Wednesday, August 08, 2007

Konversi Energi: Tak Bisa Pakai Gas karena Tidak Biasa

KOMPAS - Rabu, 08 Agustus 2007

Neli Triana

Tabung gas berukuran tiga kilogram warna hijau muda dan kompor gas kecil tertutup karung goni teronggok di salah satu sudut rumah Suhaeri (57). Kompor gas itu hanya sekali saja digunakan. Itu pun dilakukan bersama dengan petugas dari PT Pertamina sesaat setelah pembagian gratis kompor gas, pertengahan Juli lalu.
Suhaeri yang tinggal di Kebon Jahe RT 11 RW 02, Kelurahan Petojo Selatan, Kecamatan Gambir, Jakarta Pusat, bercerita, itulah pertama kali dalam hidupnya ia memakai kompor gas. Dengan didampingi petugas PT Pertamina, ia sempat mencoba kompor tersebut di depan rumahnya.
"Bagus sekali, apinya berwarna biru dan menyala rata. Tidak seperti nyala api dari sumbu kompor minyak tanah. Makanan cepat matang dan panci tidak gosong," kata pemilik warung kopi di Pasar Cideng Tomas di Jalan Tanah Abang V, Jakarta Pusat, Selasa (7/8).
Rasa senang tidak berlangsung lama. Setelah petugas pergi, Suhaeri memindahkan kompor dan tabung ke dapur. Ia melihat sambungan pipa ke tabung sedikit bergeser, mengendur.
Suhaeri kalut, apalagi istrinya sempat mencium bau gas. Suhaeri bingung karena tidak tahu bagian mana yang harus dicek atau diperbaiki. Arahan yang diberitahukan petugas tidak ada lagi yang dia ingat. Mereka benar-benar buta akan teknologi kompor gas.
Pasangan suami istri itu takut karena banyak cerita tentang kebakaran gara-gara tabung gas meledak. Mereka pun sepakat tidak lagi memakai kompor gas.
Suhaeri mengaku, sebenarnya tidak tahu penyebab tabung gas meledak. Namun, melihat kondisi rumahnya, sikap Suhaeri secara tidak langsung memang menyelamatkan hidup mereka.
Di rumahnya, Suhaeri hidup bersama istri, dua anak, serta cucu yang dititipkan anak sulung mereka. Keluarga ini tinggal di rumah berukuran 2 meter x 4 meter.
Rumah tersebut berlantai semen dan dinding dari susunan papan kayu. Atap seng tanpa plafon membuat suasana di dalam rumah amat pengap. Dinding dari tripleks memisahkan ruang tidur dengan dapur. Hanya ada satu jendela, di ruang tamu. Itu pun tertutup rapat.
Bau apak menyengat disebabkan bertumpuknya aroma dari dapur dengan segala macam bahan makanan dan tumpukan pakaian yang berserak. Dua kasur kapuk digulung dan disusun di ruang tamu tampak lapang.
Keluarga Suhaeri tidak pernah tahu bahwa salah satu syarat pemakaian bahan bakar gas adalah harus ada tempat untuk aliran udara atau ventilasi. Jika udara dapat mengalir keluar, gas yang bocor tidak berkutat di dalam ruangan. Ancaman keracunan gas pun dapat dinetralkan.
Selain itu, dipicu suhu panas tinggi di ruang tertutup atau percikan api kecil, sedikit gas bocor mampu menimbulkan ledakan, yang berujung kebakaran.
Warga rugi
Setelah menentukan sikapnya, Suhaeri kembali mengakrabi kompor minyak tanah. Dalam satu hari, ia membutuhkan 2 liter minyak tanah untuk keperluan memasak kebutuhan sehari-hari dan kebutuhan warung.
"Biasanya, kami beli minyak tanah Rp 2.300-Rp 2.500 per liter. Hanya dengan uang sekitar Rp 5.000 per hari kebutuhan rumah dan warung terpenuhi," kata Kartini, sesama penjaga warung di Pasar Cideng Tomas.
Namun, ketika Kartini mencoba memakai gas, ternyata gas 3 kilogram habis dalam dua hari. Padahal, isi ulang gas tiga kilogram Rp 15.000. Dengan jumlah uang yang sama, ia dapat membeli stok minyak tanah untuk tiga hari.
Kompor gas gratis yang dibagikan kepada warga tidak memiliki tombol pengatur nyala api. Kualitas kompor pun buruk. Saat mencoba menyalakan kompor, sering terdengar bunyi letup seakan aliran gas tidak lancar.
Menurut Kartini, untuk memperbaiki kompor gas, minimal ia harus mengeluarkan uang Rp 10.000. Selama ini ia biasa mengganti sumbu atau sekadar membersihkan kompor minyak.
Nurrohman (35), warga Cempaka Baru, mengatakan, seharusnya ada pendampingan selama beberapa hari tentang cara memakai kompor gas. Pendampingan dilakukan hingga warga terbiasa, bukan hanya terpukau saat demo penggunaan kompor gas oleh petugas Pertamina.
Sebagian warga saat ini masih berharap akan ada pelatihan penggunaan kompor gas. Namun, sebagian lagi memilih menjual kompor gas demi mendapat uang tunai Rp 80.000 hingga Rp 100.000.
Uang tersebut untuk menambah anggaran membeli minyak tanah yang kini makin sulit didapat dan harganya melonjak hingga Rp 4.000-Rp 5.000 per liter. Pengurangan stok minyak tanah disinyalir bagian dari strategi mendorong masyarakat memakai bahan bakar gas.
"Pemaksaan penggunaan gas juga mengancam 1.500 agen minyak tanah di Jakarta. Setiap agen memiliki sedikitnya 10 pekerja pengecer yang menggunakan gerobak dorong berisi jeriken minyak tanah," kata Humas Forum Masyarakat Pengguna Minyak Tanah Sapta Delano.
Menurut Sapta Delano, belasan ribu orang terancam kehilangan pekerjaan. Pemerintah memang berjanji mengganti rugi Rp 50 juta kepada setiap agen minyak tanah. Namun, kebijakan itu tidak mencakup kepastian nasib para pekerja pengecer.
Kompor gas gratis adalah program pemerintah mengonversi penggunaan minyak tanah ke gas. Konversi energi dilakukan karena sumber daya alam minyak bumi makin menipis, sementara gas melimpah.
Di samping itu, berdasarkan data Pertamina, pada tahun 2006 dengan harga minyak tanah Rp 2.250 per liter, subsidi yang harus disediakan pemerintah sebesar Rp 31 triliun untuk volume 10 juta kiloliter.
Jika subsidi dialihkan ke elpiji, pemerintah hanya perlu mengeluarkan Rp 17,9 triliun untuk volume setara 10 juta kiloliter. Hanya Indonesia, serta beberapa negara di Afrika dan India, yang masih menggunakan minyak tanah. Program konversi ini sebenarnya baik dan harus direalisasikan.
Namun, pengamat perminyakan Kurtubi melihat perencanaan dan koordinasi dalam implementasinya tidak sinkron. Diperlukan masa transisi, yaitu minyak tanah tetap ada, tetapi juga disediakan gas.
Perlu ada iklan layanan di media massa tentang pemakaian kompor gas. Juga harus menggandeng lembaga swadaya masyarakat untuk memasyarakatkan perlunya memakai gas.

0 comments: