Wednesday, August 08, 2007

Masa Depan Pluralisme dan Keraton Kian Tidak Jelas

KOMPAS - Rabu, 08 Agustus 2007

Yogyakarta, Kompas - Keistimewaan DI Yogyakarta merupakan suatu keniscayaan yang telah tercantum dalam undang-undang, tetapi hingga kini belum ada kepastian hukum terkait dengan keistimewaan tersebut. Akibatnya, nasib Keraton Yogyakarta dan di sisi lain nilai-nilai pluralisme serta toleransi di Yogyakarta berada dalam ketidakjelasan sehingga perlu ada regulasi tentang Yogyakarta.
"Substansi keistimewaan akan menjadi penentu masa depan Keraton Yogyakarta. Regulasi yang telah ada tidak cukup untuk menjelaskan keistimewaan DIY," ujar Cornelis Lay, Ketua Tim Ahli Penyusunan Rancangan Undang-Undang Keistimewaan DIY dari Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada (UGM) pada diskusi nasional "Masa Depan Keraton Yogyakarta", yang diselenggarakan harian Kompas, Selasa (7/8) di Yogyakarta.
Diskusi menghadirkan pula pembicara pakar hukum dari Universitas Islam Indonesia Yogyakarta Jawahir Thontowi, budayawan Bakdi Soemanto (UGM), serta tiga sosiolog, yaitu Sugeng Bayu Wahyono dari Universitas Negeri Yogyakarta, Heru Nugroho (UGM), dan Lukas Ispandriarno (Universitas Atma Jaya Yogyakarta).
Cornelis Lay mengemukakan, Yogyakarta tidak sekadar menjadi subyek pasif dari perubahan. Pada momentum paling genting dalam sejarah perkembangan politik Indonesia, Keraton Yogyakarta tampil menjadi kekuatan pertama yang mendorong demokrasi dengan mengintegrasikan diri ke dalam wilayah Republik Indonesia yang masih muda, dengan Maklumat 5 September 1945, dan memberi contoh parlemen lokal pertama dibentuk di Yogyakarta.
Keistimewaan DI Yogyakarta bukan merupakan pemberian negara atau hasil negosiasi, melainkan merupakan sebuah pilihan dari Keraton Yogyakarta.
"Karena itu, keistimewaan DIY juga harus bermakna untuk Indonesia. Keistimewaan harus sesuai dengan kepentingan nasional, terutama harus diperuntukkan bagi kepentingan masyarakat sesuai konsep ’Takhta untuk Rakyat’," kata Lay.
Sementara itu, Bayu Wahyono melihat posisi politik Keraton Yogyakarta yang kini melemah akan berimplikasi pada "peradaban" yang dikendalikan keraton tidak berkembang atau mengalami stagnasi.
Posisi Keraton Yogyakarta itu melemah sebagai akibat dua arus besar, yaitu penguatan politik Islam (santrinisasi birokrasi dan santrinisasi priayi) dan kapitalisme internasional. (CAN/SIG/HRD/WKM)

0 comments: