KOMPAS - Selasa, 31 Juli 2007
ahmad arif
Charles Faidiban (53) tak pernah bermimpi menjadi kepala sekolah sekaligus guru yang hanya memiliki satu murid. Namun, saat ditugaskan di Kepulauan Mapia, Charles harus mengalaminya. Menjelang masa pensiunnya sebagai guru, Charles terasing dari murid-muridnya, di pulau terluar yang sepi pula.
Pada awalnya, tak ada keraguan di hati Charles begitu menerima surat tugas untuk mengajar anak-anak di Kepulauan Mapia, salah satu gugus pulau kecil terluar Indonesia yang mengapung di Samudra Pasifik.
Sungguhpun pada awalnya ia tak pernah mengenal kepulauan yang berbatasan dengan Republik Palau, negara kecil yang baru saja menjalin hubungan diplomatik dengan Indonesia.
"Saya ditugaskan merintis pendidikan di Mapia, yang belum memiliki sekolah ataupun guru," kata lelaki dari Desa Kajase, Kecamatan Biak Timur, Kabupaten Supiori, Papua, yang sudah menjadi guru selama 31 tahun.
Begitu menerima surat keputusan penempatannya pada 20 Maret 2007, Charles segera berkemas. Istrinya, Selina Arwakon (53), dan anak bungsunya, Elimas (16), kemudian diajaknya menumpang kapal perintis yang hendak mengantar bantuan beras untuk rakyat miskin (raskin) dari Supiori ke Mapia.
Jika cuaca baik, kapal perintis ini biasa menyinggahi Mapia sebulan sekali. Kapal inilah yang menghubungkan Mapia dengan dunia luar, selain kapal-kapal pedagang kopra dari Bugis.
Charles dan keluarganya terombang-ambing di atas kapal selama dua hari, sebelum akhirnya sampai di Mapia. Tak ada sambutan istimewa saat Charles menginjakkan kaki pertama kali di sana, sebagai kepala sekolah sekaligus satu-satunya guru di Sekolah Dasar Negeri (SDN) Kecil Mapia, Distrik Supiori Barat, Kabupaten Supiori.
Sekolah itu dibangun di Pulau Brass (dihuni 36 KK), satu dari lima pulau di gugus Kepulauan Mapia. Penduduk Mapia lainnya tinggal di Pulau Pegun (13 KK).
Sedangkan tiga pulau lainnya, yaitu Brass Kecil, Fanildo, dan Fanildo Kecil, tanpa penghuni. Semua penduduk tetap di Mapia, bekerja membuat kopra dan membuat ikan asin, yang kemudian diambil oleh pedagang-pedagang dari Bugis, sebulan hingga tiga bulan sekali.
Charles awalnya optimistis, ketika menemukan bangunan sekolah baru yang terdiri dari tiga ruang kelas dari tembok dan satu ruang kantor. Rumah dinasnya, tepat di samping sekolah, juga dirasakan sudah memadai.
Dengan cepat, Charles dan keluarganya belajar menyesuaikan diri dengan kerasnya alam Mapia. Mereka pun terbiasa bergegas menyiapkan ember dan segala barang yang bisa digunakan untuk menampung air hujan sebagai air minum. Sesekali menenggak air sumur yang payau juga tak lagi jadi masalah.
Tiadanya listrik tak lagi membuat jengkel Elimas, yang biasa menonton televisi. Anak bungsunya yang tak bisa bicara sejak lahir itu pun menemukan permainan baru dengan mencari ketam kenari ataupun ikan di pantai.
Istrinya juga telah mahir mengolah sukun, sebagai makanan utama di Mapia, ketika kapal perintis yang membawa beras jatah dan raskin dari kabupaten, yang seharusnya datang tiap bulan, terlambat datang hingga berbulan-bulan lamanya.
Gaji dan tunjangan Charles sebesar Rp 2,9 juta tak banyak terpakai untuk hidup sehari-hari di Mapia. Sebagian besar uangnya pun dikirim ke putri keduanya, Matelda Faidiban (24), yang kuliah kedokteran di Universitas Hasanuddin Makassar.
Putri tertuanya, Maria Fadiban (30), sudah menjadi tanggung jawab suaminya. "Sejauh ini kami bisa bertahan hidup dengan layak. Sesuatu yang pantas disyukuri," kata Charles.
Masa depan Mapia
Memang, bukan keterasingan hidup di Mapia yang membuat Charles resah, melainkan ia gundah akan masa depan sekolahnya.
"Jauh-jauh ke Mapia, saya hanya menemukan lima anak yang mau belajar. Anak-anak Mapia lainnya kebanyakan ikut orangtua mereka berpindah-pindah ke daerah lain. Sebagian telanjur disekolahkan orangtuanya ke kota di Biak karena selama ini tak ada sekolah di Mapia," kata Charles.
Apalagi, selang satu bulan setelah kedatangan Charles, empat siswanya kemudian pergi. Dua muridnya pindah ke Tanimbar, Tual, dan dua lainnya pindah ke Biak. Dengan demikian, hanya tersisa Alen (6), yang menjadi satu-satunya murid.
"Kabarnya, bulan Agustus depan, Alen juga akan ikut orangtuanya ke Biak," kata Charles yang sebelum kepindahannya ke Mapia sudah tiga kali menjadi kepala sekolah di tempat lain, yaitu di SDN Awai (Biak Timur), SD Pendidikan Kristen Arion (Biak Timur), dan SDN Porisa (Supriori Selatan).
Kini hari-hari Charles pun menjadi sepi. Alen, yang sebentar lagi pindah, hanya datang ke sekolah dua atau tiga kali dalam seminggu. Selebihnya, Charles hanya duduk-duduk di kantor sekolah. Jika Alen datang, di ruang ini juga, barulah dia mengajar.
"Alen sudah mulai bisa membaca, sayang jika dia dibawa pergi juga. Tapi, mau apa, saya tak bisa mencegah satu-satunya murid untuk pergi," Charles berkata pelan.
Karena tak terpakai, tiga ruang kelas sekolahnya kini dimanfaatkan oleh para Marinir, yang ditugaskan di Mapia sejak 1 Maret 2007. Sebelumnya, para Marinir ini tinggal di Pulau Fanildo, tetapi malaria menyergap mereka. Hampir semuanya terjangkit malaria ganas sehingga kemudian pasukan baru yang menggantikan memilih tinggal berdampingan dengan penduduk di Brass.
"Saya sudah meminta kepada warga di sini agar membawa kembali ke sini anak-anak mereka yang disekolahkan di Biak. Saya hanya tak ingin sekolah yang dibangun di Mapia ini menjadi sia-sia, karena sekolah ini sebenarnya adalah masa depan Mapia," kata Charles.
Potret sekolah tanpa murid di Mapia adalah sekelumit problem yang melingkupi pemberdayaan pulau-pulau terluar di Indonesia.
Namun, Direktur Pemberdayaan Pulau Pulau Kecil Departemen Kelautan dan Perikanan Alex SW Retraubun mengatakan, kehadiran penduduk di pulau kecil terluar justru sangat penting untuk mengukuhkan kedaulatan negara.
Tuesday, July 31, 2007
Terasing: Sekolah Satu Guru, Satu Murid...
Posted by RaharjoSugengUtomo at 11:16 AM
Labels: HeadlineNews: Kompas
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment