Wednesday, August 08, 2007

Pemilih Cukup Tunjukkan KTP

KOMPAS - Rabu, 08 Agustus 2007

Banyak Warga Akui Belum Terima Kartu Pemilih

Jakarta, Kompas - Warga pemegang kartu tanda penduduk DKI Jakarta bisa menggunakan hak pilihnya meski tidak memiliki kartu pemilih. Syaratnya, namanya harus tercantum dalam daftar pemilih tetap atau DPT.
Demikian dikatakan Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) DKI Jakarta Juri Ardiantoro, Selasa (7/8) di Jakarta. DPT Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta 2007 disusun KPU DKI Jakarta.
Warga yang akan menggunakan hak pilihnya dalam pilkada, Rabu ini, tetapi belum memiliki kartu pemilih, dapat mendatangi tempat pemungutan suara (TPS) dan menunjukkan kartu tanda penduduk (KTP)-nya. Jika namanya ada dalam DPT, ia bisa memilih. Namun, tutur Juri, jika namanya tidak tercantum dalam DPT, warga itu tak bisa menggunakan hak pilihnya.
Menurut Juri, kebijakan pemakaian KTP sebagai identitas pemilih ditetapkan 30 Juli lalu. Kebijakan ini diambil karena ada persoalan dalam distribusi kartu pemilih meskipun tidak signifikan. "Masih dalam batas manusiawi," ujarnya.
Juri menyatakan, DPT diambil dari data Pemilu 2004 yang diperbarui melalui data kependudukan DKI Jakarta dan diperbarui lagi oleh KPU DKI Jakarta menjadi DPT untuk Pilkada DKI Jakarta 2007. Setiap warga Jakarta yang belum memegang kartu pemilih hingga masa pencoblosan, kata Juri, dijamin bisa menggunakan hak pilihnya melalui DPT yang terdapat di TPS masing-masing.
Keluhkan kartu pemilih
Kebijakan penggunaan KTP sebagai kartu pemilih itu adalah jawaban atas kegundahan Aditya (25), warga Kelurahan Grogol, Jakarta Barat, dan sebagian warga Jakarta lain, yang hingga Selasa belum menerima kartu pemilih. Aditya, misalnya, mengaku tiga anggota keluarga yang tinggal serumah dengannya telah mendapat kartu pemilih, tetapi ia belum.
"Kenapa dengan membawa KTP saja tidak cukup untuk memilih? Tambahan tiga hari dari KPU terlalu mepet. Sosialisasinya kurang. Jadi, kebanyakan orang baru pada tahu adanya perpanjangan di hari kedua. Lagi pula, banyak orang terlalu sibuk sehingga tak mengecek DPT," kata Aditya.
Kartu pemilih yang diterima warga pun banyak yang salah cetak atau justru kartu pemilih diberikan kepada warga yang sudah tak berhak. "Keluarga saya di rumah ada enam orang, tetapi hanya dua yang mendapat kartu pemilih. Saya dan tiga saudara saya tak dapat. Justru kakak yang sudah meninggal tercantum di DPT. Padahal, saya dapat kartu pemilih saat Pemilihan Presiden 2004," kata Sigit (30), penduduk Sunter Agung, Jakarta.
Kartono (43), warga Petamburan I, Tanah Abang, Jakarta, mengaku mendapat kartu pemilih, tetapi dua anaknya tak kebagian. Saat melapor ke ketua RT setempat, ia dan anak-anaknya diminta datang ke TPS yang ditentukan dengan membawa KTP. Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara akan mengecek dalam DPT. Jika namanya ada, mereka boleh memilih.
Di Kelurahan Tomang, Jakarta Barat, sejumlah warga juga resah karena belum memiliki kartu pemilih meski merasa memenuhi ketentuan untuk ikut dalam pilkada. M Yusuf (84), warga Tomang, mengakui, dari 11 anggota keluarganya yang mempunyai hak pilih, hanya enam orang yang memiliki kartu pemilih.
Ketua Panitia Pemungutan Suara Kelurahan Tomang Muchtar (67) mengakui ada kesalahan pendataan dan sedang diperbaiki. Namun, warga tetap bisa menggunakan hak pilihnya.(ONG/**/NEL/MZW/NWO)

BaCa SeLeNgKaPnYa disini...

Kekeringan: Pemerintah Bentuk Tim Pengatur Penggunaan Air

KOMPAS - Rabu, 08 Agustus 2007

Jakarta, Kompas - Pemerintah telah membentuk tim gabungan yang bertugas mengatur penggunaan air irigasi agar terdistribusi secara adil. Penanggulangan kekeringan di sawah beririgasi juga bisa dilakukan berdasarkan permintaan langsung agar masalah kekeringan cepat teratasi.
Direktur Pengairan pada Direktorat Pengelolaan Lahan dan Air Departemen Pertanian Gatot Irianto, Selasa (7/8), mengungkapkan, tim penanggulangan masalah kekeringan itu terdiri dari Departemen Pekerjaan Umum, Departemen Pertanian, Perum Jasa Tirta, pemerintah daerah, camat, dan aparat keamanan.
"Tim ini turun ke lapangan melihat kondisi terakhir dan melakukan tindakan penyelamatan. Petani yang sawahnya kekeringan tetapi belum terpantau bisa langsung melaporkan agar bisa ditangani," kata Gatot. Untuk mempercepat tindakan, petani bisa menghubungi nomor 0811113017.
Menurut Gatot, masalah kekeringan salah satunya adalah akibat pengelolaan air yang tidak adil. Petani di hulu dan tengah ingin panen tiga kali, sementara di hilir dua kali saja karena tidak kebagian air.
Terkait dengan makin banyak dan sering terjadinya penyerobotan air oleh petani di kawasan hulu, Badan Koordinator Wilayah Cirebon dan Balai Pengelola Sumber Daya Air Sungai Cimanuk dan Cisanggarung, Jawa Barat, meminta polisi turun tangan. Aparat penegak hukum itu diminta mengamankan pintu air dan mengawasi pembagian air di sejumlah wilayah di Cirebon, Majalengka, dan Indramayu.
Kepala Badan Koordinator Wilayah Cirebon Tubagus Hisni mengatakan, di sepanjang aliran irigasi primer hingga tersier banyak terjadi pencurian air. Air yang semestinya ditujukan ke satu zona pertanian ditutup di tengah jalan irigasi dan dialihkan ke zona lain. Ada pula yang mencuri air dengan cara menyedot dengan pompa dan mengalirkannya ke lahan sendiri.
Padahal, air di irigasi itu sudah diatur sedemikian rupa dengan sistem gilir giring, sesuai zona dan giliran masing-masing.
Penyerobotan air biasa dilakukan pada malam hari, seperti di Kecamatan Kapetakan dan Suranenggala di Kabupaten Cirebon. Pencurian air lewat pompa terjadi di Kecamatan Juntinyuat dan Krangkeng di Kabupaten Indramayu dilakukan terang-terangan pada siang hari.
Menurut Hisni, di lapangan petugas pengairan juga kesulitan mengatasi pencurian air. "Sekalinya kami memindahkan pompa air, mereka datang dengan membawa senjata tajam," ujar Hisni yang berencana segera mengirim permintaan bantuan ke Kepolisian Wilayah III Cirebon.
Rp 146,9 miliar
Gatot juga mengimbau pemerintah daerah lebih aktif mencari solusi kekeringan. Sebab, anggaran pengairan dari pusat semua sudah disalurkan ke daerah. Bila dikelola dengan baik, katanya, dampak kekeringan bisa diminimalkan.
Menurut Gatot, tahun ini pemerintah pusat mengalokasikan anggaran Rp 146,9 miliar untuk menanggulangi dampak kekeringan. Dari jumlah itu, Rp 19.5 miliar untuk pembangunan saluran irigasi bertekanan, embung (Rp 29,1 miliar), dam parit (Rp 3,51 miliar), serta sumur resapan (Rp 7,555 miliar). Alokasi untuk pembangunan 2.212 unit sumur dangkal sebesar Rp 33,18 miliar, 99 unit sumur dalam (Rp 29,7 miliar), dan bantuan 488 unit pompa (Rp 24,4 miliar).
"Semua dana sudah disalurkan ke provinsi dan kabupaten sejak Januari 2007," katanya.
Berkait dengan dana itu, Departemen Pertanian juga telah mengirimkan teguran kepada sejumlah bupati dan mengancam tidak akan memberikan dana pada tahun anggaran berikutnya.
Secara terpisah, Dirjen Pengelolaan Lahan dan Air Deptan Hilman Manan menyatakan, kekeringan yang melanda lahan sawah dan menyebabkan ancaman puso tanaman padi sekarang umumnya di luar rencana tanam yang disepakati bersama. "Mereka ini tidak dianjurkan menanam padi pada musim tanam gadu, tetapi nekat berspekulasi," katanya.
Mulai teraliri, tetapi kurang
Dari Karawang, Jawa Barat, para petani di Kecamatan Cilamaya Wetan, Cilamaya Kulon, Tempuran, Pakisjaya, dan Batujaya sudah merasakan ada tambahan pasoka air ke sawah mereka. Akan tetapi, menurut Wakil Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan Kabupaten Karawang Ijam Sujana, debit air tidak mencukupi seluruh kebutuhan sehingga ratusan hektar sawah belum bisa diolah, khususnya di Desa Muara, Muara Baru, Sukatani di Kecamatan Cilamaya Wetan; Desa Sumberjaya dan Cikuntul di Kecamatan Tempuran; serta desa-desa di Kecamatan Pakisjaya dan Batujaya.
Selain debit air irigasi kurang, lanjutnya, petani di pesisir pantai tidak setiap saat bisa memompa air dari saluran irigasi. Mereka harus menunggu air laut supaya tidak ikut terpompa ke sawah.
Sejumlah petani di Desa Kepandean, Kecamatan Dukuhturi, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, juga mengaku mulai mendapatkan air secara bergiliran menyusul ketersediaan air yang makin berkurang. Untuk menyiasati kekurangan air, petani mengganti tanaman cabai dengan tanaman palawija lain.
Hancur diterjang banjir
Dari Hanoi, Vietnam, dilaporkan, hujan deras disertai badai selama sepekan terakhir telah menghancurkan ribuan hektar lahan pertanian. Di Provinsi Daklak, lebih dari 6.000 hektar lahan tanaman padi dan jagung rusak.
Di daerah Dong Xuan, 10 hektar tanaman padi hancur akibat diterjang banjir. Di provinsi lain seperti Gia Lai, Dak Nong, Lam Dong, Thua Thien, dan Dong Nai, sekitar 30.000 hektar tanaman pangan juga rusak akibat banjir.
Sementara itu, di sejumlah provinsi di wilayah pantai Vietnam hujan justru diharapkan bisa memulihkan lebih dari 30.000 hektar lahan tanaman padi yang hancur akibat kekeringan.
Vietnam bersama Thailand dan China merupakan produsen beras yang selama ini memasok beras impor ke Indonesia. Kerusakan akibat banjir dikhawatirkan akan mengganggu produksi sehingga menyulitkan Indonesia mencari beras impor ketika produksi dalam negeri anjlok akibat kekeringan.(NIT/ELD/MKN/YNT/EGI/WIE/ reuters/fro/MAS)

BaCa SeLeNgKaPnYa disini...

IPTEK: Pemimpin dan Manajemen Infrastruktur

KOMPAS - Rabu, 08 Agustus 2007

NINOK LEKSONO

Melalui sistem quick count atau penghitungan cepat, Rabu (8/8) petang, hasil Pemilihan Kepala Daerah DKI Jakarta akan diketahui. Tak lama setelah itu, DKI akan punya gubernur baru. Sementara sosoknya baru, sebagian besar tugasnya boleh jadi merupakan warisan lama, meskipun penanganannya tetap menjadi dambaan warga masyarakatnya.
Pada era banyak musibah, juga pada masa saat berbagai infrastruktur membutuhkan banyak perhatian, pemimpin baru DKI semakin diharapkan memperlihatkan sikap kepemimpinan yang konkret.
Seperti halnya di Amerika Serikat menyusul terjadinya musibah runtuhnya Jembatan 35W Interstate di Minneapolis pekan lalu, pemimpin (dalam hal ini Presiden George W Bush) diharapkan kehadirannya bukan sebagai commander-in-chief (panglima tertinggi), tetapi sebagai comforter-in-chief (penghibur tertinggi). Kunjungan Bush ke jembatan itu, yang dilakukan akhir pekan lalu, telah ia gunakan untuk memperlihatkan empati kepada masyarakat, khususnya kepada korban dan keluarganya yang terkena musibah di Sungai Mississippi tersebut.
Selain memperlihatkan empati, pemimpin yang warganya mengalami musibah harus bisa mengerahkan sumber daya yang dimilikinya untuk menyediakan dana darurat bagi upaya kemanusiaan.
Belajar dari musibah Mississippi, pihak berwenang di AS segera memerintahkan inspeksi terhadap semua jembatan di Negara Bagian Minnesota yang mempunyai desain sama dengan Jembatan 35W Interstate yang runtuh.
Reaksi pemimpin terhadap musibah yang datang menimpa warga jelas akan menjadi sorotan publik. Pengamat politik di AS, juga di Indonesia, semakin tajam dalam menyoroti komunikasi publik para pemimpin. Larry Sabato, guru besar ilmu politik di Universitas Virginia, menilai Bush tampil lebih baik ketika menghadapi krisis penembakan di Virginia Tech daripada di musibah lain, padahal musibah badai Katrina seharusnya menjadi pelajaran tertinggi bagi pemerintah, kata Sabato seperti dikutip kantor berita Associated Press (JP, 5/8).
Manajemen infrastruktur
Tentu saja tidak ada pemimpin yang ingin masa pemerintahannya dipenuhi musibah. Namun, agar terhindar dari musibah, khususnya yang berasal dari infrastruktur, pemimpin perlu memberikan perhatian dan menerapkan manajemen yang baik. Kalau tidak, rentetan musibah seperti dialami oleh AS bisa terjadi.
Seperti diberitakan, dua minggu sebelum musibah jembatan, ada pipa uap di Manhattan yang meledak dengan suara bak letusan gunung berapi. Dua tahun sebelumnya, tanggul penahan ombak yang dibuat secara kurang memadai di New Orleans ikut memberi jalan bagi terjadinya banjir saat terjadi badai Katrina.
Sejumlah kejadian di atas, seperti disebut dalam tajuk rencana The New York Times (IHT, 6/8), merupakan tanda-tanda paling dramatik dari kegagalan AS dalam merawat struktur fisik negeri itu yang makin tua umurnya, dan itu terjadi justru ketika kebutuhan atas jalan, sistem transit, fasilitas penanganan limbah, dan fasilitas vital lain semakin tinggi. Dalam situasi seperti itu, kalau terjadi kegagalan katastrofik, banyak jiwa yang bisa jadi korban. Kalaupun tidak ada musibah, menuanya infrastruktur tersebut juga akan menurunkan kualitas hidup dan menghambat pertumbuhan ekonomi.
Lalu ketika satu bencana sudah terjadi, penyelidikan harus dilakukan dengan tuntas. Dalam hal Jembatan 35W Interstate di Minneapolis, memang belum diketahui persis apa yang menjadi penyebab keruntuhannya. Sejauh ini teori menyebutkan ada keretakan yang tidak terdeteksi, atau kelelahan metal, atau erosi tanah di sekeliling penopang bawah air.
Analisis lain menyoroti desain jembatan yang panjangnya sekitar 600 meter, tetapi kurang dilengkapi dengan sistem penopang berlapis sehingga manakala terjadi kegagalan pada salah satu struktur kunci menyebabkan keseluruhan struktur runtuh.
Ketika praktik engineering zaman sekarang mensyaratkan dibuatnya sistem cadangan untuk bagian-bagian kritikal, pascamusibah Minneapolis ditemukan 756 jembatan di AS yang desainnya serupa dengan jembatan yang runtuh tidak memiliki pengaman berlapis (redundant). Kini jembatan-jembatan tersebut diminta untuk diinspeksi dan dipantau dengan saksama.
Tantangan berlapis
Yang menjadi persoalan, inspeksi sendiri kini juga sedang dipersoalkan di AS. Contohnya, pipa yang meledak di Manhattan belum lama dinyatakan layak oleh awak pemeriksa utilitas, tanggul di New Orleans secara teratur diperiksa oleh Korps Insinyur Angkatan Darat, serta jembatan di Minneapolis juga diinspeksi setiap tahun.
Tidak kurang fundamentalnya dari inspeksi adalah tantangan investasi. Sebagaimana juga terjadi di tempat-tempat lain, kala anggaran terbatas, yang kerap terjadi adalah pemangkasan dana perawatan, langkah yang akan membuat pejabat atau pemerintah penerus sering harus menanggung konsekuensinya.
Semuanya lalu terbuka untuk dikaji ulang. Di AS pun pascamusibah Minneapolis dipikirkan pembentukan komisi untuk memeriksa keadaan infrastruktur di AS, menetapkan prioritas, dan memberikan rekomendasi skema pendanaan.
Musibah tidak jarang mendatangkan ide baru, baik untuk perawatan maupun untuk pembangunan infrastruktur. Di AS musibah jembatan di Minneapolis menimbulkan ide untuk pendirian bank nasional yang bisa mendorong munculnya investasi publik ataupun swasta. Ini didasari alasan bahwa investasi infrastruktur tidak bisa ditunda-tunda.
Di Indonesia juga sudah ada upaya penggalangan dana dan upaya, seperti melalui Infrastructure Summit. Namun, hasil konkretnya masih ditunggu. Dalam skala nasional ataupun provinsi, peremajaan dan perluasan infrastruktur yang besar peranannya bagi dinamisasi perekonomian dirasakan urgen.
Khususnya untuk DKI, inovasi di bidang infrastruktur tampak lebih urgen lagi ketika masyarakat merasakan jalan raya dan prasarana transportasi pada umumnya semakin jauh dari memadai. Jalanan yang padat seiring dengan terus bertambahnya kendaraan, terbatas dan kurang terawatnya transportasi umum merupakan contoh yang amat nyata.
Pemimpin baru Jakarta—di luar tugas dan tanggung jawabnya di bidang yang lain-lain—segera akan diapresiasi manakala ia segera bisa membukukan prestasi awal di bidang infrastruktur. Kalaupun bukan memperluasnya, meningkatkan kualitasnya saja sudah baik, seperti yang bisa membuat warga bisa berangkat ke tempat kerja secara lebih nyaman.

BaCa SeLeNgKaPnYa disini...

Konversi Energi: Tak Bisa Pakai Gas karena Tidak Biasa

KOMPAS - Rabu, 08 Agustus 2007

Neli Triana

Tabung gas berukuran tiga kilogram warna hijau muda dan kompor gas kecil tertutup karung goni teronggok di salah satu sudut rumah Suhaeri (57). Kompor gas itu hanya sekali saja digunakan. Itu pun dilakukan bersama dengan petugas dari PT Pertamina sesaat setelah pembagian gratis kompor gas, pertengahan Juli lalu.
Suhaeri yang tinggal di Kebon Jahe RT 11 RW 02, Kelurahan Petojo Selatan, Kecamatan Gambir, Jakarta Pusat, bercerita, itulah pertama kali dalam hidupnya ia memakai kompor gas. Dengan didampingi petugas PT Pertamina, ia sempat mencoba kompor tersebut di depan rumahnya.
"Bagus sekali, apinya berwarna biru dan menyala rata. Tidak seperti nyala api dari sumbu kompor minyak tanah. Makanan cepat matang dan panci tidak gosong," kata pemilik warung kopi di Pasar Cideng Tomas di Jalan Tanah Abang V, Jakarta Pusat, Selasa (7/8).
Rasa senang tidak berlangsung lama. Setelah petugas pergi, Suhaeri memindahkan kompor dan tabung ke dapur. Ia melihat sambungan pipa ke tabung sedikit bergeser, mengendur.
Suhaeri kalut, apalagi istrinya sempat mencium bau gas. Suhaeri bingung karena tidak tahu bagian mana yang harus dicek atau diperbaiki. Arahan yang diberitahukan petugas tidak ada lagi yang dia ingat. Mereka benar-benar buta akan teknologi kompor gas.
Pasangan suami istri itu takut karena banyak cerita tentang kebakaran gara-gara tabung gas meledak. Mereka pun sepakat tidak lagi memakai kompor gas.
Suhaeri mengaku, sebenarnya tidak tahu penyebab tabung gas meledak. Namun, melihat kondisi rumahnya, sikap Suhaeri secara tidak langsung memang menyelamatkan hidup mereka.
Di rumahnya, Suhaeri hidup bersama istri, dua anak, serta cucu yang dititipkan anak sulung mereka. Keluarga ini tinggal di rumah berukuran 2 meter x 4 meter.
Rumah tersebut berlantai semen dan dinding dari susunan papan kayu. Atap seng tanpa plafon membuat suasana di dalam rumah amat pengap. Dinding dari tripleks memisahkan ruang tidur dengan dapur. Hanya ada satu jendela, di ruang tamu. Itu pun tertutup rapat.
Bau apak menyengat disebabkan bertumpuknya aroma dari dapur dengan segala macam bahan makanan dan tumpukan pakaian yang berserak. Dua kasur kapuk digulung dan disusun di ruang tamu tampak lapang.
Keluarga Suhaeri tidak pernah tahu bahwa salah satu syarat pemakaian bahan bakar gas adalah harus ada tempat untuk aliran udara atau ventilasi. Jika udara dapat mengalir keluar, gas yang bocor tidak berkutat di dalam ruangan. Ancaman keracunan gas pun dapat dinetralkan.
Selain itu, dipicu suhu panas tinggi di ruang tertutup atau percikan api kecil, sedikit gas bocor mampu menimbulkan ledakan, yang berujung kebakaran.
Warga rugi
Setelah menentukan sikapnya, Suhaeri kembali mengakrabi kompor minyak tanah. Dalam satu hari, ia membutuhkan 2 liter minyak tanah untuk keperluan memasak kebutuhan sehari-hari dan kebutuhan warung.
"Biasanya, kami beli minyak tanah Rp 2.300-Rp 2.500 per liter. Hanya dengan uang sekitar Rp 5.000 per hari kebutuhan rumah dan warung terpenuhi," kata Kartini, sesama penjaga warung di Pasar Cideng Tomas.
Namun, ketika Kartini mencoba memakai gas, ternyata gas 3 kilogram habis dalam dua hari. Padahal, isi ulang gas tiga kilogram Rp 15.000. Dengan jumlah uang yang sama, ia dapat membeli stok minyak tanah untuk tiga hari.
Kompor gas gratis yang dibagikan kepada warga tidak memiliki tombol pengatur nyala api. Kualitas kompor pun buruk. Saat mencoba menyalakan kompor, sering terdengar bunyi letup seakan aliran gas tidak lancar.
Menurut Kartini, untuk memperbaiki kompor gas, minimal ia harus mengeluarkan uang Rp 10.000. Selama ini ia biasa mengganti sumbu atau sekadar membersihkan kompor minyak.
Nurrohman (35), warga Cempaka Baru, mengatakan, seharusnya ada pendampingan selama beberapa hari tentang cara memakai kompor gas. Pendampingan dilakukan hingga warga terbiasa, bukan hanya terpukau saat demo penggunaan kompor gas oleh petugas Pertamina.
Sebagian warga saat ini masih berharap akan ada pelatihan penggunaan kompor gas. Namun, sebagian lagi memilih menjual kompor gas demi mendapat uang tunai Rp 80.000 hingga Rp 100.000.
Uang tersebut untuk menambah anggaran membeli minyak tanah yang kini makin sulit didapat dan harganya melonjak hingga Rp 4.000-Rp 5.000 per liter. Pengurangan stok minyak tanah disinyalir bagian dari strategi mendorong masyarakat memakai bahan bakar gas.
"Pemaksaan penggunaan gas juga mengancam 1.500 agen minyak tanah di Jakarta. Setiap agen memiliki sedikitnya 10 pekerja pengecer yang menggunakan gerobak dorong berisi jeriken minyak tanah," kata Humas Forum Masyarakat Pengguna Minyak Tanah Sapta Delano.
Menurut Sapta Delano, belasan ribu orang terancam kehilangan pekerjaan. Pemerintah memang berjanji mengganti rugi Rp 50 juta kepada setiap agen minyak tanah. Namun, kebijakan itu tidak mencakup kepastian nasib para pekerja pengecer.
Kompor gas gratis adalah program pemerintah mengonversi penggunaan minyak tanah ke gas. Konversi energi dilakukan karena sumber daya alam minyak bumi makin menipis, sementara gas melimpah.
Di samping itu, berdasarkan data Pertamina, pada tahun 2006 dengan harga minyak tanah Rp 2.250 per liter, subsidi yang harus disediakan pemerintah sebesar Rp 31 triliun untuk volume 10 juta kiloliter.
Jika subsidi dialihkan ke elpiji, pemerintah hanya perlu mengeluarkan Rp 17,9 triliun untuk volume setara 10 juta kiloliter. Hanya Indonesia, serta beberapa negara di Afrika dan India, yang masih menggunakan minyak tanah. Program konversi ini sebenarnya baik dan harus direalisasikan.
Namun, pengamat perminyakan Kurtubi melihat perencanaan dan koordinasi dalam implementasinya tidak sinkron. Diperlukan masa transisi, yaitu minyak tanah tetap ada, tetapi juga disediakan gas.
Perlu ada iklan layanan di media massa tentang pemakaian kompor gas. Juga harus menggandeng lembaga swadaya masyarakat untuk memasyarakatkan perlunya memakai gas.

BaCa SeLeNgKaPnYa disini...

UUD Belum Bisa Diubah

KOMPAS - Rabu, 08 Agustus 2007

Hingga Pukul 00.00 Jumlah Pengusul Tak Mencapai Sepertiga

Jakarta, Kompas - Sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk membahas Perubahan Pasal 22D UUD 1945 belum bisa diagendakan. Sampai semalam, jumlah anggota MPR yang mengusulkan perubahan tidak mencapai syarat minimal, yaitu sepertiga Majelis atau 226 anggota.
Berdasarkan data Sekretariat Jenderal MPR hingga Selasa 7 Agustus 2007 pukul 00.00, hanya terkumpul 216 pengusul. Ketua MPR Hidayat Nur Wahid dari Partai Keadilan Sejahtera mengumumkan itu kepada pers. Ia menambahkan, MPR tidak bisa menolak, jika usulan untuk membahas Pasal 22D UUD 1945 suatu saat diusulkan kembali.
Beberapa jam sebelumnya, Kelompok DPD di MPR menemui pimpinan MPR. Dipimpin Bambang P Soeroso, mereka menyampaikan setumpuk dukungan tertulis antara lain dari gubernur, bupati/wali kota, Dewan Perwakilan Rakyat, dan organisasi kemasyarakatan.
Namun, karena belum memperoleh dukungan yang luas dari anggota MPR yang berasal dari partai politik, DPD akhirnya mengambil sikap untuk belum melanjutkan proses usul perubahan Pasal 22D. "Kami akan melanjutkan setelah melakukan pembahasan secara intensif mengenai materi perubahan UUD 1945, serta memperoleh dukungan yang luas dari anggota MPR," ucap Bambang.
Penolakan parpol
Penolakan partai politik terhadap usulan DPD ini sangat besar. Partai besar ataupun partai menengah tidak mendukung. Banyak anggota mereka yang awalnya memberikan dukungan, tetapi mereka diinstruksikan untuk menarik dukungan oleh partainya, seperti yang terjadi pada Partai Golkar, Partai Demokrat, Partai Persatuan Pembangunan, dan Partai Amanat Nasional. Adapun Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan sejak awal sudah menolak dan tak ada satu anggotanya yang tanda tangan.
Sejumlah petinggi partai, Senin malam, juga berkonsolidasi di Hotel Mulia. PDI-P yang selama ini tak ikut pertemuan lintas partai ikut bergabung bersama Partai Golkar (PG) dan Partai Demokrat. Wakil Ketua MPR AM Fatwa pun hadir di sana. "Kami menghitung apakah mencapai sepertiga atau tidak," kata Hajriyanto Y Thohari, Sekretaris F-PG.
Golkar yang memiliki kursi terbesar di MPR disinyalir terus melakukan penggembosan. Ketua F-PG GBPH Joyokusumo 6 Agustus lalu mengirimkan surat kepada anggota MPR dari Partai Bintang Reformasi (PBR) untuk mengikuti kebijakan fraksi.
Wakil Ketua Kelompok DPD GKR Hemas kecewa dengan sikap Joyokusumo dan mengapresiasi Marzuki Darusman dan Marwah Daud Ibrahim yang dinilai memegang komitmen.
Menurut Ketua DPP PBR Ade Nasution, fraksi-fraksi menolak karena DPD justru mengembus-embuskan tentang calon perseorangan.
Namun, Hajriyanto membantah keterangan Ade tersebut. Pandangan itu dianggap terlalu menyederhanakan masalah. Menurut Hajriyanto, perubahan Pasal 22D ditolak karena belum dikaji secara mendalam dan waktunya tidak tepat. "Sebaiknya dilakukan setelah Pemilu 2009," ucapnya. (SUT)

BaCa SeLeNgKaPnYa disini...

Masa Depan Pluralisme dan Keraton Kian Tidak Jelas

KOMPAS - Rabu, 08 Agustus 2007

Yogyakarta, Kompas - Keistimewaan DI Yogyakarta merupakan suatu keniscayaan yang telah tercantum dalam undang-undang, tetapi hingga kini belum ada kepastian hukum terkait dengan keistimewaan tersebut. Akibatnya, nasib Keraton Yogyakarta dan di sisi lain nilai-nilai pluralisme serta toleransi di Yogyakarta berada dalam ketidakjelasan sehingga perlu ada regulasi tentang Yogyakarta.
"Substansi keistimewaan akan menjadi penentu masa depan Keraton Yogyakarta. Regulasi yang telah ada tidak cukup untuk menjelaskan keistimewaan DIY," ujar Cornelis Lay, Ketua Tim Ahli Penyusunan Rancangan Undang-Undang Keistimewaan DIY dari Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada (UGM) pada diskusi nasional "Masa Depan Keraton Yogyakarta", yang diselenggarakan harian Kompas, Selasa (7/8) di Yogyakarta.
Diskusi menghadirkan pula pembicara pakar hukum dari Universitas Islam Indonesia Yogyakarta Jawahir Thontowi, budayawan Bakdi Soemanto (UGM), serta tiga sosiolog, yaitu Sugeng Bayu Wahyono dari Universitas Negeri Yogyakarta, Heru Nugroho (UGM), dan Lukas Ispandriarno (Universitas Atma Jaya Yogyakarta).
Cornelis Lay mengemukakan, Yogyakarta tidak sekadar menjadi subyek pasif dari perubahan. Pada momentum paling genting dalam sejarah perkembangan politik Indonesia, Keraton Yogyakarta tampil menjadi kekuatan pertama yang mendorong demokrasi dengan mengintegrasikan diri ke dalam wilayah Republik Indonesia yang masih muda, dengan Maklumat 5 September 1945, dan memberi contoh parlemen lokal pertama dibentuk di Yogyakarta.
Keistimewaan DI Yogyakarta bukan merupakan pemberian negara atau hasil negosiasi, melainkan merupakan sebuah pilihan dari Keraton Yogyakarta.
"Karena itu, keistimewaan DIY juga harus bermakna untuk Indonesia. Keistimewaan harus sesuai dengan kepentingan nasional, terutama harus diperuntukkan bagi kepentingan masyarakat sesuai konsep ’Takhta untuk Rakyat’," kata Lay.
Sementara itu, Bayu Wahyono melihat posisi politik Keraton Yogyakarta yang kini melemah akan berimplikasi pada "peradaban" yang dikendalikan keraton tidak berkembang atau mengalami stagnasi.
Posisi Keraton Yogyakarta itu melemah sebagai akibat dua arus besar, yaitu penguatan politik Islam (santrinisasi birokrasi dan santrinisasi priayi) dan kapitalisme internasional. (CAN/SIG/HRD/WKM)

BaCa SeLeNgKaPnYa disini...