Monday, July 30, 2007

ANALISIS EKONOMI: Kasus Nike: Limbung di Tengah Deru Globalisasi

KOMPAS - Senin, 30 Juli 2007

FAISAL BASRI

Data resmi yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik atau BPS menunjukkan terjadi penurunan terus-menerus angka pengangguran terbuka, dari 11,2 persen pada Mei 2005 menjadi 10,4 persen pada Februari 2006, dan 10,3 persen pada Agustus 2006. Penurunan terus berlanjut hingga mencapai satu digit (9,8 persen) pada Februari 2006.
Sekalipun telah menunjukkan penurunan yang cukup konsisten, dalam konteks Indonesia yang tingkat pendapatan per kapitanya masih rendah, tetap saja angka pengangguran sebesar 9,75 persen tergolong relatif sangat tinggi. Apalagi mengingat sistem jaminan sosial yang kita miliki masih jauh dari memadai.
Kita pun masih patut prihatin mengingat bahwa sebagian besar penduduk yang bekerja ternyata menyemut di sektor informal. Jumlahnya justru mengalami peningkatan, dari 66,3 juta jiwa pada tahun 2005 menjadi 67,9 juta jiwa atau hampir 70 persen dari seluruh penduduk yang bekerja pada tahun 2007.
Rendahnya kualitas kondisi ketenagakerjaan kita tercermin pula dari jumlah yang bekerja tidak penuh atau separuh menganggur (under employment). Diperkirakan jumlah mereka mencapai tiga kali lipat dari yang sama sekali tak memiliki pekerjaan. Dengan demikian, jumlah keseluruhan penganggur terbuka dan separuh penganggur mencapai hampir 40 persen dari keseluruhan angkatan kerja.
Ditambah lagi dengan kenyataan bahwa sektor pertanian masih saja menjadi tumpuan utama penyerapan tenaga kerja. Meskipun peranan sektor pertanian di dalam produk domestik bruto (PDB) hanya tinggal sekitar 13 persen dalam lima tahun terakhir, peranannya sebagai penyerap tenaga kerja tak kunjung mengalami penurunan berarti. Pada tahun 2007, sebanyak 44 persen dari keseluruhan penduduk yang memiliki status bekerja memadati sektor pertanian.
Kasus Nike
Bertolak dari kenyataan bahwa lebih dari 80 persen pekerja adalah tamatan sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP) ke bawah, keberadaan industri manufaktur padat karya sangat menjadi andalan untuk menyerap mayoritas tenaga kerja. Industri manufaktur berperan pula sebagai lokomotif untuk memperbesar lapisan pekerja formal sehingga kian banyak tenaga kerja yang memperoleh perlindungan kerja, serta hak-hak normatif pekerja. Dengan demikian, diharapkan kualitas hidup keluarga Indonesia bertambah baik.
Oleh karena itu, tatkala muncul berita dua pabrik sepatu terancam tutup karena tak akan lagi menerima pesanan dari prinsipal asing pemegang merek dagang Nike, kita semua patut prihatin. Para pengambil keputusan seharusnya satu kata dan tindakan untuk melindungi kepentingan pekerja sebagai kelompok yang paling lemah.
Tidak benar kalau kasus ini sekadar persoalan pemilik pabrik dengan para pekerjanya semata. Pemerintah harus berperan untuk meningkatkan daya tawar pekerja dan investor domestik menghadapi prinsipal asing. Bukankah keberadaan prinsipal asing bukan sekadar pemberi order, melainkan juga ikut menentukan hampir segala aspek, mulai dari pengadaan bahan baku (jenis, vendor, dan harganya), proses produksi, hingga akhir proses distribusi ke tingkat pengecer.
Kita tak hendak mencampuri sengketa antara prinsipal asing dan pemilik pabrik. Yang harus menjadi kepedulian kita bersama, terutama pemerintah, ialah bagaimana kepentingan pekerja terlindungi dengan mendesak para pihak menempuh proses transisi yang lebih mulus.
Jika kasus Nike ini ditangani secara serampangan sehingga menimbulkan kesan sedemikian mudahnya memutus order dan hubungan kerja, maka tak tertutup kemungkinan akan muncul gelombang yang lebih besar pada industri sepatu dan industri-industri padat karya lainnya.
Pelajaran berharga
Prinsipal asing pada dasarnya adalah kapitalis tulen. Mereka selalu akan memaksimalkan laba. Karena menghadapi persaingan yang makin ketat, pilihan logis mereka adalah mencari kos produksi yang paling rendah. Mereka membandingkan para pemilik pabrik di suatu negara dengan pabrik di luar negeri.
Pengalaman di Indonesia menunjukkan sudah banyak pabrik sepatu yang gulung tikar. Yang tersisa praktis adalah pabrik besar yang kebanyakan dimiliki pemodal asing.
Pabrik-pabrik berskala "tanggung" sulit menjadi besar karena mau tak mau harus menghadapi peningkatan kos tenaga kerja. Pabrik yang telah beroperasi belasan tahun yang selalu menyesuaikan gaji pekerjanya dan tak melakukan pemutusan hubungan kerja niscaya akan digilas oleh pabrik-pabrik besar yang kurang peduli terhadap peningkatan kesejahteraan pekerjanya.
Jika kos produksi di suatu negara kian hari semakin mahal, otomatis para prinsipal asing akan memindahkan ordernya ke pabrik-parik di negara lain yang menawarkan kos lebih murah.
Seperti itulah tampaknya hukum globalisasi bekerja. Tinggal bagaimana kita bersikap. Kini tiba momentum bagi kita untuk berbenah. Para pengusaha domestik yang sudah belasan tahun menggeluti industri sepatu dan industri padat karya lainnya paling tidak telah menguasai teknologi untuk menghasilkan produk-produk berkualitas. Sudah saatnya pengusaha domestik mengembangkan merek sendiri untuk memanfaatkan pasar dalam negeri yang cukup besar, dengan kualitas yang setara dengan merek terkenal, tetapi dengan harga yang lebih murah.
Dengan ditopang oleh kemampuan desain dan pengembangan jaringan pemasaran bersama, tak tertutup kemungkinan produk-produk kita bisa pula menembus pasar dunia. Setidaknya dimulai dari negara-negara berkembang di Afrika dan Asia.
Ada dua faktor yang menjadi kunci keberhasilan. Pertama, pemerintah mendukung sepenuhnya kegiatan riset dan pengembangan agar pengusaha-pengusaha Indonesia selalu melahirkan invensi dan inovasi berkelanjutan. Sementara itu, para investor asing didorong membangun pusat-pusat pengembangan produk di sini. Tentu diperlukan insentif untuk memacu kegiatan seperti itu.
Kedua, pemerintah harus memiliki kebijakan industrial yang jelas, terutama bagaimana mengharmoniskan berbagai kebijakan setiap departemen sehingga satu sama lain saling dukung, bukan saling "jegal". Kebijakan ekspor dan impor kulit, misalnya, menjadi salah satu kendala yang membuat industri sepatu kesulitan bahan baku.

0 comments: