KOMPAS - Selasa, 31 Juli 2007
Banyak Agenda Demokrasi Dalam Negeri Meleset dari Jadwal
Jakarta, Kompas - Posisi Menteri Dalam Negeri seyogianya segera diisi oleh pejabat definitif. Beban yang ditanggung Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Widodo AS, yang menjabat Menteri Dalam Negeri ad interim, dinilai terlalu berat sehingga kinerjanya dalam mengurusi pemerintahan dalam negeri dikhawatirkan tidak maksimal.
Belum lagi saat ini persiapan perangkat pemilihan umum sudah mulai berjalan dan butuh peran optimal seorang menteri dalam negeri.
Sejumlah anggota Komisi II DPR yang merupakan mitra kerja Departemen Dalam Negeri (Depdagri) saat dihubungi, Senin (30/7), berpendapat, sudah saatnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memastikan posisi Mendagri yang "lowong" akibat Moh Ma’ruf yang sakit.
Ma’ruf pada akhir Maret 2007 terkena serangan jantung. Saat perombakan kabinet awal Mei 2007, Presiden menjanjikan akan memutuskan mengganti Ma’ruf atau tidak setelah menerima laporan lengkap.
Wakil Ketua Komisi II Priyo Budi Santoso (Fraksi Partai Golkar, Jawa Tengah VII) menekankan, Mendagri adalah salah seorang triumvirat, di samping Menteri Luar Negeri dan Menteri Pertahanan. "Jangan sampai posisi sepenting itu dibiarkan terlalu lama menggantung," kata Budi.
Posisi Widodo AS sebagai Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan sudah "kelebihan beban" karena harus menangani dua pekerjaan besar. "Semakin lama diambangkan, semakin banyak pekerjaan kementerian dalam negeri yang tidak tertangani," ujarnya lebih lanjut.
Anggota Komisi II Agus Purnomo (Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, DI Yogyakarta) pun menilai kerja Komisi II terhambat karena pemegang otoritas sesungguhnya di Depdagri berhalangan.
Masalah ini menjadi berlarut-larut karena, diduga, tidak terlepas dari posisi Ma’ruf sebagai pilar tim kampanye Susilo Bambang Yudhoyono sehingga ada unsur sungkan untuk menggantinya.
Mestinya, dengan didasari masukan dokter ahli dan fakta rekam medis, Presiden sudah bisa memutuskan.
Anggota Komisi II Saifullah Ma’shum (Fraksi Kebangkitan Bangsa, Jawa Timur V) menyebutkan, sudah saatnya menagih janji Presiden, yang akan mengevaluasi perkembangan kesehatan Ma’ruf selama tiga bulan.
Sekretaris PDI-P Pramono Anung mengkritik berbagai agenda pelaksanaan demokrasi di dalam negeri banyak yang sudah meleset dari jadwal yang disepakati. PDI-P mendesak Yudhoyono segera mengambil langkah.
Berbagai agenda demokrasi yang harus segera diselesaikan itu, misalnya, pembentukan anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang baru, pembahasan empat rancangan undang-undang bidang politik, dan berbagai peraturan pelaksanaan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah menyusul adanya keputusan Mahkamah Konstitusi tentang calon perseorangan. "Seyogianya RUU partai politik, pemilu, dan susduk itu sudah dibahas sejak April lalu dan September nanti sudah selesai. Sekarang ini saya tidak yakin akan selesai November," kata Pramono.
Secara terpisah, peneliti LIPI Syarif Hidayat mengingatkan bahwa Mendagri ad interim sesuai dengan status yang dimiliki hanya merupakan pejabat antara sehingga tidak bisa mengambil kebijakan yang substansial.
Syarif bisa memahami pertimbangan Presiden untuk tidak segera mengganti Ma’ruf. "Memang sepertinya tidak bijaksana mengganti menteri yang sedang sakit, tetapi masalahnya ini untuk kepentingan bangsa," ujarnya.
Pengamatan menunjukkan, setelah empat bulan tanpa Mendagri, Kantor Depdagri semakin sepi saja. Rapat Mendagri bersama dengan pejabat eselon I yang hampir setiap minggu dilaksanakan tidak pernah diselenggarakan di Kantor Depdagri.
Sebagai gantinya, pejabat eselon I Depdagri kerap bergantian datang ke Kantor Kementerian Koordinator Politik Hukum dan Keamanan untuk berkoordinasi dengan Menko Polhukam Widodo AS yang ditunjuk Presiden sebagai Mendagri ad interim.
Keadaan itu menjadikan Kantor Depdagri pun seakan-akan pindah ke Kantor Menko Polhukam. Sebagai Mendagri ad interim, Widodo AS hanya sekali datang ke Depdagri, yaitu ketika pelantikan Sekretaris Jenderal Depdagri Diah Anggraeni dan pejabat eselon I lainnya. (DIK/SUT/SIE)
Tuesday, July 31, 2007
Saatnya Tunjuk Mendagri
Posted by RaharjoSugengUtomo at 11:18 AM 0 comments
Labels: HeadlineNews: Kompas
Pascabanjir: Sejumlah Desa di Luwu dan Morowali Masih Terisolasi
KOMPAS - Selasa, 31 Juli 2007
Makassar, Kompas - Sepekan lebih setelah bencana banjir dan longsor, sejumlah desa di Morowali (Sulawesi Tengah) dan Luwu (Sulawesi Selatan) masih terisolasi. Akibatnya, distribusi bantuan maupun evakuasi warga terhambat karena sulitnya mencapai desa-desa itu.
Bahkan, Senin (30/7), Camat Mamosalata, Morowali, Sulawesi Tengah, Yospit Lagangara, mengaku baru mendapat informasi tentang adanya enam desa di wilayahnya yang terisolasi. Keenam desa itu adalah Desa Binanga Bingo, Lijo, Uetakatu, Parangisi, Sea, dan Menyoe.
Menurut Yospit, saat ini 1.867 warga di enam desa tersebut sudah mulai kelaparan karena kehabisan persediaan makanan sejak beberapa hari lalu. Mereka kesulitan mendapatkan makanan dari Desa Tanasampu, ibu kota Mamosalata, karena jauhnya perjalanan, yaitu 21-28 kilometer.
Selain itu, kata Yospit, transportasi darat menuju enam desa yang bertetangga itu juga lumpuh total karena jalan terputus di 12 titik dan tertutup material longsoran. Jika sebelumnya jalan menuju desa-desa itu dapat dilalui dengan kendaraan roda dua, saat ini jalan itu harus dilalui dengan berjalan kaki selama 10 jam. "Satu-satunya cara mendistribusikan bantuan ke enam desa hanya dengan helikopter," kata Yospit.
Adapun di Luwu, dua desa di Kecamatan Larompong dan sejumlah dusun ataupun desa di Kecamatan Salubua masih terisolasi.
"Jalan menuju Desa Bukit Sutra dan Rante Alang hingga kini masih tertutup material longsoran," kata Camat Larompong A Syamsu.
Padahal, lanjut Syamsu, di Rante Alang masih ada 1.500 keluarga dan di Bukit Sutra terdapat 300 keluarga yang belum bisa dievakuasi keluar desa. Dari desa terdekat, sebenarnya kedua desa ini jaraknya sekitar 6,5 kilometer. Namun, banyaknya longsoran mengakibatkan distribusi bantuan ke desa ini terhambat dan berjalan lambat. Warga dan petugas yang membawa bantuan harus memikul bahan-bahan makanan dan obat-obatan menuju dua desa tersebut.
Selain membawa bantuan, tim juga harus mengevakuasi satu per satu warga menuju desa terdekat, seperti Desa Komba dan Desa Binturu. Saat ini 208 warga mengungsi di Desa Komba dan di Binturu ada 976 pengungsi.
Di Suli Barat, sejumlah dusun maupun desa juga masih terisolasi akibat jalan dan jembatan menuju desa atau dusun tersebut putus. Bahkan di Dusun Dan’dai Desa Salu Bua, Kecamatan Suli Barat, beberapa warga juga masih terisolasi. (rei/REN)
Posted by RaharjoSugengUtomo at 11:17 AM 0 comments
Labels: HeadlineNews: Kompas
Terasing: Sekolah Satu Guru, Satu Murid...
KOMPAS - Selasa, 31 Juli 2007
ahmad arif
Charles Faidiban (53) tak pernah bermimpi menjadi kepala sekolah sekaligus guru yang hanya memiliki satu murid. Namun, saat ditugaskan di Kepulauan Mapia, Charles harus mengalaminya. Menjelang masa pensiunnya sebagai guru, Charles terasing dari murid-muridnya, di pulau terluar yang sepi pula.
Pada awalnya, tak ada keraguan di hati Charles begitu menerima surat tugas untuk mengajar anak-anak di Kepulauan Mapia, salah satu gugus pulau kecil terluar Indonesia yang mengapung di Samudra Pasifik.
Sungguhpun pada awalnya ia tak pernah mengenal kepulauan yang berbatasan dengan Republik Palau, negara kecil yang baru saja menjalin hubungan diplomatik dengan Indonesia.
"Saya ditugaskan merintis pendidikan di Mapia, yang belum memiliki sekolah ataupun guru," kata lelaki dari Desa Kajase, Kecamatan Biak Timur, Kabupaten Supiori, Papua, yang sudah menjadi guru selama 31 tahun.
Begitu menerima surat keputusan penempatannya pada 20 Maret 2007, Charles segera berkemas. Istrinya, Selina Arwakon (53), dan anak bungsunya, Elimas (16), kemudian diajaknya menumpang kapal perintis yang hendak mengantar bantuan beras untuk rakyat miskin (raskin) dari Supiori ke Mapia.
Jika cuaca baik, kapal perintis ini biasa menyinggahi Mapia sebulan sekali. Kapal inilah yang menghubungkan Mapia dengan dunia luar, selain kapal-kapal pedagang kopra dari Bugis.
Charles dan keluarganya terombang-ambing di atas kapal selama dua hari, sebelum akhirnya sampai di Mapia. Tak ada sambutan istimewa saat Charles menginjakkan kaki pertama kali di sana, sebagai kepala sekolah sekaligus satu-satunya guru di Sekolah Dasar Negeri (SDN) Kecil Mapia, Distrik Supiori Barat, Kabupaten Supiori.
Sekolah itu dibangun di Pulau Brass (dihuni 36 KK), satu dari lima pulau di gugus Kepulauan Mapia. Penduduk Mapia lainnya tinggal di Pulau Pegun (13 KK).
Sedangkan tiga pulau lainnya, yaitu Brass Kecil, Fanildo, dan Fanildo Kecil, tanpa penghuni. Semua penduduk tetap di Mapia, bekerja membuat kopra dan membuat ikan asin, yang kemudian diambil oleh pedagang-pedagang dari Bugis, sebulan hingga tiga bulan sekali.
Charles awalnya optimistis, ketika menemukan bangunan sekolah baru yang terdiri dari tiga ruang kelas dari tembok dan satu ruang kantor. Rumah dinasnya, tepat di samping sekolah, juga dirasakan sudah memadai.
Dengan cepat, Charles dan keluarganya belajar menyesuaikan diri dengan kerasnya alam Mapia. Mereka pun terbiasa bergegas menyiapkan ember dan segala barang yang bisa digunakan untuk menampung air hujan sebagai air minum. Sesekali menenggak air sumur yang payau juga tak lagi jadi masalah.
Tiadanya listrik tak lagi membuat jengkel Elimas, yang biasa menonton televisi. Anak bungsunya yang tak bisa bicara sejak lahir itu pun menemukan permainan baru dengan mencari ketam kenari ataupun ikan di pantai.
Istrinya juga telah mahir mengolah sukun, sebagai makanan utama di Mapia, ketika kapal perintis yang membawa beras jatah dan raskin dari kabupaten, yang seharusnya datang tiap bulan, terlambat datang hingga berbulan-bulan lamanya.
Gaji dan tunjangan Charles sebesar Rp 2,9 juta tak banyak terpakai untuk hidup sehari-hari di Mapia. Sebagian besar uangnya pun dikirim ke putri keduanya, Matelda Faidiban (24), yang kuliah kedokteran di Universitas Hasanuddin Makassar.
Putri tertuanya, Maria Fadiban (30), sudah menjadi tanggung jawab suaminya. "Sejauh ini kami bisa bertahan hidup dengan layak. Sesuatu yang pantas disyukuri," kata Charles.
Masa depan Mapia
Memang, bukan keterasingan hidup di Mapia yang membuat Charles resah, melainkan ia gundah akan masa depan sekolahnya.
"Jauh-jauh ke Mapia, saya hanya menemukan lima anak yang mau belajar. Anak-anak Mapia lainnya kebanyakan ikut orangtua mereka berpindah-pindah ke daerah lain. Sebagian telanjur disekolahkan orangtuanya ke kota di Biak karena selama ini tak ada sekolah di Mapia," kata Charles.
Apalagi, selang satu bulan setelah kedatangan Charles, empat siswanya kemudian pergi. Dua muridnya pindah ke Tanimbar, Tual, dan dua lainnya pindah ke Biak. Dengan demikian, hanya tersisa Alen (6), yang menjadi satu-satunya murid.
"Kabarnya, bulan Agustus depan, Alen juga akan ikut orangtuanya ke Biak," kata Charles yang sebelum kepindahannya ke Mapia sudah tiga kali menjadi kepala sekolah di tempat lain, yaitu di SDN Awai (Biak Timur), SD Pendidikan Kristen Arion (Biak Timur), dan SDN Porisa (Supriori Selatan).
Kini hari-hari Charles pun menjadi sepi. Alen, yang sebentar lagi pindah, hanya datang ke sekolah dua atau tiga kali dalam seminggu. Selebihnya, Charles hanya duduk-duduk di kantor sekolah. Jika Alen datang, di ruang ini juga, barulah dia mengajar.
"Alen sudah mulai bisa membaca, sayang jika dia dibawa pergi juga. Tapi, mau apa, saya tak bisa mencegah satu-satunya murid untuk pergi," Charles berkata pelan.
Karena tak terpakai, tiga ruang kelas sekolahnya kini dimanfaatkan oleh para Marinir, yang ditugaskan di Mapia sejak 1 Maret 2007. Sebelumnya, para Marinir ini tinggal di Pulau Fanildo, tetapi malaria menyergap mereka. Hampir semuanya terjangkit malaria ganas sehingga kemudian pasukan baru yang menggantikan memilih tinggal berdampingan dengan penduduk di Brass.
"Saya sudah meminta kepada warga di sini agar membawa kembali ke sini anak-anak mereka yang disekolahkan di Biak. Saya hanya tak ingin sekolah yang dibangun di Mapia ini menjadi sia-sia, karena sekolah ini sebenarnya adalah masa depan Mapia," kata Charles.
Potret sekolah tanpa murid di Mapia adalah sekelumit problem yang melingkupi pemberdayaan pulau-pulau terluar di Indonesia.
Namun, Direktur Pemberdayaan Pulau Pulau Kecil Departemen Kelautan dan Perikanan Alex SW Retraubun mengatakan, kehadiran penduduk di pulau kecil terluar justru sangat penting untuk mengukuhkan kedaulatan negara.
Posted by RaharjoSugengUtomo at 11:16 AM 0 comments
Labels: HeadlineNews: Kompas
Calon Independen Vs Stabilitas Politik
KOMPAS - Selasa, 31 Juli 2007
Melalui Keputusan Mahkamah Konstitusi No 5/PUU-V/2007, akhirnya perjuangan masyarakat berhasil mendapatkan calon independen tanpa harus memohon-mohon dukungan partai politik. Keputusan tersebut sangat melegakan mengingat praktik politik pemilihan kepala daerah selama ini, dengan peran partai politik diibaratkan sekadar broker yang memperdagangkan kekuasaan politik.
Akibatnya, martabat partai rontok di mata masyarakat. Munculnya kandidat independen diharapkan mendorong kehadiran calon-calon pemimpin yang lebih mempunyai kepekaan dan komitmen pada kesulitan hidup masyarakat.
Bagi partai politik, calon independen harus dilihat sebagai tantangan bagi peningkatan kualitas kader dan konsolidasi organisasi. Partai politik tidak perlu terlalu khawatir calon independen akan menggerogoti ranah kewenangannya bila parpol melaksanakan fungsi sebagaimana mestinya.
Tidak mudah bagi calon independen memenangi persaingan pemilihan kepala daerah karena mereka harus melawan mesin dan struktur politik yang sudah mapan. Namun, sebaliknya, kalau partai politik sekadar menjadi medan perebutan kekuasaan para elitenya, kandidat parpol dengan mudah akan tersisihkan.
Hal itu antara lain dapat dilihat pada hasil pilkada di Nanggroe Aceh Darussalam. Dalam pilkada yang dilakukan secara serentak pada tanggal 11 Desember 2006, calon independen memenangi kursi gubernur dan delapan bupati/wali kota.
Oleh karena itu, DPR diharapkan segera membuat regulasi agar proses keikutsertaan kandidat independen dalam pilkada bisa segera dilaksanakan. Kekosongan hukum akan membuat keresahan daerah-daerah yang beberapa bulan ke depan akan menyelenggarakan pilkada.
Persoalan serius
Namun, persoalan lebih serius yang harus dicermati adalah stabilitas politik lokal. Struktur kekuasaan di daerah yang mirip dengan struktur kekuasaan di level nasional rentan terhadap konflik yang berkepanjangan antara eksekutif dan parlemen.
Hal itu disebabkan tidak ada jaminan terjadinya dukungan politik yang simetris antara kepala daerah dan DPRD. Oleh karena itu, menjelang penyusunan RUU Politik, debat publik tentang electoral threshold (ambang batas) mengenai eksistensi partai politik cukup memanas. Wacana tersebut bertujuan agar RUU politik dapat merumuskan regulasi yang dapat menghasilkan tiga variabel yang sulit dikombinasikan, yaitu (1) sistem presidensial yang kuat dan efektif, (2) sistem multipartai, serta (3) jaminan stabilitas politik.
Di tengah upaya membangun konstruksi kekuasaan dan kelembagaan yang tidak mudah tersebut, munculnya kandidat independen akan menambah besar kemungkinan ancaman kemacetan pemerintah daerah karena tanpa dukungan partai politik di parlemen tingkat lokal, kepala daerah terlalu mudah dijadikan bulan-bulanan anggota DPRD. Meski sejumlah kalangan menyatakan hal itu tidak perlu terlalu dirisaukan.
Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya mencegah krisis politik di daerah. Jalan keluar yang paling konstitusional adalah menegaskan bahwa penyelenggaraan otonomi daerah dewasa ini dilakukan dalam skema negara kesatuan, sebagaimana dinyatakan dengan tegas dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Berarti, besaran (magnitude) kewenangan daerah berasal dan ditentukan oleh pusat. Konsekuensinya, bila diperlukan, pemerintah pusat dapat menarik kembali kewenangan yang diberikan kepada daerah. Oleh karena itu, kalau UU No 32/2004 akan direvisi, sebaiknya disertai pula regulasi yang menegaskan bahwa kalau terjadi kemacetan pemerintahan di daerah, pemerintah pusat mempunyai kewenangan mengambil tindakan agar pemerintahan dapat berjalan kembali.
Dengan demikian, revisi UU No 32/2004 tidak sekadar memberikan peluang bagi calon independen, tetapi juga memberikan pasal yang dapat mencegah deadlock yang mengakibatkan pemerintahan daerah tidak berlangsung.
Dalam mengantisipasi krisis, pemerintah mungkin dapat mengambil pelajaran negara India. Meskipun bentuk negara India adalah kuasi federal, bila terjadi krisis pemerintahan di negara bagian (state), presiden mempunyai kewenangan diskresi, melalui Pasal 356 Konstitusi, membubarkan parlemen di negara bagian dan memecat gubernur.
Namun, kewenangan tersebut dilakukan melalui persyaratan yang sangat ketat. Pertama, diskresi harus merupakan jalan terakhir setelah segala upaya sebelumnya tidak dapat mengatasi masalah tersebut. Kedua, presiden harus mendapatkan persetujuan kedua parlemen dan benar-benar memerhatikan laporan gubernur. Ketiga, dapat dilakukan uji materi kepada Mahkamah Agung atas pernyataan presiden bahwa situasi dalam keadaan darurat. Bilamana Mahkamah Agung menolak, gubernur dan lembaga perwakilan di daerah (state) dapat berfungsi kembali.
Pengaturan yang rumit itu untuk mencegah agar presiden tidak sembarangan atau menyalahgunakan kewenangan yang kontroversial itu.
Pandangan ini kiranya sangat berharga untuk dijadikan konsiderasi dalam menyusun regulasi yang komprehensif. Dengan demikian, munculnya calon independen tidak saja semakin membuka peluang tumbuhnya demokrasi, tetapi juga merupakan momentum untuk mewujudkan kehidupan politik yang stabil, pemerintahan yang efektif, serta sistem kepartaian yang multipartai.
Posted by RaharjoSugengUtomo at 11:15 AM 0 comments
Labels: HeadlineNews: Kompas
Kekuasaan Birahi
KOMPAS - Selasa, 31 Juli 2007
Iklan ini rutin dimuat di koran nasional Amerika Serikat, termasuk The Washington Post: "Pamela Martin & Associates, Satu Kali Bayar, Tak Ada Biaya Tambahan. Melayani Seluruh Washington, Tersedia 7 Hari Setiap Pekan".
Di bawah ada rincian. "Pamela Martin (PM) jasa pendamping profesional dengan tingkat kelarisan 65-75 persen. Staf berusia 23 tahun ke atas dengan pendidikan minimal dua tahun di universitas. Tarif 275 dollar AS per 90 menit".
Iklan normal itu tiba-tiba menggemparkan Amerika Serikat (AS). Pasalnya, Deputi Menlu Randall Tobias (65) mundur dari jabatannya 27 April lalu atau sehari setelah mengaku jadi pelanggan pendamping PM.
"Saya beberapa kali menyewa pendamping PM, termasuk yang berasal dari Amerika Latin, untuk datang ke apartemen. Cuma pijat, tak ada seks," kilah Tobias.
Tobias mengaku karena pengadilan memeriksa bos PM, Jeane Palfrey yang didakwa karena melakukan praktik prostitusi. Palfrey dijuluki "Mami DC" (DC Madam) yang menyimpan ribuan nomor telepon pelanggan—termasuk politisi—di Washington DC.
Mami DC berencana memanggil sejumlah politisi bersaksi di pengadilan. Selain Tobias, Senator David Vitter dan peneliti Center for Strategic and International Studies (CSIS) Harlan Ullman juga "mengaku dosa".
Media memuat ribuan komentar konyol rakyat yang mengejek sikap hipokrit Partai Republik yang sering terlibat skandal belakangan ini. Menurut ABC News, skandal Mami DC ini yang ke-25 yang melibatkan tokoh Partai Republik selama era Presiden George W Bush.
Presiden IMF Paul Wolfowitz mundur karena menaikkan gaji pacarnya yang sekantor, Shaha Riza. Arsitek invasi ke Irak itu berkampanye, IMF ogah meminjamkan utang untuk rezim yang korup, tetapi kayak kerbau dicokok hidungnya oleh Riza.
Mantan Ketua DPR Newt Gingrich mengaku selingkuh saat mensponsori pemakzulan Presiden Bill Clinton yang pacaran dengan Monica Lewinsky. Anggota DPR Mark Foley mundur karena ketahuan naksir staf muda yang juga lelaki yang bekerja di Kongres.
Pendeta Ted Haggard yang ultrakanan dipecat dari gereja Protestan karena praktik homoseksual dan memakai narkoba. Wartawan top Bill O’Reilly yang gemar bicara soal moral terbukti melecehkan perempuan di kantornya, stasiun teve Fox.
Nah, Tobias juga Direktur Bantuan Asing/Administrator US Agency for International Development (USAID). Ia pernah jadi Dubes Dana Darurat Presiden Urusan Bantuan AIDS.
"Tak heran ia sewa pendamping Amerika Latin yang miskin yang butuh bantuan asing, kata pembaca". "Sebagai pejabat urusan AIDS ia jangan lupa pakai kondom saat dipijat staf Mami DC," tulis pembaca lain.
Ullman pakar doktrin serangan shock and awe (kejut dan ganas) ke Irak. "Kini saya mengerti doktrin kejut dan ganas setelah dipraktikkan langsung oleh ahlinya."
Banyak orang dekat Bush yang kena skandal. Pelobi kesayangan dia, Jack Abramoff, dihukum 5 tahun 10 bulan karena skandal suap dan korupsi.
Bush dua pekan lalu memberikan grasi untuk bekas tangan kanan Wapres Dick Cheney, Lewis Libby, yang dihukum penjara. Ia mengungkap identitas agen CIA, Valerie Wilson, yang kritis terhadap Bush.
Jaksa Agung Alberto Gonzales memecat sembilan jaksa anti-Bush. Cheney tak mau diperiksa polisi setelah secara tak sengaja menembak temannya sampai luka berat.
Jangankan soal seks, korupsi, atau menembak teman, Bush juga berbohong tentang senjata pemusnah massal di Irak. Pekan lalu Bush masih bilang teroris Al Qaeda masih berkeliaran sehingga pasukan AS tetap dibutuhkan.
Irak ibarat meja makan yang bersih, Bush datang bawa makanan basi yang mengundang lalat-lalat hijau. Ia bilang, "Jangan takut, saya usir lalat-lalat itu."
Itulah bahayanya jika rezim hidup dari kebohongan. Saking sering berbohong, rezim tak tahu lagi mana fakta, mana fiksi.
Rakyat bosan dengar cerita dikarang-karang. Namun, rakyat senang cerita ala check and recheck yang "seru, seram, dan menegangkan".
Wah, Anu ketahuan selingkuh, ada filmnya di handphone. Wuih, Badu ternyata poligami.
Hari ini Clinton ngomong, "Saya tak pernah berhubungan seks dengan perempuan itu". Beberapa hari kemudian, "Ya, saya terlibat asmara dengan Nona Lewinsky".
Guyon terlucu di AS berjudul "Enam Presiden". Alkisah, keenam presiden itu ada di kapal yang mau karam.
Presiden Gerald Ford yang peragu bertanya, "Apa yang harus kita lakukan?" Presiden George HW Bush yang ketika menjadi pilot berhari-hari bertahan di laut ganas setelah pesawat tempurnya ditembak Jepang menyergah, "Turunkan sekoci!"
Presiden Ronald Reagan si pelupa menimpali, "Sekoci itu apa sih?" Presiden Jimmy Carter, demokrat yang feminis, bilang, "Kita berikan kesempatan pertama untuk perempuan."
Presiden Richard Nixon, konservatif tulen yang tak pernah menghormati hak-hak perempuan, membentak, "Ah, buat apa mengistimewakan mereka!" Clinton menukas, "Apakah masih ada waktu untuk merayu?"
Guyon tentang Presiden RI? BK senang perempuan, Sht punya empat perempuan (istri dan tiga putrinya), BJH kalau ngomong kayak perempuan, GD doyan dikelilingi anak-anaknya yang perempuan semua, dan MS perempuan beranak Puan.
Pepatah mengatakan, "Kekuasaan merupakan obat perangsang birahi yang paling manjur, khususnya bagi mereka yang berkuasa. Seperti obat, ia juga memiliki akibat sampingan, seperti arogansi, hilangnya daya ingat, dan sikap pandir".
Posted by RaharjoSugengUtomo at 11:13 AM 0 comments
Labels: HeadlineNews: Kompas
Minta Perpu Dipercepat
KOMPAS - Selasa, 31 Juli 2007
Situasi Saat Ini Darurat Hukum untuk Calon Perseorangan
Palembang, Kompas - Komisi Pemilihan Umum Provinsi Sumatera Selatan meminta peraturan pemerintah pengganti undang-undang yang mengatur pencalonan perseorangan pada pemilihan kepala daerah atau pilkada segera diterbitkan. Itu karena sepanjang tahun 2008 di Sumsel akan digelar sembilan pilkada.
Pilkada Kota Lubuk Linggau akan dilaksanakan Maret 2008. Jika belum ada pengaturan calon perseorangan, pilkada itu dikhawatirkan akan diwarnai permasalahan karena ada hak warga yang tidak terpenuhi.
Menurut Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sumsel Maramis, Senin (30/7) di Palembang, ia mendorong pemerintah mengeluarkan perpu karena lebih mudah dibuat dan dicabut.
Selain di Sumsel, tuntutan adanya calon perseorangan muncul dalam proses pilkada di Sulawesi Selatan dan Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. KPU setempat menolak calon perseorangan karena belum ada aturannya.
"Sebaiknya perpu siap awal tahun 2008," kata Maramis. Menurut dia, revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah akan memakan waktu lama karena dilakukan DPR. Padahal, DPR adalah perwujudan parpol sehingga patut dipertanyakan kemauannya untuk merevisi UU.
"Situasi saat ini mengambang. Ini adalah situasi darurat hukum. Artinya, harus segera diambil tindakan untuk mengisi kekosongan hukum agar hak warga negara terpenuhi," ujar Maramis.
Maramis mengakui, tanpa perpu, KPU tidak berani membuat aturan tentang calon perseorangan. KPU tak memiliki kewenangan menjabarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Di Jakarta, ratusan orang yang tergabung dalam Komisi Nasional Pilkada Independen, Senin, mendatangi Departemen Dalam Negeri. Mereka meminta pemerintah segera mengeluarkan aturan tentang calon perseorangan.
Wakil Ketua Komisi Nasional Pilkada Independen Muchlis Abdullah mengingatkan bahwa pemerintah harus segera membuat perpu. "Jika pilkada tetap dilanjutkan dan calon independen tidak masuk, pemerintah melanggar konstitusi," katanya.
Menurut Kepala Bagian Penanganan Pengaduan Depdagri M Sinaga, pemerintah hingga kini belum menerima putusan MK secara resmi. Oleh karena itu, putusan soal calon perseorangan belum bisa dipelajari.
Secara terpisah, Wakil Ketua Fraksi Partai Golkar DPR Ferry Mursyidan Baldan mengharapkan pertemuan konsultasi antara pemerintah, KPU, dan DPR bisa segera dilakukan untuk membahas pencalonan perseorangan dalam pilkada itu. (WAD/SIE/DIK)
Posted by RaharjoSugengUtomo at 11:12 AM 0 comments
Labels: HeadlineNews: Kompas