KOMPAS - Senin, 30 Juli 2007
Irak Kampiun Baru Persepakbolaan Asia
jakarta, kompas - Tim Irak mencatat kemenangan sarat makna dalam laga final Piala Asia 2007 di Stadion Gelora Bung Karno, Minggu (29/7) malam. Salah satu makna penting kesuksesan Irak adalah bahwa kebersamaan, -dan bukan perpecahan-, menjadi kunci pencapaian prestasi puncak.
Gol striker dan kapten Irak Younis Mahmoud pada menit ke-71 meruntuhkan harapan Arab Saudi merebut gelar juara keempat kalinya di Asia. Younis, striker klub Al Gharafa (Qatar) itu menanduk bola tendangan sudut gelandang Hawar Mulla Mohammed. Bola yang melayang dari sisi kanan kotak penalti ke sebelah kiri gawang, tak terjangkau kiper muda Yasser Al Mosailem.
Kemenangan Irak seiring dengan dukungan sebagian besar penonton yang hadir di stadion kepada tim Negeri 1001 Malam. Sejak kick off, teriakan "Irak..Irak..Irak" beberapa kali membahana. Di salah satu tribun sejumlah suporter Irak membentangkan poster "Peace for Iraq" (Perdamaian untuk Irak).
Younis Mahmoud menyatakan, kemenangan ini dipersembahkan kepada rakyat Irak yang sedang menderita karena perang. "Ada seorang ibu yang anaknya tewas karena bom mengatakan, ingin mempersembahkan anaknya itu sebagai korban demi kemenangan tim Irak. Mulai saat itulah, kami lebih termotivasi memenangi turnamen ini," katanya.
Secara khusus, Younis juga mengungkapkan agar kemenangan tersebut bisa membawa kebahagiaan dan kedamaian di Irak. "Saat kami bergembira, rakyat kami sedang menderita di rumah. Seharusnya Amerika tidak pernah datang ke Irak," ujarnya dengan emosional.
Harapan kedamaian di Irak juga diungkapkan gelandang Nashat Akram. "Kesuksesan ini pesan untuk rakyat Irak, bahwa kami yang berbeda (aliran) saja bisa bersatu. Saya berharap ini membawa perdamaian dan keselamatan di Irak", ujar pemain terbaik laga final ini.
Laga babak pertama berlangsung keras dengan banyak benturan badan (body charge) pemain kedua tim. Tak heran, wasit Mark Alexander Shield (Australia) mengeluarkan lima kartu kuning sebelum turun minum.
Baru pada babak kedua terjadi adu taktik yang sesungguhnya, dengan Irak lebih mendominasi. Setelah Saudi menggebrak lewat tendangan Taisir Al Jassam yang ditepis kiper Noor Sabri, serangan ke pertahanan lawan lebih sering dilakukan Irak. Tim asuhan Jorvan Vieira punya peluang emas pada menit ke-62 lewat dua tendangan beruntun, masing-masing oleh Younis dan Nashat Akram. Namun, keduanya tak berbuah gol karena bola dihalau Al Mosailem. Serangan beruntun Irak membuahkan gol oleh Younis, yang tak mampu disamakan Arab Saudi hingga laga usai.
"Pesta" tembakan
Seperti perayaan saat tim Irak menundukkan Australia, juga ketika mereka lolos ke perempat final, semifinal dan final; ibu kota Irak, Bagdad, pada Minggu malam juga riuh oleh "pesta" tembakan ke udara. Hujan tembakan ini sekaligus mengukuhkan sikap warga Irak, termasuk aparat keamanan setempat, soal gaya mereka yang khas dalam merayakan gelar juara Asia pertama kali itu. Itu tetap terjadi meski pemerintah Irak telah melarang perayaan dengan tembakan.
Seperti dilaporkan kantor berita AFP, tentara, polisi dan warga sipil bersenjata, berbaur dengan ribuan warga lain di Bagdad, turun ke jalan-jalan raya pada Minggu malam, beberapa saat setelah laga final usai. Para pria bersenjata itu menembakkan senjata ke udara, dan sebagian lain ke Sungai Tigris yang melintasi kota Bagdad.
Getir
Perjalanan tim Irak tampil di Piala Asia 2007 harus dilalui penuh kegetiran. Mereka harus berlatih di Amman, Yordania, karena Irak tidak memberikan tempat aman untuk berlatih. Pelatih Akram Salman, yang memoles tim Irak di awal kualifikasi, sempat diancam akan dibunuh.
Tak ada satu pun pemain Irak yang tak terimbas perang. Banyak kerabat atau sahabat pemain Irak tewas akibat konflik di negeri sarat konflik itu. Sebelum turnamen dimulai, saudara tiri kiper Noor Sabri, dan kerabat Nashat Akram tewas. Dua hari sebelum melawan Vietnam di penyisihan, Hawar Mulla Mohammed juga kehilangan ibu angkatnya.
Bukan itu saja, Pelatih Jorvan Vieira hanya memiliki waktu dua bulan untuk menyiapkan tim. Di awal latihan, hanya enam pemain yang hadir karena klub-klub di Bagdad enggan melepas pemain. Para pemain yang membela klub-klub negara Arab, juga tak boleh masuk Irak. Problem lain Vieira, ia harus memoles skuad yang diperkuat pemain dari berbagai kepentinagan yang bertikai: Sunni, Syiah, dan Kurdi.
Kegembiraan Younis dan kawan-kawan makin berlipat setelah Irak memperoleh bonus tambahan 50.000 dolar Amerika Serikat (Rp 456,87 miliar) dari Konfederasi Sepak Bola Asia (AFC), atas biaya perjalanan mereka yang lebih tinggi daripada tim lain. Salah satunya karena mereka lebih sulit berkumpul gara-gara kondisi negara.
Bonus tersebut menambah bantuan subsidi perjalanan AFC sebesar 40.000 dolar AS (Rp 365,5 miliar) untuk tiap-tiap tim peserta putaran final Piala Asia. “Kami memberi subsidi 40.000 dolar AS sebagai bantuan perjalanan dari negara mereka ke lokasi pertandingan. Tetapi Irak, tentu tidak bisa bermarkas di negaranya karena harus pergi ke berbagai tempat", kata Presiden AFC Mohamed bin Hammam. (RAY/BIL/SAM/ADP)
Monday, July 30, 2007
Kemenangan Sarat Makna
Posted by RaharjoSugengUtomo at 11:31 AM 1 comments
Labels: HeadlineNews: Kompas
Calon Perseorangan: Depdagri Minta KPUD Tidak Buat Ketentuan
KOMPAS - Senin, 30 Juli 2007
Jakarta, Kompas - Departemen Dalam Negeri meminta Komisi Pemilihan Umum Daerah atau KPUD tidak membuat ketentuan mengenai calon perseorangan dalam pemilihan kepala daerah sebelum pertemuan pemerintah dengan DPR dan KPU. Pertemuan itu untuk membahas ketentuan yang paling baik, terkait putusan Mahkamah Konstitusi yang memungkinkan calon perseorangan ikut dalam pemilihan kepala daerah.
Minggu (29/7) di Jakarta, Kepala Pusat Penerangan Depdagri Saut Situmorang menegaskan, KPUD tidak berwenang membuat aturan tentang calon perseorangan dalam pilkada karena aturan pilkada dimuat dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. "UU dibuat pemerintah dan DPR. Sebelum putusan MK dijabarkan pembuat UU, sulit untuk dilaksanakan," katanya.
Saut belum memastikan waktu pertemuan pemerintah, DPR, dan KPU akan dilakukan. Namun, ia mengingatkan, implikasi keterlibatan calon perseorangan dalam pilkada sangatlah luas.
Sebenarnya ada tiga alternatif yang bisa dipilih untuk mengatur pencalonan perseorangan pada pilkada. Pertama, revisi UU Pemerintahan Daerah. Kedua, Presiden mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang- undang (perpu). Ketiga, MK berpendapat KPU berwenang mengeluarkan peraturan syarat dukungan bagi calon perseorangan untuk menghindari kekosongan hukum. Namun, hingga kini aturan itu belum ada sehingga sejumlah daerah yang segera menggelar pilkada pun kebingungan.
Mantan Ketua Panitia Khusus RUU Penyelenggara Pemilu Saifullah Ma’shum mengingatkan, putusan MK secara politis dapat tidak berjalan efektif karena disandera DPR atau pemerintah. Apalagi, KPU juga enggan mendahului DPR.
Wakil Ketua Fraksi Partai Golkar DPR Ferry Mursyidan Baldan menyarankan Presiden dan DPR segera menggelar rapat konsultasi untuk menindaklanjuti putusan MK. Dengan begitu, segera bisa diatasi kesan kegamangan politik dan sekaligus teratasi pula bagaimana meletakkan putusan MK dalam format politik.
"Saya mengusulkan dilakukan revisi terbatas terhadap UU No 32/2004," kata Ferry.
Sebaliknya, Direktur Eksekutif Indo Barometer M Qodari, Sabtu, berpendapat memang lebih baik jika Presiden, DPR, dan KPU bertemu dahulu. Namun, kesepakatannya pasti lama, sebab DPR tidak tunggal. Lebih memungkinkan KPU membuat aturan lebih dulu, kemudian disusul DPR dan Presiden dengan merevisi UU Pemerintahan Daerah.
Akil Mochtar dari Golkar juga mengingatkan, pengaturan pencalonan perseorangan harus dilakukan secepatnya. Jika tidak, bisa muncul konflik di daerah yang akan menggelar pilkada.
Irwan Muin dari Koalisi untuk Pemberdayaan Masyarakat Sipil Sulawesi Selatan mengingatkan, UU Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu, memungkinkan KPUD mengatur penyelenggaraan pilkada.
(SIE/DIK/SUT/WHO/MDN/MZW/VIN)
Posted by RaharjoSugengUtomo at 11:30 AM 0 comments
Labels: HeadlineNews: Kompas
ANALISIS EKONOMI: Kasus Nike: Limbung di Tengah Deru Globalisasi
KOMPAS - Senin, 30 Juli 2007
FAISAL BASRI
Data resmi yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik atau BPS menunjukkan terjadi penurunan terus-menerus angka pengangguran terbuka, dari 11,2 persen pada Mei 2005 menjadi 10,4 persen pada Februari 2006, dan 10,3 persen pada Agustus 2006. Penurunan terus berlanjut hingga mencapai satu digit (9,8 persen) pada Februari 2006.
Sekalipun telah menunjukkan penurunan yang cukup konsisten, dalam konteks Indonesia yang tingkat pendapatan per kapitanya masih rendah, tetap saja angka pengangguran sebesar 9,75 persen tergolong relatif sangat tinggi. Apalagi mengingat sistem jaminan sosial yang kita miliki masih jauh dari memadai.
Kita pun masih patut prihatin mengingat bahwa sebagian besar penduduk yang bekerja ternyata menyemut di sektor informal. Jumlahnya justru mengalami peningkatan, dari 66,3 juta jiwa pada tahun 2005 menjadi 67,9 juta jiwa atau hampir 70 persen dari seluruh penduduk yang bekerja pada tahun 2007.
Rendahnya kualitas kondisi ketenagakerjaan kita tercermin pula dari jumlah yang bekerja tidak penuh atau separuh menganggur (under employment). Diperkirakan jumlah mereka mencapai tiga kali lipat dari yang sama sekali tak memiliki pekerjaan. Dengan demikian, jumlah keseluruhan penganggur terbuka dan separuh penganggur mencapai hampir 40 persen dari keseluruhan angkatan kerja.
Ditambah lagi dengan kenyataan bahwa sektor pertanian masih saja menjadi tumpuan utama penyerapan tenaga kerja. Meskipun peranan sektor pertanian di dalam produk domestik bruto (PDB) hanya tinggal sekitar 13 persen dalam lima tahun terakhir, peranannya sebagai penyerap tenaga kerja tak kunjung mengalami penurunan berarti. Pada tahun 2007, sebanyak 44 persen dari keseluruhan penduduk yang memiliki status bekerja memadati sektor pertanian.
Kasus Nike
Bertolak dari kenyataan bahwa lebih dari 80 persen pekerja adalah tamatan sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP) ke bawah, keberadaan industri manufaktur padat karya sangat menjadi andalan untuk menyerap mayoritas tenaga kerja. Industri manufaktur berperan pula sebagai lokomotif untuk memperbesar lapisan pekerja formal sehingga kian banyak tenaga kerja yang memperoleh perlindungan kerja, serta hak-hak normatif pekerja. Dengan demikian, diharapkan kualitas hidup keluarga Indonesia bertambah baik.
Oleh karena itu, tatkala muncul berita dua pabrik sepatu terancam tutup karena tak akan lagi menerima pesanan dari prinsipal asing pemegang merek dagang Nike, kita semua patut prihatin. Para pengambil keputusan seharusnya satu kata dan tindakan untuk melindungi kepentingan pekerja sebagai kelompok yang paling lemah.
Tidak benar kalau kasus ini sekadar persoalan pemilik pabrik dengan para pekerjanya semata. Pemerintah harus berperan untuk meningkatkan daya tawar pekerja dan investor domestik menghadapi prinsipal asing. Bukankah keberadaan prinsipal asing bukan sekadar pemberi order, melainkan juga ikut menentukan hampir segala aspek, mulai dari pengadaan bahan baku (jenis, vendor, dan harganya), proses produksi, hingga akhir proses distribusi ke tingkat pengecer.
Kita tak hendak mencampuri sengketa antara prinsipal asing dan pemilik pabrik. Yang harus menjadi kepedulian kita bersama, terutama pemerintah, ialah bagaimana kepentingan pekerja terlindungi dengan mendesak para pihak menempuh proses transisi yang lebih mulus.
Jika kasus Nike ini ditangani secara serampangan sehingga menimbulkan kesan sedemikian mudahnya memutus order dan hubungan kerja, maka tak tertutup kemungkinan akan muncul gelombang yang lebih besar pada industri sepatu dan industri-industri padat karya lainnya.
Pelajaran berharga
Prinsipal asing pada dasarnya adalah kapitalis tulen. Mereka selalu akan memaksimalkan laba. Karena menghadapi persaingan yang makin ketat, pilihan logis mereka adalah mencari kos produksi yang paling rendah. Mereka membandingkan para pemilik pabrik di suatu negara dengan pabrik di luar negeri.
Pengalaman di Indonesia menunjukkan sudah banyak pabrik sepatu yang gulung tikar. Yang tersisa praktis adalah pabrik besar yang kebanyakan dimiliki pemodal asing.
Pabrik-pabrik berskala "tanggung" sulit menjadi besar karena mau tak mau harus menghadapi peningkatan kos tenaga kerja. Pabrik yang telah beroperasi belasan tahun yang selalu menyesuaikan gaji pekerjanya dan tak melakukan pemutusan hubungan kerja niscaya akan digilas oleh pabrik-pabrik besar yang kurang peduli terhadap peningkatan kesejahteraan pekerjanya.
Jika kos produksi di suatu negara kian hari semakin mahal, otomatis para prinsipal asing akan memindahkan ordernya ke pabrik-parik di negara lain yang menawarkan kos lebih murah.
Seperti itulah tampaknya hukum globalisasi bekerja. Tinggal bagaimana kita bersikap. Kini tiba momentum bagi kita untuk berbenah. Para pengusaha domestik yang sudah belasan tahun menggeluti industri sepatu dan industri padat karya lainnya paling tidak telah menguasai teknologi untuk menghasilkan produk-produk berkualitas. Sudah saatnya pengusaha domestik mengembangkan merek sendiri untuk memanfaatkan pasar dalam negeri yang cukup besar, dengan kualitas yang setara dengan merek terkenal, tetapi dengan harga yang lebih murah.
Dengan ditopang oleh kemampuan desain dan pengembangan jaringan pemasaran bersama, tak tertutup kemungkinan produk-produk kita bisa pula menembus pasar dunia. Setidaknya dimulai dari negara-negara berkembang di Afrika dan Asia.
Ada dua faktor yang menjadi kunci keberhasilan. Pertama, pemerintah mendukung sepenuhnya kegiatan riset dan pengembangan agar pengusaha-pengusaha Indonesia selalu melahirkan invensi dan inovasi berkelanjutan. Sementara itu, para investor asing didorong membangun pusat-pusat pengembangan produk di sini. Tentu diperlukan insentif untuk memacu kegiatan seperti itu.
Kedua, pemerintah harus memiliki kebijakan industrial yang jelas, terutama bagaimana mengharmoniskan berbagai kebijakan setiap departemen sehingga satu sama lain saling dukung, bukan saling "jegal". Kebijakan ekspor dan impor kulit, misalnya, menjadi salah satu kendala yang membuat industri sepatu kesulitan bahan baku.
Posted by RaharjoSugengUtomo at 11:29 AM 0 comments
Labels: HeadlineNews: Kompas
Kebakaran Pasar Turi: Masih Bisakah "Panen" di Bulan Puasa...
KOMPAS - Senin, 30 Juli 2007
Setelah dua hari api melumat Pasar Turi Surabaya, Jawa Timur, Sabtu (28/7), bau asap masih menyesakkan dada. Di halaman sebelah timur pasar, Edy (43) duduk menanti datangnya truk untuk mengangkut barang-barang dagangannya yang berhasil dia selamatkan.
Di depannya berkarung- karung pakaian sekolah, pakaian Muslim, dan pakaian anak-anak tertumpuk begitu saja. Sambil memakai topi petugas satpam, entah dari mana mereka dapatkan, sejumlah pegawainya, lelaki dan perempuan, berusaha bercanda. Sesaat kemudian, Edy berpaling, menatap kosong ke para pedagang lain yang masih sibuk menyelamatkan barang dagangan.
Sejak api membakar Pasar Turi Kamis (26/7), sudah lebih dari 10 kali truk yang disewa Edy bolak-balik dari Pasar Turi ke rumahnya di Jalan Sampurno. "Ini barang-barang yang terakhir. Selebihnya sudah saya ungsikan ke rumah," katanya.
Tiba-tiba angin bertiup kencang dan membawa asap dari dalam pasar. Edy pun kembali menutup hidung dan mulutnya dengan masker kain berwarna biru. Masker itu bersama karyawan toko telah menemaninya berjuang menembus pekat dan baunya asap, sambil terus menggendong berkarung-karung pakaian turun dari lantai tiga.
Sudah hampir 20 tahun Edy membuka toko Pelajar di lantai tiga sisi timur. Pusat kebakaran terjadi di Pasar Turi Baru sisi barat dan merembet hingga pertokoan Ramayana, yang menghubungkan Pasar Turi Baru dengan Pasar Turi Lama. Toko Pelajar sebenarnya tidak habis terbakar, tetapi nyaris tak bisa ditempati lagi.
Edy tak habis pikir, mengapa musibah itu terjadi menjelang bulan puasa, masa ketika keuntungannya bisa naik sedikitnya 30 persen, terutama dari pakaian Muslim.
Sebenarnya, Pemerintah Kota Surabaya berjanji menyediakan tempat berjualan sementara di sekitar Pasar Turi. Tempat itu dibangun agar para pedagang tetap dapat "panen" di bulan puasa. "Tapi apa orang mau pergi ke tempat penjualan sementara itu? Mungkin mereka lebih memilih tempat lain," ujarnya.
Beberapa saat kemudian, truk yang ditunggu Edy datang untuk mengangkut barang-barangnya.
Pedagang lain, Mujiadi (52), pemilik toko Rachmad Baru, di lantai tiga pun begitu bingung. Kebakaran terjadi ketika ia tengah bersiap menyambut "panen". Dua hari lalu ia baru saja menambah stok berupa enam karung barang atau 42 kodi sandal untuk menghadapi kenaikan permintaan barang menjelang bulan puasa. "Kami belum tahu mau melakukan apa. Bingung," ujarnya.
Ketika terjadi kebakaran, ia bersama keluarga tidak mampu menyelamatkan semua aset di kiosnya. Padahal, stok yang baru masuk itu belum dibayarnya. Ditambah stok lama, ia memperkirakan kerugian Rp 150 juta, dari barang saja. "Sekarang mau kulak saja kami belum ada modal," tambah Mujiadi.
Seperti di pusat-pusat grosir lainnya, omzet pedagang di Pasar Turi biasanya naik drastis tiga bulan menjelang hari raya. Untuk sandal saja, satu pedagang bisa menjual 30 kodi. Padahal, pada hari biasa pedagang hanya menjual 10-15 kodi.
Permintaan dari luar Jawa malah lebih fantastis. "Dalam seminggu kami mengirim lebih dari 100 kodi. Paling banyak ke Gorontalo," kata suami Lilik ini.
Karena masih bingung memikirkan persediaan barang dan modal untuk kulakan lagi, hingga kemarin Lilik dan juga banyak pedagang lain belum menghubungi pelanggannya untuk memberi tahu tempat para pelanggan bisa berbelanja.
"Pembeli biasanya langsung ke Pasar Turi. Mereka bisa mendapatkan semua yang diinginkan. Kalau kami (hanya) jualan di rumah, belum tentu mereka mau datang," kata Mujiadi.
Karena itu, Mujiadi dan para pedagang lain berharap segera ada lokasi baru untuk berjualan. Tentu saja mereka berharap lokasinya tetap di kawasan Pasar Turi yang sudah menjadi ikon pusat grosir di Jawa Timur dan Indonesia bagian timur. "Tetapi kalau semua mau masuk sana, jelas tidak cukup. Entahlah, kami bingung," ujar Mujiadi.
Pemasok di ujung bangkrut
Terbakarnya Pasar Turi sesungguhnya adalah petaka bagi banyak pengusaha. Kebakaran itu menjadi malapetaka banyak pelaku usaha kecil dan menengah yang berasal dari sentra-sentra industri di Jawa Timur. Banyak industri kecil menggantungkan pemasaran produk mereka di Pasar Turi, baik untuk dijual di Jawa Timur, Jawa, atau bahkan sampai kawasan Indonesia timur.
Sebut saja para perajin tas perempuan di kawasan Gresik Gadukan Baru Surabaya, sentra batik Tanjung Bumi di Bangkalan Madura, dan pusat bordir yang dikenal dengan Bang Kodir atau Bangil Kota Bordir.
Belum lagi kawasan yang sudah sangat dikenal sebagai pusat industri tas dan koper di Tanggulangin, Sidoarjo, serta sentra sepatu Wedoro. Beban perajin di Sidoarjo kini makin berat karena dampak luberan lumpur Lapindo pun belum hilang.
"Masalahnya Pasar Turi bukan sekadar tempat memasarkan produk perajin, tapi juga menjadi tempat belanja bahan baku mereka," ungkap Mujiadi.
Anggota Koperasi Industri Tas dan Koper Tanggulangin Sidoarjo (Intako) juga amat kebingungan. Sebab, sedikitnya 50 perajin memasarkan produk mereka di Pasar Turi.
Itu belum termasuk perajin yang tidak tergabung dalam Koperasi Intako, yang biasanya menjalin kerja sama langsung dengan pedagang di Pasar Turi. "Sekarang semua praktis terhenti," ungkap Ketua I Koperasi Intako HM Khozin.
Hasan, salah seorang perajin sandal di Wedoro, mengatakan, semua sandal yang diproduksinya selalu dikirim ke Pasar Turi. Setiap minggu ia mengirimkan 100-150 kodi atau 2.000-3.000 pasang. "Kemarin saja saya sudah menyiapkan 100 kodi. Entah ke mana saya akan menjual," katanya. Padahal, biaya produksi untuk 100 kodi ini mencapai Rp 8 juta. Ia tidak membayangkan kalau sampai seminggu, sebulan, atau bahkan setahun Pasar Turi tak beroperasi.
Rp 75 miliar per hari
Pasar Turi memang sentra grosir untuk Jawa Timur sampai Indonesia timur. Menurut catatan Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) Jatim, Pasar Turi bahkan menjadi pemasok barang ke negara-negara di Afrika juga.
Setiap hari, kata pakar statistik dari Institut Teknologi Sepuluh November Kresnayana Yahya, transaksi yang terjadi Rp 3 juta-Rp 15 juta per pedagang. Kalau di Pasar Turi ada 5.000 kios, maka omzet hariannya diperkirakan Rp 75 miliar.
Saat menjelang Lebaran, transaksi per pedagang bahkan bisa mencapai Rp 3 miliar-Rp 5 miliar per hari.
Dari hasil sensus ekonomi, sedikitnya ada 1.500 industri kecil, menengah bahkan besar memasok barang ke Pasar Turi. Sedangkan pekerja yang menggantungkan hidup di Pasar Turi mencapai 10.000. Dan, sekarang mereka nyaris kehilangan gantungan hidup itu...
(BEE/ULE/APA)
Posted by RaharjoSugengUtomo at 11:27 AM 0 comments
Labels: HeadlineNews: Kompas
Yudhoyono Laporkan Zaenal ke Polda Metro
KOMPAS - Senin, 30 Juli 2007
Bukti Akan Diserahkan ke DPR, DPD, MPR, dan MK
Jakarta, Kompas - Presiden didampingi Ny Ani Yudhoyono, sebagai warga negara, datang ke Kepolisian Daerah Metro Jaya, Minggu (29/7). Diterima Bripda Ayu Trisnawati di ruang Sentra Pelayanan Kepolisian, Yudhoyono melaporkan dugaan pencemaran nama baik oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Zaenal Ma’arif.
"Demi kebenaran, keadilan, dan tegaknya hukum di negeri ini, dan agar tidak terjadi berbagai tindakan fitnah dan pembunuhan karakter kepada pihak lain, saya resmi mengadukan masalah ini secara hukum," ujar Yudhoyono seusai melapor.
Yudhoyono ke Polda Metro Jaya menumpang sedan kepresidenan dengan nomor polisi B 1905 BS. Ia memakai baju batik lengan panjang berwarna merah bata senada dengan pakaian Ny Ani Yudhoyono. Dalam sedan hitam itu, selain sopir, ada ajudan dengan pakaian dinas militer.
Soal alasannya mengadukan Zaenal ke Polda Metro Jaya, Yudhoyono menyatakan, "Dengan pernyataan yang disiarkan berbagai media massa dan menjadi bahan pembicaraan di mana-mana, sungguh itu mencemarkan nama baik saya, kehormatan dan harga diri saya dan keluarga." Pencemaran nama baik oleh Zaenal, seperti diringkaskan Yudhoyono, adalah pernyataan ia sudah menikah sebelum masuk Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Akabri) tahun 1970.
Meski datang sebagai warga negara, Yudhoyono disambut langsung Kepala Polda Metro Jaya Inspektur Jenderal Adang Firman. Saat pulang, enam polisi muda berbaris rapi dan hormat kepada Yudhoyono. "Tidak ada perlakuan khusus. Saya baru dengar rencana laporan ini sore. Kebetulan saya berjaga-jaga untuk pengamanan Piala Asia, jadi siaga," ujar Adang.
Yudhoyono juga menegaskan, "Saya harus ikuti aturan main dan ketentuan hukum apabila seorang warga negara mendapatkan masalah. Saya tak menggunakan perangkat negara, seperti Jaksa Agung dan Kepala Polri. Biarkan saya datang sendiri."
Yudhoyono tidak ingin banyak orang di negeri ini jadi korban fitnah dan berita yang tidak benar karena tidak berdaya dan tidak tahu harus ke mana melapor dan takut akan biayanya yang mahal. Yudhoyono menyebut langkah hukumnya sebagai gerakan moral untuk menjadi contoh mereka yang dicemarkan nama baiknya.
Adang menuturkan, Zaenal diduga melanggar Pasal 310 dan 311 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Polisi akan menangani kasus itu secepatnya. Sabtu malam, Partai Demokrat juga melaporkan Zaenal ke Polda Metro Jaya dengan tuduhan menghina kepala negara.
Kuasa hukum Partai Demokrat, M Farhat Abbas, menjelaskan, pernyataan Zaenal memenuhi ketentuan penghinaan kepada kepala negara, kejahatan terhadap martabat presiden, penghinaan, dan/atau perbuatan tidak menyenangkan.
Tidak gentar
Terhadap langkah Yudhoyono dan Partai Demokrat itu, Zaenal mengaku tidak gentar. Ia tetap akan membawa data dan bukti yang dimilikinya ke DPR, DPD, MPR, dan Mahkamah Konstitusi (MK). "Pengesahan presiden terpilih, kan, oleh MK," kata Zaenal, Minggu.
Zaenal mengakui, sebagai warga negara yang baik, ia siap menjalani pemeriksaan. "Presiden sudah memberikan contoh yang baik, jadi biasa dong, saya juga akan datang bila dipanggil," katanya.
Di Bandung, Jawa Barat, Minggu, Ketua MPR Hidayat Nur Wahid meminta Zaenal mengakhiri tindakannya dan meminta maaf kepada Presiden Yudhoyono. Akan lebih bermanfaat jika kasus itu diselesaikan secara kekeluargaan. (INU/WIN/SIE/MHF)
Posted by RaharjoSugengUtomo at 11:25 AM 0 comments
Labels: HeadlineNews: Kompas
Bus Hantam Dua Mobil, Delapan Tewas
KOMPAS - Senin, 30 Juli 2007
Subang, Kompas - Delapan penumpang tewas seketika akibat kecelakaan beruntun di jalur utama Bandung-Subang, tepatnya di Desa Cijambe, Kecamatan Cijambe, Kabupaten Subang, Jawa Barat, Minggu (29/7) sekitar pukul 15.30. Kecelakaan itu melibatkan bus pariwisata, angkutan umum, dan mobil pribadi.
Semua korban tewas adalah penumpang Feroza B 8901 BZ. Tujuh korban beralamat di Kelurahan Sukamelang, Kecamatan Subang, yakni Nyonya Engkay (37) dan suaminya Ir Mursalim, Irvan (25), Cerli (3), Ajeng (14), Lajuardi (9), serta Fahriza (4). Satu korban lainnya, Nyonya Ai (15), adalah warga Kecamatan Tanjungsiang, Subang, yang juga pembantu keluarga tersebut.
Dua korban lainnya adalah Idat Hidayat (35), sopir bus warga Sugutamu, Kelurahan Baktijaya, Kecamatan Sukmajaya, Depok, serta Dair (25), kondektur bus. Mereka mengalami luka berat dan dirawat di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Subang.
Ratna, salah satu petugas jaga Unit Gawat Darurat RSUD Subang, mengatakan, lima penumpang bus sempat dilarikan ke rumah sakit, tetapi mereka sudah diperbolehkan pulang.
Menurut Ade (40), saksi mata warga Kampung Cijambe, Desa Cijambe, bus pariwisata Fajar Transport bernomor polisi B 7061 WB yang datang dari arah Bandung menabrak dua kendaraan yang datang dari arah Subang. Setelah menabrak angkutan umum T 1960 HP jurusan Subang-Jalancagak, bus kemudian menghantam Feroza.
"Angkot terlempar keluar jalan dan masuk ke kolam, sedangkan Feroza terseret ke kiri jalan dan tergencet badan bus," tutur Ade.
Rumah milik pasangan Ganjar (50)-Cicih (49) yang berada lebih rendah dibandingkan dengan jalan tertimpa bus dan Feroza, tetapi rumah itu kosong karena sedang direnovasi.
Dair, kondektur bus, memperkirakan rem bus yang dikemudikan Idat blong. Karena itu, bus meluncur kencang di jalan menurun dan berkelok-kelok di sekitar lokasi tersebut.
"Kondisi jalan menikung tajam setelah menabrak angkot sehingga Feroza tertabrak dan terseret ke kiri jalan," ujarnya. (MKN)
Posted by RaharjoSugengUtomo at 11:22 AM 0 comments
Labels: HeadlineNews: Kompas