KOMPAS - Rabu, 04 Juli 2007
Ada Fraksi yang Minta Presiden Tetap Hadir di Paripurna
Jakarta, Kompas - Rapat konsultasi pimpinan DPR, pimpinan fraksi dan pimpinan komisi dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Gedung Nusantara IV DPR, Selasa (3/7), berlangsung alot.
Rapat yang dimulai pukul 19.30 sampai berita ini diturunkan pukul 24.00 belum berakhir.
Berdasarkan informasi yang dihimpun, fraksi-fraksi masih memiliki pandangan yang beragam. Ada yang tetap meminta Presiden harus hadir di sidang paripurna, tetapi ada juga fraksi yang menganggap pertemuan semalam sudah cukup.
Pertemuan tersebut merupakan kelanjutan dari rapat konsultasi sebelumnya di Istana Negara, 18 Juni lalu. Kedua rapat konsultasi itu digelar untuk mencairkan hubungan antara Presiden dan DPR menyusul adanya interpelasi soal Iran.
Selama sebulan terakhir DPR terus mendesak Presiden hadir di paripurna untuk menjelaskan persetujuan pemerintah atas Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa Nomor 1747. Sebaliknya, Presiden bersikukuh tidak mau hadir di paripurna dan mewakilkan kepada menterinya.
Rapat konsultasi Presiden dengan DPR semalam diwarnai aksi walkout. Wakil Ketua Fraksi Bintang Pelopor Demokrasi dari Partai Bulan Bintang Ali Mochtar Ngabalin meninggalkan ruangan saat rapat masih berlangsung karena merasa tidak puas dengan pertemuan tersebut.
Menurut Ngabalin, dalam pertemuan yang berlangsung tertutup itu, Presiden tidak banyak menjelaskan soal persetujuan pemerintah atas Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa Nomor 1747 yang memberi perluasan sanksi kepada Iran, tetapi hanya memberi penjelasan politik luar negeri yang sangat umum.
"Tadi itu lebih pada materi perkuliahan S-2 hubungan internasional," ujar Ngabalin.
Ia juga menangkap kesan, Ketua DPR Agung Laksono mencoba mengarahkan pertemuan untuk mereduksi interpelasi Iran. Agung, menurut dia, berkali-kali menyebutkan bahwa pertemuan tersebut formal. Padahal, Presiden mengatakan pertemuan itu informal.
"Saya lebih baik keluar agar tenang pulang ke rumah," kata Ngabalin sambil meninggalkan Gedung Nusantara IV.
Wakil Ketua DPR Soetardjo Soerjogoeritno pada pukul 22.05 juga meninggalkan ruangan. Namun, hal itu lebih disebabkan kondisi kesehatannya yang belum pulih.
Ketika ditanya pers soal nasib paripurna interpelasi Iran, Soetardjo dengan tegas menjawab, "Tetap jalan terus."
Mengenai apakah Presiden harus tetap hadir, Soetardjo mengatakan, "Ya, harus."
Saatnya kerja keras
Pengamat politik dari Center for Strategic and International Studies (CSIS) J Kristiadi mengingatkan Presiden dan DPR agar tidak terus-menerus adu gengsi atau mementingkan simbol-simbol, tetapi lebih bersungguh-sungguh bekerja menyejahterakan masyarakat.
"Situasi negara seperti ini tidak bisa hanya adu gengsi. Sekarang juga bukan zamannya lagi simbol-simbol atau pencitraan. Sekarang saatnya kerja habis-habisan," kata Kristiadi.
Sikap DPR yang sangat mementingkan kehadiran fisik presiden di paripurna, menurut dia, sama dengan pengagungan pada simbol. Sesungguhnya yang jauh lebih penting adalah mengevaluasi kebijakan pemerintah, termasuk saat menggulirkan interpelasi lumpur Lapindo.
Presiden pun, menurut Kristiadi, tak berbeda. Kunjungan Presiden ke Sidoarjo adalah salah satu contoh perilaku politik yang sangat mementingkan simbol atau pencitraan.
Untuk mengatasi kondisi ini, semua pihak harus berjiwa besar. Artinya, jangan saling ngotot cuma mempertahankan siapa yang paling kuasa. "Presiden harus datang ke DPR (paripurna), tetapi tidak perlu sampai selesai acara. Cukup memberi garis besar kebijakan. Selanjutnya dapat diserahkan kepada menteri. Sementara itu, DPR harus menerima, jangan ngotot Presiden hadir seluruh waktu," tuturnya.
Presiden "all out"
Jumlah menteri yang ditugaskan Presiden menghadiri rapat semalam jauh lebih banyak dibandingkan saat menjawab interpelasi Iran di paripurna beberapa waktu lalu. Apabila sebelumnya Presiden hanya menugaskan tujuh menteri, kemarin Presiden didampingi Wakil Presiden Jusuf Kalla, 3 menteri koordinator, 9 pejabat setingkat menteri, dan 3 utusan khusus.
Menteri koordinator (menko) yang hadir adalah Menko Bidang Politik Hukum dan Keamanan Widodo AS, Menko Bidang Kesejahteraan Rakyat Aburizal Bakrie, dan Menko Bidang Perekonomian Boediono.
Pejabat setingkat menteri adalah Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi, Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Hatta Rajasa, Menteri Luar Negeri (Menlu) Hassan Wirajuda, Menteri Pertahanan (Menhan) Juwono Sudarsono, Menteri Hukum dan HAM Andi Mattalatta, Menteri Perdagangan Mari Pangestu, Jaksa Agung Hendarman Supandji, Kepala Polri Jenderal (Pol) Sutanto, dan Panglima TNI Marsekal Djoko Suyanto. Hadir juga utusan khusus, yaitu Ali Alatas, Da’i Bachtiar, dan Nana Sutresna.
Menurut Menlu Hassan Wirajuda, persiapan Presiden untuk memberikan penjelasan mengenai kebijakan politik luar negeri dinilai sudah cukup memadai.
"Materinya saat ini lebih memberikan peluang kepada Presiden untuk memaparkan masalah politik luar negeri secara umum kepada anggota Dewan. Jadi, tidak spesifik soal Resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa atas Iran. Penjelasan Presiden nanti akan lebih banyak ke arah kebijakan dan implementasi politik luar negeri dari berbagai aspek," ujar Hassan.
Selasa pagi Presiden Yudhoyono memanggil para menteri dan pejabat setingkat menteri untuk mematangkan persiapan menjelang rapat konsultasi. Hadir pula Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla.
Mereka yang dipanggil di antaranya tiga menteri koordinator, Panglima TNI Marsekal Djoko Suyanto, Kepala Polri Jenderal (Pol) Sutanto, Menhan Juwono Sudarsono, Mensesneg Hatta Rajasa, dan anggota Dewan Pertimbangan Presiden Ali Alatas.
Ditanya apakah forum konsultasi pimpinan DPR dan pemerintah ini bisa menyelesaikan masalah interpelasi yang diajukan DPR dengan tuntutan kehadiran Presiden, Hassan menjawab, "Perdebatan publik selama ini memang ada interpelasi DPR, tetapi sekarang sudah disepakati bersama untuk melanjutkan dalam pertemuan konsultasi informal antara pimpinan DPR dan pemerintah."
Mengenai mengapa Presiden harus menjelaskan kebijakan luar negeri secara umum, sementara yang dipertanyakan oleh DPR soal resolusi Iran, Hassan mengatakan bahwa yang terjadi adalah proses politik.
"Jangan dibaca secara telanjang begitu saja persoalannya. Ini kan dalam artian adanya perbedaan cara pandang atas usul interpelasi antara pemerintah dan pimpinan DPR," katanya. (SUT/HAR)
Wednesday, July 04, 2007
Pertemuan Presiden-DPR Alot
Posted by RaharjoSugengUtomo at 9:09 AM 0 comments
Labels: HeadlineNews: Kompas
PLTN: Soal Limbah Butuh Persetujuan Publik
KOMPAS - Rabu, 04 Juli 2007
Jakarta, Kompas - Pengelolaan limbah radioaktif dari pembangkit listrik tenaga nuklir yang paling tepat dan demokratis saat ini membutuhkan persetujuan publik. Selain itu, pengelolaan limbah radioaktif menjadi bagian tanggung jawab negara meskipun operasionalisasi PLTN memungkinkan untuk diserahkan kepada pihak swasta.
"Ada tiga aspek yang menjadi persoalan dalam perencanaan pembuatan PLTN, yaitu meliputi aspek keamanan teknologi operasional, pengelolaan limbah, dan sistem regulasi," kata pakar teknologi nuklir, Sofyan Yatim, yang juga pendiri Masyarakat Peduli Energi dan Lingkungan (MPEL), dalam ceramah ilmiah populer, Selasa (3/7) di Jakarta.
Aspek teknologi pengelolaan limbah radioaktif seharusnya menjadi bagian yang didahulukan, seperti yang ditempuh Finlandia.
"Finlandia sebelum menerapkan teknologi nuklir meminta pendapat masyarakat dengan cara referendum atau pemungutan suara rakyat sebagai cara tepat dan paling demokratis saat ini," ujar Sofyan.
Pada kesempatan itu hadir beberapa pakar teknologi nuklir lain, seperti Budi Sudarsono (Ketua MPEL), Sutaryo Supadi (Ketua Pengawas MPEL), Widjang Herry Sisworo (Ketua Forum Peduli Aplikasi Ilmu Pengetahuan/FPAI), dan Adjar Irawan S Hidayat (Chairman of United Nations Association/UNA Indonesia).
Semua pakar ini mendukung rencana penerapan PLTN di Indonesia, yaitu di Semenanjung Muria, Jawa Tengah.
Proyek PLTN itu dijadwalkan bisa mulai beroperasi tahun 2016-2017 dengan kapasitas produksi listrik 4.000-6.000 megawatt (MW) atau berkisar 4 persen dari suplai listrik untuk kebutuhan Jawa-Madura-Bali.
Menurut Sofyan, pengembangan aspek keamanan teknologi PLTN saat ini telah didukung standar mutu pengawasan secara internasional.
Apalagi saat ini di dunia terdapat 444 reaktor nuklir pembangkit listrik yang dijalankan relatif aman oleh 32 negara sehingga dapat dijadikan acuan penerapan.
"Untuk aspek pengelolaan limbah radioaktifnya, publik perlu dilibatkan. Pemerintah berkewajiban sebagai regulatornya," kata Sofyan.
Bahaya radiasi besar
Menurut Budi Sudarsono, potensi bahaya radiasi dari limbah radioaktif nuklir ini memang besar. Namun, sejauh ini limbah nuklir dapat terkendalikan.
"Industri nuklir merupakan satu-satunya industri yang mewajibkan pengelolaan seluruh limbahnya," kata Budi.
Limbah nuklir, lanjut Budi, terdiri atas tiga golongan, yaitu radioaktivitas rendah, sedang, dan tinggi. Limbah dengan radioaktivitas tinggi berasal dari hasil belah uranium atau plutonium yang tetap tertahan di dalam batang-batang bahan bakar nuklir.
Ditinjau dari kapasitas bahan bakar nuklir yang relatif jauh lebih kecil untuk menghasilkan energi listrik setara—jika dibandingkan dengan batu bara atau minyak bumi—limbah radioaktif yang dihasilkannya juga dalam kapasitas relatif kecil.
Namun, radiasinya cenderung membahayakan kesehatan karena bersifat karsinogen (penyebab kanker) atau mutagenik—menyebabkan kelainan pertumbuhan badan. Limbah radioaktif juga membutuhkan waktu peluruhan puluhan tahun hingga ratusan tahun.
Sementara itu, beberapa waktu lalu muncul gelombang penolakan dari masyarakat Kabupaten Kudus terhadap rencana pembangunan PLTN tersebut yang didukung oleh Bupati Kudus. (NAW)
Posted by RaharjoSugengUtomo at 9:07 AM 0 comments
Labels: HeadlineNews: Kompas
Pengobatan Kanker Fokus Sasaran
KOMPAS - Rabu, 04 Juli 2007
Pengobatan kanker yang paling umum saat ini adalah kemoterapi. Sayangnya, efek racun kemoterapi tidak hanya membasmi sel kanker, sel normal pun ikut rusak.
Penelitian ilmiah dasar selama lebih dari dua dekade membawa kemajuan signifikan dalam pemahaman manusia mengenai pertumbuhan kanker di tingkat molekuler. Berbekal hal itu peneliti membuat terobosan baru dalam pengobatan kanker, yaitu terapi dengan obat bertarget molekuler. Obat ini, menurut situs National Cancer Institute, hanya mengganggu molekul yang terlibat dalam proses pertumbuhan tumor dan tidak mengusik sel normal. Oleh karena itu, terapi ini lebih efektif, mengurangi efek samping, serta meningkatkan kualitas hidup penderita kanker.
Terobosan baru tersebut mengubah dunia kedokteran onkologi dan memungkinkan pengobatan bahkan pada pasien dengan kanker langka yang sebelumnya tidak bisa diobati atau pada pasien yang karena kondisinya lemah tidak bisa dikemoterapi.
Sel target
Tubuh mempunyai mekanisme untuk menjaga agar jaringan dan organ tumbuh dengan jumlah sel yang proporsional. Jika ada sel yang mati, sel yang tertinggal akan membelah untuk menggantikan sel yang mati. Pada kanker, sel kehilangan sensitivitas terhadap sinyal yang memerintahkan kematian sel dan pengaturan pertumbuhan sel. Akibatnya, sel tumbuh tidak terkendali sekaligus tidak kunjung mati. Sel-sel yang tumbuh berlebihan ini dikenal sebagai tumor.
Dengan pemahaman dasar itu, para peneliti mendesain obat dengan target molekul seluler spesifik yang terlibat dalam proses perubahan sel normal menjadi sel kanker (karsinogenesis) dan pertumbuhan tumor.
Jenis terapi bertarget molekuler antara lain penghambat sinyal transduksi. Obat ini menempel pada reseptor di permukaan sel yang bertugas memancarkan sinyal pertumbuhan serta menghambat protein dalam sel yang memicu reaksi kimia untuk pertumbuhan. Target terapi ini yang paling umum adalah enzim protein kinase dan reseptor di permukaan sel tirosin kinase.
Terapi lain adalah penghambat pertumbuhan pembuluh darah baru. Obat ini menyebabkan tumor tidak bisa tumbuh karena tidak mendapatkan zat gizi. Jenis lain adalah obat bermolekul kecil, obat pemicu kematian sel, serta terapi gen yang mengoreksi materi genetik pemicu kanker dalam sel.
Di beberapa negara maju terapi bertarget molekuler menjadi standar baru pengobatan kanker. Hasil terbaik didapatkan pada kombinasi terapi ini dengan kemoterapi atau radioterapi.
Menurut situs European Society for Medical Oncology, dalam "International Symposium on Targeted Anticancer Therapies" yang berlangsung di Amsterdam, Belanda, 8-10 Maret 2007, diungkapkan hasil terbaru dari sejumlah uji klinik dan preklinik obat bertarget molekuler. Obat-obat yang dibahas antara lain bevacizumb, cetuximab, dasanitib, erlonitib, lapanitib, nilonitib, oblimersen sodium, sorafenib, dan sunitinib.
Kanker paru
Sejak Februari 2007 erlonitib bisa diakses di Indonesia sebagai obat untuk kanker paru jenis karsinoma bukan sel kecil (non-small cell lung cancer/NSCLC).
Menurut staf Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI)-RS Persahabatan Elisna Syahruddin, erlonitib adalah obat oral antikanker golongan penghambat human epidermal growth factor receptor tyrosine kinase (HER1/EGFR TK inhibitor). Dosis yang digunakan untuk NSCLC adalah 150 miligram tablet satu kali sehari.
Studi internasional yang dilakukan National Cancer Institute Canada Clinical Trials Group bekerja sama dengan OSI Pharmaceuticals menunjukkan, terapi erlonitib pada pasien dengan NSCLC stadium lanjut memperlihatkan angka harapan hidup lebih panjang (6,7 bulan) dibandingkan dengan plasebo (4,7 bulan). Gejala terkait kanker paru, seperti batuk, sesak napas, serta nyeri dada, dikendalikan lebih lama dengan erlonitib sehingga kualitas hidup lebih baik.
Menurut guru besar Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI-RS Persahabatan Anwar Jusuf, sejauh ini belum ada kesepakatan kapan konsumsi obat ini bisa dihentikan. Bisa dikatakan, obat bertarget molekuler harus diminum seumur hidup untuk mencegah pertumbuhan kanker.
Posted by RaharjoSugengUtomo at 9:06 AM 0 comments
Labels: HeadlineNews: Kompas
Peternak Sapi: Berharap "Penopang Hidup" Itu Bangkit
KOMPAS - Rabu, 04 Juli 2007
Antony Lee
Harjo Mulyono (56) berjalan kaki sambil menjunjung satu keranjang besar berisi rumput di atas kepalanya, Selasa (3/7). Anaknya yang berusia belasan tahun mengikuti dari belakang, juga menjunjung keranjang rumput yang lebih kecil.
Bapak-anak ini memang setiap sore menyusuri jalan mendaki di Kelurahan Jelok, Kecamatan Cepogo, Boyolali, Jawa Tengah. Mereka menyusuri rute dalam rentang jarak beberapa kilometer untuk membawa rumput dari ladang. Rumput itu untuk makanan dua sapi peliharaan, salah satu sumber penghidupannya, selain bertani.
Harjo sudah mulai beternak sapi sejak tahun 1997 dengan memelihara sepasang sapi perah. Setelah sapinya beranak, ia mulai menjual susu sapi ini. Hanya saja, ia menggunakan jasa pemerah sapi. Dalam sehari sapinya bisa menghasilkan 10-15 liter susu.
Untuk setiap liter susu, saat itu ia memperoleh paling tinggi Rp 1.100. Uang hasil penjualan baru bisa diterima setiap sepuluh hari sekali. Beternak sapi perah menjadi sumber penghasilan pendukung. Namun, ini tidak bertahan lama. Harga susu segar cenderung stagnan dan tidak bisa mengimbangi kebutuhan membeli pakan ternak. Hingga tiga tahun lalu ia memutuskan berhenti menjual susu sapi dan memilih menggemukkan sapi.
Bagaimana tidak. Harga jual susu segar pada tiga tahun lalu masih Rp 1.250 per liter. Harga daun singkong Rp 700 per kilogram, konsentrat Rp 1.000 per kilogram, dan bekatul Rp 1.000 per kilogram. Dalam sehari paling tidak dibutuhkan 2 kilogram untuk masing-masing campuran ini.
"Harganya tidak cocok. Karena itu, saya berhenti beternak sapi untuk dijual susunya. Hasilnya tidak cukup untuk memberi makan sapi, apalagi untuk menghidupi keluarga," ujar ayah lima orang anak ini.
Dengan beralih ke penggemukan sapi, ia bisa memperoleh hasil cukup. Sapi kurus dibeli dengan harga Rp 3,5 juta. Setelah digemukkan atau sudah mulai bunting, sapi dijual dengan harga Rp 5,7 juta. Bagi warga Dukuh Pule ini, hasil yang diperoleh dari penggemukan jauh lebih besar ketimbang harus memelihara sapi perah.
Peternak lainnya, Sardi (58), mengaku sempat mencoba enam bulan memelihara seekor sapi perahan dan menjual susunya. Namun, ia mengaku harga pakan tidak sesuai dengan harga jual susu. Selain itu, ia juga kesulitan mencari rumput jika kemarau karena tidak ada air yang cukup. Ternak yang kekurangan rumput bisa menyebabkan kualitas susu rendah dan harganya tidak bisa maksimal.
Susu yang dijual melalui koperasi memang harus memenuhi standar kadar fat atau lemak dan berat jenis. Pada pagi hari lemak minimal harus 3,30 dan berat jenis 1,0250. Pada sore hari lemak harus 3,50 dan berat jenis 1,0215. Kedua hal ini diperiksa oleh petugas yang berada di tempat pendinginan susu.
Karena itu, ia akhirnya menjual sapi perahnya dan memilih membiakkan sapi dan mengambil selisih harga penjualan. Sardi membeli anak sapi dengan harga Rp 2 juta dan dijual Rp 4 juta setelah besar. Ini lebih menguntungkan untuknya. Memelihara sapi perah dengan jumlah sedikit, kata dia, tidak cukup untuk menutupi biaya pakan.
"Apalagi saya tidak punya lahan sendiri. Kalau membeli rumput, harganya mahal. Mungkin kalau di atas sepuluh ekor, lain lagi," ujar dia.
Sekretaris Koperasi Unit Desa Cepogo Sumyani (44) mengatakan, kondisi ini sudah cukup lama dirasakan peternak sapi perah. Ini diperparah kenaikan harga BBM pada akhir 2005. Harga pakan naik, harga susu segar tidak banyak berubah.
Akibatnya, cukup banyak peternak yang beralih memelihara sapi potong atau menggemukkan sapi. Di Cepogo, jumlah peternak sapi perah awalnya mencapai 1.200 orang. Namun, saat ini paling banyak tinggal 800 orang. Jumlah sapi pun jauh berkurang, dari semula 9.000 ekor menjadi 1.700 ekor. Tidak hanya itu, produksi susu yang pada 1992 mencapai 22.000 liter per hari kini tinggal 4.000 liter hingga 4.500 liter per hari.
Faktor lainnya adalah harga jual dinilai para peternak masih jauh dari harga susu sapi impor yang bisa mencapai Rp 5.000 per liter. Selain itu, kenaikan harga susu pabrikan tidak berdampak terhadap harga jual susu dari produsen. Perusahaan pengolah susu beranggapan susu dari peternak di Boyolali kualitasnya di bawah susu impor.
Secara terpisah, Dekan Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro Semarang Dr Ir Joelal Achmadi MSc menjelaskan, kualitas susu dari peternakan sapi perah rakyat di Boyolali itu selalu menjadi masalah sejak lama.
Ada dua penyebab utama. Pertama, kandungan bakteri, terutama Escherichia coli, dalam susu yang masih cukup tinggi. Hal itu tidak bisa dihindarkan karena jarak antara sapi perah dan instalasi pengolah susu yang jauh sehingga kontaminasi selama perjalanan tidak bisa dihindarkan. Dalam perjalanan yang jauh itu, koloni bakteri berkembang cepat.
Kedua, bahan padat (total solid) dalam kandungan susu peternak yang masih rendah. Hal itu kembali ke kualitas pakan sapi perah yang kurang memenuhi syarat. "Kalau bahan padat rendah, itu berarti kita kan beli air. Padahal yang dibutuhkan dalam industri bahan padat yang tinggi," kata Joelal.
Untuk itu, Joelal berharap pemerintah dan peternak segera menyelesaikan kedua masalah utama untuk meningkatkan kualitas susu Boyolali, yakni dengan meningkatkan sanitasi dan teknologi pakan.
Terlepas dari masalah kualitas susu tersebut, dua bulan terakhir, harga susu lokal mulai naik, dari semula Rp 1.300 hingga Rp 1.500 menjadi Rp 1.700- Rp 1.800 per liter. Ini membuat peternak mulai berminat kembali memelihara sapi perah.
"Sebenarnya cukup banyak peternak sapi perah yang ingin kembali berusaha. Hanya saja, mereka tidak mampu membeli sapi lagi," ujarnya.
Ia berharap pemerintah kembali memberikan kredit sapi perah seperti yang pernah dilakukan oleh pemerintah Orde Baru.
Sumyani menuturkan, permohonan bantuan sudah berkali- kali dikirimkan oleh koperasi, tetapi pemerintah belum memberikan jawaban. Ia berharap pemerintah memberikan kredit sapi agar peternakan sapi perah ini bisa kembali bangkit.
Dengan demikian, Kabupaten Boyolali yang memiliki banyak monumen sapi ini benar-benar bisa meningkatkan produksi susu. Seperti salah satu semboyan yang terpampang di gapura yang ada di Kecamatan Boyolali, bergambar sapi dengan tulisan "Susumu Penopang Hidupku".
Posted by RaharjoSugengUtomo at 9:05 AM 0 comments
Labels: HeadlineNews: Kompas
Isu RMS Terkait soal Keadilan
KOMPAS - Rabu, 04 Juli 2007
Presiden Harus Selesaikan Saling Tuding TNI-Polri-BIN
Jakarta, Kompas - Aksi penyusupan sejumlah anggota Republik Maluku Selatan dalam peringatan Hari Keluarga Nasional XIV di Ambon, yang dihadiri Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, lebih dipicu persoalan tuntutan akan keadilan ekonomi dan sosial masyarakat daripada isu separatisme.
Dengan demikian, pendekatan kesejahteraan ekonomi dan sosial lebih dibutuhkan untuk menuntaskan persoalan di sana.
"Sampai batas tertentu (insiden) itu dilakukan sebagai wujud protes supaya (mereka) diperhatikan. Ini masalah keadilan sosial dan ekonomi. Banyak pekerjaan rumah harus diselesaikan, baik di Ambon, Aceh, Kalimantan, maupun Papua, supaya mereka yang merasa terpinggirkan tidak perlu lagi terlibat kegiatan menggugat NKRI," ujar Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono, Selasa (3/7) di Jakarta.
Hal senada juga disampaikan Panglima TNI Marsekal Djoko Suyanto sebelum mengikuti rapat di Kantor Presiden. Menurut Djoko, persoalannya jangan dilarikan ke soal copot-mencopot, tetapi mencari akarnya mengapa bendera Republik Maluku Selatan (RMS) masih berkibar.
"Bagaimana ke depan agar keinginan-keinginan seperti itu tidak timbul lagi. Katakanlah itu persoalan kesejahteraan rakyat," katanya.
Lebih lanjut dalam jumpa pers di tempat terpisah, sejumlah aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan pengamat masalah keamanan menilai, walau diakui insiden "tari cakalele" mempermalukan pemerintah, peristiwa itu diminta tidak menjadi alasan pemerintah untuk menerapkan kebijakan yang represif.
Peristiwa tersebut dinilai tidak mengancam apa pun dari keberadaan Indonesia sebagai negara dan sebaliknya menunjukkan adanya kelemahan koordinasi akibat sikap ego-sektoral dan persaingan di kalangan aparat keamanan sendiri, mulai dari TNI, Polri, hingga BIN.
Turut hadir dalam jumpa pers di Kantor Kontras, Jakarta, adalah Raffendi Djamin dari Human Rights Working Groups (HRWG), Rusdi Marpaung dari Imparsial, Edwin Partogi dan Mufti Makaarim dari Kontras, dan dosen Pascasarjana Kajian Ilmu Kepolisian Universitas Indonesia Bambang Widodo Umar.
"Seharusnya kita belajar dari kesalahan masa lalu dengan mencairkan arti penghargaan terhadap NKRI bukan sekadar berbentuk menangkapi para pengibar bendera (RMS), melainkan dengan menghargai hak asasi manusia," ujar Raffendi.
Anggota Komisi I DPR Abdillah Thoha mengharapkan Presiden Yudhoyono turun tangan langsung menyelesaikan saling tuding antara TNI, Polri, BIN, dan aparat daerah.
Presiden diharapkan memanggil semua petinggi institusi, meminta penjelasan apa yang terjadi, dan segera mengambil keputusan dan bukan malah membiarkan polemik di publik terus berkelanjutan.
Secara terpisah, Presiden Partai Keadilan Sejahtera Tifatul Sembiring mengatakan, pemerintah tidak bisa membiarkan insiden RMS berlalu begitu saja. Bahkan, pemerintah wajib mengusut tuntas kasus RMS tersebut agar tidak terulang lagi.
"Saya tak mau berspekulasi soal kesengajaan, tetapi jika melihat sejarah Mesir, yang presidennya ditembak orang yang jumlahnya lebih sedikit dari RMS itu," ujarnya. (DIK/MAM/DWA/HAR)
Posted by RaharjoSugengUtomo at 9:04 AM 0 comments
Labels: HeadlineNews: Kompas
Warga Tetap Harus Lengkapi Dokumen
KOMPAS - Rabu, 04 Juli 2007
Jakarta, Kompas - Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Aburizal Bakrie mengharapkan Lapindo Brantas Inc bisa menyelesaikan pembayaran uang muka ganti rugi kepada korban lumpur panas dalam 10 pekan, seperti diinstruksikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Sebaliknya, warga juga diimbau untuk melengkapi semua dokumennya agar bisa mendapatkan uang muka 20 persen ganti rugi.
"Harapan kami sebagai pemerintah, kami harapkan 10 pekan itu bisa dipenuhi bersama," ujar Aburizal Bakrie menjawab pers, seusai sidang kabinet terbatas di Kantor Presiden, Kompleks Istana, Jakarta, Selasa (3/7).
Tentang percepatan pembayaran yang harus dilakukan Lapindo, Aburizal mengatakan, tergantung dari kecepatan warga menyiapkan dokumen yang diperlukan untuk pemenuhan persyaratan pembayaran. "Kalau persyaratan sudah lengkap, pasti yang 20 persen segera dibayarkan Lapindo dan sisanya 80 persen akan dibayar lagi sesuai ketentuan," lanjut Aburizal.
Tidak akurat
Akan tetapi, percepatan pembayaran ganti rugi itu kini menghadapi persoalan baru. Perwakilan warga korban lumpur menemukan sejumlah fakta ketidakakuratan data hasil survei yang dilakukan Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) terhadap tanah dan bangunan mereka yang kini terendam lumpur. Padahal, data itu dijadikan salah satu acuan dalam pemberian ganti rugi.
Menurut perwakilan Tim 16 (perwakilan korban dari Perumahan Tanggulangin Anggun Sejahtera 1), Koes Sulassono, dan perwakilan warga Desa Kedungbendo, Tanggulangin, Sidoarjo, Imron Rosya, ketidakakuratan data itu mencapai 70 persen. Karena itu, mereka minta supaya data ITS tidak lagi dijadikan acuan pembayaran ganti rugi. Mereka meminta agar pengakuan warga yang dijadikan acuan.
Sejumlah ketidakakuratan itu, kata Koes dan Imron, misalnya, ada tanah yang luasnya 72 m2 tetapi luas bangunannya 84 m2, padahal bangunan tidak tingkat. Ada lagi bangunan yang luasnya disebutkan 105 m2, sementara aslinya 112 m2. Lalu ada tanah 175 m2, tetapi bangunan 900 m2.
Menanggapi tuntutan warga itu, staf Deputi Sosial Badan Pelaksana Badan Penanggulangan Lumpur di Sidoarjo Syahrul Arifin menyatakan, kekeliruan itu kalaupun ada hanyalah satu-dua.
Kesalahan, katanya, bisa terjadi karena perbedaan cara mengukur. Tim ITS hanya mengukur bangunan utama, sedangkan warga mengukur juga kandang, pagar, atau bangunan lain di sekitar bangunan utama.
Karena itu, hasil verifikasi ITS tetap dijadikan acuan. Warga yang keberatan bisa membuat surat pernyataan tentang luas bangunannya sendiri. Hanya saja, harus disadari bahwa pembayaran ganti rugi menjadi lebih lama. Sebab, harus dilakukan pencocokan ulang antara data warga dan citra satelit Kecamatan Porong dan Tanggulangin sebelum terendam lumpur.
Sementara itu, 44 berkas dari Desa Pejarakan, Renokenongo, dan Mindi sudah diserahkan Senin malam dan rencananya hari ini akan diberikan uang muka ganti rugi. (har/apa)
Posted by RaharjoSugengUtomo at 9:02 AM 0 comments
Labels: HeadlineNews: Kompas