BISNIS - Kamis, 14/06/2007
JAKARTA: KPPU menilai struktur pasar industri hulu hingga hilir crude palm oil (CPO) ada indikasi oligopoli yang mengarah pada kartel, karena diduga ada yang 'mengoordinasi' harga, sehingga program stabilisasi harga (PSH) sulit berhasil. "Dari kajian sementara KPPU, salah satu temuan kami adalah dari hulu ke hilir itu [industri CPO] ada sistem oligopoli. Oligopoli itu mengarah ke kartel," kata anggota Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Syamsul Maarif di Jakarta kemarin.Dia menjelaskan potensi kartel yang muncul dari struktur pasar CPO itu bisa dari segi harga, pembagian wilayah, jumlah produksi, pembagian pangsa pasar ekspor, atau untuk mencukupi kebutuhan domestik. "Jadi, semuanya dikoordinasikan dan kalau sudah kartel, mereka dapat mengatur harga di luar negeri juga, karena Indonesia adalah pemain utama CPO," ujar Syamsul. Kartel adalah sebuah kelompok dari beberapa perusahaan independen yang mempunyai minat memengaruhi produksi dan penjualan sebuah komoditas, sehingga dapat memperoleh keuntungan monopolistis. Biasanya yang dilakukan kartel adalah mengatur produksi, harga, dan membagi daerah pemasaran. Ketika ditanya mengenai siapa saja yang masuk dalam kartel itu, Syamsul enggan menjawabnya. Dia hanya menyebut yang ikut dalam kartel itu ada empat sampai lima perusahaan besar yang menguasai industri CPO di dalam negeri. Syamsul menjelaskan suatu usaha yang terindikasi oligopoli bisa dilihat dari performa pasar, yakni naik dan turunnya harga komoditas terkait hampir bersamaan."Temuan kami sekarang adalah oligopoli. Kami juga sedang mengamati apakah naik-turunnya [harga] minyak goreng dikoordinasi oleh pelaku usaha tertentu. Kami sudah mengamati kira-kira sebulanan, baik dari narasumber dan media masa maupun pemerintah dan pengusaha."Berdasarkan catatan Bisnis, ada delapan perusahaan sebagai pemain besar dalam industri CPO, yaitu Grup Sinar Mas, Mina Mas (Malaysia), Astra Agro Lestari, Asian Agri (Grup Raja Garuda Mas), PT Perkebunan Nusantara (PTPN), Wilmar Internasional (Singapura), Indofood Agri (Grup Salim), dan Lonsum yang saat ini dimiliki Grup Salim. Secara terpisah, ekonom Indef Bustanul Arifin membenarkan adanya indikasi kartel di industri hulu hingga hilir CPO. "Saya tidak heran dengan data itu. Dulu Indef juga pernah melakukan riset [1997-2001]. Saya kira hingga kini struktur pasar CPO belum berubah, meskipun ada KPPU dan UU yang mengaturnya."Pada waktu itu, menurut Bustanul, indikasi kartel yang muncul bisa dilihat dari pembentukan harga minyak goreng yang naik dan dicoba untuk diintervensi. Tetapi harga yang terjadi di pasar tidak bisa kembali seperti semula."Ini merupakan langkah para pelaku industri CPO untuk memainkan harga, bisa dilihat kok dalam enam bulan sekali. Gejala ini berbeda dengan kenaikan harga beras, yang apabila diintervensi bisa turun ke harga semula."Saat dikonfirmasi mengenai dugaan kartel dalam industri CPO, Ketua Harian Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Derom Bangun belum bisa memastikannya."Saya melihat kekuatan pasar sangat besar, terutama pasar luar negeri. Jadi, belum tentu kartel. Hari ini [kemarin] saja ada gejala baru dengan anjloknya harga di penjualan KPB [Kantor Pemasaran Bersama PTPN], minggu lalu Rp7.626 per kg menjadi Rp6.869 per kg."Indikasi kartel itu, menurut Derom, bisa dilihat ketika harga CPO internasional turun, harga di dalam negeri tidak berubah. Dia memberi contoh harga CPO saat ini turun drastis menjadi US$760 per ton dari sebelumnya US$860 per ton."Seharusnya harga dalam negeri ikut turun. Kalau tidak, berarti ada yang menahannya. Tapi harus dilihat dalam dua-tiga hari. Bisa juga yang menahan barang di pedagang, atau industri di hilirnya."Meski harga CPO internasional turun, harga minyak goreng di dalam negeri masih di level tinggi untuk semua kota di Indonesia, yakni Rp8.500-Rp9.500 per kg, termasuk di lima kota lokasi PSH (lihat tabel). Menurut Derom, standar harga dalam negeri berada di kisaran Rp7.500-Rp8.000 per kg.Jangan masuk APBNSementara itu, Dirjen Industri Agro dan Kimia, Depperin Benny Wahyudi mengusulkan pungutan ekspor (PE) CPO tidak dimasukkan ke dalam penerimaan APBN. Dengan demikian, penerimaan pajak yang disumbangkan dari PE itu dapat langsung digunakan untuk meredam gejolak harga CPO dunia dan untuk mengendalikan harga minyak goreng di pasar domestik melalui pemberian subsidi."Masukan itu akan kami sampaikan dalam pembahasan APBN-P 2007 pada Juli dengan DPR," ujarnya di Jakarta, kemarin. Realisasi PSH hingga pekan kedua Juni baru sekitar 13.000 ton. Padahal, ketentuan pemerintah dalam setiap minggu menyalurkan minimal 30.000 ton.
(m02/Yusuf Waluyo Jati) (redaksi@bisnis.co.id)
Bisnis Indonesia
Thursday, June 14, 2007
KPPU: Industri CPO diduga kartel
Posted by RaharjoSugengUtomo at 12:46 PM 1 comments
Labels: HeadlineNews: Bisnis
'Inpres No. 6/2007 tak tepat sasaran'
BISNIS - Kamis, 14/06/2007
JAKARTA: Paket kebijakan ekonomi yang tertuang dalam Inpres No. 6/2007 dinilai tidak tepat sasaran dan tidak langsung ke inti masalah yang dihadapi pelaku ekonomi terutama di sektor riil, sementara itu bank BUMN akan sesuaikan jadwal pencapaian target efisiensi. "Paket itu lebih berpihak kepada pelaku ekonomi kelas menengah ke atas ketimbang kelas ke bawah. Juga tidak langsung masuk ke inti masalah, yaitu bagaimana mengentaskan kemiskinan dan pengangguran. Isi paket itu didominasi sektor keuangan. Sektor pertanian dan industri kecil seolah diabaikan," kata Revrisond Baswir, ekonom Tim Indonesia Bangkit (TIB), dalam diskusi publik bertajuk Paket Ekonomi: Nyaring Bunyinya, Kosong Isinya di Jakarta, kemarin.Pemerintah mengeluarkan Inpres No. 6/2007 tentang Kebijakan Percepatan Pengembangan Sektor Riil dan Pemberdayaan UMKM pada 8 Juni. Paket kebijakan itu sendiri mencakup 141 tindakan di empat bidang besar, yakni perbaikan iklim investasi, reformasi sektor keuangan, percepatan pembangunan infrastruktur, dan pemberdayaan UMKM.Selain Revrisond, ekonom TIB lain yakni Dradjad H. Wibowo, Iman Sugema, dan Hendry Saparini.Menurut Dradjad, dari sisi konseptual paket tersebut hanya akan memperkuat pasar modal, sektor konsumsi, dan sektor keuangan. Sementara itu dari sisi implementasi, paket itu tidak menyertakan arahan menyangkut komponen pendukung dan reformasi birokrasi.Hendry menambahkan paket itu juga tidak ditunjang anggaran yang jelas. "Publik perlu paham paket baru ini bukan kebijakan, tapi baru akan mengeluarkan kebijakan, baru akan menyusun, baru akan mengkaji, dan seterusnya. Tidak ada langkah riil," sambung Iman.Sesuai jadwalSementara itu, Dirut BNI Sigit Pramono mengatakan pihaknya menyambut baik kebijakan itu dan siap menyesuaikan jadwal yang akan disepakati pemegang saham dan bank sentral."Meski sebetulnya upaya perbaikan efisiensi sudah merupakan inisiatif yang memang secara terus menerus dilakukan bank," katanya tadi malam.Berdasarkan paket ini bank BUMN ditargetkan bisa lebih efisien pada Oktober 2007. Gubernur BI Burhanuddin Abdullah memberikan apresiasi positif menanggapi paket kebijakan ekonomi. "Saya kira itu [efisiensi bank BUMN] sudah hal yang bagus, kita tunggu implementasinya nanti."Terkait minat pemerintah memberikan banyak kemudahan dan insentif bagi investasi di bidang keuangan, dia mengatakan, koordinasi diperlukan guna menciptakan dan menjaga iklim usaha yang kondusif. "Tinggal menciptakan iklim yang diperbaiki saja, saya kira inventasi di bidang keuangan, sudah banyak sekali yang tertarik," tandas Burhanuddin.Menanggapi kritik yang bermunculan, secara terpisah Menko Perekonomian Boediono mengatakan paket ekonomi itu sebagai arah kebijakan itu yang ditujukan untuk lebih mendisiplinkan kinerja birokrasi.Menurut dia, paket itu akan jadi acuan bagi pemerintah untuk menghilangkan peraturan yang tidak dibutuhkan dan membentuk peraturan yang dianggap perlu. "Kita akan perbaiki nanti implementasinya."
(Fahmi Achmad) (bastanul.siregar@bisnis.co.id)
Oleh Bastanul Siregar
Bisnis Indonesia
Posted by RaharjoSugengUtomo at 12:45 PM 0 comments
Labels: HeadlineNews: Bisnis
Pemilik 3 bank sepakat penuhi modal Rp100 miliar
BISNIS - Kamis, 14/06/2007
JAKARTA: Para pemegang saham pengendali tiga bank yang sedang dalam proses merger-Bank Mitraniaga, Bank Jasa Arta, dan Bank Harfa-sepakat akan menyetor kekurangan modal setelah penggabungan guna memenuhi persyaratan modal inti bank minimal Rp100 miliar hingga akhir 2007. Direktur Utama Bank Mitraniaga Sicilia Pudjijanti mengatakan setelah merger modal dari ketiga bank itu belum memenuhi ketentuan modal minimal sebesar Rp80 miliar hingga batas waktu akhir tahun ini."Untuk itu para pemegang saham pengendali sudah sepakat untuk menyuntik tambahan modal hingga Rp100 miliar," ujar Sicilia yang didampingi Direktur Kepatuhan Bank Mitraniaga Alexander Frans Rori kepada Bisnis, kemarin.Ketiga bank itu menandatangani nota kesepahaman merger ketiga bank tersebut dilakukan pada 22 Maret 2007 setelah melewati proses negosiasi sejak 2006. Hingga akhir Mei 2007, Bank Mitraniaga memiliki modal inti Rp26,04 miliar, Bank Jasa Arta Rp23,40 miliar dan Bank Harfa Rp19,60 miliar. Tanpa suntikan modal, bank hasil merger hanya membukukan modal Rp69,04 miliar.Dengan demikian masih terdapat kekurangan sekitar Rp30 miliar. Sicilia tidak memberikan perincian berapa dari masing-masing pemilik mayoritas itu harus mengucurkan modal.Yang menjadi pemegang saham pengendali (PSP) ketiga bank tersebut adalah Yeo Willy Yonathan (Bank Mitraniaga), Awong Hidjaya (Bank Jasa Arta) dan Ali Kusno Fusin dari Bank Harfa.Rancangan mergerSicilia lebih lanjut menjelaskan bahwa saat ini proses merger telah memasuki tahapan financial due diligence dan legal due diligence serta penyusunan Rancangan Merger. Diperkirakan pada bulan depan rancangan itu akan diserahkan kepada Bank Indonesia untuk disetujui. "Target kami semua proses merger itu akan selesai pada bulan Oktober."Berdasarkan ketentuan Arsitektur Perbankan Indonesia (API), batas akhir pemenuhan modal bank Rp80 miliar pada akhir 2007 dan Rp100 miliar pada akhir 2010. Bila gagal memenuhi ketentuan tersebut, Bank Indonesia akan menetapkan lembaga keuangan tersebut sebagai bank dengan operasi terbatas. Sedikitnya 30 bank yang mencatat modal inti di bawah Rp80 miliar.Sementara itu Alexander menepis proses merger terganggu karena kemungkinan Bank Harfa keluar dari proses merger. "Kami dengar memang Bank Harfa ditaksir oleh BRI. Tapi itu belum pasti dan pembahasan antara ketiga bank itu tetap berlangsung hingga hari ini."Dia mengatakan andaikan Bank Harfa akhirnya tidak bergabung dalam merger tersebut, Bank Mitraniaga dan Bank Jasa Arta akan tetap pada rencana semula. "Memang pada awal pembicaraan merger, mula-mula hanya kedua bank ini yang mulai, baru kemudian Bank Harfa mengikuti."Kalau Bank Harfa keluar, lanjutnya, PSP Bank Mitraniaga dan Bank Jasa Arta juga tetap pada komitmennya untuk menyuntik tambahan modal.Menurut Alexander, merger ketiga bank tersebut sangat strategis karena akan memperluas jaringan usaha, meningkatkan pembiayaan pada sektor usaha dan UKM sesuai dengan target dari ketiga bank tersebut.Apalagi, ujarnya, ketiga bank itu selama ini beroperasi pada tiga lokasi yang berbededa. Bank Mitraniaga selama ini lebih banyak berkonsetrasi di Jakarta, sementara itu Bank Harfa dan Bank Jasa Arta masing-masing di Jatim dan Jabar.
(abraham.runga@bisnis.co.id)
Oleh Abraham Runga
Bisnis Indonesia
Posted by RaharjoSugengUtomo at 12:43 PM 0 comments
Labels: HeadlineNews: Bisnis
Terorisme: Parakan, Tempat Pertemuan Terakhir Abu-Anak Buahnya
KOMPAS - Kamis, 14 Juni 2007
Dari balik jeruji selnya, Sarwo Edi Nugroho (40) mengingat-ingat makan malam terakhirnya dengan Pak Guru. Sambil memegang kalender lipat, bekas guru matematika itu menunjuk hari Minggu, 4 Februari 2007.
Empat bulan lalu itulah, menurut Sarwo, sedikitnya delapan anak buah Pak Guru Abu Dujana alias Ainul Bahri (37) berkumpul di Parakan, Temanggung, Jawa Tengah. Parakan adalah sebuah kecamatan di lereng Gunung Sindoro-Sumbing, yang sejak zaman kolonial dikenal dengan senjata bambu runcing, tetapi penduduknya senantiasa menjunjung tinggi toleransi beragama.
"Waktu itu pengajian sampai dzuhur, lalu makan siang. Rupanya itu pertemuan terakhir kami. Maret kami ditangkap, sekarang (Juni) beliau yang ditangkap," ujar Sarwo kepada Kompas, Selasa (12/6) malam di tahanan Brimob Depok. Sarwo adalah Ketua Ishobah II Semarang dalam gugus militer (syariah) pimpinan Abu Dujana.
Saat membuka pertemuan waktu itu, Dujana pernah berpetuah. "Keputusan organisasi, tidak ada acara begitu-begitu dulu," ujar Sarwo menirukan ucapan Dujana. Yang dimaksud "acara begitu-begitu" adalah aksi balasan dalam konflik di Poso.
Boleh jadi, Dujana sudah berfirasat sehingga memutuskan untuk mendinginkan aktivitas gerakan mereka. Pasalnya, polisi intensif memburu pelaku Poso.
Sarwo bercerita, pertemuan itu juga dihadiri Zulkarnaen, sesepuh di jaringan JI yang kini diburu polisi antiteror. Sarwo mengaku menjemput Si Mbah, panggilan untuk Zulkarnaen, di suatu stasiun pompa bensin Secang, Magelang. Pertemuan itu dikoordinasi antaranggota melalui telepon seluler, yang nomornya selalu berganti-ganti.
Setelah serangkaian pertemuan fisik yang tak terhitung dengan Dujana, Sarwo melihat Dujana sebagai sosok yang karismatik dan lebih cermat ketimbang Noordin M Top.
Menurut Sarwo, Pak Guru pernah menasihati Noordin supaya tidak doyan meledakkan bom dan beralih pada operasi dengan sasaran terbatas.
Setelah nyaris tertangkap polisi antiteror di Sukoharjo, Jawa Tengah, 30 Juni 2004, Dujana sempat tiarap. Namun, dalam masa tiarap itu rupanya ia terus membangun dan memperkuat selnya.
Dan, Agustus 2006 di Wates, Yogyakarta, Dujana memperkenalkan struktur gugus militer (syariah). Hanya saja, tak sampai setahun berselang, gugus itu mulai berkeping-keping diberangus polisi. (SF)
Posted by RaharjoSugengUtomo at 8:56 AM 0 comments
Labels: HeadlineNews: Kompas
Ekspedisi: Kedung Bacin, Riwayatmu Kini...
KOMPAS - Kamis, 14 Juni 2007
GESIT ARIYANTO dan SONYA HELLEN SINOMBOR
Menyusuri Bengawan Solo adalah menyusuri kembali riwayat masa silam. Setiap perhentiannya menyisakan ragam kisah yang merangsang kedalaman rasa ingin tahu. Dan, Kedung Bacin merupakan salah satu di antaranya.
Kedung Bacin hanyalah sepenggal Bengawan Solo yang kini keruh di kawasan Kecamatan Kebak Kramat, Karanganyar, Jawa Tengah. Selintas, tak ada yang istimewa dengan kumpulan air tenang menjelang pertemuan (tempuran) Kali Cemara-Bengawan Solo.
Namun, di sanalah tersimpan kisah kemakmuran desa hingga perhatian istimewa dua kerajaan: Keraton (Nagari) Surakarta Hadiningrat dan Pura Mangkunegaran. Di desa itu pula terdapat sisa pesanggrahan milik bangsawan dalam wilayah Keraton (Nagari) Surakarta Hadiningrat yang dikenal warga dengan sebutan Gusti Riya bergelar Pakuningrat.
Jika bangsawan Nagari Surakarta Hadiningrat (Kasunanan) singgah di Kembu untuk semacam penyegaran dengan menghadiri panen ikan, bangsawan Mangkunegaran kabarnya bersemedi di tempuran sungai untuk mencari pusaka, walaupun secara politis Kembu masuk wilayah kekuasaan Kasunanan.
Soal keistimewaan Kembu di mata Kasunanan, sesepuh desa Mbah Kromo (96), yang ditemui Tim Ekspedisi Bengawan Solo Kompas 2007, Selasa (12/6), menuturkan tentang keramaian desanya menyambut kehadiran Pakubuwono X (PB X) beserta rombongan bangsawan. Sejak beberapa hari sebelumnya, warga desa gotong royong menyiapkan rangkaian penyambutan.
Kedung Bacin menjadi tujuan kunjungan rombongan besar PB X yang berkuasa tahun 1893-1939. Acaranya, menyaksikan panen ikan tahunan ketika musim kemarau tiba. Saat itulah ragam jenis bader, jendil, sili, jambal, kutuk (gabus), wagal, udang, dan klalen mudah dijumpai dan ditangkap.
"Ramai sekali waktu itu. Penduduk dari mana-mana kumpul dengan hiburan klenengan (bebunyian) di kanan kiri sungai," kenang Mbah Kromo, yang ketika itu menjadi salah satu penyelam yang menangkapi ikan-ikan sebelum dimasak untuk pesta.
Ikan-ikan yang ditangkap berukuran besar, seukuran betis orang dewasa, sehingga tidak mudah ditangkap menggunakan tangan kosong. Warga desa menggambarkannya dengan sebutan iwak kawak, ikan besar karena tua.
Keramaian semacam itu berlangsung hampir setiap tahun, seperti dituturkan Mbah Setro (90), yang juga sesepuh di Dusun Kembu. Seingatnya, keramaian mulai terhenti total menjelang kedatangan tentara Jepang.
Arkeolog pada Jurusan Sejarah Universitas Negeri Malang, Dwi Cahyono, yang ikut dalam Ekspedisi Bengawan Solo, mengatakan, kunjungan PB X itu merupakan "pesta jasa" (feast of merit) untuk mencitrakan dirinya sebagai penguasa yang agung dan pemberi berkah.
Pada konteks budaya politik masa itu, kegiatan tersebut merupakan politik pencitraan. Pesta panen ikan hanya sarana untuk tujuan tersebut.
Mengenai fungsi strategis Kembu, dosen tari Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta, Dwi Rahmani, Agustus 2006 pernah mementaskan lakon kedatangan Ratu Wilhelmina ke Dusun Kembu untuk memperoleh gelar S-2 melalui tesisnya yang berjudul Arus Sungai dan Peradaban.
Cerita tentang kedatangan Wilhelmina ke Kembu bersama PB X diperoleh Dwi dari warga setempat. "Memang belum ada bukti otentik tentang kedatangan Ratu Belanda ke Kembu, tetapi memang pernah ada kunjungan Ratu Belanda di Jawa," kata Dwi.
Andalan warga
Sekalipun keramaian tahunan yang dihadiri bangsawan dari nagari (sebutan untuk pusat kekuasaan Mangkunegara di Solo) telah lama tidak ada, warga Kembu dan dusun tetangga masih terus menikmati kemurahan Bengawan Solo setiap musim kemarau. Kedung yang memiliki kedalaman puluhan meter itu menjadi kolam ikan alami ketika kemarau.
Dengan kata lain, warga tetap menjadikan Kedung Bacin sebagai sumber kecukupan gizi dengan keberadaan ikan sepanjang tahun. "Kalau sedang tidak ada kerjaan, turun ke sungai sudah mencukupi," kata Sunardi (47), tukang bangunan setempat.
Saking berlimpahnya sumber daya sungai, ketika itu warga cukup meletakkan ranting-ranting kering bambu yang diikat ke tengah sungai. Ketika diambil, tak sedikit udang sungai yang terjebak.
Sunardi kecil pun sering diajak ayahnya, Pawiro, menyusuri Bengawan untuk menangkap berbagai ikan di beberapa kedung di wilayah Kebak Kramat. Selain untuk lauk sehari-hari, tak sedikit di antaranya yang dijual untuk menambah keuangan keluarga buruh tani itu.
Namun, semua kemudahan itu pupus seiring industrialisasi di kawasan hulu. Sejak tahun 1980-an, pembangunan kota mengubah wajah tepian Bengawan penuh pabrik, seperti pabrik penyedap rasa, tekstil, pengolahan kulit, dan alkohol. Campuran limbah pabrik dan limbah domestik memberi andil besar mematikan berbagai jenis ikan konsumsi.
Di Kedung Bacin kini orang hanya mendapati air keruh ditingkahi ikan sapu-sapu berkecipakan menghirup oksigen. Sangat jauh dengan kondisi sepuluh tahunan lalu.
Tak ada pilihan lain, warga lalu beralih menjadi penambang pasir tradisional sebagai usaha sambilan. Tak jarang pula yang menjadikannya pekerjaan tetap di musim kemarau. Dengan harga pasir berkualitas bagus Rp 55.000 per meter kubik, penghasilan yang mereka dapat tak seberapa.
Padahal, risiko besar menghadang para penambang pasir. Kontaminasi limbah dari hulu menimbulkan gatal-gatal. "Kulit rasanya kaku seperti kena tepung kanji. Rambut juga lengket, tetapi mau gimana lagi? Anak-anak butuh biaya sekolah," kata Sumadi (45), penambang pasir yang dibantu istrinya.
Limbah dari hulu juga berbau pesing. Kondisi bertambah saat kemarau yang menyebabkan air seperti kecap. Meski begitu, Sumadi mengaku tetap mengambil pasir di dasar Bengawan di kedalaman tiga meter. Untuk setiap satu meter kubik pasir, setidaknya ia menyelam 50 kali. Sehari, ia mampu mengumpulkan 1,5 meter kubik.
Profesi itu sudah dilakoninya 17 tahun. "Lha, pripun. Pedamelanipun namung mengaten punika (Mau bagaimana. Pekerjaannya hanya seperti ini)," ujar Sumadi.
Upaya minta perhatian pemerintah sudah dilakukan hingga ke provinsi, tetapi hingga kini tidak ada respons. Limbah kecoklatan dan berbau pesing terus menyengat setidaknya dua kali seminggu.
Maka, degradasi lingkungan pun terus terjadi di Kedung Bacin yang menyimpan sejarah peradaban Bengawan Solo. Dan, pesta panen ikan itu kini tinggal riwayat....
Posted by RaharjoSugengUtomo at 8:55 AM 0 comments
Labels: HeadlineNews: Kompas
Pemimpin Harus ke Lapangan
KOMPAS - Kamis, 14 Juni 2007
Presiden Resmikan Soropadan Agro Expo III 2007 di Temanggung
Temanggung, Kompas - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta gubernur, wali kota, dan bupati menerapkan model kepemimpinan yang terlibat dan menerapkan pancayasa pembangunan pertanian untuk mengembangkan ekonomi berbasis pedesaan di daerah masing-masing.
Dengan demikian, para pemimpin daerah itu bisa meningkatkan produktivitas pertanian, menjaga ketahanan pangan, dan mengangkat kehidupan para petani kecil.
"Mereka harus mau turun, melibatkan diri, dan memimpin langsung di lapangan untuk memberikan arahan dan menyelesaikan persoalan-persoalan yang dialami masyarakat," kata Presiden Yudhoyono dalam sambutan pada pembukaan Soropadan Agro Expo (SAE) III 2007 di Subterminal Agro Soropadan, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, Rabu (13/6).
Tahun ini SAE mengambil tema "Membangun Mitra Meraih Pasar Global". Dalam acara itu Presiden didampingi Ny Ani Yudhoyono, Menteri Pertanian Anton Apriyantono, dan Gubernur Jateng Mardiyanto.
Menurut Presiden, untuk menjadi pemimpin yang terlibat dalam peningkatan produktivitas pertanian dan kesejahteraan petani kecil, para pemimpin daerah juga harus menerapkan lima pilar utama dalam pembangunan pertanian di Indonesia.
Lima pilar yang ia sebut sebagai pancayasa itu adalah perbaikan infrastruktur, pemberdayaan kelembagaan pertanian, penguatan modal dan skema pembiayaan, revitalisasi penyuluhan pertanian, serta pengembangan pasar dan jaringan pemasaran.
Pengembangan pasar dan jaringan menjadi poin utama yang perlu diperhatikan. Para pemimpin daerah harus mampu mencari dan memberi celah aktivitas pasar bagi para petani. Mereka harus mengatur strategi pemasaran dan memasarkan produk-produk pertanian.
SAE III ini, menurut Presiden, merupakan peluang emas untuk membuka dan menjalin kemitraan. Kegiatan itu juga merupakan peluang menawarkan potensi di tingkat global. "Tentunya kualitas produk-produk lokal harus diperhatikan," ujarnya.
Dalam acara yang juga dihadiri 17 duta besar dan sembilan perwakilan duta besar negara-negara sahabat itu, Menteri Pertanian Anton Apriyantono mengatakan, promosi menjadi pilar utama untuk masuk ke pasar internasional di tengah persaingan industri pertanian. Dengan promosi, suatu daerah bisa memperluas pasar dan memperkuat jaringan.
Ia menilai SAE III yang diikuti 94 stan dari beberapa daerah dan tiga negara sahabat (Malaysia, Vietnam, dan Korea Selatan) merupakan perwujudan sikap proaktif Pemerintah Provinsi Jawa Tengah. "Semoga bukan hanya kualitas produk saja yang ditingkatkan, tetapi juga perekonomian para petani kecil," kata Presiden. (AB4)
Posted by RaharjoSugengUtomo at 8:53 AM 0 comments
Labels: HeadlineNews: Kompas
Keragaman Hayati: Tim IPB Menemukan Manggis Tanpa Biji
KOMPAS - Kamis, 14 Juni 2007
Jakarta, Kompas - Komoditas manggis, sebagai buah asli Indonesia, memiliki peranan penting dalam mendatangkan devisa negara dari ekspor buah-buahan segar. Akhir-akhir ini Institut Pertanian Bogor menemukan salah satu jenis manggis tanpa biji di wilayah Kabupaten Malinau, Kalimantan Timur, yang berbatasan dengan wilayah Malaysia.
"Temuan alam jenis manggis tanpa biji ini sangat penting untuk mendongkrak pendapatan dari ekspor buah-buahan segar Indonesia," kata Kepala Pusat Kajian Buah-buahan Tropika Institut Pertanian Bogor (IPB) Sobir, Rabu (13/6).
Tanaman manggis tanpa biji ini juga sedang diupayakan untuk didaftarkan dalam program perlindungan varietas tanaman. Pada tahap berikutnya akan diupayakan pelepasan varietas untuk komersialisasi benihnya.
Data ekspor buah-buahan segar yang dikutip Sobir menunjukkan, pada tahun 2005 pendapatan devisa dari ekspor buah-buahan segar Indonesia sebesar 65 persen disumbang dari komoditas manggis. Pendapatannya mencapai 6,385 juta dollar AS.
Volume ekspor manggis saat ini mencapai 6.012 ton. Komoditas ini sebagian besar diekspor dengan tujuan ke China (sekitar 75 persen), disusul negara-negara di Timur Tengah, Jepang, Hongkong, dan Taiwan.
Komoditas manggis, kata Sobir, sudah terbukti sebagai primadona ekspor buah-buahan segar dari Indonesia. Penemuan manggis yang nyaris tanpa biji ini diharapkan mampu menambah volume ekspornya.
Namun, pengembangan produk manggis tanpa biji ini tidak mudah, antara lain memerlukan teknik kultur jaringan, untuk menghasilkan produk berkualitas baik yang standar.
Kendala yang dihadapi sekarang adalah jumlah tanaman manggis tanpa biji yang sangat sedikit. Begitu pula dengan pengembangbiakannya yang menemui berbagai kendala.
"Identifikasi tanaman manggis tanpa biji di Kabupaten Malinau sekarang baru ditemukan sekitar 80 pohon. Jumlahnya memang tergolong sangat sedikit sehingga membutuhkan penelitian lebih lanjut untuk pengembangbiakannya," kata Sobir.
Pengembangbiakan melalui biji manggis ini dengan sendirinya sulit dilakukan karena buah ini nyaris tanpa biji. Namun, tutur Sobir, biji buah ini tetap dapat ditemukan dari antara puluhan atau ratusan manggis yang ada.
Lokasi awal penemuan manggis tanpa biji di Kabupaten Malinau dalam perkembangannya nanti diharapkan menjadi pusat pengembangbiakan tanaman tersebut. Pelepasan benih diharapkan dapat disebarluaskan ke berbagai daerah yang berpotensi menghasilkan manggis. (NAW)
Posted by RaharjoSugengUtomo at 8:49 AM 41 comments
Labels: HeadlineNews: Kompas
Noordin M Top Masih Terus Diburu
KOMPAS - Kamis, 14 Juni 2007
Yusron Dipastikan adalah Abu Dujana atau Ainul Bahri
Jakarta, Kompas - Penangkapan atas Yusron yang kemudian dipastikan sebagai Abu Dujana atau Ainul Bahri belum merupakan klimaks dari perburuan terhadap anggota jaringan teroris di Indonesia. Sebab, sampai hari Rabu (13/6), gembong teroris asal Malaysia yang paling diburu, Noordin M Top, belum juga tertangkap.
Kepala Divisi Humas Mabes Polri Irjen Sisno Adiwinoto, kemarin, menyatakan, Noordin tetap teroris buronan krusial. Penangkapan terhadap Abu Dujana hari Sabtu lalu merupakan satu rangkaian perburuan terhadap Noordin selama ini.
"Kami tetap memburu Noordin seperti upaya yang dulu. Mereka (kelompok Noordin) sekarang sudah tahu Dujana tertangkap. Sebab itu, kami tidak bisa cepat-cepat umumkan karena masih berupaya memburu dia (Noordin)," kata Sisno dalam konferensi pers di Mabes Polri.
Selain menargetkan Noordin, polisi juga menargetkan Zulkarnaen, sesepuh di Jemaah Islamiyah (JI) sekaligus mantan Ketua Askariy (Militer) JI.
Sisno menjelaskan, dalam serangkaian penggerebekan beberapa hari terakhir, polisi telah menangkap delapan orang di sejumlah tempat di Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Timur. Selain Dujana, mereka yang ditangkap adalah AI (45), NA (33), IAM (17), NFAS (19), AM (33), AW (31), AS (29). Namun, Sisno tidak menjelaskan lebih rinci mengenai identitas dan lokasi penangkapan ketujuh tersangka itu.
Dalam catatan Kompas, sejumlah orang yang pernah ditangkap atau dilaporkan hilang adalah Aries Widodo (ditangkap di Karanganyar), Arief Syarifudin (Surabaya), dan Sigit (Sleman). Belum jelas benar apakah AW dan AS adalah Aries Widodo dan Arief Syarifudin.
Berdasarkan informasi yang dihimpun di kepolisian, diketahui bahwa perburuan terhadap kelompok Dujana yang mencuat tahun ini sesungguhnya dilakukan kepolisian dalam rangka meringkus Noordin M Top. Meskipun Noordin memiliki kemampuan dan kepemimpinan yang lebih rendah ketimbang Dujana, Noordin M Top cenderung memilih metode peledakan bom yang berdampak masif.
Kepada Kompas yang menemuinya hari Selasa (12/6) malam, Sarwo Edi, salah seorang anak buah Dujana yang ditangkap dalam penggerebekan di Yogyakarta, pada bulan Mei lalu, mengatakan, gerakan kelompok Noordin M Top sebenarnya sudah semakin lemah kekuatannya. "Semua telah ditangkapi, dan logistik pun menipis, mau bagaimana lagi mereka," katanya.
Sarwo menambahkan, Dujana dan Noordin sesungguhnya tidak memiliki satu pemahaman dalam memilih pola gerakan. Noordin memilih metode peledakan bom, sedangkan Dujana memilih serangan terbatas seperti di Poso serta rencana pembunuhan Rektor Universitas Kristen Satya Wacana.
"Kalau Pak Guru (salah satu sebutan untuk Dujana) sepertinya tidak pernah pegang logistik. Kami yang pegang. Untuk Poso, misalnya, target kami pembinaan jangka panjang. Enggak beraksi seperti Noordin. Pak Guru (juga) pernah menasihati Noordin, tapi enggak dituruti," kata Sarwo.
Keterangan Sarwo itu sangat mirip dengan hasil pemetaan polisi yang menyebut bahwa aktivitas Noordin merupakan pola operasi JI yang bebas (uncontrolled operation). Noordin dapat melancarkan peledakan bom tanpa instruksi langsung organisasi, sekalipun organisasi JI mengetahui manuvernya.
Sementara itu, pola operasi Dujana bersifat terpusat dan terdesentralisasi. Keterlibatan Dujana di Poso adalah salah satu contoh pola operasi kelompoknya.
Sisno menambahkan, Dujana ditangkap atas dugaan keterlibatan kepemilikan dan penyembunyian amunisi, senjata api, dan bahan peledak di rumah Sikas (37) di Sukoharjo, Jawa Tengah. Sikas adalah anggota bidang logistik dalam gugus Syariah (sayap militer) pimpinan Dujana, yang telah ditangkap Maret 2007.
Selain itu, Dujana juga diduga terlibat dalam berbagai kasus bom di Poso dan terlibat dalam penyembunyian para buronan pelaku Bom JW Marriott 2003.
Dari informasi yang dihimpun di kepolisian, Dujana juga pernah menghadiri rapat prapeledakan bom Marriott di Lampung. Rapat itu dihadiri salah satu pelaku utama Bom Bali I dan Marriott, yaitu Sunarto bin Kartodiharjo alias Adung (51). Ketika Adung ditangkap 30 Juni 2004 di Sukoharjo, Dujana lolos. Sejak itu, polisi menjanjikan imbalan Rp 500 juta bagi pemberi informasi keberadaan Dujana.
Keluarga belum yakin
Di Bandung, Jawa Barat, pihak keluarga belum yakin sepenuhnya apakah Yusron yang disebut-sebut polisi sebagai Abu Dujana dan kini telah ditangkap itu adalah Ainul Bahri (38). Untuk memastikannya, keluarga harus dipertemukan terlebih dahulu dengan orang Yusron.
Sampai kemarin, kata Yaya Sunarya, paman Ainul Bahri, pihak keluarga belum mendapatkan pemberitahuan dari polisi atau mendapat foto terbaru dari Ainul Bahri yang biasa dipanggil Aen.
Dian, salah satu keponakan Abu Dujana, menyatakan, fotofoto yang terpampang di media massa memang agak mirip dengan Ainul Bahri. (SF/AHA)
Posted by RaharjoSugengUtomo at 8:37 AM 0 comments
Labels: HeadlineNews: Kompas
Paket Ekonomi: Terapkan Hal Prioritas
KOMPAS - Kamis, 14 Juni 2007
Jakarta, Kompas - Paket tentang Kebijakan Percepatan Pengembangan Sektor Riil dan Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah yang baru saja dikeluarkan pemerintah hendaknya disertai implementasi pada hal-hal yang menjadi prioritas. Implementasi tersebut diharapkan bisa menjadi suatu cerita sukses yang bisa mengubah persepsi pesimistis masyarakat Indonesia juga para investor.
"Secara keseluruhan, isi paket ini sangat baik dan komprehensif. Jika semua bisa diimplementasikan, itu sangat bagus sekali. Namun, yang ditunggu oleh semua pihak sebenarnya adalah implementasi dari paket kebijakan ini. Diperlukan prioritas. Kalau semua mau dikerjakan tentunya akan memakan waktu yang sangat lama," kata Ketua Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM-UI) Chatib Basri, Rabu (13/6) di Jakarta.
Persepsi investor
Ia mencontohkan, dalam hal perbaikan iklim investasi, persoalan yang sangat besar adalah ketidaklancaran distribusi logistik. "Sebagai quick change atau perubahan cepat, yang diperlukan adalah perbaikan pelayanan di Pelabuhan Tanjung Priok," katanya.
Jika satu hal ini saja dilakukan, menurut Chatib, hal itu akan sangat besar pengaruhnya terhadap persepsi investor mengenai iklim investasi. "Selama ini, kan, iklim investasi persoalannya adalah persepsi. Dengan satu perubahan besar, persepsi negatif akan berubah menjadi positif," katanya.
Dalam hal pembangunan infrastruktur, menurut Chatib, jika penyediaan listrik di pedesaan dilakukan, ini sudah sangat besar pengaruhnya kepada pengurangan tingkat kemiskinan.
Cerita sukses diperlukan karena reformasi regulasi tersebut baru terlihat dampaknya di kemudian hari, sementara ongkos yang harus dibayar sudah dikeluarkan sekarang. "Maka yang diperlukan adalah menangani masalah apa yang paling merepotkan dulu. Setelah itu baru menangani prioritas selanjutnya," ujar Chatib.
Eksportir menyambut baik
Produsen mebel dari Jawa Timur, Johanes Sumarno, menyambut baik terbitnya Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 6 Tahun 2007 untuk memacu sektor riil. Namun, ia mengingatkan, pemerintah harus tetap fokus dalam mengimplementasikannya agar sesuai dengan harapan.
Misalnya, meskipun industri mebel nasional mempekerjakan sedikitnya 10 juta orang, berorientasi ekspor, dan mengandung hampir 95 persen bahan baku lokal, proses ekspornya masih saja diselimuti masalah. Mulai dari pungutan liar di pelabuhan, sulitnya mendapatkan bahan baku, sampai berbagai prosedur yang cenderung mempersulit eksportir. Padahal, industri mebel merupakan sektor padat karya yang mampu menurunkan tingkat kemiskinan, terutama yang bermukim di sekitar pabrik.
Menurut Johanes, implementasi paket kebijakan tersebut secara tepat dapat merangsang pertumbuhan sektor riil dan membuka lapangan kerja baru. "Tanpa implementasi yang baik, paket kebijakan ini akan sia-sia. Sementara kami hanya bisa pasrah," ujar Johanes.
Sementara itu, Tim Indonesia Bangkit meminta agar paket kebijakan itu lebih konkret sehingga bisa langsung mengubah keadaan dan menggerakkan sektor riil.
Misalnya, Paket Deregulasi Finansial Oktober 1988 (Pakto 88) berisi berbagai keputusan matang untuk menjadi pedoman bagi masyarakat dan dunia usaha yang ingin membuka bank baru.
Pakto 88 ini jelas menyatakan syarat membuka bank baru cukup bermodalkan Rp 10 miliar dan menurunkan cadangan wajib dari 15 persen menjadi 2 persen.
Pakto 88 berdampak luas terhadap perekonomian dan kompetisi di sektor finansial. Kemudian, ada juga Paket Januari 1987 (Pakjan 87) yang merinci dengan jelas soal penetapan tarif impor.
Menurut ekonom dari Indonesia Bangkit Fadhil Hasan, ucapan Wakil Presiden M Jusuf Kalla di China bahwa Indonesia perlu membangun bendungan raksasa justru lebih konkret untuk menggerakkan sektor riil.
Selain itu, kata Fadhil, inpres seharusnya mewajibkan bank mengalokasikan sejumlah dana untuk kredit modal kerja bagi petani atau pengusaha mikro.
Sementara di Indonesia, ujar Revrisond Baswir, juga dari Indonesia Bangkit, pemerintah masih terjebak pada rutinitas birokrasi sehingga berbagai paket ekonomi yang dikeluarkan tidak mencapai tujuan yang diharapkan.
Revrisond juga pesimistis Inpres Nomor 6 Tahun 2007 bisa memacu sektor riil karena hampir 60 persen memuat sektor keuangan. Misalnya, restrukturisasi BUMN perbankan dan kebijakan tentang pasar modal, sementara sektor riil, seperti pertanian, malah tidak disinggung sama sekali. Hal ini menjadi paradoks karena sebagian besar sektor riil saat ini justru berada di lingkungan pertanian.
"Sampai saat ini, birokrasi masih berkutat pada upaya pemulihan ekonomi. Padahal, saat ini seharusnya pemerintah sudah masuk ke tahap mengejar target pertumbuhan ekonomi," ujar Revrisond.
Menteri Negara Urusan Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM) Suryadharma Ali mengatakan, "Paket kebijakan ekonomi memang berisi berbagai strategi yang selama ini sedang dilakukan Kementerian Koperasi dan UKM."
Secara garis besar, menurut Suryadharma, strategi-strategi itu meliputi upaya membuka akses pembiayaan, pembenahan sumber daya manusia, pemasaran, dan pola membangun kemitraan dalam menjaring konsumen di pasar global.
Kepala Biro Perencanaan dan Data Kementerian Negara Koperasi dan UKM Meliadi Sembiring mengakui bahwa dalam rencana induk Kementerian Negara Koperasi dan UKM, aspek pembiayaan menjadi salah satu prioritas agar sektor riil dapat bergerak.
Secara terpisah, Menko Perekonomian Boediono mengakui, paket kebijakan yang baru memang belum sempurna. Itu karena paket tersebut merupakan bagian dari reformasi kebijakan yang memang tidak bisa diselesaikan dalam waktu cepat. "Sedikit demi sedikit dan tahap demi tahap," ujar Boediono.
Ia menganalogikan, reformasi kebijakan yang dilakukan pemerintah itu ibarat pembangunan sebuah rumah di mana bata demi bata harus diletakkan.
"Tapi kita jangan sampai lupa bentuk rumahnya. Tentunya sudah jelas bentuknya seperti apa. Dalam membangun rumah itu kita juga harus konsisten. Jangan di tengah jalan berhenti, kemudian memikirkan hal lain," ujar Boediono. (HAM/TAV/OSA)
Posted by RaharjoSugengUtomo at 8:34 AM 0 comments
Labels: HeadlineNews: Kompas