Wednesday, July 18, 2007

Ultimatum Balik Singapura

KOMPAS - Rabu, 18 Juli 2007

Jika Tak Bisa Dirundingkan Ulang, Batalkan Saja DCA

Jakarta, Kompas - Pernyataan Menteri Luar Negeri Singapura George Yeo di depan Parlemen Singapura, Senin, dinilai bernada ultimatum terhadap Indonesia. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono didesak berani melakukan hal serupa.
Pernyataan itu disampaikan anggota Komisi I dari Fraksi Partai Golkar, Yuddy Chrisnandy, hari Selasa (17/7), seusai menerima sejumlah anggota DPRD Kabupaten Ogan Komering Ulu yang menyampaikan penolakan daerah mereka terhadap rencana kerja sama pertahanan tersebut.
"Presiden harus berani mengajak mereka (Singapura) duduk berunding kembali membahas DCA. Kalau tidak, ya DCA dibatalkan saja. Jangan takut mengatakan DCA ditentang rakyat dan parlemen Indonesia. Hal seperti itu harus berani dilakukan (Presiden) untuk menunjukkan wibawa kita," ujar Yuddy.
Seperti diberitakan, Singapura menyatakan akan mencoba bersabar dan akomodatif atas keinginan Indonesia untuk mengubah perjanjian kerja sama pertahanan (DCA). Namun, Indonesia diminta tidak melakukan perubahan substansial, atau perjanjian ekstradisi batal sekalian (Kompas, 17/7).
Menurut Yuddy, beberapa pasal dalam DCA harus dirombak, diperbaiki, atau ditambahi, sehingga akan lebih bermanfaat. Dia mencontohkan Pasal 3 soal kerja sama latihan, hanya satu dari tujuh poin saja bentuk kerja sama yang terkait langsung dengan kepentingan Indonesia.
Yuddy juga meminta pemerintah mendesak Singapura merevisi aturan tentang masa berlaku DCA, dari sebelumnya yang dinilai terlalu lama (25 tahun), dan juga merevisi aturan tentang pelibatan pihak atau negara ketiga dalam latihan yang digelar Singapura di wilayah Indonesia nanti.
"Jangka waktu 25 tahun terlalu panjang. Terlalu gegabah jika suatu rezim pemerintahan (Yudhoyono), yang masa pemerintahannya maksimal hanya 10 tahun, berani membuat suatu perjanjian yang masa berlakunya melampaui batas-batas masa pemerintahannya itu," ujar Yuddy.
Anggota Komisi I DPR, Sidharto Danusubroto dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, menyatakan, DCA memang sudah lama menjadi incaran Singapura. "Silakan saja, toh yang meratifikasi kami (legislatif). Soal itu sudah ada aturannya dalam perundang-undangan soal kerja sama internasional," katanya.
Dibatalkan saja
Anggota Komisi I DPR, Effendy Choirie (Fraksi Kebangkitan Bangsa), Selasa di Bogor, juga menyebutkan, ancaman Singapura untuk membatalkan perjanjian ekstradisi, jika perjanjian kerja sama pertahanan diubah secara substansial, menunjukkan perbedaan pemahaman antara Pemerintah RI dan Singapura. Singapura memandang kedua perjanjian dibuat dalam satu paket, sedangkan Indonesia memandang kedua perjanjian dipisah.
Perbedaan persepsi itu sudah menimbulkan kecurigaan sehingga sebagian besar anggota Komisi I DPR langsung menolak untuk meratifikasi perjanjian kerja sama pertahanan. "Kalau Singapura maunya begitu, ya sudah, batalkan saja perjanjian ekstradisi sehingga DCA juga batal," kata Effendy.
Hal itu dinilai Effendy lebih baik daripada Indonesia harus menjual kedaulatan negaranya untuk ditukar dengan uang para koruptor yang juga belum tentu dapat dikembalikan. Proses implementasi perjanjian ekstradisi akan sangat bergantung pada sistem hukum di Singapura dan efektivitas kinerja lembaga penegakan hukum di Indonesia.
Effendy meminta pemerintah dan Presiden tidak malu membatalkan perjanjian kerja sama pertahanan jika memang merugikan Indonesia. "Tidak dapat uangnya tidak apa-apa, yang penting negaranya tidak terjual," katanya.
Hal senada dilontarkan guru besar Universitas Padjadjaran Bandung, Romli Atmasasmita, yang saat ini berada di Jepang. Menurut dia, sebaiknya perjanjian pertahanan itu dibatalkan. Kalaupun dipaksakan untuk dilaksanakan, Indonesia tak akan memperoleh banyak manfaat. Ia menuturkan, ada banyak syarat yang harus dipenuhi untuk dapat membawa koruptor kembali ke Indonesia. Romli justru mengusulkan agar Departemen Luar Negeri mencari cara lain untuk membahas perjanjian ekstradisi itu.
Romli mengatakan, dalam hubungan internasional, pembatalan sebuah perjanjian yang telah disepakati memang mengundang sikap negatif dan ketidakpercayaan. Namun, ia melihat isi dari perjanjian pertahanan itu sangat merugikan Indonesia.
RI tak pernah ubah
Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda mengemukakan, klaim Singapura yang menyebut Indonesia mengusulkan perubahan terhadap perjanjian kerja sama pertahanan adalah keliru.
"Pihak Singapura mengklaim kita mengusulkan perubahan terhadap DCA. Sama sekali tidak pernah ada dari pihak kita yang mengusulkan perubahan terhadap DCA yang sudah ditandatangani. Kita hanya minta sesuai Pasal 6 DCA yang memandatkan adanya aturan-aturan pelaksanaan, itu yang harus dipenuhi. Untuk itu belum ada yang ditandatangani satu pun. Kalaupun ada (bentuknya) draf, itu pun belum lengkap," ujar Hassan di Istana Negara, Selasa.
Hassan mengatakan, DCA adalah jenis perjanjian yang begitu berlaku dan bisa diterapkan. Ada mandat di Pasal 6 DCA yang mengharuskan dibuat sejumlah peraturan, baik tentang administratif, teknis, maupun operasional.
Ia mengakui, antara Singapura dan Indonesia masih ada jurang perbedaan pandangan dan tafsir. Untuk mengatasinya telah dilakukan sejumlah pendekatan. "Yang kita tunggu adalah angin baik kapan dua pihak dapat duduk bersama," ujar Hassan.
Mengenai resistensi daerah, Hassan menilai hal itu sebagai bagian dari perdebatan nasional yang belum utuh karena DCA sebagai dokumen memang belum lengkap. (DWA/INU/MZW/MAM/JOS)

0 comments: