inilah uniknya dunia foto jurnalistik. Seorang fotografer Kompas dituntut untuk punya kemampuan fotografi tinggi, lalu dididik lagi sampai sekitar setahun dalam fotografi sebelum boleh berkarya. Padahal, hasil kerjanya akan dinikmati oleh orang awam yang mungkin sama sekali tidak mengerti fotografi.
Alinea terakhir tadi juga melahirkan pertanyaan klasik, "Apa definisi foto yang bagus itu?"
Pemilihan foto
Demikianlah, fotografi memang bukan matematika yang ada rumusnya. Maka, kalau pilihan foto-foto yang dianggap terbaik dari Kompas ini ada yang dianggap tidak baik, wajarlah itu.
Memilih foto yang baik identik dengan membeli baju. Anda akan dengan mudah membeli baju bagus kalau punya uang banyak. Namun, apakah Anda bisa membuat definisi baju bagus? Apakah Anda berpatokan pada definisi itu saat membeli baju?
Fotografer Kompas Julian Sihombing jelas telah bekerja keras memilih sekitar 300 foto yang bisa dianggap terbaik dalam era 1965-2007. Julian dipercaya menjadi penentu tunggal karena dia dianggap paling tahu jejak panjang "selera Kompas" serta agar proses pemilihan bisa efisien. Anda bisa membayangkan betapa rumitnya kalau untuk membeli sebuah baju, ada lima orang yang boleh menentukan pilihan.
Kerja Julian memang sangat keras. Ada ratusan ribu foto dokumentasi harian Kompas sejak harian ini berdiri tahun 1965. Dari ratusan ribu foto tersebut, banyak yang masih berupa negatif yang baunya sangat asam dan ada pula yang berupa cetakan nyaris rusak.
Patokan pertama untuk mendapatkan pilihan foto terbaik adalah foto-foto yang meraih penghargaan. Selain Penghargaan Adinegoro, Mata Hati juga memuat foto yang meraih Penghargaan World Press Photo 1979, yaitu foto pesut Mahakam sedang melahirkan karya almarhum Kartono Ryadi.
Kemudian, pilihan kedua untuk mendapatkan materi foto terbaik adalah dari foto-foto yang pernah menghiasi halaman satu Kompas, atau istilahnya menjadi foto HL.
Foto Susi Susanti menangis saat menyanyikan Indonesia Raya di Olimpiade Barcelona 1992 adalah salah satu yang utama. Sekadar informasi, foto Susi ini dimuat nyaris satu halaman penuh di halaman satu Kompas saat itu.
Namun, ternyata dua patokan itu juga belum membuat lancar pemilihan. Foto-foto era sebelum tahun 1970 sering sudah sulit ditemukan lagi. Pada awal berdirinya Kompas, dokumentasi foto masih sangat sederhana dan belum memikirkan hal-hal beberapa tahun ke depan.
Selain itu, pada era percetakan sebelum digital, foto masuk ke surat kabar dari cetakan positif. Cetakan positif ini pula yang disimpan dokumentasi Kompas, sementara negatif fotonya ada yang disimpan sendiri oleh fotografernya.
Saat dibutuhkan untuk pameran, ada fotografer yang sudah meninggal atau ada yang sudah lupa di mana menaruh negatif fotonya.
Buku Mata Hati tidak semata memuat foto yang pernah dimuat di Kompas. Banyak foto yang karena keterbatasan halaman lalu tidak jadi dimuat walau secara umum bagus.
Buku dan pameran foto "Mata Hati" juga memberi tempat pada foto-foto yang oleh editor dianggap punya kecerdasan dalam merekam sesuatu.
Tidak kronologis
Mata Hati memang tidak berpretensi untuk merekam sejarah walau kenyataannya banyak sejarah Indonesia terekam di situ, dari G30S, peristiwa Malari 1974, Reformasi 1998, tsunami Aceh 2004, sampai dengan aneka pemilu. Oleh Trinid Kalangi, perancang visualnya, foto-foto disusun bukan berdasarkan waktu ataupun urutan peristiwa, tetapi berdasarkan "nada" foto itu.
Memang masuk akal pilihan ini karena kalau foto-foto disusun secara kronologis, yang terjadi adalah halaman-halaman awal berisi foto hitam putih, lalu halaman-halaman akhir foto berwarna. Pilihan kronologis juga tidak diambil karena realitas ini: dari tahun 1998 sampai 2004 Indonesia sangat muram penuh bencana dan kerusuhan.
Sebuah kerja memang harus ada titik akhirnya. Perasaan tidak puas bisa saja muncul, terutama pada fotografer-fotografer yang fotonya tidak terpilih, atau ditolak. Akan tetapi, sesuai dengan kesepakatan bersama, pilihan editor tidak boleh diganggu gugat.

BaCa SeLeNgKaPnYa disini...

Penerbangan Terganggu

KOMPAS - Senin, 16 Juli 2007

Bandara Supadio Diselimuti Kabut Asap dan Embun

Pontianak, Kompas - Pembakaran lahan oleh masyarakat masih marak di Kalimantan Barat, khususnya di sekitar Bandar Udara Supadio, Pontianak. Termasuk di dalamnya adalah Kecamatan Rasau Jaya, yang tahun lalu dijadikan percontohan pengelolaan lahan tanpa membakar.
Pembakaran lahan oleh masyarakat juga masih marak di Sumatera Selatan (Sumsel). Sementara itu, pemantauan satelit menunjukkan di seluruh wilayah Kalimantan Barat (Kalbar) tercatat 19 titik panas.
Seiring dengan itu, Sabtu dan Minggu (15/7) pagi terjadi penundaan pendaratan di Bandara Supadio, Pontianak. Ini terjadi karena jarak pandang pada pagi hari hanya 600-700 meter, sementara batas amannya 800 meter.
Namun, Kepala Badan Meteorologi dan Geofisika Bandara Supadio, Pontianak, Girwanto membantah sinyalemen bahwa gangguan pendaratan itu terjadi karena kabut asap. Menurut dia, kabut yang menyelimuti Bandara Supadio dan mengganggu penerbangan pada pagi hari adalah embun bercampur asap.
"Kandungan asapnya masih relatif kecil," katanya.
Menurut Girwanto, embun masih berpotensi mengganggu penerbangan pada pagi hari karena saat ini masih banyak awan cirrus di Kalbar sehingga hujan juga masih berpotensi terjadi.
Pemantauan Kompas menunjukkan gangguan pendaratan sekitar 1,5 jam kemarin antara lain dialami Batavia Air, Sriwijaya Air, dan AdamAir. Selain itu, pesawat Batavia Air dari Pontianak yang dijadwalkan lepas landas pukul 07.00 ditunda sekitar satu jam.
Menurut salah seorang petugas PT Angkasa Pura II Bandara Supadio, informasi mengenai jarak pandang sudah disampaikan sejak awal ke maskapai penerbangan sehingga mereka bisa menunda pemberangkatan pesawat dari Jakarta.
Lebih murah
Sejumlah petani di Rasau Jaya menyatakan, pembakaran adalah cara paling cepat sekaligus murah untuk mengatasi keasaman di lahan gambut. "Dengan membakar saja, petani masih tekor, apalagi kalau tidak membakar. Kalau petani dilarang membakar, pemerintah seharusnya memberi jalan keluarnya," kata Bahrawi (35), petani jagung di Rasau Jaya.
Menurut dia, untuk menetralkan keasaman tanah, ia harus mengeluarkan biaya Rp 300.000 dan pupuk hingga Rp 4 juta. Dengan membakar, ia cukup membeli pupuk Rp 2 juta.
Pembakaran lahan juga mulai marak di Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah. Sementara itu, Wakil Kepala Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Sumsel Leonardo Hutabarat menyatakan, penerapan teknologi sederhana untuk membuka lahan tanpa membakar, yaitu dengan cara menebas rumput, butuh ongkos minimal Rp 500.000 per hektar.
Berkaitan dengan pemadaman, Pemprov Sumsel menerima bantuan dua helikopter dari perusahaan perkebunan. Pinjaman tersebut, kata Gubernur Sumsel Syahrial Oesman, diterima karena pemprov tak mampu menyediakan helikopter. Sumsel sendiri sudah menganggarkan Rp 2 miliar untuk seluruh upaya pencegahan kebakaran ataupun penanggulangannya, termasuk dampak akibat munculnya kabut asap. (WHY/CAS/WAD/LKT)

BaCa SeLeNgKaPnYa disini...

Interpelasi Lumpur Lapindo Tak Terbendung

KOMPAS - Senin, 16 Juli 2007

Jakarta, Kompas - Usulan interpelasi terkait kasus semburan lumpur Lapindo Brantas Inc di Sidoarjo, Jawa Timur, akan diputuskan dalam Rapat Paripurna DPR, Selasa (17/7). Interpelasi ini tampaknya juga tak mungkin lagi dibendung oleh lobi pemerintah. Mayoritas fraksi di DPR menghendaki proses interpelasi ini terus dilanjutkan.
Demikian hasil perbincangan Kompas dengan pimpinan sejumlah fraksi di DPR, Minggu. Hanya Fraksi Partai Demokrat (F-PD) yang tegas menolak pengajuan hak interpelasi itu. F-PD hanya memiliki 60 kursi dari total 550 kursi di DPR.
F-PD menilai pemerintah dan Lapindo Brantas Inc memiliki keseriusan dalam menangani bencana lumpur panas di Sidoarjo. "Banyak komitmen yang sudah diselesaikan," ujar Wakil Ketua F-PD Sutan Bhatoegana.
Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (F-PDIP), dengan 109 kursi di DPR, memastikan all-out mengegolkan interpelasi. Ketua F-PDIP Tjahjo Kumolo akan mengupayakan seluruh anggotanya ikut menandatangani usulan interpelasi itu.
"Interpelasi ini terkait penderitaan rakyat. Semua partai punya konstituen di Jatim. Target politik kita agar pemerintah lebih serius dan lebih cepat menangani permasalahan ini," ujar Tjahjo.
Fraksi Partai Golkar (F-PG), dengan 129 kursi, tak melarang anggotanya ikut dalam interpelasi. Ketua F-PG Priyo Budi Santoso menegaskan, "Partai Golkar tidak melarang anggotanya ikut andil dalam interpelasi ini. Teruskan saja. Toh tujuannya mulia."
Ketua Fraksi Partai Amanat Nasional Zulkifli Hasan, Ketua Fraksi Kebangkitan Bangsa Effendy Choirie, dan Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera Mahfudz Siddiq mendukung pengajuan hak interpelasi itu pula.
Sementara itu, Kepala Dinas Kesejahteraan Sosial Pemerintah Kabupaten Sidoarjo Hisjam Rosidi, Minggu, menegaskan, Pemkab Sidoarjo tetap mengedepankan langkah persuasif dalam menyelesaikan masalah korban lumpur Lapindo. (sut/apa)

BaCa SeLeNgKaPnYa disini...

ANALISIS EKONOMI: Reformasi Birokrasi

KOMPAS - Senin, 16 Juli 2007

FAISAL BASRI

Pembukaan UUD 1945 mengamanatkan bahwa tujuan kita bernegara adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Dalam konteks kesejahteraan sosial, Bung Karno menegaskan: (1) tidak boleh ada kemiskinan di bumi Indonesia merdeka, (2) tidak didominasi kaum kapitalis, dan (3) kesejahteraan yang merata ke seluruh rakyatnya, bukan kesejahteraan orang seorang.
Jelas kiranya, landasan ideologis kita bukanlah libertarian, melainkan demokrasi sosial. Dalam kehidupan berekonomi, konstitusi kita sama sekali tak mengindikasikan spirit antipasar, tetapi juga secara tegas tidak menyerahkan seluruh urusan ekonomi pada mekanisme pasar. Jadi tidaklah benar kesan bahwa seiring dengan tuntutan agar pasar lebih banyak berperan dalam memajukan perekonomian, peran negara harus dikurangi. Mengedepankan mekanisme pasar bukan berarti menabukan peran negara. Justru sebaliknya, semakin besar peran diberikan ke pasar, peran negara harus lebih diperkuat untuk menjamin kesejahteraan yang berkeadilan.
Jadi persoalan yang harus kita rumuskan bukan terletak pada pendikotomian peran pasar versus peran negara, melainkan bagaimana melakukan reorientasi peran negara secara dinamis sejalan dengan tuntutan perubahan yang terus berlangsung di lingkungan internal dan eksternal. Bagaimana peran negara bisa optimal mendayagunakan segala potensi yang dimiliki bagi sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat secara berkelanjutan.
Sejauh ini belum terlihat peta jalan untuk mengoptimalkan peran negara. Kita pun tak mendesak pemerintah untuk serta-merta menghentikan keterlibatan langsungnya dalam segala proses produksi karena kita sangat menyadari persoalan ekonomi tak bisa diserahkan seluruhnya pada mekanisme pasar.
Fungsi fundamental
Yang kita dambakan ialah pemerintah melaksanakan fungsi-fungsi fundamentalnya. Negara yang notabene penganut ideologi libertarian, seperti Amerika Serikat saja mengalokasikan sekitar 16 persen dari produk domestik bruto untuk belanja pengeluaran umum (general government final consumption expenditure). Pemerintah Inggris mengalokasikan lebih besar lagi, yakni 20 persen. Pemerintah China dan India masing-masing sekitar 13 persen. Sementara itu, pengeluaran umum Pemerintah Indonesia untuk melayani rakyatnya tak pernah beranjak dari 9 persen saja dalam 15 tahun terakhir. Sekalipun dana bukan segalanya, tetapi kalau jumlahnya terlalu sedikit, rasanya sulit mengharapkan peningkatan mutu pelayanan pemerintah bagi warganya. Tantangan bagi Indonesia semakin berat mengingat pada saat bersamaan pemerintah dituntut menambah alokasi dana untuk membangun berbagai jenis infrastruktur dasar dan jaminan sosial.
Pemerintah tak memiliki kemewahan untuk mendongkrak penghasilan resmi pegawai negeri sipil, prajurit, dan aparat kepolisian sebagai salah satu prasyarat agar kualitas pelayanan di semua sektor semakin membaik. Namun, kalau kita memulai pembaruan birokrasi dengan sekadar melipatgandakan gaji semata, niscaya kegagalan akan berulang kembali.
Pemerintah pernah mengeluarkan keputusan presiden pada tahun 1971 yang melipatgandakan tunjangan pokok dan tunjangan tambahan hanya untuk pegawai Departemen Keuangan. Tahun ini kembali Depkeu memperoleh keistimewaan itu.
Kita memaklumi langkah terbaru ini jika dan hanya jika sebagai langkah awal atau model yang pada gilirannya akan diterapkan bagi semua pegawai negeri dengan target dan penjadwalan yang jelas. Tanpa demikian, kebijakan pemerintah ini kehilangan landasan moral. Jika memang pemerintah belum memiliki konsep pembaruan birokrasi yang menyeluruh, ada baiknya konsep yang sudah rampung disusun Depkeu ini menjadi acuan utama.
Banyak kalangan yang mengkritik praktik diskriminasi yang dinikmati Depkeu. Karena, pada dasarnya semua jajaran pegawai negeri memiliki peran yang serupa dalam melayani masyarakat dan, oleh karena itu, memiliki hak dan kewajiban yang sepatutnya serupa pula. Jika ada fungsi-fungsi tertentu yang sangat unik dan karena itu harus diperlakukan khusus, yang harus ditempuh ialah reorganisasi fungsi. Untuk kasus Depkeu, unit khusus yang kerap memperoleh sorotan ialah Ditjen Pajak serta Ditjen Bea dan Cukai. Betapa pentingnya kedua unit ini sehingga dinaungi undang-undang tersendiri. Keduanya sangat strategis dalam mengamankan penerimaan negara khususnya dan perekonomian umumnya. Jika demikian, unit-unit kerja yang unik itu dikeluarkan saja dari organisasi kementerian, misalnya dengan membentuk unit khusus yang otonom langsung di bawah Presiden. Sementara menunggu peraturan perundang-undangan yang baru, bisa saja Ditjen Pajak serta Ditjen Bea dan Cukai menjadi badan khusus—katakanlah bernama Badan Penerimaan Negara—yang langsung berada di bawah Menteri Keuangan, seperti Bapepam-LK.
Dengan demikian, unit-unit kerja yang tersisa yang tidak jauh berbeda dengan unit-unit pelayanan di departemen lainnya akan tunduk pada aturan yang sama. Semua unit kerja yang khas departemental inilah jadi sasaran reformasi birokrasi menyeluruh. Unit-unit khusus yang otonom diperlakukan secara khusus dengan kaidah-kaidah yang khusus pula, yang diawali dengan langkah reorganisasi secara totalitas mengikuti tuntutan perubahan reorientasi dan paradigma peran negara.
Reformasi birokrasi yang sedang gencar digelindingkan pemerintah dewasa ini sepatutnya menjadi momentum untuk mempertajam peran negara. Terutama, untuk menjamin pasar berperan secara optimal, tidak saja dalam menjalankan fungsi market creating, tetapi juga untuk memperkokoh fungsi market regulating, market stabilizing, dan market legitimizing.
Reformasi birokrasi harus pula bertujuan mengharmoniskan keberadaan dan fungsi-fungsi lembaga negara (state agencies) sehingga tak meliputi kementerian semata. Untuk mewujudkan reformasi di Depkeu berada di jalur penataan yang benar, pembentukan Otoritas Jasa Keuangan wajib dipercepat. Dengan demikian, Depkeu lebih mengerucut pada fungsi treasury, sedangkan Bank Indonesia berkonsentrasi dalam kebijakan moneter.
Percepatan reformasi birokrasi dengan dua jalur, yakni di tingkat kementerian dan lembaga-lembaga khusus yang lebih otonom, diharapkan dapat memberi hasil yang lebih terukur dan lebih diterima secara politis sehingga mengurangi gejolak dan gelombang penolakan.
Lebih jauh lagi, reformasi model dua jalur ini juga bisa mengatasi berbagai persoalan yang masih menghadang. Misalnya, konsep pembangunan kawasan ekonomi khusus menjadi kehilangan relevansinya karena beberapa sumber penghambat utama, seperti pelayanan perpajakan dan kepabeanan, akan teratasi. Ditambah pembenahan birokrasi di beberapa bidang lagi, niscaya investor dan pengusaha akan bisa dengan nyaman beroperasi di Indonesia. Lebih dari itu, silakan berusaha ke tempat lain. Kita harus lebih percaya diri, tak perlu jual diri.

BaCa SeLeNgKaPnYa disini...