KOMPAS - Rabu, 18 Juli 2007
NINOK LEKSONO
Itulah peringatan yang kini selalu kita dengar setiap kali masuk ke pesawat terbang. Seperti juga kita baca di majalah Garuda Indonesia, ada alasan kuat mengapa awak pesawat selalu mengingatkan penumpang agar mematikan telepon seluler saat di dalam kabin pesawat.
Menurut penjelasan Garuda, dan juga maskapai penerbangan pada umumnya, pesawat terbang modern banyak sekali bergantung pada gelombang radio untuk menjalankan berbagai fungsi, termasuk komunikasi dengan menara kontrol dan navigasi. Interferensi gelombang radio yang berasal dari telepon seluler (ponsel) dapat mengacaukan fungsi-fungsi ini.
Pengguna ponsel mungkin tidak menyadari bahwa dalam keadaan standby pun ponsel tetap memancarkan sinyal elektromagnetik yang memberi tahu komputer di jaringan seluler bahwa ponsel dalam keadaan aktif, dan oleh karena itu dapat dihubungi. Sinyal semakin kuat ketika pemancar di base transceiver station (BTS) berkomunikasi dengan ponsel untuk menyampaikan panggilan ataupun mengirimkan pesan singkat SMS.
Padahal, setelah pesawat tinggal landas dan mendekati ketinggian jelajah, ponsel tidak dapat berfungsi karena jarak dari BTS ke pesawat terlalu jauh dan pesawat bergerak terlalu cepat. Karena itu, sebelum terdeteksi dan terdaftar di salah satu sel jaringan seluler, ponsel sudah meninggalkan sel tersebut. Pada sisi lain, ponsel terus saja memancarkan sinyal elektromagnetik yang berisiko mengganggu berbagai peralatan penerbangan.
Atas dasar itu, demi keselamatan penumpang, Anda diwajibkan mematikan ponsel begitu memasuki kabin pesawat.
Sudah OK di Eropa
Namun, apa yang masih umum dipraktikkan di maskapai penerbangan kini sudah akan dianulir di Eropa. Airbus, seperti dilaporkan Thomas Crampton (IHT, 21/6), mengumumkan regulator Eropa sudah memperbolehkan penggunaan ponsel dan peralatan BlackBerry (yang banyak digunakan untuk mengirim dan menerima e-mail) untuk penumpang udara.
Dengan persetujuan Badan Keselamatan Penerbangan Eropa, mulai bulan September nanti penumpang pesawat Airbus, yang dilengkapi dengan sistem OnAir, bisa mengirim dan menerima panggilan telepon, pesan teks singkat (SMS) dan e-mail ketika terbang pada ketinggian di atas 9.800 kaki (2.987 meter).
Pesawat pertama yang akan beroperasi dengan sistem ini boleh jadi adalah pesawat jarak pendek Airbus A318 yang dioperasikan oleh Air France. Maskapai Inggris BMI, maskapai Portugal TAP, dan maskapai tarif murah Ryanair juga telah menandatangani kesepakatan untuk menyediakan layanan OnAir, yang dikembangkan bersama oleh Airbus dan SITA, sebuah perusahaan layanan komunikasi.
Namun, perlu ditegaskan bahwa regulasi ini berlaku hanya di Uni Eropa. Masih dibutuhkan waktu sebelum perubahan bisa dilakukan di tempat lain.
Menurut Graham Lake, Chief Commercial Officer OnAir, tarif percakapan ponsel di pesawat diperkirakan 2,5 dollar AS per menit dan 50 sen dollar per SMS.
Seperti diuraikan oleh Lake, roaming (penjelajahan) tidak lagi antarnegara, tetapi penjelajahan udara. Telepon akan diteruskan via satelit dan diturunkan ke jaringan GSM.
25 persen masih hidup
Persetujuan penggunaan ponsel di pesawat di Eropa ini memang bertentangan dengan pelarangan tegas yang diterapkan oleh maskapai penerbangan. Namun, tampaknya ada fakta lain yang dijadikan landasan untuk mengubah situasi. Studi OnAir menemukan fakta bahwa 10-25 persen penumpang dan awak kabin tidak mematikan ponsel mereka di dalam kabin meskipun sudah diberi peringatan tegas.
"Kalau memang ponsel tidak aman di pesawat, mestinya sudah ada banyak kecelakaan," ujar Lake.
Atas dasar itu ia menyimpulkan bahwa penggunaan ponsel (di pesawat) lebih merupakan (soal) kultur daripada keselamatan. Walaupun ada orang yang tidak sungkan-sungkan menelepon dengan didengar banyak orang, sebenarnya ada banyak orang yang keberatan kalau lingkungan sekitar berisik karena orang menelepon keras-keras. OnAir mengantisipasi akan sulit mengubah keadaan di negara-negara yang penentangannya sangat kuat terhadap penggunaan ponsel di pesawat.
Salah satu argumen yang digunakan OnAir untuk memperoleh persetujuan adalah bahwa ponsel yang (secara tak sengaja) dibiarkan aktif oleh penumpang akan meningkatkan sinyal output yang berpotensi mengganggu frekuensi radio saat berada di luar jaringan seluler.
Kerisauan lain
Penggunaan sistem OnAir dibatasi hanya untuk ketinggian di atas 3.000 meter, yang dicapai sekitar empat menit setelah tinggal landas, dan bisa terus digunakan hingga 10 menit sebelum pendaratan. Namun, ini lebih terkait dengan operasi operator, yang mengkhawatirkan muncul gangguan bila satu panggilan telepon dari udara ditangkap oleh sejumlah menara seluler di darat.
Isu lain yang juga muncul sehubungan dengan rencana penggunaan ponsel di pesawat adalah privasi. Sejauh ini orang merasa bahwa satu-satunya lingkungan yang masih ada agar terbebas dari ponsel adalah di pesawat. Menanggapi kekhawatiran ini, Lake yakin bahwa etiket masih akan ada ketika orang menelepon di pesawat. Ia meminta maskapai penerbangan bisa menegaskan perlunya perilaku menghormati dari pengguna.
Namun, masalah tidak berhenti di situ karena ada perbedaan kebiasaan di masing-masing suku bangsa. Ada yang masih menganggap sopan untuk menaruh ponsel di atas meja saat rapat dan menjawabnya saat ponsel berdering, sementara hal semacam itu tak sopan di Inggris.
Untungnya ada mekanisme untuk mengendalikan situasi. Misalnya, manakala diperlukan, layanan yang bisa disediakan hanya untuk kirim dan terima SMS dan maskapai penerbangan bisa menutup layanan penerimaan telepon pada penerbangan jarak jauh di malam hari.
Bagi pengguna laptop, sistem ini menyediakan pula layanan WiFi kecepatan tinggi di pesawat, dengan kecepatan serupa dengan yang ada di kantor atau rumah.
Sekadar catatan, penyediaan layanan konektivitas di udara seperti yang akan disediakan oleh OnAir ini sebenarnya bukan yang pertama. Pesaing Airbus, yaitu Boeing, sebelum ini pernah menyediakan layanan Internet Connexxion, tetapi belum lama ini ditutup karena penumpang kurang berminat sehingga kurang pemasukan.
Penyediaan layanan ponsel di pesawat pun masih menyisakan sejumlah masalah. Namun, perusahaan seperti OnAir tidak mau berhenti dalam situasi status quo, yaitu saat penumpang yang berada dalam penerbangan tak mendapat kemudahan komunikasi, yang—apa pun latar belakangnya—memang acap sulit ditinggalkan.
Wednesday, July 18, 2007
IPTEK: Ponsel di Pesawat? OK Saja (di Eropa)
Posted by RaharjoSugengUtomo at 3:33 PM
Labels: HeadlineNews: Kompas
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment