Thursday, June 14, 2007

Ekspedisi: Kedung Bacin, Riwayatmu Kini...

KOMPAS - Kamis, 14 Juni 2007

GESIT ARIYANTO dan SONYA HELLEN SINOMBOR

Menyusuri Bengawan Solo adalah menyusuri kembali riwayat masa silam. Setiap perhentiannya menyisakan ragam kisah yang merangsang kedalaman rasa ingin tahu. Dan, Kedung Bacin merupakan salah satu di antaranya.
Kedung Bacin hanyalah sepenggal Bengawan Solo yang kini keruh di kawasan Kecamatan Kebak Kramat, Karanganyar, Jawa Tengah. Selintas, tak ada yang istimewa dengan kumpulan air tenang menjelang pertemuan (tempuran) Kali Cemara-Bengawan Solo.
Namun, di sanalah tersimpan kisah kemakmuran desa hingga perhatian istimewa dua kerajaan: Keraton (Nagari) Surakarta Hadiningrat dan Pura Mangkunegaran. Di desa itu pula terdapat sisa pesanggrahan milik bangsawan dalam wilayah Keraton (Nagari) Surakarta Hadiningrat yang dikenal warga dengan sebutan Gusti Riya bergelar Pakuningrat.
Jika bangsawan Nagari Surakarta Hadiningrat (Kasunanan) singgah di Kembu untuk semacam penyegaran dengan menghadiri panen ikan, bangsawan Mangkunegaran kabarnya bersemedi di tempuran sungai untuk mencari pusaka, walaupun secara politis Kembu masuk wilayah kekuasaan Kasunanan.
Soal keistimewaan Kembu di mata Kasunanan, sesepuh desa Mbah Kromo (96), yang ditemui Tim Ekspedisi Bengawan Solo Kompas 2007, Selasa (12/6), menuturkan tentang keramaian desanya menyambut kehadiran Pakubuwono X (PB X) beserta rombongan bangsawan. Sejak beberapa hari sebelumnya, warga desa gotong royong menyiapkan rangkaian penyambutan.
Kedung Bacin menjadi tujuan kunjungan rombongan besar PB X yang berkuasa tahun 1893-1939. Acaranya, menyaksikan panen ikan tahunan ketika musim kemarau tiba. Saat itulah ragam jenis bader, jendil, sili, jambal, kutuk (gabus), wagal, udang, dan klalen mudah dijumpai dan ditangkap.
"Ramai sekali waktu itu. Penduduk dari mana-mana kumpul dengan hiburan klenengan (bebunyian) di kanan kiri sungai," kenang Mbah Kromo, yang ketika itu menjadi salah satu penyelam yang menangkapi ikan-ikan sebelum dimasak untuk pesta.
Ikan-ikan yang ditangkap berukuran besar, seukuran betis orang dewasa, sehingga tidak mudah ditangkap menggunakan tangan kosong. Warga desa menggambarkannya dengan sebutan iwak kawak, ikan besar karena tua.
Keramaian semacam itu berlangsung hampir setiap tahun, seperti dituturkan Mbah Setro (90), yang juga sesepuh di Dusun Kembu. Seingatnya, keramaian mulai terhenti total menjelang kedatangan tentara Jepang.
Arkeolog pada Jurusan Sejarah Universitas Negeri Malang, Dwi Cahyono, yang ikut dalam Ekspedisi Bengawan Solo, mengatakan, kunjungan PB X itu merupakan "pesta jasa" (feast of merit) untuk mencitrakan dirinya sebagai penguasa yang agung dan pemberi berkah.
Pada konteks budaya politik masa itu, kegiatan tersebut merupakan politik pencitraan. Pesta panen ikan hanya sarana untuk tujuan tersebut.
Mengenai fungsi strategis Kembu, dosen tari Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta, Dwi Rahmani, Agustus 2006 pernah mementaskan lakon kedatangan Ratu Wilhelmina ke Dusun Kembu untuk memperoleh gelar S-2 melalui tesisnya yang berjudul Arus Sungai dan Peradaban.
Cerita tentang kedatangan Wilhelmina ke Kembu bersama PB X diperoleh Dwi dari warga setempat. "Memang belum ada bukti otentik tentang kedatangan Ratu Belanda ke Kembu, tetapi memang pernah ada kunjungan Ratu Belanda di Jawa," kata Dwi.
Andalan warga
Sekalipun keramaian tahunan yang dihadiri bangsawan dari nagari (sebutan untuk pusat kekuasaan Mangkunegara di Solo) telah lama tidak ada, warga Kembu dan dusun tetangga masih terus menikmati kemurahan Bengawan Solo setiap musim kemarau. Kedung yang memiliki kedalaman puluhan meter itu menjadi kolam ikan alami ketika kemarau.
Dengan kata lain, warga tetap menjadikan Kedung Bacin sebagai sumber kecukupan gizi dengan keberadaan ikan sepanjang tahun. "Kalau sedang tidak ada kerjaan, turun ke sungai sudah mencukupi," kata Sunardi (47), tukang bangunan setempat.
Saking berlimpahnya sumber daya sungai, ketika itu warga cukup meletakkan ranting-ranting kering bambu yang diikat ke tengah sungai. Ketika diambil, tak sedikit udang sungai yang terjebak.
Sunardi kecil pun sering diajak ayahnya, Pawiro, menyusuri Bengawan untuk menangkap berbagai ikan di beberapa kedung di wilayah Kebak Kramat. Selain untuk lauk sehari-hari, tak sedikit di antaranya yang dijual untuk menambah keuangan keluarga buruh tani itu.
Namun, semua kemudahan itu pupus seiring industrialisasi di kawasan hulu. Sejak tahun 1980-an, pembangunan kota mengubah wajah tepian Bengawan penuh pabrik, seperti pabrik penyedap rasa, tekstil, pengolahan kulit, dan alkohol. Campuran limbah pabrik dan limbah domestik memberi andil besar mematikan berbagai jenis ikan konsumsi.
Di Kedung Bacin kini orang hanya mendapati air keruh ditingkahi ikan sapu-sapu berkecipakan menghirup oksigen. Sangat jauh dengan kondisi sepuluh tahunan lalu.
Tak ada pilihan lain, warga lalu beralih menjadi penambang pasir tradisional sebagai usaha sambilan. Tak jarang pula yang menjadikannya pekerjaan tetap di musim kemarau. Dengan harga pasir berkualitas bagus Rp 55.000 per meter kubik, penghasilan yang mereka dapat tak seberapa.
Padahal, risiko besar menghadang para penambang pasir. Kontaminasi limbah dari hulu menimbulkan gatal-gatal. "Kulit rasanya kaku seperti kena tepung kanji. Rambut juga lengket, tetapi mau gimana lagi? Anak-anak butuh biaya sekolah," kata Sumadi (45), penambang pasir yang dibantu istrinya.
Limbah dari hulu juga berbau pesing. Kondisi bertambah saat kemarau yang menyebabkan air seperti kecap. Meski begitu, Sumadi mengaku tetap mengambil pasir di dasar Bengawan di kedalaman tiga meter. Untuk setiap satu meter kubik pasir, setidaknya ia menyelam 50 kali. Sehari, ia mampu mengumpulkan 1,5 meter kubik.
Profesi itu sudah dilakoninya 17 tahun. "Lha, pripun. Pedamelanipun namung mengaten punika (Mau bagaimana. Pekerjaannya hanya seperti ini)," ujar Sumadi.
Upaya minta perhatian pemerintah sudah dilakukan hingga ke provinsi, tetapi hingga kini tidak ada respons. Limbah kecoklatan dan berbau pesing terus menyengat setidaknya dua kali seminggu.
Maka, degradasi lingkungan pun terus terjadi di Kedung Bacin yang menyimpan sejarah peradaban Bengawan Solo. Dan, pesta panen ikan itu kini tinggal riwayat....

0 comments: