KOMPAS - Jumat, 15 Juni 2007
Pascal S Bin Saju dan Subur Tjahjono
Hidup Dirman (54) mengalir seperti air Bengawan Solo. Tanpa terasa, setelah 28 tahun bekerja sebagai operator perahu penyeberangan Bengawan Solo, ia akan pensiun pada 28 Februari 2008 dari status pegawai negeri Dinas Perhubungan Kabupaten Ngawi, Jatim.
>is 5020m,Perahu yang sudah kusam berukuran 12 meter x 2,1 meter itu menjadi alat transportasi vital yang menghubungkan Desa Sidolaju menuju jalan besar ke Ngawi melalui Desa Kerjo, Kecamatan Widodaren.
Armada penyeberangan itu digerakkan secara manual, yakni dengan cara kedua tangan Dirman menancapkan sebatang bambu ke dasar sungai.
Akibat begitu lama bekerja sebagai operator, menyeberangi kali 80 meter-100 meter, kulit Dirman yang dulu sawo matang berubah gelap. Selama 28 tahun itu ia berjemur di bawah terik matahari, terkadang mendung, hujan gerimis, dan bahkan saat hujan lebat hingga banjir sekalipun, karena perahu itu tanpa pelindung.
Dirman juga mempunyai pekerjaan ekstra, yakni membantu jika ada penumpang yang terpeleset dan jatuh ke sungai.
Sebenarnya ada 27 perahu penyeberangan dengan berbagai tipe di Bengawan Solo sejak selepas Waduk Gajah Mungkur hingga Ngawi. Baik perahu yang menggunakan tambang maupun yang digerakkan dengan cara didorongkan seperti dilakukan Dirman. Namun, sepanjang Tim Ekspedisi melintasi Bengawan Solo, dia salah satu di antara dua operator perahu yang berstatus pegawai negeri sipil (PNS).
Umumnya operator adalah "swasta" yang dikerjakan secara swadaya oleh warga. Dalam mengoperasikan perahu milik Dinas Perhubungan Ngawi itu Dirman dibantu PNS lainnya, Sugito (40), dan tiga pegawai kontrak Dishub Ngawi.
Banyak orang yang menggunakan jasanya menilai Dirman sebagai pekerja keras dan setia pada pekerjaan. "Kami merasa dibantu Pak Dirman dan rekan-rekannya. Andaikata mereka tidak bersedia mengoperasikan perahu, warga repot bepergian," kata Artanti (25), pegawai SMU I Ngrambe, Ngawi.
Dirman yang juga warga Desa Sidolaju itu bercerita, dia hanya lulus sekolah dasar. Awal menjadi PNS dia ditempatkan di Dinas Pekerjaan Umum Ngawi tahun 1979. "Tapi, oleh pemerintah, saya dipindah ke Dinas Perhubungan pada tahun yang sama," tutur lelaki yang beristrikan Sumini (40) itu.
Sejak itulah Dirman selalu setia mengoperasikan perahu penyeberangan tanpa mesin itu. Kulit wajahnya yang legam terbakar menjadi bukti kesetiaan itu. Ia tidak mengenal jam kerja seperti PNS umumnya karena ia bekerja mulai pukul 05.00 hingga pukul 17.00 setiap hari.
Jika musim kemarau seperti sekarang, Dirman cukup sendirian mengoperasikan perahunya. "Bersenjatakan" batang bambu sepanjang 6 meter, ia mengendalikan laju perahu. Tampak dia tidak terlalu mengalami kesulitan karena air cukup dangkal.
Namun, jika musim hujan, seperti saat survei Ekspedisi Bengawan Solo, April lalu, Dirman tidak bisa sendirian. Arus Bengawan Solo sangat deras, bisa mencapai 30 kilometer per jam. Perlu berdua atau bertiga untuk melawan derasnya arus.
Pemkab Ngawi menargetkan pemasukan Rp 7,8 juta per tahun dari hasil penyeberangan perahu tersebut. Sehari Dirman mendapat Rp 25.000-Rp 30.000. Itu hasil penarikan di luar PNS dan anak sekolah yang gratis menggunakan jasa penyeberangan itu. Di luar PNS dan anak sekolah, penumpang ditarik Rp 400-Rp 500 sekali menyeberang.
Tarif itu berbeda dengan tarif perahu penyeberangan "swasta", misalnya yang dioperasikan Paiman (48) dan Wagiman (48). Mereka mengoperasikan perahu penyeberangan di Desa Sriwedari, Kecamatan Karanganyar, dengan Desa Sambirejo, Kecamatan Mantingan, Ngawi. Tarif penumpang maupun sepeda motor sama, yakni Rp 1.000. Mereka harus menyetorkan sepertiga perolehan ke kas desa karena perahu milik desa. "Rata-rata kami dapat Rp 60.000 per hari, Rp 20.000 disetor ke desa. Sisanya kami bagi dua," ujar Paiman.
Berbeda dengan Paiman dan Wagiman, untuk mengoperasikan perahu penyeberangan itu, Dirman dengan golongan IIA mendapat gaji PNS Rp 1,5 juta dan beras 50 kilogram per bulan. Ia juga bisa menyekolahkan ketiga anaknya hingga bangku SLTA. Anak sulungnya, Suyono, telah tamat STM Ngawi. Anak keduanya menamatkan SMA PGRI Ngawi, dan anak ketiga, Wahyudi, kini bersekolah di SMA PGRI Ngawi. "Tambahannya sedikit-sedikit dari sawah tadah hujan yang luasnya hanya sekitar 0,5 hektar," ujar Dirman.
Friday, June 15, 2007
Kehidupan: Hidup Mengalir seperti Air Bengawan Solo
Posted by RaharjoSugengUtomo at 8:43 AM
Labels: HeadlineNews: Kompas
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment