Monday, July 30, 2007

Kebakaran Pasar Turi: Masih Bisakah "Panen" di Bulan Puasa...

KOMPAS - Senin, 30 Juli 2007

Setelah dua hari api melumat Pasar Turi Surabaya, Jawa Timur, Sabtu (28/7), bau asap masih menyesakkan dada. Di halaman sebelah timur pasar, Edy (43) duduk menanti datangnya truk untuk mengangkut barang-barang dagangannya yang berhasil dia selamatkan.
Di depannya berkarung- karung pakaian sekolah, pakaian Muslim, dan pakaian anak-anak tertumpuk begitu saja. Sambil memakai topi petugas satpam, entah dari mana mereka dapatkan, sejumlah pegawainya, lelaki dan perempuan, berusaha bercanda. Sesaat kemudian, Edy berpaling, menatap kosong ke para pedagang lain yang masih sibuk menyelamatkan barang dagangan.
Sejak api membakar Pasar Turi Kamis (26/7), sudah lebih dari 10 kali truk yang disewa Edy bolak-balik dari Pasar Turi ke rumahnya di Jalan Sampurno. "Ini barang-barang yang terakhir. Selebihnya sudah saya ungsikan ke rumah," katanya.
Tiba-tiba angin bertiup kencang dan membawa asap dari dalam pasar. Edy pun kembali menutup hidung dan mulutnya dengan masker kain berwarna biru. Masker itu bersama karyawan toko telah menemaninya berjuang menembus pekat dan baunya asap, sambil terus menggendong berkarung-karung pakaian turun dari lantai tiga.
Sudah hampir 20 tahun Edy membuka toko Pelajar di lantai tiga sisi timur. Pusat kebakaran terjadi di Pasar Turi Baru sisi barat dan merembet hingga pertokoan Ramayana, yang menghubungkan Pasar Turi Baru dengan Pasar Turi Lama. Toko Pelajar sebenarnya tidak habis terbakar, tetapi nyaris tak bisa ditempati lagi.
Edy tak habis pikir, mengapa musibah itu terjadi menjelang bulan puasa, masa ketika keuntungannya bisa naik sedikitnya 30 persen, terutama dari pakaian Muslim.
Sebenarnya, Pemerintah Kota Surabaya berjanji menyediakan tempat berjualan sementara di sekitar Pasar Turi. Tempat itu dibangun agar para pedagang tetap dapat "panen" di bulan puasa. "Tapi apa orang mau pergi ke tempat penjualan sementara itu? Mungkin mereka lebih memilih tempat lain," ujarnya.
Beberapa saat kemudian, truk yang ditunggu Edy datang untuk mengangkut barang-barangnya.
Pedagang lain, Mujiadi (52), pemilik toko Rachmad Baru, di lantai tiga pun begitu bingung. Kebakaran terjadi ketika ia tengah bersiap menyambut "panen". Dua hari lalu ia baru saja menambah stok berupa enam karung barang atau 42 kodi sandal untuk menghadapi kenaikan permintaan barang menjelang bulan puasa. "Kami belum tahu mau melakukan apa. Bingung," ujarnya.
Ketika terjadi kebakaran, ia bersama keluarga tidak mampu menyelamatkan semua aset di kiosnya. Padahal, stok yang baru masuk itu belum dibayarnya. Ditambah stok lama, ia memperkirakan kerugian Rp 150 juta, dari barang saja. "Sekarang mau kulak saja kami belum ada modal," tambah Mujiadi.
Seperti di pusat-pusat grosir lainnya, omzet pedagang di Pasar Turi biasanya naik drastis tiga bulan menjelang hari raya. Untuk sandal saja, satu pedagang bisa menjual 30 kodi. Padahal, pada hari biasa pedagang hanya menjual 10-15 kodi.
Permintaan dari luar Jawa malah lebih fantastis. "Dalam seminggu kami mengirim lebih dari 100 kodi. Paling banyak ke Gorontalo," kata suami Lilik ini.
Karena masih bingung memikirkan persediaan barang dan modal untuk kulakan lagi, hingga kemarin Lilik dan juga banyak pedagang lain belum menghubungi pelanggannya untuk memberi tahu tempat para pelanggan bisa berbelanja.
"Pembeli biasanya langsung ke Pasar Turi. Mereka bisa mendapatkan semua yang diinginkan. Kalau kami (hanya) jualan di rumah, belum tentu mereka mau datang," kata Mujiadi.
Karena itu, Mujiadi dan para pedagang lain berharap segera ada lokasi baru untuk berjualan. Tentu saja mereka berharap lokasinya tetap di kawasan Pasar Turi yang sudah menjadi ikon pusat grosir di Jawa Timur dan Indonesia bagian timur. "Tetapi kalau semua mau masuk sana, jelas tidak cukup. Entahlah, kami bingung," ujar Mujiadi.
Pemasok di ujung bangkrut
Terbakarnya Pasar Turi sesungguhnya adalah petaka bagi banyak pengusaha. Kebakaran itu menjadi malapetaka banyak pelaku usaha kecil dan menengah yang berasal dari sentra-sentra industri di Jawa Timur. Banyak industri kecil menggantungkan pemasaran produk mereka di Pasar Turi, baik untuk dijual di Jawa Timur, Jawa, atau bahkan sampai kawasan Indonesia timur.
Sebut saja para perajin tas perempuan di kawasan Gresik Gadukan Baru Surabaya, sentra batik Tanjung Bumi di Bangkalan Madura, dan pusat bordir yang dikenal dengan Bang Kodir atau Bangil Kota Bordir.
Belum lagi kawasan yang sudah sangat dikenal sebagai pusat industri tas dan koper di Tanggulangin, Sidoarjo, serta sentra sepatu Wedoro. Beban perajin di Sidoarjo kini makin berat karena dampak luberan lumpur Lapindo pun belum hilang.
"Masalahnya Pasar Turi bukan sekadar tempat memasarkan produk perajin, tapi juga menjadi tempat belanja bahan baku mereka," ungkap Mujiadi.
Anggota Koperasi Industri Tas dan Koper Tanggulangin Sidoarjo (Intako) juga amat kebingungan. Sebab, sedikitnya 50 perajin memasarkan produk mereka di Pasar Turi.
Itu belum termasuk perajin yang tidak tergabung dalam Koperasi Intako, yang biasanya menjalin kerja sama langsung dengan pedagang di Pasar Turi. "Sekarang semua praktis terhenti," ungkap Ketua I Koperasi Intako HM Khozin.
Hasan, salah seorang perajin sandal di Wedoro, mengatakan, semua sandal yang diproduksinya selalu dikirim ke Pasar Turi. Setiap minggu ia mengirimkan 100-150 kodi atau 2.000-3.000 pasang. "Kemarin saja saya sudah menyiapkan 100 kodi. Entah ke mana saya akan menjual," katanya. Padahal, biaya produksi untuk 100 kodi ini mencapai Rp 8 juta. Ia tidak membayangkan kalau sampai seminggu, sebulan, atau bahkan setahun Pasar Turi tak beroperasi.
Rp 75 miliar per hari
Pasar Turi memang sentra grosir untuk Jawa Timur sampai Indonesia timur. Menurut catatan Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) Jatim, Pasar Turi bahkan menjadi pemasok barang ke negara-negara di Afrika juga.
Setiap hari, kata pakar statistik dari Institut Teknologi Sepuluh November Kresnayana Yahya, transaksi yang terjadi Rp 3 juta-Rp 15 juta per pedagang. Kalau di Pasar Turi ada 5.000 kios, maka omzet hariannya diperkirakan Rp 75 miliar.
Saat menjelang Lebaran, transaksi per pedagang bahkan bisa mencapai Rp 3 miliar-Rp 5 miliar per hari.
Dari hasil sensus ekonomi, sedikitnya ada 1.500 industri kecil, menengah bahkan besar memasok barang ke Pasar Turi. Sedangkan pekerja yang menggantungkan hidup di Pasar Turi mencapai 10.000. Dan, sekarang mereka nyaris kehilangan gantungan hidup itu...
(BEE/ULE/APA)

0 comments: