Wednesday, July 18, 2007

Ultimatum Balik Singapura

KOMPAS - Rabu, 18 Juli 2007

Jika Tak Bisa Dirundingkan Ulang, Batalkan Saja DCA

Jakarta, Kompas - Pernyataan Menteri Luar Negeri Singapura George Yeo di depan Parlemen Singapura, Senin, dinilai bernada ultimatum terhadap Indonesia. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono didesak berani melakukan hal serupa.
Pernyataan itu disampaikan anggota Komisi I dari Fraksi Partai Golkar, Yuddy Chrisnandy, hari Selasa (17/7), seusai menerima sejumlah anggota DPRD Kabupaten Ogan Komering Ulu yang menyampaikan penolakan daerah mereka terhadap rencana kerja sama pertahanan tersebut.
"Presiden harus berani mengajak mereka (Singapura) duduk berunding kembali membahas DCA. Kalau tidak, ya DCA dibatalkan saja. Jangan takut mengatakan DCA ditentang rakyat dan parlemen Indonesia. Hal seperti itu harus berani dilakukan (Presiden) untuk menunjukkan wibawa kita," ujar Yuddy.
Seperti diberitakan, Singapura menyatakan akan mencoba bersabar dan akomodatif atas keinginan Indonesia untuk mengubah perjanjian kerja sama pertahanan (DCA). Namun, Indonesia diminta tidak melakukan perubahan substansial, atau perjanjian ekstradisi batal sekalian (Kompas, 17/7).
Menurut Yuddy, beberapa pasal dalam DCA harus dirombak, diperbaiki, atau ditambahi, sehingga akan lebih bermanfaat. Dia mencontohkan Pasal 3 soal kerja sama latihan, hanya satu dari tujuh poin saja bentuk kerja sama yang terkait langsung dengan kepentingan Indonesia.
Yuddy juga meminta pemerintah mendesak Singapura merevisi aturan tentang masa berlaku DCA, dari sebelumnya yang dinilai terlalu lama (25 tahun), dan juga merevisi aturan tentang pelibatan pihak atau negara ketiga dalam latihan yang digelar Singapura di wilayah Indonesia nanti.
"Jangka waktu 25 tahun terlalu panjang. Terlalu gegabah jika suatu rezim pemerintahan (Yudhoyono), yang masa pemerintahannya maksimal hanya 10 tahun, berani membuat suatu perjanjian yang masa berlakunya melampaui batas-batas masa pemerintahannya itu," ujar Yuddy.
Anggota Komisi I DPR, Sidharto Danusubroto dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, menyatakan, DCA memang sudah lama menjadi incaran Singapura. "Silakan saja, toh yang meratifikasi kami (legislatif). Soal itu sudah ada aturannya dalam perundang-undangan soal kerja sama internasional," katanya.
Dibatalkan saja
Anggota Komisi I DPR, Effendy Choirie (Fraksi Kebangkitan Bangsa), Selasa di Bogor, juga menyebutkan, ancaman Singapura untuk membatalkan perjanjian ekstradisi, jika perjanjian kerja sama pertahanan diubah secara substansial, menunjukkan perbedaan pemahaman antara Pemerintah RI dan Singapura. Singapura memandang kedua perjanjian dibuat dalam satu paket, sedangkan Indonesia memandang kedua perjanjian dipisah.
Perbedaan persepsi itu sudah menimbulkan kecurigaan sehingga sebagian besar anggota Komisi I DPR langsung menolak untuk meratifikasi perjanjian kerja sama pertahanan. "Kalau Singapura maunya begitu, ya sudah, batalkan saja perjanjian ekstradisi sehingga DCA juga batal," kata Effendy.
Hal itu dinilai Effendy lebih baik daripada Indonesia harus menjual kedaulatan negaranya untuk ditukar dengan uang para koruptor yang juga belum tentu dapat dikembalikan. Proses implementasi perjanjian ekstradisi akan sangat bergantung pada sistem hukum di Singapura dan efektivitas kinerja lembaga penegakan hukum di Indonesia.
Effendy meminta pemerintah dan Presiden tidak malu membatalkan perjanjian kerja sama pertahanan jika memang merugikan Indonesia. "Tidak dapat uangnya tidak apa-apa, yang penting negaranya tidak terjual," katanya.
Hal senada dilontarkan guru besar Universitas Padjadjaran Bandung, Romli Atmasasmita, yang saat ini berada di Jepang. Menurut dia, sebaiknya perjanjian pertahanan itu dibatalkan. Kalaupun dipaksakan untuk dilaksanakan, Indonesia tak akan memperoleh banyak manfaat. Ia menuturkan, ada banyak syarat yang harus dipenuhi untuk dapat membawa koruptor kembali ke Indonesia. Romli justru mengusulkan agar Departemen Luar Negeri mencari cara lain untuk membahas perjanjian ekstradisi itu.
Romli mengatakan, dalam hubungan internasional, pembatalan sebuah perjanjian yang telah disepakati memang mengundang sikap negatif dan ketidakpercayaan. Namun, ia melihat isi dari perjanjian pertahanan itu sangat merugikan Indonesia.
RI tak pernah ubah
Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda mengemukakan, klaim Singapura yang menyebut Indonesia mengusulkan perubahan terhadap perjanjian kerja sama pertahanan adalah keliru.
"Pihak Singapura mengklaim kita mengusulkan perubahan terhadap DCA. Sama sekali tidak pernah ada dari pihak kita yang mengusulkan perubahan terhadap DCA yang sudah ditandatangani. Kita hanya minta sesuai Pasal 6 DCA yang memandatkan adanya aturan-aturan pelaksanaan, itu yang harus dipenuhi. Untuk itu belum ada yang ditandatangani satu pun. Kalaupun ada (bentuknya) draf, itu pun belum lengkap," ujar Hassan di Istana Negara, Selasa.
Hassan mengatakan, DCA adalah jenis perjanjian yang begitu berlaku dan bisa diterapkan. Ada mandat di Pasal 6 DCA yang mengharuskan dibuat sejumlah peraturan, baik tentang administratif, teknis, maupun operasional.
Ia mengakui, antara Singapura dan Indonesia masih ada jurang perbedaan pandangan dan tafsir. Untuk mengatasinya telah dilakukan sejumlah pendekatan. "Yang kita tunggu adalah angin baik kapan dua pihak dapat duduk bersama," ujar Hassan.
Mengenai resistensi daerah, Hassan menilai hal itu sebagai bagian dari perdebatan nasional yang belum utuh karena DCA sebagai dokumen memang belum lengkap. (DWA/INU/MZW/MAM/JOS)

BaCa SeLeNgKaPnYa disini...

Piala Asia 2007: Saatnya Indonesia Mengukir Sejarah

KOMPAS - Rabu, 18 Juli 2007

Jakarta, Kompas - Sekarang atau tidak sama sekali! Inilah waktu tepat bagi Indonesia mengukir sejarah untuk pertama kalinya lolos ke perempat final Piala Asia dengan menyingkirkan Korea Selatan pada laga penentuan Grup D di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Jakarta, Rabu sore ini.
Kesiapan menghadapi laga hidup-mati melawan Korea Selatan (Korsel) ditegaskan striker Indonesia, Bambang Pamungkas. "Kami menghormati Korsel. Namun, kami tidak takut dengan nama besar Korsel yang telah beberapa kali tampil di Piala Dunia. Kami akan buktikan, kami mampu menandingi mereka," kata Bambang, Selasa (17/7).
Pelatih tim Indonesia Ivan Kolev mengatakan, secara fisik ataupun mental, para pemain Merah Putih telah siap bertarung pada laga tersebut. "Tujuan kami adalah lolos ke babak berikutnya. Para pemain telah siap menghadapi laga ini," ujarnya.
Indonesia akan memakai kostum putih-hijau-putih, sementara Korsel merah-merah-merah. Untuk itu, penonton diharapkan mengenakan atribut warna putih saat mendukung Ponaryo Astaman dan kawan-kawan.
Dari pemantauan Kompas, penonton terlihat sangat antusias ingin mendukung perjuangan tim Merah Putih. Ribuan orang rela mengantre berjam-jam di loket untuk mendapatkan tiket. Namun, antusiasme mereka tak mendapatkan pelayanan layak dari panitia lokal.
Mereka mengeluh sulitnya memperoleh tiket saat petinggi PSSI mendampingi Wakil Presiden Jusuf Kalla menyaksikan latihan tim Indonesia di Senayan kemarin sore. "Minta tiket Pak. Kami tak dapat tiket, semua diborong calo," teriak seorang penonton.
Pertahankan semangat
Wapres mengatakan, jika terus mempertahankan semangat, ia yakin Indonesia bisa menang atas Korsel. Keberhasilan menaklukkan lawan akan menjadi momentum luar biasa bagi kebangkitan sepak bola Indonesia.
Mantan Pelatih Persib Bandung, Indra Thohir, mengingatkan para pemain Indonesia agar lebih waspada pada menit rawan di awal babak pertama dan akhir babak kedua. Ia yakin semua tim di Piala Asia bisa dikalahkan, termasuk Korsel. "Saya yakin menang kalau Indonesia bisa menjaga kualitasnya," katanya.
Direktorat Lalu Lintas Kepolisian Daerah Metro Jaya hingga Selasa malam belum memastikan pengalihan lalu lintas untuk mengantisipasi kemacetan menjelang laga itu. (che/nel/ray)

BaCa SeLeNgKaPnYa disini...

IPTEK: Ponsel di Pesawat? OK Saja (di Eropa)

KOMPAS - Rabu, 18 Juli 2007

NINOK LEKSONO

Itulah peringatan yang kini selalu kita dengar setiap kali masuk ke pesawat terbang. Seperti juga kita baca di majalah Garuda Indonesia, ada alasan kuat mengapa awak pesawat selalu mengingatkan penumpang agar mematikan telepon seluler saat di dalam kabin pesawat.
Menurut penjelasan Garuda, dan juga maskapai penerbangan pada umumnya, pesawat terbang modern banyak sekali bergantung pada gelombang radio untuk menjalankan berbagai fungsi, termasuk komunikasi dengan menara kontrol dan navigasi. Interferensi gelombang radio yang berasal dari telepon seluler (ponsel) dapat mengacaukan fungsi-fungsi ini.
Pengguna ponsel mungkin tidak menyadari bahwa dalam keadaan standby pun ponsel tetap memancarkan sinyal elektromagnetik yang memberi tahu komputer di jaringan seluler bahwa ponsel dalam keadaan aktif, dan oleh karena itu dapat dihubungi. Sinyal semakin kuat ketika pemancar di base transceiver station (BTS) berkomunikasi dengan ponsel untuk menyampaikan panggilan ataupun mengirimkan pesan singkat SMS.
Padahal, setelah pesawat tinggal landas dan mendekati ketinggian jelajah, ponsel tidak dapat berfungsi karena jarak dari BTS ke pesawat terlalu jauh dan pesawat bergerak terlalu cepat. Karena itu, sebelum terdeteksi dan terdaftar di salah satu sel jaringan seluler, ponsel sudah meninggalkan sel tersebut. Pada sisi lain, ponsel terus saja memancarkan sinyal elektromagnetik yang berisiko mengganggu berbagai peralatan penerbangan.
Atas dasar itu, demi keselamatan penumpang, Anda diwajibkan mematikan ponsel begitu memasuki kabin pesawat.
Sudah OK di Eropa
Namun, apa yang masih umum dipraktikkan di maskapai penerbangan kini sudah akan dianulir di Eropa. Airbus, seperti dilaporkan Thomas Crampton (IHT, 21/6), mengumumkan regulator Eropa sudah memperbolehkan penggunaan ponsel dan peralatan BlackBerry (yang banyak digunakan untuk mengirim dan menerima e-mail) untuk penumpang udara.
Dengan persetujuan Badan Keselamatan Penerbangan Eropa, mulai bulan September nanti penumpang pesawat Airbus, yang dilengkapi dengan sistem OnAir, bisa mengirim dan menerima panggilan telepon, pesan teks singkat (SMS) dan e-mail ketika terbang pada ketinggian di atas 9.800 kaki (2.987 meter).
Pesawat pertama yang akan beroperasi dengan sistem ini boleh jadi adalah pesawat jarak pendek Airbus A318 yang dioperasikan oleh Air France. Maskapai Inggris BMI, maskapai Portugal TAP, dan maskapai tarif murah Ryanair juga telah menandatangani kesepakatan untuk menyediakan layanan OnAir, yang dikembangkan bersama oleh Airbus dan SITA, sebuah perusahaan layanan komunikasi.
Namun, perlu ditegaskan bahwa regulasi ini berlaku hanya di Uni Eropa. Masih dibutuhkan waktu sebelum perubahan bisa dilakukan di tempat lain.
Menurut Graham Lake, Chief Commercial Officer OnAir, tarif percakapan ponsel di pesawat diperkirakan 2,5 dollar AS per menit dan 50 sen dollar per SMS.
Seperti diuraikan oleh Lake, roaming (penjelajahan) tidak lagi antarnegara, tetapi penjelajahan udara. Telepon akan diteruskan via satelit dan diturunkan ke jaringan GSM.
25 persen masih hidup
Persetujuan penggunaan ponsel di pesawat di Eropa ini memang bertentangan dengan pelarangan tegas yang diterapkan oleh maskapai penerbangan. Namun, tampaknya ada fakta lain yang dijadikan landasan untuk mengubah situasi. Studi OnAir menemukan fakta bahwa 10-25 persen penumpang dan awak kabin tidak mematikan ponsel mereka di dalam kabin meskipun sudah diberi peringatan tegas.
"Kalau memang ponsel tidak aman di pesawat, mestinya sudah ada banyak kecelakaan," ujar Lake.
Atas dasar itu ia menyimpulkan bahwa penggunaan ponsel (di pesawat) lebih merupakan (soal) kultur daripada keselamatan. Walaupun ada orang yang tidak sungkan-sungkan menelepon dengan didengar banyak orang, sebenarnya ada banyak orang yang keberatan kalau lingkungan sekitar berisik karena orang menelepon keras-keras. OnAir mengantisipasi akan sulit mengubah keadaan di negara-negara yang penentangannya sangat kuat terhadap penggunaan ponsel di pesawat.
Salah satu argumen yang digunakan OnAir untuk memperoleh persetujuan adalah bahwa ponsel yang (secara tak sengaja) dibiarkan aktif oleh penumpang akan meningkatkan sinyal output yang berpotensi mengganggu frekuensi radio saat berada di luar jaringan seluler.
Kerisauan lain
Penggunaan sistem OnAir dibatasi hanya untuk ketinggian di atas 3.000 meter, yang dicapai sekitar empat menit setelah tinggal landas, dan bisa terus digunakan hingga 10 menit sebelum pendaratan. Namun, ini lebih terkait dengan operasi operator, yang mengkhawatirkan muncul gangguan bila satu panggilan telepon dari udara ditangkap oleh sejumlah menara seluler di darat.
Isu lain yang juga muncul sehubungan dengan rencana penggunaan ponsel di pesawat adalah privasi. Sejauh ini orang merasa bahwa satu-satunya lingkungan yang masih ada agar terbebas dari ponsel adalah di pesawat. Menanggapi kekhawatiran ini, Lake yakin bahwa etiket masih akan ada ketika orang menelepon di pesawat. Ia meminta maskapai penerbangan bisa menegaskan perlunya perilaku menghormati dari pengguna.
Namun, masalah tidak berhenti di situ karena ada perbedaan kebiasaan di masing-masing suku bangsa. Ada yang masih menganggap sopan untuk menaruh ponsel di atas meja saat rapat dan menjawabnya saat ponsel berdering, sementara hal semacam itu tak sopan di Inggris.
Untungnya ada mekanisme untuk mengendalikan situasi. Misalnya, manakala diperlukan, layanan yang bisa disediakan hanya untuk kirim dan terima SMS dan maskapai penerbangan bisa menutup layanan penerimaan telepon pada penerbangan jarak jauh di malam hari.
Bagi pengguna laptop, sistem ini menyediakan pula layanan WiFi kecepatan tinggi di pesawat, dengan kecepatan serupa dengan yang ada di kantor atau rumah.
Sekadar catatan, penyediaan layanan konektivitas di udara seperti yang akan disediakan oleh OnAir ini sebenarnya bukan yang pertama. Pesaing Airbus, yaitu Boeing, sebelum ini pernah menyediakan layanan Internet Connexxion, tetapi belum lama ini ditutup karena penumpang kurang berminat sehingga kurang pemasukan.
Penyediaan layanan ponsel di pesawat pun masih menyisakan sejumlah masalah. Namun, perusahaan seperti OnAir tidak mau berhenti dalam situasi status quo, yaitu saat penumpang yang berada dalam penerbangan tak mendapat kemudahan komunikasi, yang—apa pun latar belakangnya—memang acap sulit ditinggalkan.

BaCa SeLeNgKaPnYa disini...

Krisis Listrik: Mereka Tersandera Pemadaman

KOMPAS - Rabu, 18 Juli 2007

Andy Riza Hidayat

Sonny hanya bisa geleng-geleng kepala. Tidak ada yang bisa dikerjakan selain berharap dalam ketidakpastian. Meski sudah ada lima pasien menunggu, Sonny hanya bisa duduk bersandar di kursinya. Apalagi, banyak peralatan medisnya yang rusak.
Dalam kondisi seperti ini, saya hanya bisa menggunakan satu set alat karena genset tidak kuat. Tetapi, gimana lagi, Mas. Ini persoalan lama yang sampai sekarang tidak pernah selesai," ujar dokter gigi itu tanpa semangat.
Sonny pernah merasa sangat kesal. Ketika ia sedang menambal gigi pasiennya, tiba-tiba listrik padam. Penambalan terpaksa diulang karena jika dilakukan dalam kondisi listrik tidak stabil, hasilnya akan jelek. "Saya terima saja ketika pasien komplain sebab itu di luar perkiraan saya," ujarnya.
Pemadaman listrik di Sumut, khususnya di Kota Medan, memang tidak dapat diprediksi. Setiap hari selalu berubah, waktu dan lama pemadaman. Dengan demikian, orang yang harus bekerja dengan alat listrik sangat terganggu karena tidak tahu kapan harus menghidupkan genset sebagai antisipasi pemadaman. PT PLN Sumut tidak pernah memberi tahu warga waktu dan lama pemadaman akan dilakukan. "Pemadaman tidak bisa dipastikan kapan dan berapa lama. Awalnya empat jam setiap pemadaman. Sekarang banyak lebihnya," tuturnya.
Sore itu Sonny juga tidak bisa memakai sterilisator miliknya yang biasa dipakai untuk membersihkan peralatan medis. Bahkan, sudah tiga genset jebol akibat seringnya dipakai selama pemadaman berlangsung. "Kemungkinan karena sering dipakai, terakhir saya beli Rp 4,5 juta," tuturnya.
Sejak pukul 15.00 listrik padam. Lampu di Klinik Kimia Farma di Jalan Gatot Subroto, Medan, tempat Sonny praktik, berkedip-kedip meski dua genset menyala. Situasi, Selasa sore, itu masih lebih baik dibandingkan dua pekan sebelumnya, saat dua genset di klinik itu jebol sehingga sebagian dokter yang praktik harus memakai lilin saat melayani pasien.
Salah satu peralatan Sonny yang rusak adalah alat rontgen gigi. Alat itu rusak karena tegangan naik-turun akibat pemadaman yang terlalu kerap terjadi.
Dimasak
Terhentinya aliran listrik memaksa petugas klinik harus "memasak" alat medisnya. Hal itu terjadi di Klinik Sari Mutiara di Jalan Medan-Binjai, Kilometer 12, Desa Mulyorejo, Kecamatan Sunggal, Kabupaten Deli Serdang.
Petugas klinik sore itu memasak pinset, gunting, dan baskom kecil di dalam panci besar di atas kompor berbahan bakar minyak tanah. Lidia Kristina, perawat, harus memasaknya karena sterilisator rusak akibat seringnya pemadaman listrik.
Selain harus memasak, petugas harus siap bekerja lebih berat. Jika malam hari lampu padam, pekerjaan yang biasanya bisa dilakukan seorang harus dilakukan dua orang. Maklum saja, genset di klinik itu tidak bisa cepat hidup, sementara lampu mati bisa setiap saat.
"Jika pada waktu merawat pasien tiba-tiba lampu mati, kami perlu bantuan perawat untuk memegang lilin. Kalau tidak ada, kami memakai penerangan senter," tutur dokter Ramada boru Siporo.
Ongkos mahal akibat terputusnya aliran listrik juga terjadi di jalan. Kemacetan lalu lintas kerap terjadi di persimpangan jika lampu lalu lintas mati. Kepolisian Kota Besar (Poltabes) Medan mengantisipasi dengan menempatkan genset di persimpangan yang berpotensi terjadi kemacetan. Namun, jumlah genset masih jauh dari jumlah ideal yang diharapkan.
Dari 180 lampu lalu lintas yang ada, polisi hanya mengoperasikan 16 genset. Dari jumlah genset yang ada, sembilan di antaranya merupakan genset permanen, sedangkan tujuh lainnya bisa dipindah ke tempat lain.
"Keberadaan genset sangat membantu kami memperlancar arus lalu lintas. Sayang sekali, itu pun masih belum cukup," tutur Kepala Satuan Lalu Lintas Poltabes Medan Komisaris Safwan Khayat.
Meski terus didera pemadaman, pada tahun 2003 Pemerintah Kota Medan membuat peraturan daerah yang mengatur kepemilikan genset. Berdasarkan perda itu, pemilik genset akan ditarik retribusi. Beruntung, meski perda itu belum dicabut, Pemkot Medan tidak memfungsikannya dan retribusi pun tak jadi ditarik.
"Perda No 10/2003 ini memang belum dicabut, tetapi sudah ada keinginan Wali Kota Medan untuk mencabutnya. Dalam praktiknya, perda ini tidak pernah diberlakukan," ujar Muslim, anggota DPRD Kota Medan.
Dapat dibayangkan geramnya masyarakat kalau perda itu jadi diberlakukan. Sudah rugi mesti beli genset, akibat listrik kerap padam, warga pun mesti membayar retribusi.

BaCa SeLeNgKaPnYa disini...

Penebar Kebencian Batal

KOMPAS - Rabu, 18 Juli 2007

Langkah Maju Pandangan MK terhadap Kebebasan Beropini

Jakarta, Kompas - Mahkamah Konstitusi membatalkan Pasal 154 dan 155 Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau KUHP yang juga disebut sebagai pasal penebar kebencian. Pasal tersebut dinilai bertentangan dengan UUD 1945 karena menghalangi kemerdekaan menyatakan pikiran dan berpendapat.
Putusan itu dinilai sebagai langkah maju Mahkamah Konstitusi (MK) terkait dengan pandangan mengenai kebebasan beropini. Ahli pidana Universitas Indonesia Profesor Indriyanto Seno Adji mengatakan, pihaknya memberikan apresiasi positif untuk putusan tersebut.
Putusan MK itu dibacakan di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (17/7). Uji materi disampaikan Direktur Forum Komunikasi Antar Barak (Forak) R Panji Utomo, yang pernah dihukum tiga bulan penjara oleh Pengadilan Negeri Aceh dengan menggunakan pasal tersebut.
Pasal 154 KUHP mengatur tentang siapa pun yang menyatakan permusuhan, kebencian, atau merendahkan pemerintah diancam pidana paling lama tujuh tahun. Pasal 155 KUHP mengatur tentang larangan penyiaran, penempelan tulisan/lukisan di depan umum yang menyatakan perasaan kebencian kepada pemerintah.
Dalam pertimbangannya, MK menyebutkan sejarah munculnya Pasal 154 dan 155 KUHP. Pasal itu muncul untuk menjerat tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan di Hindia Belanda.
Meski merupakan warisan kolonial, KUHP Belanda atau Wetboek van Strafrecht tidak mengenal pasal penebar kebencian. Bahkan, Menteri Kehakiman Belanda—saat itu—menolak ketika ide tersebut dilontarkan. Pasal itu hanya ditoleransi untuk masyarakat kolonial dan jelas tidak ditujukan bagi masyarakat Eropa.
Di Belanda sendiri, menurut MK, ketentuan itu dipandang tidak demokratis karena bertentangan dengan kebebasan berekspresi dan beropini.
MK juga mempertimbangkan kualifikasi delik atau tindak pidana yang dirumuskan dalam Pasal 154 dan 155 KUHP. Kedua pasal itu hanya memuat delik formal yang cukup mensyaratkan terpenuhinya unsur perbuatan terlarang tanpa mengaitkan akibat perbuatan. Karena itu, pasal ini cenderung disalahgunakan dan ditafsirkan sesuai selera penguasa.
Indriyanto mengatakan, putusan MK itu mencerminkan pandangan MK tentang kebebasan beropini yang lebih maju. Ia juga setuju jika Pasal 155 KUHP dibatalkan. "Itu menyangkut delik penyebaran. Dulu ada kekhawatiran jika ada pendapat bahwa pemerintah tidak bermutu, lalu ditulis di koran, maka diadili dengan pasal penghinaan pada pemerintah. Dengan putusan ini, itu tidak dipakai lagi," ujarnya.
Panji Utomo juga menyambut baik putusan itu. Ia berharap putusan tersebut dapat menciptakan alam kehidupan yang lebih demokratis. (ANA)

BaCa SeLeNgKaPnYa disini...

Peran Kuat Negara Dipertanyakan

KOMPAS - Rabu, 18 Juli 2007

Jakarta, Kompas - Masalah peran kuat negara dipertanyakan peserta Program Pendidikan Singkat Angkatan XV Lembaga Ketahanan Nasional dalam acara dialog dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Istana Negara, Jakarta, Selasa (17/7).
Mengenai peran kuat negara ini, Presiden balik bertanya apa yang dimaksud peserta PPSA XV Lemhannas. "Apakah dengan itu negara sekarang ini lemah?" ujar Presiden pada akhir pembekalan dalam dialog.
Pertanyaan tentang peran negara merupakan satu dari empat butir resume hasil seminar dengan tema besar globalisasi di akhir program. Empat resume itu adalah mendesaknya peran optimal negara, mewujudkan "Indonesia Incorporated", pembentukan Komite Globalisasi, dan reformasi ekonomi.
Oleh peserta PPSA XV, peran negara diharapkan layaknya strategi sepak bola total football, dengan Presiden yang memimpin langsung dalam menerapkan strategi itu. Peserta PPSA XV menginginkan kembalinya peran optimal negara seperti tertuang dalam Pasal 34 UUD 1945, tetapi tidak lagi mengulang kesalahan pada era Orde Baru.
Orde Baru
Mengenai permintaan yang ada dalam resume PPSA XV, Presiden memperlihatkan yang terjadi pada masa Orde Baru saat negara begitu kuat dan dominan. Ketika peran negara begitu kuat, tidak ada partisipasi publik dan rakyat untuk hal-hal mendasar terkait masalah bangsa.
"Soal negara yang kuat sebenarnya tidak perlu diperdebatkan. Sepanjang ada keseimbangan, ada kebebasan dan penegakan hukum, ada liberty dan security. Tidak harus dihalang-halangi kebebasan, demokrasi, dan hak asasi manusia," ujar Presiden.
Menurut Presiden, negara dikatakan kuat jika dapat menegakkan konstitusi, aturan main, menjalankan sistem yang dianut tanpa harus memasung nilai-nilai dan praktik-praktik demokrasi.
Saat pembekalan, hadir setidaknya 16 menteri dan pejabat setingkat menteri serta kepala lembaga pemerintah nondepartemen. Jumlah peserta PPSA XV, menurut Gubernur Lemhannas Muladi, adalah 60 orang setingkat pejabat eselon satu yang mengikuti kursus selama 5,5 bulan. Sebelum datang ke Presiden, peserta PPSA XV mendapat pembekalan dari Wakil Presiden Jusuf Kalla di Kantor Wakil Presiden. (INU)

BaCa SeLeNgKaPnYa disini...

Paten "Public Domain" Perlu Diadopsi

KOMPAS - Rabu, 18 Juli 2007

Jakarta, Kompas - Sistem informasi pengelolaan hak kekayaan intelektual di dunia bermanfaat memajukan teknologi suatu bangsa. Sebab, sebuah teknologi yang dipatenkan akan habis masa perlindungannya setelah 20 tahun, selanjutnya menjadi public domain sehingga dapat diadopsi dan dikembangkan.
Demikian disampaikan Direktur Teknologi Informasi pada Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (HKI) Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Andy Noorsaman Sommeng, Selasa (17/7) di Jakarta.
"Contohnya China dan Korea. Kedua negara itu mengadopsi teknologi dari Jepang yang sudah lewat batas perlindungan paten selama 20 tahun," kata Andy.
Teknologi yang diadopsi di antaranya di bidang otomotif. China dan Korea, lanjut Andy, saat ini mampu mengembangkan teknologi pembuatan mobil berkat informasi terbuka tentang HKI Jepang—terutama jenis paten.
Hal serupa juga berlaku di Indonesia. Pemanfaatan informasi HKI yang sudah masuk public domain berpeluang besar memajukan teknologi jika diadopsi.
Paten merupakan salah satu perlindungan dari negara atas suatu temuan baru berupa produk atau suatu proses teknologi.
Mengenai proses sertifikasi pengajuan paten dari luar negeri yang lebih cepat, Andy mengatakan, "Itu relatif lebih mudah, di antaranya dengan mengecek negara lain apakah sudah memberikan paten serupa atau belum," kata Andy. Jumlah pengajuan paten luar negeri dan dalam negeri berbanding sekitar 95 banding 5.
Penemu alat pengirit bahan bakar minyak kendaraan, electric fuel treatment, Hanif Fakhrurroja dari Unit Pelaksana Teknis Balai Pengembangan Instrumentasi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (UPT BPI LIPI) mengatakan, temuannya dalam tiga tahun ini belum disertifikasi. Produksi komersialnya dilakukan melalui kerja sama koperasi satuan kerja UPT BPI LIPI. (NAW)

BaCa SeLeNgKaPnYa disini...