Thursday, June 14, 2007

KPPU: Industri CPO diduga kartel

BISNIS - Kamis, 14/06/2007

JAKARTA: KPPU menilai struktur pasar industri hulu hingga hilir crude palm oil (CPO) ada indikasi oligopoli yang mengarah pada kartel, karena diduga ada yang 'mengoordinasi' harga, sehingga program stabilisasi harga (PSH) sulit berhasil. "Dari kajian sementara KPPU, salah satu temuan kami adalah dari hulu ke hilir itu [industri CPO] ada sistem oligopoli. Oligopoli itu mengarah ke kartel," kata anggota Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Syamsul Maarif di Jakarta kemarin.Dia menjelaskan potensi kartel yang muncul dari struktur pasar CPO itu bisa dari segi harga, pembagian wilayah, jumlah produksi, pembagian pangsa pasar ekspor, atau untuk mencukupi kebutuhan domestik. "Jadi, semuanya dikoordinasikan dan kalau sudah kartel, mereka dapat mengatur harga di luar negeri juga, karena Indonesia adalah pemain utama CPO," ujar Syamsul. Kartel adalah sebuah kelompok dari beberapa perusahaan independen yang mempunyai minat memengaruhi produksi dan penjualan sebuah komoditas, sehingga dapat memperoleh keuntungan monopolistis. Biasanya yang dilakukan kartel adalah mengatur produksi, harga, dan membagi daerah pemasaran. Ketika ditanya mengenai siapa saja yang masuk dalam kartel itu, Syamsul enggan menjawabnya. Dia hanya menyebut yang ikut dalam kartel itu ada empat sampai lima perusahaan besar yang menguasai industri CPO di dalam negeri. Syamsul menjelaskan suatu usaha yang terindikasi oligopoli bisa dilihat dari performa pasar, yakni naik dan turunnya harga komoditas terkait hampir bersamaan."Temuan kami sekarang adalah oligopoli. Kami juga sedang mengamati apakah naik-turunnya [harga] minyak goreng dikoordinasi oleh pelaku usaha tertentu. Kami sudah mengamati kira-kira sebulanan, baik dari narasumber dan media masa maupun pemerintah dan pengusaha."Berdasarkan catatan Bisnis, ada delapan perusahaan sebagai pemain besar dalam industri CPO, yaitu Grup Sinar Mas, Mina Mas (Malaysia), Astra Agro Lestari, Asian Agri (Grup Raja Garuda Mas), PT Perkebunan Nusantara (PTPN), Wilmar Internasional (Singapura), Indofood Agri (Grup Salim), dan Lonsum yang saat ini dimiliki Grup Salim. Secara terpisah, ekonom Indef Bustanul Arifin membenarkan adanya indikasi kartel di industri hulu hingga hilir CPO. "Saya tidak heran dengan data itu. Dulu Indef juga pernah melakukan riset [1997-2001]. Saya kira hingga kini struktur pasar CPO belum berubah, meskipun ada KPPU dan UU yang mengaturnya."Pada waktu itu, menurut Bustanul, indikasi kartel yang muncul bisa dilihat dari pembentukan harga minyak goreng yang naik dan dicoba untuk diintervensi. Tetapi harga yang terjadi di pasar tidak bisa kembali seperti semula."Ini merupakan langkah para pelaku industri CPO untuk memainkan harga, bisa dilihat kok dalam enam bulan sekali. Gejala ini berbeda dengan kenaikan harga beras, yang apabila diintervensi bisa turun ke harga semula."Saat dikonfirmasi mengenai dugaan kartel dalam industri CPO, Ketua Harian Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Derom Bangun belum bisa memastikannya."Saya melihat kekuatan pasar sangat besar, terutama pasar luar negeri. Jadi, belum tentu kartel. Hari ini [kemarin] saja ada gejala baru dengan anjloknya harga di penjualan KPB [Kantor Pemasaran Bersama PTPN], minggu lalu Rp7.626 per kg menjadi Rp6.869 per kg."Indikasi kartel itu, menurut Derom, bisa dilihat ketika harga CPO internasional turun, harga di dalam negeri tidak berubah. Dia memberi contoh harga CPO saat ini turun drastis menjadi US$760 per ton dari sebelumnya US$860 per ton."Seharusnya harga dalam negeri ikut turun. Kalau tidak, berarti ada yang menahannya. Tapi harus dilihat dalam dua-tiga hari. Bisa juga yang menahan barang di pedagang, atau industri di hilirnya."Meski harga CPO internasional turun, harga minyak goreng di dalam negeri masih di level tinggi untuk semua kota di Indonesia, yakni Rp8.500-Rp9.500 per kg, termasuk di lima kota lokasi PSH (lihat tabel). Menurut Derom, standar harga dalam negeri berada di kisaran Rp7.500-Rp8.000 per kg.Jangan masuk APBNSementara itu, Dirjen Industri Agro dan Kimia, Depperin Benny Wahyudi mengusulkan pungutan ekspor (PE) CPO tidak dimasukkan ke dalam penerimaan APBN. Dengan demikian, penerimaan pajak yang disumbangkan dari PE itu dapat langsung digunakan untuk meredam gejolak harga CPO dunia dan untuk mengendalikan harga minyak goreng di pasar domestik melalui pemberian subsidi."Masukan itu akan kami sampaikan dalam pembahasan APBN-P 2007 pada Juli dengan DPR," ujarnya di Jakarta, kemarin. Realisasi PSH hingga pekan kedua Juni baru sekitar 13.000 ton. Padahal, ketentuan pemerintah dalam setiap minggu menyalurkan minimal 30.000 ton.
(m02/Yusuf Waluyo Jati) (redaksi@bisnis.co.id)
Bisnis Indonesia

1 comments:

Anonymous said...

[url=http://firgonbares.net/][img]http://firgonbares.net/img-add/euro2.jpg[/img][/url]
[b]software similar to macromedia, [url=http://firgonbares.net/]computer software downloads[/url]
[url=http://firgonbares.net/][/url] adobe photoshop elements 5 for mac winzip 12 regcode
oem software on [url=http://firgonbares.net/]software for selling[/url] car selling software
[url=http://firgonbares.net/]filemaker pro 9 advanced student edition[/url] microsoft web software
[url=http://firgonbares.net/]software in order to[/url] buy discounted software
nero 9 and free download [url=http://firgonbares.net/]nero[/b]