Friday, June 15, 2007

DPD Minta IPDN Dibubarkan

KOMPAS - Jumat, 15 Juni 2007

Akhir Juni atau Awal Juli Ini Presiden Yudhoyono akan Ambil Putusan

Jakarta, Kompas - Dewan Perwakilan Daerah atau DPD menilai, Institut Pemerintahan Dalam Negeri atau IPDN, dengan sistem saat ini, tidak layak dipertahankan. Tetapi, praja yang ada saat ini tetap harus diberikan kesempatan untuk menyelesaikan pendidikan di kampus IPDN, Jatinangor, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat.
Menurut penilaian DPD, keberadaan IPDN saat ini bertentangan dengan Undang-undang (UU) Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Karena itu, secara filosofis, sosiologis, dan yuridis, keberadaan pendidikan kedinasan di IPDN perlu dikaji ulang mendalam.
Sikap DPD itu termuat dalam hasil pengawasan yang kemudian disetujui dalam sidang paripurna DPD, yang dipimpin Ketua DPD Ginandjar Kartasasmita (Jawa Barat), Kamis (14/6) di Jakarta. Pendapat akhir hasil pengawasan pelaksanaan UU No. 20/2003 itu dilaporkan dalam rapat paripurna oleh Wakil Ketua Panitia Ad Hoc (PAH) III DPD Faisal Mahmud (Sulawesi Tengah).
Tak layak dipertahankan
Sebelumnya, Tim Khusus PAH I dan PAH III DPD melakukan kunjungan kerja ke kampus IPDN di Jatinangor, Sumedang. Anggota DPD, yang mewakili daerah, juga melakukan rapat dengar pendapat umum, antara lain dengan pengajar IPDN yang seringkali membuka persoalan di kampus itu, Inu Kencana Syafi'i. Praja IPDN sebagian besar adalah utusan daerah.
PAH III DPD juga menyimpulkan, penyelesaian persoalan IPDN tidak terletak pada dibubarkan, dipertahankan, atau dikembalikannya lembaga pendidikan itu ke format awal berupa Akademi Pemerintahan Dalam Negeri (APDN). Keberadaan IPDN tidak layak dipertahankan, karena bertentangan dengan UU No. 20/2003, antara lain karena pendidikan kedinasan profesi adalah pendidikan tinggi setelah program sarjana.
Dengan IPDN tidak layak dipertahankan, pemerintah harus mempersiapkan pola pendidikan kedinasan yang berbentuk pendidikan profesi untuk membekali pegawai negeri sipil (PNS) dan calon PNS dalam pengetahuan dan keahliannya di bidang pemerintahan. "Jadi, diperlukan solusi yang tetap tunduk pada perundang-undangan yang ada tanpa harus mengorbankan kondisi yang telah ada," sebut Faisal.
Sementara, terkait dengan tewasnya praja IPDN Cliff Muntu, DPD mengapresiasi penegakan hukum yang saat ini dijalankan aparat penegak hukum. DPD juga berharap agar kasus itu segera dibawa ke pengadilan. Sementara dugaan kekerasan atau pelanggaran hukum lainnya di kampus IPDN tetap harus diusut sampai tuntas.
Keputusan Presiden
Secara terpisah di Kantor Presiden, Kamis, Ketua Tim Evaluasi IPDN Ryaas Rasyid menjelaskan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akan mengambil keputusan akhir soal pembenahan IPDN pada akhir Juni ini atau paling lambat awal Juli 2007. Dalam dua hari, Tim Evaluasi IPDN diminta membuat bahan dasar hingga penganggaran untuk dijadikan dasar bagi Presiden dalam mengambil keputusan itu.
"Presiden tak spesifik memilih opsi satu, dua, atau tiga. Presiden minta kombinasi dan ada beberapa modifikasi dari tiga opsi yang sebelumnya pernah disampaikan tim. Saya ditugasi dalam dua hari menyiapkan bahan dasar sampai penjadwalan, penganggaran, hingga aksi tindak dalam rangka pengambilan keputusan itu," ujar Ryaas.
Dalam laporan pada Presiden Yudhoyono, Mei lalu, Tim yang dipimpin Ryaas memang memberikan tiga opsi, terkait nasib IPDN. Opsi pertama, meneruskan sekolah pamong praja di Jatinangor itu dengan sistem yang berubah sama sekali, dan bukan lagi kedinasan. Nama IPDN juga diubah.
Kedua, membangun APDN di lima wilayah untuk mengakomodasi 33 provinsi, yakni di Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Indonesia bagian timur. Opsi ketiga, dilakukan pendidikan kedinasan murni sesuai UU Sistem Pendidikan Nasional, yaitu hanya menerima lulusan sarjana atau strata satu (S-1) untuk pendidikan keahlian pemerintahan, tanpa gelar, di Institut Ilmu Pemerintahan (IIP) Jakarta (Kompas, 25/5).
Menurut Ryaas, dalam keputusana akhir nanti Presiden ingin ada pembenahan komprehensif mengenai pola dan sistem pendidikan untuk kepemimpinan pemerintahan di Indonesia, berdasarkan tantangan yang dihadapi di masa mendatang. "Ini tak hanya menyelesaikan IPDN, tetapi juga menuntaskan pembangunan sistem pendidikan bagi kepemimpinan kepemerintahan dalam janga panjang," ujarnya.
Untuk IPDN, Ryaas merekomendasikan yang akan ditempuh, adalah opsi pertama, yaitu tetap meneruskan lembaga pendidikan kepamong-prajaan dengan perubahan sistem, evaluasi kurukulum, perbaikan rekrutmen, dosen ditata ulang, dan bagian pendidikan fisik dihilangkan. "Dengan dijalankannya sistem yang kami rekomendasikan, saya jamin tak ada lagi kekerasan di IPDN," jelas mantan Menteri Negara Otonomi Daerah itu.
Tak perlu dibubarkan
Sementara itu, dalam seminar di Semarang, Jawa Tengah, Kamis, mantan Rektor Universitas Diponegoro Eko Budihardjo menyarankan, sistem pengasuhan di IPDN harus diperbaiki, karena menjadi salah satu akar kekerasan di kampus itu. Tetapi, IPDN jangan dibubarkan, karena masih dibutuhkan dan merupakan bentuk Indonesia mini.
Eko, yang juga menjadi anggota Tim Evaluasi IPDN, mengatakan, jumlah praja tiap tahun di IPDN lebih besar daripada jumlah ideal. Dia mencontohkan, idealnya 500 praja, tetapi kenyataan yang diterima 750 praja. “Selain itu, rasio antara pengasuh dengan praja juga tak seimbang. Kini mencapai satu berbanding 47," ujarnya.
Alumni IPDN tahun 1999 Aulia Putra menambahkan, pengasuhan di kampus itu juga tidak melekat selama 24 jam. Ini secara tidak langsung menyebabkan kesenjangan antara senior dan junior.
“IPDN tetap diperlukan, sebab menjadi Indonesia mini, perwakilan dari semua daerah ada. Tak ada lembaga pendidikan lain yang seperti ini. Karena itu, jangan IPDN dibubarkan," ujar dia.
Mantan Ketua MPR Amien Rais, yang menjadi pembicara dalam seminar itu, juga mengingatkan, kasus yang terjadi di IPDN merupakan bagian kecil saja dari kekerasan yang ada pada sebuah bangsa. Padahal, perbedaan pandangan harus dihormati, jangan justru berujung pada kekerasan. Sipil yang meniru cara militer kadang lebih militer dari militer itu sendiri. (dik/inu/ab1)

0 comments: