KOMPAS - Rabu, 04 Juli 2007
Antony Lee
Harjo Mulyono (56) berjalan kaki sambil menjunjung satu keranjang besar berisi rumput di atas kepalanya, Selasa (3/7). Anaknya yang berusia belasan tahun mengikuti dari belakang, juga menjunjung keranjang rumput yang lebih kecil.
Bapak-anak ini memang setiap sore menyusuri jalan mendaki di Kelurahan Jelok, Kecamatan Cepogo, Boyolali, Jawa Tengah. Mereka menyusuri rute dalam rentang jarak beberapa kilometer untuk membawa rumput dari ladang. Rumput itu untuk makanan dua sapi peliharaan, salah satu sumber penghidupannya, selain bertani.
Harjo sudah mulai beternak sapi sejak tahun 1997 dengan memelihara sepasang sapi perah. Setelah sapinya beranak, ia mulai menjual susu sapi ini. Hanya saja, ia menggunakan jasa pemerah sapi. Dalam sehari sapinya bisa menghasilkan 10-15 liter susu.
Untuk setiap liter susu, saat itu ia memperoleh paling tinggi Rp 1.100. Uang hasil penjualan baru bisa diterima setiap sepuluh hari sekali. Beternak sapi perah menjadi sumber penghasilan pendukung. Namun, ini tidak bertahan lama. Harga susu segar cenderung stagnan dan tidak bisa mengimbangi kebutuhan membeli pakan ternak. Hingga tiga tahun lalu ia memutuskan berhenti menjual susu sapi dan memilih menggemukkan sapi.
Bagaimana tidak. Harga jual susu segar pada tiga tahun lalu masih Rp 1.250 per liter. Harga daun singkong Rp 700 per kilogram, konsentrat Rp 1.000 per kilogram, dan bekatul Rp 1.000 per kilogram. Dalam sehari paling tidak dibutuhkan 2 kilogram untuk masing-masing campuran ini.
"Harganya tidak cocok. Karena itu, saya berhenti beternak sapi untuk dijual susunya. Hasilnya tidak cukup untuk memberi makan sapi, apalagi untuk menghidupi keluarga," ujar ayah lima orang anak ini.
Dengan beralih ke penggemukan sapi, ia bisa memperoleh hasil cukup. Sapi kurus dibeli dengan harga Rp 3,5 juta. Setelah digemukkan atau sudah mulai bunting, sapi dijual dengan harga Rp 5,7 juta. Bagi warga Dukuh Pule ini, hasil yang diperoleh dari penggemukan jauh lebih besar ketimbang harus memelihara sapi perah.
Peternak lainnya, Sardi (58), mengaku sempat mencoba enam bulan memelihara seekor sapi perahan dan menjual susunya. Namun, ia mengaku harga pakan tidak sesuai dengan harga jual susu. Selain itu, ia juga kesulitan mencari rumput jika kemarau karena tidak ada air yang cukup. Ternak yang kekurangan rumput bisa menyebabkan kualitas susu rendah dan harganya tidak bisa maksimal.
Susu yang dijual melalui koperasi memang harus memenuhi standar kadar fat atau lemak dan berat jenis. Pada pagi hari lemak minimal harus 3,30 dan berat jenis 1,0250. Pada sore hari lemak harus 3,50 dan berat jenis 1,0215. Kedua hal ini diperiksa oleh petugas yang berada di tempat pendinginan susu.
Karena itu, ia akhirnya menjual sapi perahnya dan memilih membiakkan sapi dan mengambil selisih harga penjualan. Sardi membeli anak sapi dengan harga Rp 2 juta dan dijual Rp 4 juta setelah besar. Ini lebih menguntungkan untuknya. Memelihara sapi perah dengan jumlah sedikit, kata dia, tidak cukup untuk menutupi biaya pakan.
"Apalagi saya tidak punya lahan sendiri. Kalau membeli rumput, harganya mahal. Mungkin kalau di atas sepuluh ekor, lain lagi," ujar dia.
Sekretaris Koperasi Unit Desa Cepogo Sumyani (44) mengatakan, kondisi ini sudah cukup lama dirasakan peternak sapi perah. Ini diperparah kenaikan harga BBM pada akhir 2005. Harga pakan naik, harga susu segar tidak banyak berubah.
Akibatnya, cukup banyak peternak yang beralih memelihara sapi potong atau menggemukkan sapi. Di Cepogo, jumlah peternak sapi perah awalnya mencapai 1.200 orang. Namun, saat ini paling banyak tinggal 800 orang. Jumlah sapi pun jauh berkurang, dari semula 9.000 ekor menjadi 1.700 ekor. Tidak hanya itu, produksi susu yang pada 1992 mencapai 22.000 liter per hari kini tinggal 4.000 liter hingga 4.500 liter per hari.
Faktor lainnya adalah harga jual dinilai para peternak masih jauh dari harga susu sapi impor yang bisa mencapai Rp 5.000 per liter. Selain itu, kenaikan harga susu pabrikan tidak berdampak terhadap harga jual susu dari produsen. Perusahaan pengolah susu beranggapan susu dari peternak di Boyolali kualitasnya di bawah susu impor.
Secara terpisah, Dekan Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro Semarang Dr Ir Joelal Achmadi MSc menjelaskan, kualitas susu dari peternakan sapi perah rakyat di Boyolali itu selalu menjadi masalah sejak lama.
Ada dua penyebab utama. Pertama, kandungan bakteri, terutama Escherichia coli, dalam susu yang masih cukup tinggi. Hal itu tidak bisa dihindarkan karena jarak antara sapi perah dan instalasi pengolah susu yang jauh sehingga kontaminasi selama perjalanan tidak bisa dihindarkan. Dalam perjalanan yang jauh itu, koloni bakteri berkembang cepat.
Kedua, bahan padat (total solid) dalam kandungan susu peternak yang masih rendah. Hal itu kembali ke kualitas pakan sapi perah yang kurang memenuhi syarat. "Kalau bahan padat rendah, itu berarti kita kan beli air. Padahal yang dibutuhkan dalam industri bahan padat yang tinggi," kata Joelal.
Untuk itu, Joelal berharap pemerintah dan peternak segera menyelesaikan kedua masalah utama untuk meningkatkan kualitas susu Boyolali, yakni dengan meningkatkan sanitasi dan teknologi pakan.
Terlepas dari masalah kualitas susu tersebut, dua bulan terakhir, harga susu lokal mulai naik, dari semula Rp 1.300 hingga Rp 1.500 menjadi Rp 1.700- Rp 1.800 per liter. Ini membuat peternak mulai berminat kembali memelihara sapi perah.
"Sebenarnya cukup banyak peternak sapi perah yang ingin kembali berusaha. Hanya saja, mereka tidak mampu membeli sapi lagi," ujarnya.
Ia berharap pemerintah kembali memberikan kredit sapi perah seperti yang pernah dilakukan oleh pemerintah Orde Baru.
Sumyani menuturkan, permohonan bantuan sudah berkali- kali dikirimkan oleh koperasi, tetapi pemerintah belum memberikan jawaban. Ia berharap pemerintah memberikan kredit sapi agar peternakan sapi perah ini bisa kembali bangkit.
Dengan demikian, Kabupaten Boyolali yang memiliki banyak monumen sapi ini benar-benar bisa meningkatkan produksi susu. Seperti salah satu semboyan yang terpampang di gapura yang ada di Kecamatan Boyolali, bergambar sapi dengan tulisan "Susumu Penopang Hidupku".
Wednesday, July 04, 2007
Peternak Sapi: Berharap "Penopang Hidup" Itu Bangkit
Posted by RaharjoSugengUtomo at 9:05 AM
Labels: HeadlineNews: Kompas
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment