Friday, June 15, 2007

Awas, Periuk Api!

KOMPAS - Jumat, 15 Juni 2007

Salah satu kesimpulan cukup penting yang muncul pada pertemuan ke-20 Majelis Bahasa Brunei Darussalam-Indonesia-Malaysia (Mabbim), September 2006 adalah tentang 400.000 kata dan istilah bahasa Melayu yang telah berhasil disepadankan di antara para pengguna bahasa ini di tiga negara serumpun itu. Penyelarasan kata dan istilah itu tentu dapat mempererat hubungan bertetangga. Sedikit-banyak mungkin bisa meredam berbagai gesekan yang belakangan kerap terjadi, mulai dari urusan tenaga kerja, penebangan liar hutan, hingga perkara asap.
Namun, jalan memperbanyak kata dan istilah yang selaras ini agaknya masih panjang. Bila kebetulan sedang berada di Bandar Seri Begawan, sempatkanlah melepas waktu di sekitar ruas Jalan Sultan. Pada ujung jalan di pusat ibu kota itu, yang dekat dengan kantor pelabuhan, berderet sejumlah toko. Nama toko-toko ini mungkin tak berbunyi di telinga sebagian besar kita kendati menggunakan bahasa Melayu: Restoran Rosmawati binti Kamis dan Anak-Anak, Kedai Jam Timur, Restoran Gerak Bersatu, Syarikat Optik Bantu Cerah, Kedai Emas dan Jam Bermutu Tulin, Sharikat Optik Anak Besar, dan Gedung Serbaneka Indah Mewah Sdn Bhd.
Masih banyak lagi contoh yang bisa membuat orang Melayu Indonesia bekernyit kening, atau mungkin tersenyum simpul karena kesan lucu yang muncul saat membaca atau mendengar kata-kata dari bahasa Melayu Malaysia ataupun Brunei. Ambil contoh kata percuma. Bagi Melayu Indonesia pengertian kata ini tentulah ’sesuatu yang sia-sia’ (padanan useless dalam bahasa Inggris). Namun, bagi Melayu Malaysia dan Brunei, ia bermakna ’gratis’ (for free dalam bahasa Inggris). Kata yang digunakan oleh Melayu Indonesia yang sepadan dengan kata percuma dalam bahasa Melayu Malaysia dan Brunei tadi adalah cuma-cuma.
Antara bahasa Melayu Malaysia dan Melayu Brunei sendiri, yang barangkali bagi sebagian orang Indonesia dianggap sama dan sebangun, juga memiliki berbagai perbedaan. Orang Malaysia (juga Indonesia) menyebut anda, orang Melayu Brunei menyebut awda.
Lalu, apa makna periuk api? Dalam khazanah Melayu Brunei, periuk api adalah terjemahan minefield alias ranjau darat. Jika istilah ini berada dalam satu kalimat, maka orang Melayu Indonesia kemungkinan masih berpeluang menerka maknanya. Misalnya pada berita di salah satu harian yang terbit di Bandar Seri Begawan ini: "Satu periuk api berkuasa tinggi meledak di bawah sebuah bas yang padat dengan penumpang dan kanak-kanak sekolah di utara Sri Lanka hari ini, membunuh 64 orang, kata tentera." Namun, bayangkan apa yang akan terjadi bila kita menemukan istilah itu dan kita tak punya tempat bertanya saat melihat papan pengumuman bertuliskan: "Awas, Periuk Api!" Lalu kita melintasi tanah lapang itu dengan melenggang-kangkung.
Tentu tak akan selesai membicarakan berbagai perbedaan kata dan istilah yang menimbulkan ketidakpahaman ini. Yang jauh lebih penting adalah menyadari bahwa kendati ketiga negara disebut sebagai bangsa serumpun, masing-masing memiliki kekhasan bahasa. Di dunia yang batas-batasnya kian melebur ini tentu perlu bagi kita mengenal keberadaan kita satu sama lain supaya terbangun saling pengertian. Upaya Mabbim terus menambah khazanah kesepadanan kata dan istilah di antara ketiga bangsa adalah sebuah langkah penting dalam konteks ini.
ARYA GUNAWAN Pengamat Film

0 comments: